Sunday, August 28, 2016

Sebuah Tawaran

This is so freakin' seriously true..!!

Semalam selepas reuni dengan beberapa teman lama di sebuah cafe, aku memutuskan untuk pindah ke tempat lain yang masih buka bersama salah seorang dari mereka ketika yang lainnya beranjak pulang. Memang aku lah yang mengajak temanku ini untuk memperpanjang pertemuan sambil mengopi karena dulu ia termasuk teman dekatku. Di samping itu, aku ingin lebih banyak tau tentang kesuksesannya dalam berbagai usaha yang dijalankannya. Hitung-hitung aku mengharap bisa belajar banyak darinya untuk bisa sukses. Mungkin dapat link baru yang bisa bermanfaat buat apapun usaha yang pas buatku.

Aku tidak mengagumi mobil Pajero model terkini yang ia kendarai semalam, atau tempat tinggalnya di Pantai Indah Kapuk yang terkenal elit itu, tapi aku kagum dengan keberhasilannya membalikkan nasibnya 180 derajat. Aku ingat dulu ketika masih di negeri seberang ia sering nongkrong di apartment-ku karena ia tak punya punya makanan di tempat tinggalnya. Saking seringnya hingga ia berkali-kali menginap karena malas melakukan perjalanan yang cukup jauh dengan kereta komuter di malam hari. Ia juga tergolong pemalas dalam menjalankan tugasnya sebagai loper koran di pagi hari, padahal kiriman dana dari orangtuanya pas-pasan hanya cukup untuk biaya kuliah paruh waktunya. Itu juga faktor yang membuatnya lebih suka menginap di tempatku tanpa merasa punya tanggung jawab terhadap pekerjaannya yang juga paruh waktu.

Untungnya buat aku punya teman seperti dia? Tak banyak. Tapi aku tak pernah keberatan berteman dengannya karena ia cukup menghargai pertemanan kami. Meskipun kakakku yang tinggal bersamaku sering menganggapnya sebagai parasit, namun aku suka dengan niatnya untuk membantu apa adanya dengan apa yang mungkin aku butuhkan. Dan walaupun tak pernah diminta, ia sering ikut membereskan apartmentku yang sering ditinggal berantakan oleh sejumlah teman yang lain setelah dipakai buat tempat nongkrong khususnya di akhir pekan.

Ia akhirnya harus pulang kembali ke tanah air setelah orangtuanya benar-benar tak sanggup lagi mengirimkan uang untuknya sebelum ia menyelesaikan kuliahnya. Sejak itu aku tak pernah bertemu dengannya hingga 9 tahun lalu di suatu konser musik dimana aku bertindak sebagai manager band yang tampil dan ia sebagai piak penyelenggara acara. Pertemuan kami itu hanya berlangsung singkat karena padatnya kesibukan kami masing-masing untuk mensuksesan acara tersebut sehingga kami tak sempat saling catch up perjalanan hidup kami masing-masing. Ironisnya kami lost contact karena satu dan lain hal dan kami tak pernah behubungan lagi hingga tiga bulan yang lalu ketika aku mengetahui keberadaannya lewat seorang teman lain yang dulu juga kuliah di kota yang sama.

Setelah tarik ulur soal jadwal pertemuan dengan teman-teman lainnya, akhirnya terealisasi juga semalam. Itu sebabnya aku mengajaknya melanjutkan pertemuan berdua saja.
Di suatu teras hotel bintang empat yang ia usulkan kami duduk mengobrol santai menyeruput kopi diiringi gemerisik suara gerimis hujan sambil bernostalgia dan bertukar cerita perjalanan hidup kami sejak kami berpisah. Awalnya aku memang terkagum-kagum mendapati bagaimana ia pandai memanfaatkan koneksi yang banyak ia dapati dari istrinya yang memang datang dari kalangan berada. Yang aku salut darinya, ia sama sekali tidak memanfaatkan kekayaan dari keluarga istrinya...itu satu hal lagi yang dulu membuatku respect terhadapnya...tidak morotin duit orang meski ia sering butuh dana untuk banyak hal.

Aku bisa merasakan keibaannya mendengar kondisi finansialku yang memang sedang terpuruk-puruknya. Meski ia terlihat ingin membantu, namun kami sama-sama tidak menemukan benang merah dengan cara apa bantuan itu bisa diberikan. Aku menolak untuk diberi pinjaman dana karena hanya akan menambah jumlah hutangku sementara aku belum juga dapat bayangan kapan aku bisa mengembalikannya. Sayangnya...di sekian usaha yang dijalankannya, ia menyatakan tidak menemukan posisi yang layak untuk ditawarkan kepadaku. Padahal (sambil bercanda) aku menyatakan siap bekerja bahkan sebagai seorang office boy. Dan akupun sempat berpikir bahwa tak ada solusi untuk masalah finansialku yang bisa didapat dari reuni ini. Sampai akhirnya ada sebuah penawaran darinya yang lalu menggiringku ke fase kaget.

"Whaaat!? Are you serious?? Shut up!! Get the f*ck outa here!! You're bullsh*ting me!! Are you kidding?? C'mon...you're crazy, man!!", dan berbagai ungkapan lain yang mewakili kekagetanku keluar dari mulutku silih berganti sementara ia berusaha meyakinkanku tentang keabsahan ceritanya.

Ia bercerita bahwa sejujurnya bukanlah bisnis-bisnis bersihnya yang membuatnya hidup makmur. Ia juga menjalankan suatu bisnis kotor yang rupanya selama ini memberinya masukan dana yang sangat besar. Dengan suksesnya ia mengembangkan koneksi jetset yang didapat dari istrinya, ia lalu mendapatkan sejumlah kenalan yang menggunakan narkoba...biasanya untuk dugem atau private party. Demand yang cukup tinggi inilah yang kemudian menceburkannya ke dalam bisnis penyediaan narkoba. Nah...dari cerita inilah kemudian sebuah tawaran beracun dilayangkan kepadaku.

Ramainya traffic penyaluran narkoba yang ia handle ini tak diimbangi dengan armada kurir yang tersedia, sehingga ia sampai menawarkanku untuk ambil bagian di dalamnya. "Damn!!", kataku padanya, "Gila aja loe nawarin gue yang gitu-gitu". Aku memang kaget mengetaui bahwa ia menjalankan bisnis haram itu. Tapi tak pernah terduga sedetikpun bahwa buntutnya adalah sebuah tawaran buatku. Semakin sering kutolak, tawaran dengan imbalan yang menggiurkan inipun semakin sering dilemparkan olehnya. Plus, ia membumbui tawaran itu dengan segala hal yang sifatnya menyesatkan. Dari sekedar dapat pengembangan jaringan usaha yang artinya dapat tambahan orderan, jamuan gratis minuman beralkohol (beberapa konsumennya adalah owner cafe yang bertindak sebagai pemasok bagi tamu-tamunya), sampai berkenalan dengan para wanita pemakai yang katanya bispak.

Jujur saja...imbalan uangnya sangat menggiurkan, dari enam ratus ribu hingga satu setengah juta Rupiah per hari bisa aku dapatkan, tergantung dari berapa kali dan kuantitas delivery yang aku mampu lakukan. Dan di akhir pekan, pendapatan itu bisa dobel karena demand yang berlipat juga jumlahnya. Bayangkan...dua puluh hari kerja saja dalam sebulan, dengan pendapatan paling minim, dua belas juta Rupiah sudah terkantongi. Itu hanya apa yang bisa didapat sebagai kurir...bagaimana dengan ia sendiri yang jadi boss? Tak heran kalau ia kaya raya dan hidup bagaikan seorang konglomerat terkenal.

Sejak topik ini mulai diangkat, aku acapkali menggelengkan kepala sambil tersenyum dan bergumam mengisyaratkan ketidakpercayaanku atas temanku ini. Aku memang sedang kesusahan dalam hal finansial, dan sangat membutuhkan dana yang cukup banyak, tak hanya untuk membayar tagihan-tagihan tapi juga untuk mencicil hutang-hutang pribadi yang ada. Tapi seburuk-buruknya kondisi keuanganku ini tak membuat hilang kewarasanku sehingga mau melakukan hal yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsipku sendiri. Yang lebih sering terbayangkan olehku justru betapa malu dan apesnya aku jika aku sampai tertangkap. Mau ditaruh dimana mukaku ini? Itu baru duniawi-nya saja...belum hukuman yang aku harus tanggung kelak di Pengadilan Akhir karena aku ikut merusak hidup banyak orang..!

Temanku ini memang bisa dibilang sudah sangat tersesat dan terperosok jauh ke dalam jurang. Apa yang ia jalani adalah pilihannya sendiri, dan aku cukup jadi seorang teman dekat yang ia kasihani tapi tak perlu ia tolong. Aku berpisah dengannya dengan jabatan tangan dan pelukan brotherhood yang erat...tapi juga tanpa sebuah solusi buat keuanganku. Pesan darinya untuk mengontaknya lagi bila aku berubah pikiran hanya sebatas numpang lewat dari kuping yg satu ke yang lainnya karena penolakanku tak perlu dipertimbangkan dua kali. Phew...begitu hebatnya nafsu ingin kaya yang dideritanya hingga ia melupakan konsekuensi yang akan diterimanya kelak.

Aku sendiri?
Mengendarai sepeda motor matic-ku di kegelapan larut malam yang berawan mendung cukup menjelaskan pada diriku sendiri bahwa masih seperti itulah aku mungkin harus menjalani hari-hari ku untuk sementara waktu ke depan. Entah sampai kapan akan berubah, tapi jika ada perbaikan, in shaa Allah akan kudapatkan di jalan yang diridhoiNya...aamiin.