Sunday, August 28, 2016

Merampas Makanan

Satu hal yang pasti selalu membuatku kesal adalah ketika ada orang yang merampas hak orang lain atas makanan atau minuman. Tak harus merampas secara harafiah...bahkan sekedar merusaknya saja tidak bisa aku tolerir...siapapun itu pelakunya. Pendek kata, di kamusku, tak ada satu insanpun di dunia ini yang pantas merampas makanan atau minuman yang sudah menjadi hak orang lain.

Contohnya...yang terjadi di sebuah acara pesta Thanksgiving yang diadakan di rumah seorang teman ketika aku masih tinggal di negeri seberang. Ketika itu aku hatiku sedang berbunga-bunga karena aku berhasil menguliti ayam kalkun yang jadi hidangan utama. Kesenanganku itu berdasar karena kulit ayam merupakan musuh bebuyutan bagi kebanyakan orang disana karena kadar  lemak kolesterolnya yang tinggi. Oleh karena itu, aku puas mendapatkannya disaat orang lain justru menghindarinya. Cukup fair, bukan?
Tapi di suatu saat ketika aku sedang tidak memperhatikan piring yang tengah aku pegang, seorang teman mencomot kulit yang ada di piringku dan melahapnya. Tentu saja hal ini membuat yang hadir dan melihatnya tertawa. Sontak saja suasana keceriaan itu berubah jadi tegang setelah pulukan keras bogemku ke perutnya membuatnya harus memuntahkan kulit ayam yang sedang dikunyahnya. Yang kemudian terjadi adalah debat sengit antara aku dengan ia dan istrinya yang menganggapku membesar-besarkan hal yang sepele. Dan akupun memutuskan untuk meninggalkan acara itu setelah memohon maaf pada pemilik rumah...bukan kepada perampas makananku.

Contoh lainnya...aku pernah mengomeli putra sulungku ketika dengar cerita bahwa ia bersama seorang teman lainnya diam-diam memasukkan banyak cuka ke dalam mangkuk berisi mie baso milik seorang temannya. Meski hal itu sudah terjadi beberapa jam sebelumnya, dan sang korbanpun sudah memaafkannya setelah dapat penggantian dengan porsi barunya, aku tetap memberi hukuman pada putraku dengan melarangnya makan mie selama sebulan. Suatu hukuman yang aku anggap cukup berat untuk seorang anak yang memang doyan makan mie. Buatku, kejadian itu sama saja dengan merampas hak temannya atas makanannya.

Nah...aku mengalami sebuah perampasan makanan pagi ini di rumah mertuaku. Sebungkus nasi uduk yang sudah siap aku santap terpaksa harus kutinggal dalam keadaan bungkusan terbuka setelah aku mendadak diminta untuk pergi sebentar membeli obat untuk mertuaku yang sedang tidak enak badan. Hanya kutinggal lima menit saja, aku kembali dengan mendapati nasi udukku tengah disantap oleh keponakanku. Pasalnya apa nih? Bukannya sudah jelas-jelas bunugkusannya terbuka...yang bisa diartikan milik seseorang? Bukankah yang masih terbungkus rapih lebih mengidentikan belum ada yang memilikinya?

Yang bikin aku makin geram adalah alasannya. Ketika diperingatkan oleh kedua putraku bahwa itu milikku, ia berdalih akan menyantapnya justru untuk menyelamatkannya; "Dari pada dimakan setan", katanya. Haah!!?? Aturan apalagi itu?? Sontak aku mengomel padanya. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, ia bahkan menyatakan kepadaku bahwa masih ada yang terbungkus untuk kumakan. Padahal yang satu itu disediakan untuk eyang-nya (mertuaku) yang sedang sakit itu.

Ugh...ingin sekali aku memperpanjang urusan ini. Namun aku urungkan niatku karena ternyata tindakannya itu didukung oleh mertuaku sendiri dengan alasan ia memang sedang tidak punya selera untuk makan nasi uduk. Mertuaku jugalah yang menyarankannya untuk menyantap yang telah terbuka dengan pertimbangan bahwa aku bisa mendapatkan gantinya yang masih baru dan hangat. Maka aku hanya diam saja dan menyantap nasi uduk pengganti yang lauknya tak selengkap apa yang harusnya aku dapatkan.

Aku sadar bahwa aku dikelilingi oleh banyak orang yang mungkin tak menganggap pentingnya arti sebuah makanan yang sudah menjadi hak orang lain. Mereka bisa menganggap setiap makanan yang mereka rampas sangat mudah tergantikan. Namun itu tak mengubah anggapanku bahwa merampas adalah mengambil tanpa izin pemiliknya. Meski obyeknya makanan, dan mau dibuat se elegant mungkin, tetap saja yang namanya merampas makanan berarti termasuk tindakan yang tercela.
Dan atas alasan konyol (buatku) yang dipakai keponakanku, aku hanya berkata dalam hati, "Biar nggak dimakan setan....akhirnya setan juga yang makan...preeeett!!!"



Sebuah Tawaran

This is so freakin' seriously true..!!

Semalam selepas reuni dengan beberapa teman lama di sebuah cafe, aku memutuskan untuk pindah ke tempat lain yang masih buka bersama salah seorang dari mereka ketika yang lainnya beranjak pulang. Memang aku lah yang mengajak temanku ini untuk memperpanjang pertemuan sambil mengopi karena dulu ia termasuk teman dekatku. Di samping itu, aku ingin lebih banyak tau tentang kesuksesannya dalam berbagai usaha yang dijalankannya. Hitung-hitung aku mengharap bisa belajar banyak darinya untuk bisa sukses. Mungkin dapat link baru yang bisa bermanfaat buat apapun usaha yang pas buatku.

Aku tidak mengagumi mobil Pajero model terkini yang ia kendarai semalam, atau tempat tinggalnya di Pantai Indah Kapuk yang terkenal elit itu, tapi aku kagum dengan keberhasilannya membalikkan nasibnya 180 derajat. Aku ingat dulu ketika masih di negeri seberang ia sering nongkrong di apartment-ku karena ia tak punya punya makanan di tempat tinggalnya. Saking seringnya hingga ia berkali-kali menginap karena malas melakukan perjalanan yang cukup jauh dengan kereta komuter di malam hari. Ia juga tergolong pemalas dalam menjalankan tugasnya sebagai loper koran di pagi hari, padahal kiriman dana dari orangtuanya pas-pasan hanya cukup untuk biaya kuliah paruh waktunya. Itu juga faktor yang membuatnya lebih suka menginap di tempatku tanpa merasa punya tanggung jawab terhadap pekerjaannya yang juga paruh waktu.

Untungnya buat aku punya teman seperti dia? Tak banyak. Tapi aku tak pernah keberatan berteman dengannya karena ia cukup menghargai pertemanan kami. Meskipun kakakku yang tinggal bersamaku sering menganggapnya sebagai parasit, namun aku suka dengan niatnya untuk membantu apa adanya dengan apa yang mungkin aku butuhkan. Dan walaupun tak pernah diminta, ia sering ikut membereskan apartmentku yang sering ditinggal berantakan oleh sejumlah teman yang lain setelah dipakai buat tempat nongkrong khususnya di akhir pekan.

Ia akhirnya harus pulang kembali ke tanah air setelah orangtuanya benar-benar tak sanggup lagi mengirimkan uang untuknya sebelum ia menyelesaikan kuliahnya. Sejak itu aku tak pernah bertemu dengannya hingga 9 tahun lalu di suatu konser musik dimana aku bertindak sebagai manager band yang tampil dan ia sebagai piak penyelenggara acara. Pertemuan kami itu hanya berlangsung singkat karena padatnya kesibukan kami masing-masing untuk mensuksesan acara tersebut sehingga kami tak sempat saling catch up perjalanan hidup kami masing-masing. Ironisnya kami lost contact karena satu dan lain hal dan kami tak pernah behubungan lagi hingga tiga bulan yang lalu ketika aku mengetahui keberadaannya lewat seorang teman lain yang dulu juga kuliah di kota yang sama.

Setelah tarik ulur soal jadwal pertemuan dengan teman-teman lainnya, akhirnya terealisasi juga semalam. Itu sebabnya aku mengajaknya melanjutkan pertemuan berdua saja.
Di suatu teras hotel bintang empat yang ia usulkan kami duduk mengobrol santai menyeruput kopi diiringi gemerisik suara gerimis hujan sambil bernostalgia dan bertukar cerita perjalanan hidup kami sejak kami berpisah. Awalnya aku memang terkagum-kagum mendapati bagaimana ia pandai memanfaatkan koneksi yang banyak ia dapati dari istrinya yang memang datang dari kalangan berada. Yang aku salut darinya, ia sama sekali tidak memanfaatkan kekayaan dari keluarga istrinya...itu satu hal lagi yang dulu membuatku respect terhadapnya...tidak morotin duit orang meski ia sering butuh dana untuk banyak hal.

Aku bisa merasakan keibaannya mendengar kondisi finansialku yang memang sedang terpuruk-puruknya. Meski ia terlihat ingin membantu, namun kami sama-sama tidak menemukan benang merah dengan cara apa bantuan itu bisa diberikan. Aku menolak untuk diberi pinjaman dana karena hanya akan menambah jumlah hutangku sementara aku belum juga dapat bayangan kapan aku bisa mengembalikannya. Sayangnya...di sekian usaha yang dijalankannya, ia menyatakan tidak menemukan posisi yang layak untuk ditawarkan kepadaku. Padahal (sambil bercanda) aku menyatakan siap bekerja bahkan sebagai seorang office boy. Dan akupun sempat berpikir bahwa tak ada solusi untuk masalah finansialku yang bisa didapat dari reuni ini. Sampai akhirnya ada sebuah penawaran darinya yang lalu menggiringku ke fase kaget.

"Whaaat!? Are you serious?? Shut up!! Get the f*ck outa here!! You're bullsh*ting me!! Are you kidding?? C'mon...you're crazy, man!!", dan berbagai ungkapan lain yang mewakili kekagetanku keluar dari mulutku silih berganti sementara ia berusaha meyakinkanku tentang keabsahan ceritanya.

Ia bercerita bahwa sejujurnya bukanlah bisnis-bisnis bersihnya yang membuatnya hidup makmur. Ia juga menjalankan suatu bisnis kotor yang rupanya selama ini memberinya masukan dana yang sangat besar. Dengan suksesnya ia mengembangkan koneksi jetset yang didapat dari istrinya, ia lalu mendapatkan sejumlah kenalan yang menggunakan narkoba...biasanya untuk dugem atau private party. Demand yang cukup tinggi inilah yang kemudian menceburkannya ke dalam bisnis penyediaan narkoba. Nah...dari cerita inilah kemudian sebuah tawaran beracun dilayangkan kepadaku.

Ramainya traffic penyaluran narkoba yang ia handle ini tak diimbangi dengan armada kurir yang tersedia, sehingga ia sampai menawarkanku untuk ambil bagian di dalamnya. "Damn!!", kataku padanya, "Gila aja loe nawarin gue yang gitu-gitu". Aku memang kaget mengetaui bahwa ia menjalankan bisnis haram itu. Tapi tak pernah terduga sedetikpun bahwa buntutnya adalah sebuah tawaran buatku. Semakin sering kutolak, tawaran dengan imbalan yang menggiurkan inipun semakin sering dilemparkan olehnya. Plus, ia membumbui tawaran itu dengan segala hal yang sifatnya menyesatkan. Dari sekedar dapat pengembangan jaringan usaha yang artinya dapat tambahan orderan, jamuan gratis minuman beralkohol (beberapa konsumennya adalah owner cafe yang bertindak sebagai pemasok bagi tamu-tamunya), sampai berkenalan dengan para wanita pemakai yang katanya bispak.

Jujur saja...imbalan uangnya sangat menggiurkan, dari enam ratus ribu hingga satu setengah juta Rupiah per hari bisa aku dapatkan, tergantung dari berapa kali dan kuantitas delivery yang aku mampu lakukan. Dan di akhir pekan, pendapatan itu bisa dobel karena demand yang berlipat juga jumlahnya. Bayangkan...dua puluh hari kerja saja dalam sebulan, dengan pendapatan paling minim, dua belas juta Rupiah sudah terkantongi. Itu hanya apa yang bisa didapat sebagai kurir...bagaimana dengan ia sendiri yang jadi boss? Tak heran kalau ia kaya raya dan hidup bagaikan seorang konglomerat terkenal.

Sejak topik ini mulai diangkat, aku acapkali menggelengkan kepala sambil tersenyum dan bergumam mengisyaratkan ketidakpercayaanku atas temanku ini. Aku memang sedang kesusahan dalam hal finansial, dan sangat membutuhkan dana yang cukup banyak, tak hanya untuk membayar tagihan-tagihan tapi juga untuk mencicil hutang-hutang pribadi yang ada. Tapi seburuk-buruknya kondisi keuanganku ini tak membuat hilang kewarasanku sehingga mau melakukan hal yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsipku sendiri. Yang lebih sering terbayangkan olehku justru betapa malu dan apesnya aku jika aku sampai tertangkap. Mau ditaruh dimana mukaku ini? Itu baru duniawi-nya saja...belum hukuman yang aku harus tanggung kelak di Pengadilan Akhir karena aku ikut merusak hidup banyak orang..!

Temanku ini memang bisa dibilang sudah sangat tersesat dan terperosok jauh ke dalam jurang. Apa yang ia jalani adalah pilihannya sendiri, dan aku cukup jadi seorang teman dekat yang ia kasihani tapi tak perlu ia tolong. Aku berpisah dengannya dengan jabatan tangan dan pelukan brotherhood yang erat...tapi juga tanpa sebuah solusi buat keuanganku. Pesan darinya untuk mengontaknya lagi bila aku berubah pikiran hanya sebatas numpang lewat dari kuping yg satu ke yang lainnya karena penolakanku tak perlu dipertimbangkan dua kali. Phew...begitu hebatnya nafsu ingin kaya yang dideritanya hingga ia melupakan konsekuensi yang akan diterimanya kelak.

Aku sendiri?
Mengendarai sepeda motor matic-ku di kegelapan larut malam yang berawan mendung cukup menjelaskan pada diriku sendiri bahwa masih seperti itulah aku mungkin harus menjalani hari-hari ku untuk sementara waktu ke depan. Entah sampai kapan akan berubah, tapi jika ada perbaikan, in shaa Allah akan kudapatkan di jalan yang diridhoiNya...aamiin.


Saturday, August 27, 2016

Tak Ada Yang Percuma

Saat Jum'at-an kemarin aku terganggu dengan isi khutbah sang khatib. Ia menjelaskan bagaimana orang harus All-Out dalam mempraktekkan agamanya (dalam hal ini Islam), dan kalau tidak, apapun yang dilakukannya tak akan berarti apa-apa. Ia mengambil contoh bagaimana seseorang harus khusyu' total dalam bershalat atau bahkan berwudhu agar shalatnya diterima Allah swt. Ia menyatakan percuma seseorang bershalat kalau ia tak mampu membuat shalatnya layak untuk diterima.
 
Awalnya ia memulai khutbahnya dengan topik kepemimpinan yang baik sehubungan dengan reshuffle kabinet menteri yang belum lama ini dilakukan presiden negeri ini. Pesan moralnya adalah bahwa keputusan reshuffle ini harus berbuah baik karena jika tidak, segala tujuan baik dari sang pemimpin tak akan terhitung. Dari situ sang khatib kemudian memaparkan contoh tentang shalat tadi.
Lhoo...lagi-lagi aku dengar orang bicara seolah ia tau pasti apa yang akan terjadi kelak di peradilan akhirat. Entah apa dasar ilmunya, ia seolah tau apa saja yang nanti akan dan tak akan dihitung.

Yaah...sekali lagi, aku bukan seorang Muslim yang mendalami ilmu agamaku. Dengan kadar pengetahuan yang cetek, aku punya visi yang boleh saja dinilai terlalu sederhana. Dan jujur saja, aku tdak sependapat dengan anggapan sang khatib. Menurutku, setiap tindakan, bahkan yang bentuknya baru berniat, layaknya akan dihitung. Hanya saja sebagai manusia, kita tak akan pernah tau mana yang dinilai sebagai positif atau negatif, dan seberapa besar/kecil nilainya. Yang jelas, tentunya akan ada penimbangan antara yang baik dan yang buruk. Tinggal hasilnya saja yang lalu menentukan kita akan diganjar dengan apa.

Ambil lah contoh yang digunakan sang khatib tadi. Meskipun kita gagal khusyu' dalam menjalankan shalat, namun layaknya niat kita bershalat itu sendiri bisa jadi punya poin positif. Yang aku bayangkan adalah seperti ini...dari kita berwudhu saja artinya kita berniat akan shalat, meskipun ketika berwudhu pun pikiran kita mungkin kemana-mana...misalnya kesal pada orang di samping kita yang menyalakan kran nya begitu deras sehingga kita kena cipratan airnya, dlsb. Sementara sambil melakukan prosesi shalat kita sibuk memikirkan hal lain. Nah, apakah itu artinya shalat kita itu tak akan diterima? Seolah niat kita untuk shalat, lalu berwudhu, lalu mengucapkan bacaan-bacaan dalam shalat, semuanya mubazir? Hanya karena kita tak khusyu'?

Islam (buatku) bukan agama yang mengekang dan memberatkan. Allah swt itu Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Masa' iya Dia tak akan menganggap niat dan usaha baik kita? Siapa sih di dunia ini yang bisa sempurna dalam mempraktekkan Islam? Semua usaha yang positif ya tentunya akan dinilai baik, dan begitu pula sebaliknya. Kalaupun hal-hal yang negatif lebih berat timbangannya dari yang positif, setidaknya kita akan tetap dihadiahi sesuatu atas hal-hal yang positif. Mungkin kompensasinya juga tak sebesar dengan hukuman atas hal-hal negatif-nya...tapi tetap ada. Ibaratnya kita tetap dapat uang capeknya lah.

Apa yang dituturkan sang khatib itu bisa mungkin berimbas buruk pada pendengarnya yang percaya. Misalnya seseorang bisa lalu putus asa karena ia menganggap ia tak mungkin sepenuhnya khusyu'. Yang lebih parah adalah kalau ia lalu memutuskan untuk tak akan shalat lagi (karena sifatnya yang keburu mubazir) sampai waktunya ia sudah merasa mampu untuk khusyu'.
Dalam pola yang dibentuk seperti ini, kalau saja khutbahnya sampai dinilai negatif, bisa jadi pula segala niat baik sang khatib untuk berdakwah telah hangus karenanya. Bukankah begitu?

Buatku, semua perbuatan kita ada konsekwensinya. Tapi konsekwensi masing-masing dari yang positif dan negatif itu tak saling menghapuskan. Tidak membuatnya mubazir atau percuma. Hal yang negatif tak akan menghapuskan hal yang baik, dan juga sebaliknya. Jadi di sisi lain, kalau kita berbuat baik, bukan berati hal buruk yang pernah kita lakukan lalu dianggap tak pernah terjadi. Itu urusannya kelak di akhirat dan hanya Allah swt yang menghakiminya.



Tuesday, August 23, 2016

Imbang


Dari sejak lepas landas menuju sekolah aku sudah merasa ada yang tak biasa dengan lajunya sepeda motorku. Sempat juga aku berhenti sejenak agar aku dan putra-putraku bisa memastikan jika ada cukup angin di dalam ban roda belakang. Tampaknya memang tak ada yang salah ketika itu. Namun setelah melanjutkan perjalanan lebih jauh, kami mendapati ban itu sudah cukup kempes. Artinya, proses pengempesannya berlangsung cukup cepat. Maka aku segera menurunkan mereka dan kembali pulang untuk berganti motor karena meskipun di dekat situ ada tukang tambal ban, proses penambalannya tak mungkin berpihak pada waktu yang dimiliki putra-putraku. Untungnya, waktu masih banyak sehingga mereka akhirnya tiba di sekolah jauh sebelum bel berbunyi.

Sekembalinya aku dari sekolah, aku segera berganti motor lagi untuk aku bawa ke tukang tambal ban terdekat. Apesnya, ternyata penyebab kekempesan itu bukan karena ada lubang tetapi karena pentil yang lepas dari ban dalamnya. Otomatis aku harus menggantinya dengan yang baru dengan ongkos yang tentunya lebih mahal. Nah, disinilah aku jadi lebih apes karena dana yang ada padaku hanya cukup untuk ongkos tambal ban saja...bukan untuk beli ban dalam baru. ATM terdekat berjarak lebih jauh dari pada ke rumah sehingga aku memutuskan untuk berjalan kaki pulang untuk mengambil dana secukupnya dan kembali berjalan kaki lagi untuk mengambil motorku.

Setelah aku kembali dengan motor yang telah digantikan ban dalamnya, aku masih harus mendengar keluhan istri tentang bagaimana hal ini bisa terjadi ketika belum lama yang lalu aku baru saja menambal ban roda yang sama karena kempes juga, dan bagaimana aku bisa bepergian hanya dengan sedikit dana tanpa mempertimbangkan hal-hal yang mungkin mengharuskan aku untuk mengeluarkan dana yang lebih banyak. Bagaimanapun argumentasi kami berakhir, tak sedikitpun terduga olehku bahwa pagi ini akan diwarnai dengan sebuah argumentasi.

Banyak faktor yang memang bisa saja aku jadikan alasan untuk kesal pagi ini..tapi banyak juga hal-hal yang bisa mengimbanginya sehingga aku harus bersyukur.
Penyebab ban sering kempes itu harusnya bukan lagi hal yang dipertanyakan. Dengan rutinitas antar jemput dua orang anak SMP lima hari dalam seminggu, tentunya beban yang ditanggung ban roda belakang bisa dianggap melebihi kapasitasnya. Lalu bagaimana jadinya jika aku tak sering gonta ganti motor? Untungnya aku punya dua motor sehingga aku tak lebih sering kesripahan seperti pagi ini. Kalau mengantar dengan mobil, ban kempes dapat dengan mudah diganti dengan yang serep, namun durasi penggantiannya juga tak mungkin menyempatkan putra-putraku sampai di sekolah on time.

Adanya dua motor itu jugalah yang lalu memungkinkan aku untuk langsung pulang dan mengganti motor pagi ini. Untungnya juga...tempat putra-putraku menungguku mengganti motor bisa dibilang tak jauh-jauh sekali dari rumah sehingga proses penantian mereka cukup singkat dan mereka tak terlambat ke sekolah. Akan lebih apes lagi kami jika motor kedua mengalami masalah. Tapi itu akan jadi lain cerita dan untungnya itu tak terjadi. Yang terjadi hanyalah bahwa aku harus mengeluarkan dana lebih besar dari yang aku harapkan sehingga aku harus bolak balik berjalan kaki ke dan dari rumah untuk bisa mengatasinya. Kalau ternyata jarak tempuh ke rumahku jauh, opsi yang ada adalah bercapek-capek jalan kaki, atau keluar ongkos lagi untuk ojek. Untungnya jarak ke rumah tak membuat proses jalan kaki ku menjadi sesuatu yang melelahkan.

Kalau soal bepergian dengan dana yang tak cukup, namanya ya untung-untungan. Aku mana tau bahwa akan perlu uang melebihi yang ada di dompetku? Bisa saja untuk kasus lain aku harus mengeluarkan dana lebih meskipun aku sedang pegang uang ratusan ribu Rupiah atau bahkan jutaan. Yang penting itu adalah bagaimana aku bisa mendapatkan solusi dari permasalahannya. Dan faktor penunjang solusinya adalah fakta bahwa ada simpanan dana di rumah yang cukup untuk menutupi biaya yang harus aku tanggung. Untung bukan?

Berapa kali aku sebut kata "untung"? Nah, untung itu ada karena aku menilainya secara positif. Dari apes-apes yang aku alami pagi ini tercipta untung-untung yang mengimbanginya.
Ada negatif dan ada positif.
Ada sebab, ada akibat.
Ada masalah, ada solusi.
 
Kita tak akan melulu beruntung, tapi juga tak akan melulu merugi. Untung itu tak hadir sendirian, dan begitu pula sebaliknya dengan rugi. Tinggal bagaimana kita menilai seberapa besar suatu keuntungan dan suatu kerugian. Kalau kita pintar dan bijaksana, harusnya kita bisa membuatnya berimbang. Itu baru yang namanya ikhlas. #batalkesal



Thursday, August 11, 2016

Sekolah Seharian?

Tau-tau ada usulan penerapan program Full Day School dari Menteri Pendidikan yang baru hasil pilihan proyek re-shuffle kemarin. Waduh...apa lagi ini maunya? Apa masih kurang beban sekolah bagi para peserta didik di negeri tercinta ini? Apa masih kurang nge-joss prestasi belajar anak-anak ini? Belum selesai aku terheran-heran dengan fenomena Kurikulum 2013, sekarang ada yang (buatku) lebih menyesakkan dada.

Aku lalu ingat bagaimana aku sibuk ngedumel sendiri ketika melihat kenyataan bahwa melanjutkan studi di luar negeri, khususnya Amerika, itu tidak sesulit yang aku bayangkan sebelum aku akhirnya menjalaninya sendiri. Betapa tidak? Wong hampir segala jerih payah usahaku dalam meraih nilai yang tidak rendah itu seolah mubazir belaka. Termasuk proses penjurusan (ketika itu) IPA dan IPS di SMA yang akhirnya toch tak dilirik sama sekali oleh perguruan tinggi disana. Seandainya aku ketika itu lulus SMA sebagai siswa jurusan IPS, aku akan tetap bisa melanjutkan studiku di mata pelajaran yang (disini) masuk kategori IPA.

Terus...kenapa orang sana tak memilah-milah siswa setingkat SMA-nya seperti orang disini? Disana, siapa saja bebas mengambil jurusan apa saja. Mengapa? Karena lancar tidaknya proses pembelajaran tiap orang ditentukan oleh dirinya sendiri...bukan oleh orang lain seperti pihak pendidik atau institusi pendidikan. Intinya, at the end, bermanfaat atau tidaknya ilmu yang kita punya ya kita sendiri juga yang merasakannya. Sementara para pengajar akan terus melanjutkan tugas mengajarnya pada angkatan-angkatan berikutnya tanpa peduli kita sukses atau gagal setelah dididik.

Ada suatu moment yang begitu menyadarkan aku akan hal yang aku sebut diatas. Di hari-hari terakhir suatu semester, dimana semua mahasiswa sudah menyiapkan diri untuk menghadapi semua ujian dan presentasi akhir, seorang pengajar mata kuliah Struktur Bangunan bertanya pada kami, peserta didiknya, "Menurut anda, apakah anda mendapat cukup ilmu selama mengikuti kelas ini?". Dan sebelum kami sempat menjawab, ia bertanya lagi, "Apakah anda merasa saya perlu mengetes kemampuan anda dalam mata kuliah ini? Intinya, andalah yang selayaknya menilai kemampuan anda, bukan saya. Saya bisa saja mengetes ilmu anda dan membuat anda mengulangi proses belajar anda jika menurut saya anda belum menguasainya. Tapi praktisnya, anda bisa menentukan sendiri anda perlu belajar lagi atau tidak."
Tentunya, dengan kesepakatan bersama, ujian akhir untuk mata kuliah itu tak pernah dilaksanakan. Dan sebagai kompensasinya, kami semua diluluskan dengan nilai cukup yang sama agar adil.

Moral dari peristiwa itu, kami semua diberi tanggung jawab yang sama untuk masa depan kami masing-masing tanpa sang pendidik harus bersusah payah menguji kemampuan kami. Bahwa di kemudian hari mungkin ada diantara kami yang mandek karirnya karena kurangnya ilmu strukturalnya, itu konsekuensinya. Sementara siapapun yang ketika itu telah berhasil menyerap banyak ilmu tapi tak pernah dianugerahi nilai yang super hebat mungkin telah menjadi praktisi konstruksi bangunan yang sukses. Sang pendidik telah melaksanakan tugasnya dalam mendidik tanpa perlu memastikan anak didiknya berhasil menyerap materi didikannya.

Kembali lagi soal proses belajar disini. Ada kecenderungan setiap anak didik harus dan wajib menguasai ilmu yang diajarkan untuk bisa dianggap berhasil dalam proses belajarnya. Entah itu dengan cara penambahan materi belajar, atau jam belajarnya, atau apalah. Padahal keberhasilan mereka dalam belajar di sekolah tidak menjamin keberhasilan mereka dalam pekerjaan yang mereka lakukan kelak setelah selesai sekolah. Aku sangat setuju dengan anggapan bahwa pembelajaran itu bisa didapatkan dimana saja...tak melulu di sekolah. Ini termasuk pembentukan mental yang stabil. Nah sekarang apa iya anak didik disini bisa belajar dengan baik jika konsep dibalik pembelajaran itu sendiri adalah pemaksaan? Dipaksa dapat ilmu lebih dari kemampuan otaknya. Dipaksa belajar lebih lama. Dan seterusnya, dan seterusnya...

Aku prihatin melihat anak-anak sekolah sekarang yang harus memanggul tas yang lebih besar karena berisikan lebih banyak buku pelajaran. Sementara di zamanku dulu, banyak teman yang datang kesekolah dengan hanya menenteng sebuah buku tulis. Dan banyak juga dari mereka yang kini jadi orang sukses. Aling-aling mengurangi materi belajarnya, sekarang malah jam sekolahnya diperpanjang sampai seharian. Lalu hal apa saja yang tersisa buat mereka seusai sekolah setelah mereka penat dengan begitu banyak materi yang dijejalkan ke otak mereka seharian? Ya kalau bisa langsung santai dan beristirahat....kalau masih punya pekerjaan rumah? Kapan istirahatnya? Kapan santainya? Kapan punya waktu untuk bersosialisasi? Kenapa tidak mencontoh pendidikan di luar negeri seperti di Amerika yang memberikan cukup kesempatan pada pelajar untuk (juga) belajar di luar sekolah? Toch makin banyak peserta didik yang membidik negara-negara asing sebagai tempat melanjutkan studi atau bahkan bekerja.

Yang mengkhawatirkan adalah faktor stress yang sangat mungkin akan menyerang anak didik kita disini. Beratnya beban dan tekanan yang didapat dari sekolah bisa mengganggu kejiwaan mereka. Ngeri sekali membayangkan apa yang akan dijadikan pelariannya ketika gangguan kejiwaan itu dialami mereka di usia yang belia. Akhirnya yang ada nanti hanyalah proses belajar yang terhenti di tengah jalan. Sementara konon tujuan usulan sekolah seharian ini adalh untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak didik. Ironis bukan?

Menteri pendidikan yang satu ini harusnya tau dan paham cara mendidik yang tepat. Kalau memang tidak paham, artinya ia (masih juga) perlu belajar dari situasi dan kondisi yang ada. Cobalah menempatkan diri di posisi anak didik kita yang kelak harus sekolah seharian. Aku yakin dengan cara tersebut, menteri ini bisa memberlakukan metode lain yang efisien. Bagaimana aku bisa yakin akan hal itu? Karena dibayar sebesar apapun, aku sendiri tak akan pernah mau kembali ke bangku sekolah untuk belajar lagi..apalagi seharian penuh. Bisa terbayang rasanya bagai dipenjara.
Buatku, banyak tempat yang pantas untukku menimba ilmu yang bermanfaat. Dan sekolah bukan salah satunya....