Saturday, August 27, 2016

Tak Ada Yang Percuma

Saat Jum'at-an kemarin aku terganggu dengan isi khutbah sang khatib. Ia menjelaskan bagaimana orang harus All-Out dalam mempraktekkan agamanya (dalam hal ini Islam), dan kalau tidak, apapun yang dilakukannya tak akan berarti apa-apa. Ia mengambil contoh bagaimana seseorang harus khusyu' total dalam bershalat atau bahkan berwudhu agar shalatnya diterima Allah swt. Ia menyatakan percuma seseorang bershalat kalau ia tak mampu membuat shalatnya layak untuk diterima.
 
Awalnya ia memulai khutbahnya dengan topik kepemimpinan yang baik sehubungan dengan reshuffle kabinet menteri yang belum lama ini dilakukan presiden negeri ini. Pesan moralnya adalah bahwa keputusan reshuffle ini harus berbuah baik karena jika tidak, segala tujuan baik dari sang pemimpin tak akan terhitung. Dari situ sang khatib kemudian memaparkan contoh tentang shalat tadi.
Lhoo...lagi-lagi aku dengar orang bicara seolah ia tau pasti apa yang akan terjadi kelak di peradilan akhirat. Entah apa dasar ilmunya, ia seolah tau apa saja yang nanti akan dan tak akan dihitung.

Yaah...sekali lagi, aku bukan seorang Muslim yang mendalami ilmu agamaku. Dengan kadar pengetahuan yang cetek, aku punya visi yang boleh saja dinilai terlalu sederhana. Dan jujur saja, aku tdak sependapat dengan anggapan sang khatib. Menurutku, setiap tindakan, bahkan yang bentuknya baru berniat, layaknya akan dihitung. Hanya saja sebagai manusia, kita tak akan pernah tau mana yang dinilai sebagai positif atau negatif, dan seberapa besar/kecil nilainya. Yang jelas, tentunya akan ada penimbangan antara yang baik dan yang buruk. Tinggal hasilnya saja yang lalu menentukan kita akan diganjar dengan apa.

Ambil lah contoh yang digunakan sang khatib tadi. Meskipun kita gagal khusyu' dalam menjalankan shalat, namun layaknya niat kita bershalat itu sendiri bisa jadi punya poin positif. Yang aku bayangkan adalah seperti ini...dari kita berwudhu saja artinya kita berniat akan shalat, meskipun ketika berwudhu pun pikiran kita mungkin kemana-mana...misalnya kesal pada orang di samping kita yang menyalakan kran nya begitu deras sehingga kita kena cipratan airnya, dlsb. Sementara sambil melakukan prosesi shalat kita sibuk memikirkan hal lain. Nah, apakah itu artinya shalat kita itu tak akan diterima? Seolah niat kita untuk shalat, lalu berwudhu, lalu mengucapkan bacaan-bacaan dalam shalat, semuanya mubazir? Hanya karena kita tak khusyu'?

Islam (buatku) bukan agama yang mengekang dan memberatkan. Allah swt itu Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Masa' iya Dia tak akan menganggap niat dan usaha baik kita? Siapa sih di dunia ini yang bisa sempurna dalam mempraktekkan Islam? Semua usaha yang positif ya tentunya akan dinilai baik, dan begitu pula sebaliknya. Kalaupun hal-hal yang negatif lebih berat timbangannya dari yang positif, setidaknya kita akan tetap dihadiahi sesuatu atas hal-hal yang positif. Mungkin kompensasinya juga tak sebesar dengan hukuman atas hal-hal negatif-nya...tapi tetap ada. Ibaratnya kita tetap dapat uang capeknya lah.

Apa yang dituturkan sang khatib itu bisa mungkin berimbas buruk pada pendengarnya yang percaya. Misalnya seseorang bisa lalu putus asa karena ia menganggap ia tak mungkin sepenuhnya khusyu'. Yang lebih parah adalah kalau ia lalu memutuskan untuk tak akan shalat lagi (karena sifatnya yang keburu mubazir) sampai waktunya ia sudah merasa mampu untuk khusyu'.
Dalam pola yang dibentuk seperti ini, kalau saja khutbahnya sampai dinilai negatif, bisa jadi pula segala niat baik sang khatib untuk berdakwah telah hangus karenanya. Bukankah begitu?

Buatku, semua perbuatan kita ada konsekwensinya. Tapi konsekwensi masing-masing dari yang positif dan negatif itu tak saling menghapuskan. Tidak membuatnya mubazir atau percuma. Hal yang negatif tak akan menghapuskan hal yang baik, dan juga sebaliknya. Jadi di sisi lain, kalau kita berbuat baik, bukan berati hal buruk yang pernah kita lakukan lalu dianggap tak pernah terjadi. Itu urusannya kelak di akhirat dan hanya Allah swt yang menghakiminya.