Thursday, March 16, 2017

Lancang

Rupanya kemarin istriku baru beres-beres sebuah sudut rumah yang selama ini dijadikan tempat penimbunan berbagai barang termasuk barang-barang miliknya sendiri. Memang jenis barang paling banyak disitu adalah buku dan kertas milik kedua putraku. Maklumlah...mungkin memang lelaki umumnya tidak mudah membuang barangnya meskipun tak terpikirkan kegunaannya. Kebanyakan mereka cenderung menyimpannya dengan konsep pemikiran kelak suatu hari nanti ada manfaatnya.

Diantara barang-barang itu ditemukan sebuah foto putra sulungku bersama seorang tukang parkir yang merupakan bagian dari tugas sekolahnya dua tahun silam. Saat itu ia harus mencari dan mewawancarai seorang pekerja lepasaan yang pendapatannya tidak tetap, kemudian mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan disertai foto dirinya bersamanya (sebagai bukti kebenaran wawancaranya). Kebetulan sekali tukang parkir ini dulu pernah bekerja sebagai tukang sapu di sekitar sekolah dasar putraku sehingga ia bukan lagi sosok asing buat putraku.

Dan foto yang dulu disertakan dengan tulisannya secara terpisah itu ditempelkan di atas selembar kertas berwarna berukuran lebih besar sehingga terkesan berbingkai. Fotonya terbilang bagus karena memang putraku ini hanya lebih mudah tersenyum jika difoto bersama teman atau kenalannya dibanding jika bersama ayah atau ibunya. Namun entah sebagus apapun nilai yang mungkin ia dapat, faktanya adalah foto dan tulisannya itu telah begitu lama tak terlihat diantara tumpukan kertas di pojok ruangan. Aku sendiri juga baru melihatnya semalam tergeletak di atas meja makan setelah dipisahkan dari barang-barang yang dianggap sebagai sampah dan telah dibuang sorenya.

Aku sempat mengamati foto itu beberapa saat, mengagumi senyum sekaligus kreatifitas putraku membuatnya lebih menarik. Mungkin ia sudah tak terlalu peduli lagi dengan foto ini, tapi setidaknya ia pernah memberikan perhatian yang besar dalam pengerjaannya sampai memberi kesan berbingkai. Terlintas dalam pikiranku untuk suatu hari nanti memberinya sebuah bingkai foto berkaca jika memang putraku ingin menyimpannya seperti itu. Maka aku berencana untuk membicarakannya siang ini dengannya setelah ia pulang sekolah.

Sayangnya...semua rencanaku buyar setelah pagi tadi istriku menggunting foto itu dan membuang setengah bagiannya sang tukang parkir. Otomatis foto itu tidak semenarik sebelumnya karena meski senyum putraku masih terlihat namun bingkainya sendiri hanya tersisa setengah. Lhah...apa bagusnya bingkai begitu?? Ini kebiasaan istri menyunting foto orang lain seenaknya. Belum lagi kalau memang ia belum dapat izin sebelumnya dari putraku.

Aku lalu teringat apa yang ia lakukan dulu dengan koleksi foto lamaku yang tersusun rapih di dua album foto. Dulu khan belum ada sistem foto digital sehingga semuanya berbentuk cetakan. Apalagi internet yang menyediakan banyak tempat untuk menyimpan foto digital. Jadi satu-satunya cara menyimpan foto kenangan ya dengan menggunakan album foto. Aku rajin mengumpulkan foto masa kecilku yang kudapat dari orangtuaku, dan alhamdulillah foto-foto itu selamat tak tersentuh. Tapi beberapa fotoku bersama teman wanita atau foto teman-temanku wanita (semua bukan mantan) kena screening. Ia menggunting atau mengganti dengan fotonya. Alasannya...aku sudah memasuki hidup baru sebagai suaminya sehingga fotonya harus ada lebih banyak dari foto wanita lainnya.

Ketika itu aku marah besar atas kelancangannya itu. Aku menyatakan bahwa apa yang aku simpan dalam album itu merupakan dokumentasi dari perjalanan hidupku. Semua orang yang fotonya aku simpan di dalamnya punya makna tersendiri buatku. Dari waktu ke waktu aku perlu diingatkan tentang pernah seperti apa aku dan hidup yang pernah aku jalani sehingga aku bisa terus belajar menjadi a better person. Dan jika ia ingin foto-fotonya menjadi bagian dari albumku itu, seharusnya aku yang menentukan di halaman mana dan seperti apa diikutsertakannya.
Hanya saja, kekesalan dan kemarahanku itu tak berefek banyak karena foto-foto yang kena screening sudah dibuangnya dan tak mungkin kudapatkan kembali. Seiring waktu berjalan, proses pengisian album-album foto itupun terhenti secara berkala dengan hadirnya kamera digital, scanner dan internet.

Yang mengejutkan adalah...tujuhbelas tahun kemudian, putraku menjadi korban tabiat buruk ibunya yang ternyata masih dipertahankan. Pheeww.... 


Wednesday, March 15, 2017

Seteguk Air

Hari ini aku pergi lagi ke gedung Setiabudi dengan menggunakan layanan Gojek. Dan seperti yang sudah-sudah, seusainya urusanku disana aku selalu berjalan kaki sekitar satu setengah kilometer untuk sampai ke titik ideal buatku memesan layanan Gojek kembali ke rumah. Hal ini perlu aku lakukan guna menghindari rute perjalanan yang memutar agar aku bisa berhemat di ongkos Gojek-nya.

Nah, kebetulan siang tadi langitnya sangat cerah sehingga sinar matahari-nya terasa menyengat dan udaranya cukup terasa panas. Sebenarnya aku tak berencana untuk jajan makanan atau minuman, karena aku memang bawa uang pas-pasan, apalagi biasanya di daerah komersial dan perkantoran seperti disitu harga-harga panganan bisa lebih tinggi dari umumnya. Namun perjalanan panjang itu membuat perut kosongku yang memang belum terisi sejak pagi seolah tak mau diajak kompromi ketika aku melewati sebuah gerobak gorengan. Untung saja harga gorengan tersebut masih normal sehingga aku memutuskan untuk membeli tiga potong risol buat sanguku selama berjalan kaki.

Sanyangnya, tak satupun kutemui tempat yang menjual air mineral dalam kemasan gelas. Ukuran kemasan air mineral terkecil yang mereka sediakan adalah botol 500ml. Koq lucu ya...seolah semua pedagang disitu kompak tidak menyetok kemasan gelas bermerk apapun. Jadi bisa dikatakan bahwa siapapun yang butuh air mineral harus mau membayar untuk kemasan botolan meskipun tak sebanyak itu air yang mereka butuhkan.

Jujur saja aku sangat butuh minum saat itu, namun dilain sisi aku tak perlu air sebanyak satu botol untuk mengimbangi tiga potong gorengan yang tengah aku makan. Lha wong gorengan saja hanya kubeli sesedikit itu demi menghemat biaya dan itupun karena perut yang sudah bersenandung, bagaimana mungkin aku harus merogoh kocek lebih banyak untuk jumlah air yang tak kubutuhkan? So...aku memenangkan ego-ku dengan menahan haus selama perjalanan pulangku.

Dalam keadaan yang sedikit beda dimana aku punya dana lebih, aku yakin aku tak akan berpikir dua kali untuk membeli sebotol air minum. Kalaupun tak habis diminum saat itu, aku kemungkinan akan menyimpan sisanya untuk waktu yang lain. Tapi aku memang tadi terjepit diantara kebutuhan dan kemampuan membeli yang saling tidak mendukung satu sama lain. Keinginan untuk melepaskan diri dari dahaga yang sempat menggila harus aku abaikan demi mendukung program penghematan yang dtaku jalani.

Tenggorokanku memang sempat terasa amat seret, tapi air gratisan yang kuteguk sesampaiku di rumah menjadi terasa jauh lebih nikmat dan melegakan. Memang kemenangan yang didapat lewat perjuangan berat biasanya terasa lebih manis...



Monday, March 13, 2017

Berlatih (tidak) Bicara

Semalam aku melakukan brain storming dengan adikku hingga larut sekitar jam dua. Sudah sekitar 5 tahun lamanya aku tidak melakukan pertemuan one-on-one dengannya sejak terakhir kami bertemu di sebuah cafe. Pertemuan semalam kami lakukan di rumahnya karena ia merasa lebih leluasa untuk bicara tanpa batasan waktu. Nah...soal "bicara" ini yang jadi topik tulisanku ini.

Umurnya hanya terpaut satu setengah tahun dari umurku, dan ketika kami kecil dulu hingga aku selesai SMA, kamar kami bersebelahan dengan sebuah pintu yang penghubung yang nyaris tak pernah tertutup. Jadi bisa dikatakan diantara kami enam bersaudara, ia lah yang paling kenal karaterku dan begitupun sebaliknya. 

Salah satu ciri khas darinya adalah bahwa ia doyan sekali berbicara. Tak hanya itu, ia bukanlah seorang pendengar yang baik. Bukan berarti ia tidak mengindahkan apa yang didengar, tapi ia cenderung tak sabar untuk menunggu lawan bicaranya selesai berbicara. Hal ini membuatnya sering memotong pembicaraan lawan bicaranya. Tak jarang ia bisa tertidur dalam rapat dengan boss-nya di saat ia tak mungkin menyelanya.

Begitulah yang terjadi semalam. Dan saking lamanya tak bicara man-to-man dengannya, aku sampai lupa kebiasaannya itu. Berkali-kali di awalnya aku terjebak situasi dimana ia memotong pembicaraanku. Padahal kebanyakan apa yang aku coba utarakan merupakan respon dari pertanyaannya buatku. Seolah ia sebenarnya tak butuh jawaban dariku, ia bisa nyelonong begitu saja melanjutkan bicaranya. Huff...sesaat sempat kesal juga aku dibuatnya, hingga aku teringatkan kembali tentang kebiasaannya ini.

Namun, aku tak marah padanya. Aku juga tak lalu ngoyo untuk menyelesaikan dulu jatah giliranku yang dipotong olehnya mengingat ada tiga hal yang jadi pertimbanganku. Pertama, apa gunanya pula aku bicara jika ia hanya akan terkantuk-kantuk mendengarkannya? Disamping itu, pertemuan semalam ini dimaksudkan agar ia bisa menjelaskan panjang lebar tentang sebuah proyek yang sedang dirintisnya dimana aku diajak terlibat di dalamnya. Jadi aku rasa selain yang formatnya pertanyaan tentang proyek ini, penting tidaknya apapun yang terucap dariku untuk diresponi memang ia yang berhak menentukan. Dan yang terakhir...yang bermanfaat buatku juga...ini bagaikan sebuah pelatihan untuk membatasi diri dalam bicara.

Aku masih sering terlambat menyadari setelah aku kebablasan dalam bicara. Tak berarti aku ngember bocor, tapi mengutarakan lebih dari yang diperlukan saja. TMI...Too Much Information, kalau istilahnya orang seberang. Masih harus banyak melatih diri aku ini dalam soal angkat bicara. Dan punya lawan bicara seperti adikku, dengan kondisi seperti semalam menjadi suatu hal yang bermanfaat buatku untuk belajar nge-rem sekaligus berpahala membuat orang lain senang karena diberi keleluasaan bicara sepuasnya. :p




Sunday, March 12, 2017

Duniawi - Ukhrawi

Makin hari aku makin sering mendapatkan kiriman-kiriman pengingatan, baik lewat medsos ataupun Whatsapp, akan pentingnya kita sebagai umatNya mengesampingan segala hal yang sifatnya duniawi dan memperjuangkan kebaikan kelak di akhir zaman.

Aku senang jika sering diingatkan seperti itu...ketimbang melihat kiriman sampah tentang politik yang belakangan berserakan dimana-mana. Pengingatan itu menyadarkan aku bahwa aku ini sangat kecil dan masih harus banyak belajar. Belajar dari mereka yang punya kesederhanaan dalam menjalani hidupnya. Yang sudah merasa cukup dengan segala kelebihannya yang bagi orang lain bisa dianggap sebagai kekurangan. Mereka bagaikan MacGyver yang bisa memanfaatkan apapun yang mereka punya demi kelangsungan hidup mereka. Aah...betapa bahagianya bila aku bisa seperti itu, tak perlu cemas dengan masalah keduniawian.

Tapi di sisi lain, sebagai seorang kepala keluarga, aku adalah lelaki yang punya tanggung jawab dalam menafkahi keluargaku. Meski sudah mencoba berusaha mati-matian, kalau aku tak mampu memberi makan mereka tentunya pikiranku jadi terbebani. Aku bisa saja menahan lapar dan mengurangi jatah makanku tiap hari...tapi apakah aku tak berdosa jika anak istriku juga terpaksa harus begitu? Kalaupun mereka dengan ikhlas menerima situasi seperti itu, in shaa Allah mereka akan mendapatkan imbalan pahalanya, tapi apa iya aku juga akan terbebaskan karena keikhlasan mereka?

Tak hanya itu, aku juga punya kewajiban memberi suatu tempat yang layak untuk mereka. Tempat dimana mereka bisa terlindungi dari cuaca dan alam yang tak selalu ramah, dan segala hal yang mungkin bisa merugikan mereka. Aku tak punya pakem harus seperti apa tempat itu, namun wajarnya jarang sekali ada tempat yang tak perlu didukung faktor-faktor keduniawian. Dimanapun kita tinggal, tentunya kita akan butuh akomodasi tertentu untuk mendukungnya seperti air dan listrik yang tak bisa didapatkan secara cuma-cuma. Oke sebutlah untuk penerangan aku hanya memakai lilin atau lampu templok. Untuk masak aku pakai kompor minyak, atau bahkan sesederhana pakai kayu sebagai sumber apinya. Tapi kesemua itu khan tak ada yang bisa didapat secara gratisan? Mau dapat kayu dari pohon? Pohonnya siapa? Mau menanam dan membesarkan pohon sendiri? Berapa lama sampai pohon itu cukup besar untuk dipreteli menjadi kayu bakar?

Kalau dalam kondisi seperti sekarang ini, sepertinya akan sangat sulit untuk tak mencemaskan tentang keduniawian. Aku percaya akan diberi jalan keluar olehNya, namun sementara aku bekerja sambil menunggu solusinya dengan penuh keihlasan, keluargaku punya keperluan primer yang tak mungkin diabaikan, seperti makan, sekolah dan berobat ketika sakit. Ini yang membuat ikhlasku jadi setengah-setengah. Aku bukannya memilah milih pekerjaan yang pantas aku lakoni, namun aku juga harus mentargetkan apa yang bisa aku dapatkan yang layaknya sepadan dengan waktu dan effort yang aku berikan untuk pekerjaan itu. Sebagai manusia, aku tetap mencari kepuasan.

"Manusia memang tak pernah puas", kata kebanyakan orang. Benar...tapi kepuasan tiap individu tidak sama. Ada yang tak puas meski sudah kaya raya dan seolah tak ada yang tak mungkin terbeli olehnya sehingga ia hanya menghambur-hamburkan kekayaannya untuk hal-hal yang sepele.
Kalau boleh aku berdalih, kepuasanku aku set di level hidup yang sederhana saja...tak muluk-muluk. Tak perlu rumah besar, mobil dan lifestyle yang sedikit-sedikit merogoh kocek untuk dapat hiburan. Mengontrak rumah petakan pun tak mengapa, yang penting cukup layak buat memayungi keluarga dengan baik. Kemana-mana bisa pakai kendaraan umum karena tak punya kendaraan pribadi juga oke. Kalau perlu pengobatan, ke Puskesmas-pun boleh...seperti yang kulakukan sekarang. Tapi kontrakan, angkutan umum dan dokter puskesmas itu bagaimana harus dibayarnya kalau dananya tidak ada?

Aku tau betapa pentingnya concern pada kehidupan ukhrawi, tapi bukan berarti yang duniawi tidak penting. Jauh kalah penting...memang, tapi kita sebagai umatNya juga punya tugas-tugas duniawi yang wajib dibereskan dengan baik...apalagi buat seorang kepala keluarga seperti aku. Dan baik atau buruknya hasil kerja kita menangani hal-hal yang duniawi juga akan mempengaruhi nilai rapor kita yang akan dibuka dan dibacakan di akhir masa nanti.
Sebab itulah, sejujurnya, aku masih sering belum bisa menerapkan konsep "Tinggalkan yang duniawi demi yang ukhrawi", karena aku berharap bisa dapat referensi yang baik kelak dari semua perbuatan baikku selama hidup di dunia. Bukannya aku lebih mementingkan keduniawian di atas keukhrawian, tapi justru keukhrawian itulah yang menjadi alasanku (seolah) mendahulukan keduniawian.

Harta yang aku punya dan akan aku punya memang tak akan kubawa mati, tapi sesedikitpun harta itu kuharapkan bisa memberi kebaikan dan kenyamanan bagi hidup keluargaku. In shaa Allah kebaikan dan kenyamanan mereka bisa kelak memberi kebaikan dan kenyamanan padaku kelak di akhirat. Jadi kalau aku lebih memilih uring-uringan, kesal, bete, menangis, bingung sambil meratapi nasibku yang kuanggap masih belum baik, berarti aku tak hanya sedang cemas akan kehidupanku di dunia, tapi juga di akhirat....

Thursday, March 9, 2017

Sebuah Perjalanan Musik

Grup band SMA angkatanku yang aku ikuti sejak sekitar dua tahun terakhir ini rencananya akan tampil lagi untuk ke tiga kalinya pada ajang yang sama di venue yang sama pula, Hard Rock Cafe, Jakarta hari ini. Sebenarnya kami tak seharusnya dapat jatah tampil untuk ajang yang digelar per enam bulanan ini karena sesuai dengan aturan yang ada sebelumnya, setiap band yang telah tampil dua kali berturut-turut tidak diperkenankan ikut di satu ajang berikutnya. Nah, dengan keikutsertaan kami di ajang kedua dan ketiga yang lalu, otomatis kami harusnya, dalam istilah kepanitiaannya, meliburkan diri di ajang keempat ini, dan akan boleh kembali ikutan di ajang yang kelima bulan November depan.

Buatku, aturan ini sangat bisa diterima mengingat makin banyaknya band yang berminat ikutan di setiap ajangnya sehingga semua bisa berkesempatan menjadi bagian dari sejarah perjalanan ajang pagelaran musik band alumni sekolahku ini. Lagipula aku juga dengan senang hati bersedia rehat dan hanya datang sebagai penonton saja, atau aku bisa tampil dengan formasi band dan genre yang berbeda. Hitung-hitung semacam refreshing saja. Belum lagi fakta bahwa ajang kali ini kembali akan digelar di venue yang sama. Padahal, pada meeting pasca ajang terakhir bulan november lalu, telah disepakati bahwa ajang berikutnya akan diselenggarakan di venue lain yang dinilai lebih baik.

Sekedar info saja, segenap keluarga besar komunitas band alumni kami ini sebenarnya sempat sangat kecewa dengan kerjasama yang kami jalani dengan pihak venue di ajang-ajang yang silam. Dari kurang baiknya penanganan teknis seputar sound system hingga pemungutan dana f&b yang dilakukan pihak venue secara terselubung dengan memanfaatkan para tamu yang sebagian besar para alumni yang sukses dan sebagian cenderung ingin mengekspos kesuksesan mereka dengan cara menghambur-hamburkan uangnya selama ajang ini berlangsung. Hasilnya, ada saja suara kekecewaan datang dari tetamu yang saat itu merasa dianak tirikan oleh pihak venue, misalnya tidak dilayani kecuali bersedia membayar lebih dari yang seharusnya dibayar, atau tidak mendapatkan tempat duduk (yang disepakati sebelumnya harusnya disediakan secara gratis) jika tidak mengeluarkan biaya yang dipungut tanpa sepengetauan panitia acara.

Namun...semua jadi berbeda karena tahun ini sekolah almamaterku genap berusia sembilanpuluh tahun. Nah karena ajang ini memang bagian dari rangkaian acara peringatan momen bersejarah itu, dirombaklah pakem-pakem yang sudah ada di banyak sektor. Mulai dari penetapan venue yang sama lagi, diizinkannya band apapun untuk tampil meski telah ikutserta di dua ajang terakhir seperti halnya band ku, hingga diberlakukannya konsep "Tribute of". Aturan baru yang juga ditetapkan adalah bahwa setiap personil tidak diperkenankan bermain di lebih dari satu grup band. Aturan inilah yang mungkin mem-backup-i diizinkannya band-band seperti bandku tampil lagi. Dampaknya buat personil seperti aku, yang di ajang terakhir sempat tampil dengan dua band yang berbeda, kali ini harus memilih band mana yang ingin diikutsertai. Dan orang seperti aku yang bermain di dua grup dalam satu ajang ini jumlahnya tidak sedikit.

Dari awal, aku sebenarnya tidak antusias untuk tampil dengan band angkatanku karena sama sekali tidak ada wacana itu sejak November lalu. Hanya saja, aku tak mungkin tidak menerima ajakan bandmates ku untuk ikutan lagi kali ini. Mereka bahkan sangat senang dapat kesempatan tampil lagi jauh lebih awal dari yang direncanakan mengingat penyelenggaraan ajang ini dimajukan dari Mei. Di lain sisi, band ku yang satu lagipun tak mungkin tampil karena para anggota lainnya (terpaksa) memilih menjadi bagian dari band-band lain yang akan berpartisipasi juga hari ini. Maka jadilah aku kembali ikut merencanakan pemetasan kami meski untuk kali ini, gitaris kami sudah menyatakan akan absen dari sejak awal karena bentroknya jadwal dengan urusan kerjaannya.

Secara berkala kami menjalani pelatihan dengan segala keterbatasan kami. Sangat jarang sesi latihan band kami dihadiri semua anggotanya. Kalau lengkap pun, artinya dengan posisi gitaris yang hingga minggu lalu masih kosong. Yah...segala kekurangan ini yang membuatku makin tidak yakin kami akan tampil dengan baik. Rasanya malas sekali aku menjalani sesi latihan yang tak kunjung membuahkan hasil yang membaik. Apalagi menurutku, besarnya antusias bandmates ku tak diimbangi dengan effort berlatih yang optimal. Mungkin bagi mereka, tampil di ajang seperti ini bagaikan sekedar cari fun saja. Tapi bagiku, momen seperti ini akan selalu meninggalkan kesan berarti dalam hidupku, sehingga aku tak ingin hanya sekedar tampil bak layaknya naik panggung secara spontan di acara-acara keluarga, kelurahan, interen kantor atau semacam itulah pokoknya.

Minggu lalu, di tengah kesibukanku menjalani persiapan tampil yang melulu didasari azas solidaritas terhadap bandmates ku, tiba-tiba aku dikontak oleh kakakku yang memberi update terkini tentang usaha yang kami rintis bersama sekitar enam tahun lalu, sekaligus menugaskanku untuk menindaklanjutinya dengan melakukan kunjungan ke luar kota selama dua hari mulai hari ini. Wah...sudah sewajarnya bila ada rasa senang mengingat usaha ini sempat terkatung-katung tanpa kejelasan selama tiga tahun lebih. Jika saat ini ada secercah harapan baru yang tersaji di depanku, apalagi aku berkesempatan untuk pergi jauh meninggalkan sejenak kehidupanku yang kian semu di kota besar yang makin membosankan ini, selayaknya aku merasa overwhelmed.
Namun kegembiraanku tak terasa full...

Yang kemudian menyita pikiranku adalah bagaimana aku mengabarkan kepada bandmatesku bahwa aku akan berhalangan untuk ikut tampil mengingat tugas ini mutlak tak mungkin aku tolak. Bahwa pada akhirnya setelah bertahun-tahun bersusah payah mencari dan menunggu kesempatan untuk bertemu para pejabat setempat yang berwenang, tiba-tiba peluang itu datang. Tapi bagaimana mungkin aku mundur begitu saja setelah sekian lama justru akulah yang selama ini memotivasi yang lainnya dalam melakukan persiapan penampilan kami? Di satu sisi aku punya komitmen terhadap band ku. Sementara di sisi lain aku juga lebih dahulu membuat komitmen pada semua pihak yang sejak awal menjadi bagian dari usaha yang aku jalani bersama kakakku itu. Belum lagi ribuan orang yang nasibnya bergantung pada usaha ini.

Akhirnya memang fakta ini tidak mungkin tidak ditelan bandmates ku dengan penuh kekecewaan. Dan akupun telah siap menerima kenyataan bahwa jika sampai batal tampil, aku tak urung akan jadi penyebab utamanya. Namun fakta ini sama sekali tak melenturkan kebulatan tekad mereka untuk tetap tampil meski jika nantinya mereka tak menemukan penggantiku. Ini yang lalu membuatku kembali bersemangat untuk tetap andil dalam membantu persiapan mereka termasuk mencarikan pengganti ku dan gitaris ku. Dan alhamdulillah, sehari setelah berita penugasan itu aku terima, aku juga berhasil meminang seorang adik kelas untuk mengisi posisi gitaris yang sebenarnya berencana untuk off di ajang ini karena besok pagi harus terbang ke New York mengurus kerjaan kantornya. Aku juga berhasil membujuk panitia agar memberi lampu hijau bagi seorang bassis dari grup lain untuk juga bermain di grup ku mengingat situasiku yang bisa dianggap Force Majeure ini.

Lucunya...manuver cepat di tengah kegentingan ini justru memompa antusias dan semangat bandmates ku, sehingga di minggu terakhir kemarin tiga kali latihan yang dilakukan dihadirin semua bandmates ku termasuk para musisi penggantinya. Effort berlatih mereka juga lebih besar dari yang pernah mereka berikan selama persiapan menuju ajang-ajang sebelumnya. Aku melihat bagaimana mereka lebih mudah menerima kritikan dan lebih berusaha memperbaiki kekurangannya. Karena itulah latihan mereka jadi terasa lebih kritikal dan memberi manfaat lebih banyak bagi persiapan mereka. Sepertinya memang untuk menuju ke ajang ini, perjuangan kami semua lebih berat. Hasilnya, latihan terakhir semalam berakhir memuaskan...yang pasti buatku. Mereka menyatakan lebih siap dan bersemangat ketimbang menjelang ajang-ajang yang lalu. Ini yang menimbulkan adanya sedikit kekecewaan dalam diriku atas akan absennya aku menjadi bagian dari penampilan mereka nanti malam.

Tapi tak mengapa...
Jalan yang sedang kami lalui memang berbeda dan masih belum terlihat ujungnya. Sejauh ini ada kekecewaan dan ada juga kepuasan yang kami dapat. Kami dapat masalah, kami pun dapat solusi dalam mengatasinya. Hal-hal yang tidak diharapkan terjadi bisa setiap saat menjadi penghalang di depan kami. Aku tidak tau akan bagaimana hasil dari perjalananku dalam mengemban tugas ini, dan aku tidak tau juga akan seperti apa penampilan mereka nanti malam. Para penggede yang akan aku temui bisa mendadak berhalangan, sementara masalah teknis dan sound system juga masih bisa jadi batu sandungan buat penampilan grup band ku. Yang aku tau, semua sudah diatur sempurna olehNya. Jadi kun fayakun...aku hanya perlu berikhtiar dan bertawakal saja. 
 
 

Wednesday, March 8, 2017

Menunda dan Konsekuensinya

Aku berusaha untuk menjalani hari-hariku sehemat mungkin setelah keadaan finansialku memburuk dalam tiga tahun terakhir ini. Aku merasa bahwa aku bukanlah tipe Big Spender, namun kuakui bahwa aku acap membeli barang murahan yang sebenarnya tidak terlalu penting buatku hanya untuk memanjakan ego saja. Misalnya membeli gorengan dikala aku tidak lapar hanya karena harganya lebih murah dari harga umumnya. Tak jarang keputusanku itu berujung dengan kekecewaan karena ternyata rasanya tidak memuaskan. Atau satu set obeng kecil a la kawe sekian yang harusnya bisa bermanfaat untuk membuka sekrup kacamata tapi langsung rusak ketika pertama kali digunakan.

Setahun lalu ketika aku sedang sangat kesal dengan layanan provider Indosat yang sering mandek saat sedang sangat dibutuhkan, di sebuah warung makan kecil di daerah seputar Tasikmalaya aku bertemu dua orang marketing Telkomsel yang menawarkan kartu SIM Abondemen versi baru yang bisa aku tentukan sendiri nilai tagihan pokoknya. Karena harga terendahnya cukup murah dengan quota data dan telpon yang cukup memadai buatku maka aku membelinya untuk menggantikan kartu SIM Indosat yang saat itu sudah siap aku ganti. Nah...maka sejak saat itu aku kembali menjadi pengguna kartu SIM abondemen Telkomsel setelah hampir satu dekade sejak aku memutuskan untuk hanya melulu menggunakan versi Pra-bayar.

Aku memilih paket bulanan termurah sebesar enampuluh ribu dengan quota internet sebesar dua giga. Sebenarnya mungkin besarnya quota sekilas terlihat tidak ideal buatku mengingat ramainya traffic internet yang aku gunakan. Apalagi dengan beberapa grup Whatsapp yang aku ikuti yang memakan banyak quota atas media-media foto dan video postingan anggota lainnya. Namun karena aku berkantor di rumah, kondisiku cukup aman dengan adanya jaringan Wifi dari MNC yang secara bersamaan memberikan layanan cable TV di rumah. Jadi praktis layanan internet dari Telkomsel ini hanya aku butuhkan di luar rumah ketika tak ada jaringan Wifi yang bisa aku tumpangi.

Pada saat quota internet atau telpon dari Telkomsel ini habis terpakai sebelum memasuki masa putaran baru untuk bulan berikutnya, aku dapat membeli tambahan paket data atau telpon dengan pilihan harga dan quota, yang masa berlakunya hingga memasuki putaran baru. Jadi memang aku harus pandai-pandai memilih paket tambahan ini sesuai dengan kebutuhan di sisa periode bulanannya. Khusus paket tambahan datanya, otomatis akan terhenti ketika putaran baru mulai bergulir. Artinya, berapapun besarnya quota yang tersisa dari paket ini akan hangus. Namun di lain kasus, paket tambahan lainnya seperti telpon ke sesama nomor telkomsel, ke provider lain, ke nomor rumah dan sms, tidak otomatis terhenti. Jumlah durasi telpon atau jatah sms yang tersisa di akhir periode memang juga akan hangus, tapi jika aku tidak meminta pihak Telkomsel untuk menghentikannya maka paket-paket itu akan secara otomatis diperbarui. Disinilah aku harus ekstra waspada karena jika aku lupa menghubungi pihak Telkomsel di akhir periode, aku akan memasuki putaran baru dengan paket bulanan yang aku pilih, plus paket-paket tambahan yang belum tentu akan aku butuhkan di periode bulan berikutnya. Ini yang terjadi kemarin padaku.

Di bulan lalu, layanan  dari MNC sempat dua kali terputus karena adanya gangguan teknis dari pusatnya. Lebih apesnya lagi, putusnya layanan ini berlangsung hingga 3-4 hari setiap kalinya. Jadi dalam sebulan yang jumlah tanggalnya hanya duapuluh delapan hari itu aku mendapat layanan internet dan cable selama hanya duapuluh satu hari. Situasi ini yang membuat quota internet dan telponku dari Telkomsel terkuras habis sehingga aku harus membeli beberapa paket tambahan sesuai kebutuhan untuk melancarkan usaha apapun yang aku jalani. Dan saat aku membelinya, aku sudah mewanti-wanti diri sendiri untuk tidak lupa meminta Telkomsel menghentikan layanan paket-paket itu sebelum periode baru dimulai. Aku bahkan sudah menyeting sebuah reminder di hape-ku dan tak ada yang salah dengan hape-ku. Yang salah adalah bahwa aku mengabaikan reminder hape-ku yang tepat waktu mencoba mengingatkanku di saat aku tengah mengerjakan sesuatu yang harusnya bisa aku tunda selama sepuluh menit saja. Dengan penuh keyakinan aku akan segera menghubungi Telkomsel setelah aku tuntaskan dahulu apa yang sedang aku kerjakan sehingga aku tak mengaktifkan mode Snooze. "Mana mungkin aku lupa. Untuk apa aku aktifkan fitur Snooze-nya? Toch sebentar lagi juga aku selesai, lalu baru aku hubungi Telkomsel", pikirku sambil terus bekerja. Memang tak sampai lima menit kemudian aku telah menuntaskan apa yang aku kerjakan, tapi aku langsung melakukan hal baru lainnya tanpa ingat tentang Telkomsel hingga pagi ini. Hasilnya...aku telah memulai putaran periode baru dengan paket-paket tambahan yang harusnya bisa aku hindari jika saja aku tak menundanya.

Well...inilah konsekuensi yang harus aku tanggung sekarang atas kesombonganku terlalu percaya diri di saat yang salah. Sepuluh menit yang harusnya mudah untuk diluangkan telah aku abaikan begitu saja sehingga aku bisa saja telah menciptakan kesulitan buatku sendiri di depan sana dengan tagihan bulanan yang membengkak. Aku meremehkan peringatan dari hape-ku karena aku tak bersedia meninggalkan sejenak saja apa yang tengah aku kerjakan. Kepuasanku dalam membereskan pekerjaanku itu besarnya jadi tak sebanding dengan kekecewaanku pada kebodohanku yang sepele itu. Itu negatifnya.
Positifnya...kejadian ini mengingatkan aku bahwa ada hal semirip ini yang jauh lebih serius dalam hidup. Terbayangkah oleh kita besarnya konsekuensi yang kita pertaruhkan ketika kita melakukan penundaan untuk melakukan perintahNya? Bagaimana jika kita berniat menunda lima menit saja untuk melakukan perintahNya namun ternyata yang tersisa dalam hidup kita hanya empat menit? Taruhannya bukan lagi hal duniawi....FOREVER!!