Aku lalu ingat bagaimana aku sibuk ngedumel sendiri ketika melihat kenyataan bahwa melanjutkan studi di luar negeri, khususnya Amerika, itu tidak sesulit yang aku bayangkan sebelum aku akhirnya menjalaninya sendiri. Betapa tidak? Wong hampir segala jerih payah usahaku dalam meraih nilai yang tidak rendah itu seolah mubazir belaka. Termasuk proses penjurusan (ketika itu) IPA dan IPS di SMA yang akhirnya toch tak dilirik sama sekali oleh perguruan tinggi disana. Seandainya aku ketika itu lulus SMA sebagai siswa jurusan IPS, aku akan tetap bisa melanjutkan studiku di mata pelajaran yang (disini) masuk kategori IPA.
Terus...kenapa orang sana tak memilah-milah siswa setingkat SMA-nya seperti orang disini? Disana, siapa saja bebas mengambil jurusan apa saja. Mengapa? Karena lancar tidaknya proses pembelajaran tiap orang ditentukan oleh dirinya sendiri...bukan oleh orang lain seperti pihak pendidik atau institusi pendidikan. Intinya, at the end, bermanfaat atau tidaknya ilmu yang kita punya ya kita sendiri juga yang merasakannya. Sementara para pengajar akan terus melanjutkan tugas mengajarnya pada angkatan-angkatan berikutnya tanpa peduli kita sukses atau gagal setelah dididik.
Ada suatu moment yang begitu menyadarkan aku akan hal yang aku sebut diatas. Di hari-hari terakhir suatu semester, dimana semua mahasiswa sudah menyiapkan diri untuk menghadapi semua ujian dan presentasi akhir, seorang pengajar mata kuliah Struktur Bangunan bertanya pada kami, peserta didiknya, "Menurut anda, apakah anda mendapat cukup ilmu selama mengikuti kelas ini?". Dan sebelum kami sempat menjawab, ia bertanya lagi, "Apakah anda merasa saya perlu mengetes kemampuan anda dalam mata kuliah ini? Intinya, andalah yang selayaknya menilai kemampuan anda, bukan saya. Saya bisa saja mengetes ilmu anda dan membuat anda mengulangi proses belajar anda jika menurut saya anda belum menguasainya. Tapi praktisnya, anda bisa menentukan sendiri anda perlu belajar lagi atau tidak."
Tentunya, dengan kesepakatan bersama, ujian akhir untuk mata kuliah itu tak pernah dilaksanakan. Dan sebagai kompensasinya, kami semua diluluskan dengan nilai cukup yang sama agar adil.
Moral dari peristiwa itu, kami semua diberi tanggung jawab yang sama untuk masa depan kami masing-masing tanpa sang pendidik harus bersusah payah menguji kemampuan kami. Bahwa di kemudian hari mungkin ada diantara kami yang mandek karirnya karena kurangnya ilmu strukturalnya, itu konsekuensinya. Sementara siapapun yang ketika itu telah berhasil menyerap banyak ilmu tapi tak pernah dianugerahi nilai yang super hebat mungkin telah menjadi praktisi konstruksi bangunan yang sukses. Sang pendidik telah melaksanakan tugasnya dalam mendidik tanpa perlu memastikan anak didiknya berhasil menyerap materi didikannya.
Kembali lagi soal proses belajar disini. Ada kecenderungan setiap anak didik harus dan wajib menguasai ilmu yang diajarkan untuk bisa dianggap berhasil dalam proses belajarnya. Entah itu dengan cara penambahan materi belajar, atau jam belajarnya, atau apalah. Padahal keberhasilan mereka dalam belajar di sekolah tidak menjamin keberhasilan mereka dalam pekerjaan yang mereka lakukan kelak setelah selesai sekolah. Aku sangat setuju dengan anggapan bahwa pembelajaran itu bisa didapatkan dimana saja...tak melulu di sekolah. Ini termasuk pembentukan mental yang stabil. Nah sekarang apa iya anak didik disini bisa belajar dengan baik jika konsep dibalik pembelajaran itu sendiri adalah pemaksaan? Dipaksa dapat ilmu lebih dari kemampuan otaknya. Dipaksa belajar lebih lama. Dan seterusnya, dan seterusnya...
Aku prihatin melihat anak-anak sekolah sekarang yang harus memanggul tas yang lebih besar karena berisikan lebih banyak buku pelajaran. Sementara di zamanku dulu, banyak teman yang datang kesekolah dengan hanya menenteng sebuah buku tulis. Dan banyak juga dari mereka yang kini jadi orang sukses. Aling-aling mengurangi materi belajarnya, sekarang malah jam sekolahnya diperpanjang sampai seharian. Lalu hal apa saja yang tersisa buat mereka seusai sekolah setelah mereka penat dengan begitu banyak materi yang dijejalkan ke otak mereka seharian? Ya kalau bisa langsung santai dan beristirahat....kalau masih punya pekerjaan rumah? Kapan istirahatnya? Kapan santainya? Kapan punya waktu untuk bersosialisasi? Kenapa tidak mencontoh pendidikan di luar negeri seperti di Amerika yang memberikan cukup kesempatan pada pelajar untuk (juga) belajar di luar sekolah? Toch makin banyak peserta didik yang membidik negara-negara asing sebagai tempat melanjutkan studi atau bahkan bekerja.
Yang mengkhawatirkan adalah faktor stress yang sangat mungkin akan menyerang anak didik kita disini. Beratnya beban dan tekanan yang didapat dari sekolah bisa mengganggu kejiwaan mereka. Ngeri sekali membayangkan apa yang akan dijadikan pelariannya ketika gangguan kejiwaan itu dialami mereka di usia yang belia. Akhirnya yang ada nanti hanyalah proses belajar yang terhenti di tengah jalan. Sementara konon tujuan usulan sekolah seharian ini adalh untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak didik. Ironis bukan?
Menteri pendidikan yang satu ini harusnya tau dan paham cara mendidik yang tepat. Kalau memang tidak paham, artinya ia (masih juga) perlu belajar dari situasi dan kondisi yang ada. Cobalah menempatkan diri di posisi anak didik kita yang kelak harus sekolah seharian. Aku yakin dengan cara tersebut, menteri ini bisa memberlakukan metode lain yang efisien. Bagaimana aku bisa yakin akan hal itu? Karena dibayar sebesar apapun, aku sendiri tak akan pernah mau kembali ke bangku sekolah untuk belajar lagi..apalagi seharian penuh. Bisa terbayang rasanya bagai dipenjara.
Buatku, banyak tempat yang pantas untukku menimba ilmu yang bermanfaat. Dan sekolah bukan salah satunya....