Thursday, March 3, 2016

Mensiasati Sebuah Impian

Beberapa hari yang lalu, ada seorang teman yang bercerita tentang teman wanitanya. Tentang bagaimana ia berencana untuk meninggalkan pekerjaannya yang selama ini telah membuatnya hidup sangat nyaman. Bermasalah dengan pekerjaannya? Sama sekali tidak. Pasalnya, ia punya suara yang merdu yang membuatnya ambisius untuk menjajal karirnya di bisnis tarik suara. Meski umurnya tahun ini sudah berkepala empat, namun ia masih penasaran ingin membuahkan sebuah album rekaman yang diharapkannya bakal terjual laris manis mengingat ia sangat pe-de dengan suaranya. Karena ambisi itulah ia rela meninggalkan pekerjaannya dan menolak ajakan temanku untuk memulai bisnis kulineri yang, notabene menurut temanku, punya peluang sukses besar. Itulah yang membuat temanku ini datang kepadaku untuk curhat sekaligus minta pendapat tentang keputusan temannya.

Aku memang bukan lagi seorang pelaku bisnis rekaman. Ranah itu sudah lama aku tinggalkan sejak lebih kurang satu dekade yang lalu. Alasannya simpel saja...pembajakan lagu di negeri ini tak mudah teratasi. Tapi aku tetap terus mengamati perkembangan bisnis musik yang hingga kini belum terlihat berjalan di track yang benar. Sudah se dekade terakhir ini satu demi satu perusahaan rekaman besar melakukan berbagai upaya yang sekiranya bisa mengantisipasi kerugian yang disebabkan oleh aksi pembajakan. Salah satu upayanya adalah dengan mengibarkan bendera label baru yang menelorkan produk-produk kecil seperti singles ketimbang album. Sifatnya lebih dikenal dengan istilah Indi, yang maksudnya adalah indipendent, seolah jauh dari major label atau perusahaan rekaman besar. Kenapa begitu? Karena disamping faktor reputasi yang harus dijaga di mata masyarakat, beberapa tahun yang lalu pernah berlangsung era kesinisan dari agen penyalur atau instansi yang berperan untuk menyebarluaskan sebuah produk musik dan artisnya, seperti misalnya radio, televisi dan event organizer. Tentunya urusan harga jual jadi sangat terpengaruh dimana produk dari perusahaan label besar otomatis dicap lebih mahal dan birokrasinya lebih njelimet.

Lalu apakah di negeri ini penjahatnya begitu banyak jumlahnya sehingga urusan bajak membajak lagu masih belum bisa teratasi seperti yang teradi di manca negara? Justru kebalikannya. Masyarakat kita itu terkenal ramah tamah dan baik hati. Begitu baiknya sampai-sampai rela membagi-bagikan apa yang dimilikinya secara gratis kepada orang-orang yang tidak dikenalnya.
Sebut saja pianist jazz, Indra Lesmana yang terdaftar sebagai musisi lokal pertama yang merilis karyanya lewat iTunes 5 tahun yang lalu. 6 lagu garapannya itu dijual dengan harga 99 sen (ketika itu mungkin sekitar 10ribu Rupiah) per lagu. Langkah tersebut memang diakui sebagai sebuah gebrakan hebat yang bisa memperluas marketing dari karya anak bangsa karena iTunes yang sifatnya mendunia. Namun bagaimana efeknya disini? Sekitar 2 minggu setelah tanggal perilisannya, lagu-lagu tersebut sudah bisa ditemukan bahkan di download secara gratis di beberapa situs, salah satunya 4shared yang terkenal sebagai gudangnya lagu gratis. Bagaimana history perjalanannya sehingga lagu-lagu itu bisa tersedia disitu aku tak tau, namun yang jelas sumbernya dari pihak yang telah membelinya dari iTunes. Baik hati bukan?

Seperti itulah iklim yang dihadapi seniman kita. Sifat dermawan dan berbagi dari kebanyakan orang di negeri ini sangat berpengaruh dalam perkembangan industri musik kita. Sayangnya, sifat berbagi seperti ini sering berujung pada kerugian pihak lain, dalam hal ini produser rekaman dan artisnya. Dari segi popularitas, memang artis dan karyanya bisa dikenal lebih banyak orang. Namun dari segi kocek, tentunya artis tidak mendapatkan pendapatan yang semestinya. Apalagi pihak produser. Himbauan untuk tidak membajak lagu atau menghargai karya seniman tidak digubris banyak orang sehingga industri rekaman kita melemah karena masyarakat masih banyak yang berkonsep lebih baik yang gratisan. Akhirnya para pemusik lebih memilih membagi-bagikan karyanya secara gratis dengan harapan mereka bisa mudah dikenali dan mendapat keuntungan dari efeknya, seperti mendapatkan job-job pementasan. Banyak juga yang tak tanggung-tanggung merilis lagu barunya dalam bentuk video lewat YouTube. Sudah beberapa penyanyi atau seniman musik lokal maupun luar negeri yang memang mujur dan berhasil dengan mempraktekkan cara ini.

Sekali waktu, sebuah album milik group band U2 sempat kecolongan dan lagu-lagunya beredar di internet selang beberapa waktu sebelum tanggal perilisan resminya. Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak label rekaman yang menaunginya. Bayangkan saja, tentunya angka penjualan album tersebut lagsung drop setelah perilisan. Memang hal yang sama juga teraplikasikan pada U2, namun di sisi lain, seperti yang diungkapkan vokalisnya, Bono, hal ini bisa membawa berkah tersendiri. Ia menyatakan bahwa setidaknya makin besar kemungkinan lagu-lagu dari album tersebut dikenal orang. Bahkan sebelum album tersebut resmi beredar, pasti sudah banyak orang yang hafal dengan lagu-lagunya. Ini suatu cara memandang sebuah musibah secara bijak dan positif. Dan beberapa tahun silam, semua iTunes menyertakan sebuah album baru U2 yang otomatis dimiliki secara gratis oleh setiap pengguna iPhone dan iPod. Apalagi alasannya kalau bukan demi popularitas U2?

Kembali pada curhat temanku itu, aku hanya bisa berpesan padanya agar, minimal memberikan ulasan seperti itu pada temannya agar ia tidak keburu kecebur di sungai yang tidak akan membawanya kemana-mana. Terlebih dengan adanya pihak-pihak yang paham akan situasi ini tapi bermaksud meng-kadali seniman baru dengan menjanjikan pembuatan album yang dijamin meledak penjualannya dengan imbalan sejumlah besar uang produksi di depannya. Sudah waktunya seniman kita tidak melulu menjalankan aksi seni-nya, namun juga berpikir cerdas dalam menentukan strategi untuk mendulang kesuksesan karirnya. Dan yang lebih penting lagi adalah menyiapkan mental untuk mendapatkan yang terburuk. Karena biar bagaimanapun, tak semua usaha keras membuahkan hasil yang diharapkan.