Thursday, March 31, 2016

Memikirkan Sambil Mengucapkan

Sebenarnya apa iya shalat yang diterima Allah swt itu hanya yang khusyuk? Lalu bagaimana sih shalat yang khusyuk itu?

Kalau bicara soal agama, ilmu ku amat sangat cetek. Ibarat sebuah kolam renang, mungkin bisa dibilang ilmu ku hanya setinggi genangan air yg tersisa setelah air sekolam itu dibuang.
Jadi sebelum membahas soal khusyuk-nya shalat, perlu aku tekankan dulu bahwa apapun yang aku tulis berikutnya murni hanyalah hasil pemikiran ku sebagai seorang Muslim yang awam...yang pemikirannya lebih mendasar pada logika sederhana.

Aku hanya sering bertanya dan menjawab sendiri sampai sejauh mana aku memfokuskan diri pada shalat yang aku kerjakan. Maaf...bukannya aku tidak menghargai pendapat orang lain yang (sangat) mungkin lebih mendalami ilmu Islamnya...tapi aku selalu berpendapat bahwa apapun yang aku lakukan dalam beragama itu baik buruknya toch buat aku sendiri, sehingga aku lebih suka menerapkan metode yang kuanggap paling pas buatku: metode ku sendiri. Tentunya ada dengan pengaruh dari pendapat si A dan/atau si B dan/atau si C, dst., yang kemudian bisa aku kombinasikan sesuai akal sehatku.

Buatku, salah satu cara efektif untuk bisa khusyuk dalam menjalankan shalat adalah dengan mengerti arti setiap bacaan yang kita bacakan. Dalam hal ini, yang kumaksud tak hanya sekedar mengerti namun juga memikirkan arti itu ketika membacanya. Misalnya ketika aku mengucapkan takbir, yang ada dalam benakku tak lain adalah aku tengah mengatakan "Allah Maha Besar". Sama halnya dengan ketika aku tengah berbicara dalam bahasa Indonesia, aku tau pasti apa yang aku ucapkan. Dalam kasusku, hal itu juga terjadi ketika aku tengah menggunakan (mengucapkan atau menulis dengan) bahasa Inggris. Misalnya, ketika aku mengucapkan, "I'm talking to you", yang ada dalam benakku adalah kalimat, "Aku berbicara dengan anda". Berbeda dengan ketika aku sedang menyanyikan lagu berbahasa Inggris, bisa saja karena yang keluar dari mulutku adalah sesuatu yang sudah aku hafal sehingga di benakku yang terlintas bisa apa saja selain lirik lagu yang aku nyanyikan.
Nah, jujur saja....sudah berkali-kali aku kecolongan sehingga ketika membaca takbir, pikiranku bisa sedang kemana-mana tanpa secuilpun terpikir tentang keMaha Besaran Allah swt.

Sekarang bayangkan jika setiap kalimat, setiap ayat, dan setiap doa yang kita ucapkan dibarengi dengan pemikiran tentang arti harafiahnya. Betapa konsentrasinya kita terhadap apa yang kita ucapkan ketika kita sembari berpikir tentang bagaimana kita memuji Allah, Tuhan semesta alam, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dan Penguasa Hari Pembalasan, bagaimana kita menyembahNya, memohon pertolonganNya dan meminta ditunjukkan jalan yang lurus. Itu saja hanya baru saat kita membaca Al-Fatihah. Belum lagi surat-surat dan bacaan-bacaan lainnya. Dalam duduk diantara sujud saja kita minta diampuni, dikasihani, dicukupkan kekurangan kita, diangkat derajat kita, diberi rezeki, petunjuk, serta kesehatan, dan dimaafkan kesalahan kita. Bukankah itu sudah merangkup semua yang kita butuhkan dariNya? Kalau memang permintaan-permintaan itu memang ada dalam benak kita, dalam arti kita sadar dengan apa yang kita minta,bukankah kita sedang khusyuk? Tentunya akan berbeda total ketika kita sedang meminta tapi pikiran kita kosong atau bahkan kita sedang memikirkan hal yang lain. Permintaan kita seolah hanyalah materi hafalan yang terucap begitu saja sebagai bagian dari shalat tanpa dijiwai.

Menurutku, melakukan shalat itu tak sama dengan menyanyikan sebuah lagu berbahasa Arab dengan fasih (karena hafal) tanpa mengerti artinya kalimat demi kalimat. Jika aku menjadi seorang imam dalam suatu shalat berjamaah, lalu membaca surat panjang dengan alunan nada yang indah, tapi tidak dibarengi dengan pengertian apa yang aku bacakan, mungkin saja kekhusyukanku hanya berapa persen yang mana itu buat konsentrasi pada kehati-hatianku agar aku tidak salah baca (yang bisa bikin malu sendiri di depan para jamaah). Mungkin ada saja orang yang bertanya dalam hati, "Koq surat yang dia pilih yang pendek-pendek melulu?", tapi aku lebih nyaman dengan surat-surat pendek yang ketika kubaca dibarengi dengan pengertian artinya, karena berarti aku bisa lebih khusyuk. Toch...sekali lagi...apa yang aku lakukan baik buruknya akhirnya hanya untuk aku sendiri...bukan untuk orang lain.

Jadi seperti itukah kekhusyukan semua shalatku? Sayangnya tidak. Aku masih sering kecolongan, lebih memikirkan hal-hal lain ketimbang arti dari apa yang aku bacakan... :p