Wednesday, June 29, 2016

Keputusan Yang Tepat

Semalam adalah malam ke dua puluh tiga bulan Ramadhan yang mana sudah menjadi bagian dari malam-malam dimana aku berencana untuk melaksanakan shalat Tarawih seperti halnya di tahun-tahun sebelumnya dengan harapan dapat Lailatul Qadr-nya. Bersama kedua putraku aku pergi ke masjid dengan sukacita meskipun aku tau putra bungsuku tak terlalu excited karena sempat terlelap tidur untuk beberapa menit sebelum kemudian terpaksa harus bangun. Kehadiran dua teman dekatnya, yang sama-sama baru saja lulus dari sekolah dasarnya, tak juga merubah mood-nya yang masih cranky dan tak membuatnya bergabung dengan mereka yang duduk di shaf lebih depan.

Ia pun berdampingan denganku dan kakaknya melaksanakan shalat Isya dan duduk mendengarkan khatbah malam itu. Ketika shalat Tarawih akan dimulai, aku mendapatkan kekosongan tempat di shaf di depanku yang cukup untuk kami bertiga. Maka dengan sigap aku segera melangkah maju untuk mengisi tempat tersebut diikuti oleh putra sulungku. Sedangkan putra bungsuku yang cenderung ogah-ogahan tak mungkin berdampingan dengan kami karena tempat yang tersisa keburu diisi jemaat lain yang lebih sigap darinya. "Biarlah", aku pikir....toch aku tak ingin merusak suasana hatiku ataupun mengganggu suasana hatinya.

Namun apa yang terjadi kemudian dengannya membuat kenyamanan hatiku terusik. Dengan majunya aku dan putra sulungku, maka tercipta tempat kosong antara putra bungsuku dengan seorang pria berumur sekitar enampuluhan tahun yang sebelumnya berdiri di sebelahku. Dan karena lumrahnya di sepuluh malam terakhir tak banyak jemaat yang hadir untuk bertarawih, shaf keempat tempatnya berada menjadi shaf terakhir, sehingga tak ada jemaat di belakangnya untuk mengisi tempat kosong tersebut. Pria tadi lalu menarik lengan baju anak bungsuku supaya ia merapatkan diri ke sebelahnya.

Aku terkejut melihatnya...tapi sebelum aku bisa mengambil keputusan apa yang sepantasnya aku lakukan untuk merespon kejadian itu, pria tadi keburu mengucapkan takbir dan memulai shalatnya. Tak ayal lagi, akupun melaksankan shalatku sambil terus kepikiran tentang apa yang baru saja dialami putraku itu. Shalatku terlaksana tanpa kekhusyukan karena aku sibuk mengatur strategi bagaimana aku perlu meluruskan hal ini dengan pria itu. Aku berada dalam posisi untuk memilih antara memperpanjang urusan ini dengannya seusai shalat atau mengabaikannya mengingat ini bulan Ramadhan dan kami berada di dalam masjid untuk beribadah.

Kegalauanku terus berlanjut hingga tuntasnya shalat dua rakaat berikutnya sambil beberapa kali menoleh ke pria tersebut saat interval di antara shalat. Tanpa sepatah kata apapun aku meyakinkan dirinya bahwa aku menatapnya dengan ekspresi ketidaksukaan di wajahku, sekedar hanya supaya ia setidaknya bertanya-tanya pada diri sendiri apa penyebabnya jika memang ia tak merasa bersalah. Dan sesaat sebelum shalat berikutnya dimulai, aku teringat khatbah khatib yang baru selesai aku simak tentang sabar dan syukur. Ini yang kemudian membuatku sadar bahwa baiknya aku biarkan insiden ini berlalu tanpa aku tindaklanjuti. Ini yang kemudian membuatku kembali fokus dan khuysuk dalam rangkaian shalat-shalat yang tersisa.

Aku memang tidak pernah suka dengan orang-orang yang menganggap remeh anak-anak terutama dalam beribadah apalagi ketika di masjid. Seperti halnya kasus yang pernah dialami kedua putraku beberapa tahun silam di sebuah masjid ketika mereka dipaksa pindah ke shaf terbelakang hanya karena mereka masih anak-anak dan dianggap tak pantas berdiri di shaf terdepan. Huh...sehebat apa sih orang-orang ini sehingga mereka bisa beranggapan seperti itu? Tau apa mereka tentang putra-putraku...atau anak-anak lainnya yang bisa jadi lebih mulia di mata Allah swt? Siapa sih mereka sehingga bisa memperlakukan anak-anak dengan seenaknya? Kedua putraku (seperti halnya aku) memang bukan tipe orang yang harus berbaju koko atau bersarung atau berkopiah saat melaksanakan shalat di masjid, tapi apakah itu bisa jadi alasan untuk mendiskreditkan mereka?

Aku mencintai Islam sebagai agamaku dan Allah swt sebagai Tuhanku. Aku mencintai Rasulullah dan mencoba menerapkan pada kedua putraku segala ilmu yang diajarkannya. Dan dalam cara yang sederhana aku mencoba menanamkan pemahaman pada mereka bahwa Islam adalah agama yang ramah dan bersahabat. Namun tindakan dan perlakuan seperti ini oleh mereka yang mengaku berilmu tinggi dalam agama seolah menunjukkan sebaliknya . Hanya karena mereka berpenampilan bak ulama atau terlihat (lebih) tua lalu mereka merasa layak berlaku semena-mena? Sama sekali tidak mengisyaratkan kebijaksanaan dan kearifan mereka.

Putraku, yang semalam (ternyata) juga merasa dilecehkan, buatku lebih bijaksana dengan menerimanya secara ikhlas tanpa mengadu atau mengeluh kepadaku. Lucunya, ketika dalam perjalanan pulang aku mengutarakan kegundahanku dan memberi tau padanya mengapa aku sering menengok ke belakang untuk menatap pria itu, putraku berujar, "oooh...aku kira karena papa juga terganggu dengan bau badannya".  Ucapan lugunya ini membuatku tersenyum dan merasa lega aku telah memutuskan untuk tidak memanjang lebarkan urusan dengan pria itu karena rupanya pria itu sudah punya masalah lain yang harus ditanganinya. Alhamdulillah...Allah memang Maha Adil.