Monday, March 13, 2017

Berlatih (tidak) Bicara

Semalam aku melakukan brain storming dengan adikku hingga larut sekitar jam dua. Sudah sekitar 5 tahun lamanya aku tidak melakukan pertemuan one-on-one dengannya sejak terakhir kami bertemu di sebuah cafe. Pertemuan semalam kami lakukan di rumahnya karena ia merasa lebih leluasa untuk bicara tanpa batasan waktu. Nah...soal "bicara" ini yang jadi topik tulisanku ini.

Umurnya hanya terpaut satu setengah tahun dari umurku, dan ketika kami kecil dulu hingga aku selesai SMA, kamar kami bersebelahan dengan sebuah pintu yang penghubung yang nyaris tak pernah tertutup. Jadi bisa dikatakan diantara kami enam bersaudara, ia lah yang paling kenal karaterku dan begitupun sebaliknya. 

Salah satu ciri khas darinya adalah bahwa ia doyan sekali berbicara. Tak hanya itu, ia bukanlah seorang pendengar yang baik. Bukan berarti ia tidak mengindahkan apa yang didengar, tapi ia cenderung tak sabar untuk menunggu lawan bicaranya selesai berbicara. Hal ini membuatnya sering memotong pembicaraan lawan bicaranya. Tak jarang ia bisa tertidur dalam rapat dengan boss-nya di saat ia tak mungkin menyelanya.

Begitulah yang terjadi semalam. Dan saking lamanya tak bicara man-to-man dengannya, aku sampai lupa kebiasaannya itu. Berkali-kali di awalnya aku terjebak situasi dimana ia memotong pembicaraanku. Padahal kebanyakan apa yang aku coba utarakan merupakan respon dari pertanyaannya buatku. Seolah ia sebenarnya tak butuh jawaban dariku, ia bisa nyelonong begitu saja melanjutkan bicaranya. Huff...sesaat sempat kesal juga aku dibuatnya, hingga aku teringatkan kembali tentang kebiasaannya ini.

Namun, aku tak marah padanya. Aku juga tak lalu ngoyo untuk menyelesaikan dulu jatah giliranku yang dipotong olehnya mengingat ada tiga hal yang jadi pertimbanganku. Pertama, apa gunanya pula aku bicara jika ia hanya akan terkantuk-kantuk mendengarkannya? Disamping itu, pertemuan semalam ini dimaksudkan agar ia bisa menjelaskan panjang lebar tentang sebuah proyek yang sedang dirintisnya dimana aku diajak terlibat di dalamnya. Jadi aku rasa selain yang formatnya pertanyaan tentang proyek ini, penting tidaknya apapun yang terucap dariku untuk diresponi memang ia yang berhak menentukan. Dan yang terakhir...yang bermanfaat buatku juga...ini bagaikan sebuah pelatihan untuk membatasi diri dalam bicara.

Aku masih sering terlambat menyadari setelah aku kebablasan dalam bicara. Tak berarti aku ngember bocor, tapi mengutarakan lebih dari yang diperlukan saja. TMI...Too Much Information, kalau istilahnya orang seberang. Masih harus banyak melatih diri aku ini dalam soal angkat bicara. Dan punya lawan bicara seperti adikku, dengan kondisi seperti semalam menjadi suatu hal yang bermanfaat buatku untuk belajar nge-rem sekaligus berpahala membuat orang lain senang karena diberi keleluasaan bicara sepuasnya. :p