Monday, December 15, 2014

Yang Sederhana Dulu

"Kejarlah ilmu hingga ke negeri Cina."
Begitulah pepatah terkenal yang maknanya mengingatkan bahwa begitu banyak ilmu yang bisa didapatkan dimana saja di segala penjuru muka bumi ini hingga di luar angkasa.
Selayaknyalahpun orang bisa menerima dan memberikan ilmu tanpa mengenal batasan umur.
Mungkin pepatah inilah yang mendasari banyak orang untuk terus menggali dan mencari ilmu agama seperti yang dilakukan beberapa kenalanku.

Sebutlah A, yang ingin sekali menjadi manusia Islam yang baik dan benar. Tak segan-segannya ia mendengarkan khotbah dan tausiah dari banyak ustadz/ustadzah lokal yang makin hari makin banyak jumlahnya. Lalu, tanpa mengkaji lebih jauh apa yang ia dapatkan, diterapkannya ajaran-ajaran baru itu dalam hidupnya. Tak hanya itu, ia dengan rajin membagi-bagikannya tidak hanya kepada kerabat dan teman-teman dekatnya namun juga kepada umum lewat jejaring sosial yang juga menjadi salah satu sumber darimana ilmu itu ia dapatkan. Ia juga sering tertarik untuk hadir dalam acara-acara dzikir bersama atau tabligh akbar yang terbuka untuk umum yang dirasanya sebagai tempat menimba ilmu baru.

Sedikit berbeda dengan B, yang lebih menyeleksi nara sumbernya dengan menetapkan beberapa penceramah asing yang secara rutin ia tonton lewat internet. B ini lebih filosofis sehingga ia lebih mudah tertarik pada ilmu yang dikemas secara intelektual. Namun, meskipun yang ini lebih selektif dalam menyaring ajaran-ajaran yang didengarkannya, namun ia punya kesamaan dengan A dalam mencari ilmu baru yang diharapkan bisa membuatnya mengarahkannya ke pola hidup Islami yang baik dan benar. Dan seperti halnya A, ia juga rajin sekali membagi ilmu-ilmu barunya itu secara umum melalui jejaring sosial.

Aku memang bukan seperti mereka.
Mungkin aku lebih suka mempertahankan ilmu yang telah aku miliki ketimbang menggantinya dengan yang baru. Dalam hal ini, aku bicara lebih ke perubahan besar, karena akupun sadar bahwa tidaklah benar jika aku menganggap ilmu yang kumiliki sudah sempurna. Sehingga aku tau bahwa alterasi terhadap ilmu yang kuanggap benar itu kadang perlu dilakukan dalam skala kecil karena aku yakin segala ilmu yang kupraktekan selama ini tidak mungkin mutlak salah. Apalagi aku mendeteksi makin ramainya orang mencoba menunjukkan kalau dirinya berilmu, dan hal ini membuat apa yang beredar di kalangan umum merupakan campuran ilmu yang benar dan salah.

Aku menolak bahkan untuk mendengarkan ocehan orang-orang yang terlihat ingin terkenal seperti halnya banyak ustadz/ustadzah seleb. Atau orang yang memaparkan ilmu agamanya tanpa menyadari bahwa ia menjalani hari-harinya dengan melakukan hal-hal yang justru diharamkan oleh agamanya. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa Islam adalah agama yang mudah yang harusnya membuat penganutnya punya kesederhanaan hidup. Bahwa Al-Qur'an merupakan kitab suci yang gunanya menuntun penganut Islam ke jalan yang benar tanpa harus menyiksa kehidupannya. Dan aku sudah melihat bagaimana seorang kerabat dekatpun menghancurkan hidupnya dan keluarganya setelah mencoba menemukan arti sesungguhnya dibalik ajaran Al-Qur'an untuknya.

Buatku, Islam adalah agama yang menyejukkan. Dan hal itulah yang harusnya selalu kurasakan. Bukan agama yang njelimet yang justru membuat penganutnya terbebani dalam mendapatkan kebaikan dalam beragama. Dengan menggunakan ajaran Al-Qur'an dan "contoh-contoh" dari Rasulullah sebagai pedoman hidup, harusnya setiap insan Muslim mampu menikmati dan mensyukuri hidup yang dihadiahkan oleh Allah swt.
Apa yang terjadi padaku hingga saat ini adalah apa yang sudah menjadi suratanku. Seburuk-buruknya itu, aku tidak berpikir ada cara "khusus" untuk merubahnya selain apa yang telah aku lakukan selama ini.

Aku lebih suka mengkaji cara mempraktekkan ajaran-ajaran dasar agamaku terlebih dahulu sebelum mencari-cari ajaran-ajaran lainnya yang sifatnya lebih mendetil. Jika memang aku masih belum bisa memberikan komitmen yang sepenuhnya pada pengamalan ajaran dasarnya, bagaimana mungkin aku pantas memikirkan ajaran-ajaran lainnya yang sifatnya mendetil?
Bagaimana mungkin seseorang bisa mendapatkan ilmu dari negeri Cina jika perahu layar sederhana sebagai kendaraan yang seharusnya membawanya kesanapun masih belum bertiang sedangkan niat untuk mendirikannya masih belum dimilikinya?

Niatkanlah dulu untuk membenahi segala yang sederhana...