Mungkin bukan pada tempatnya bila aku tertawa di atas penderitaan orang lain. Tapi kalau boleh aku mencari pembenaran atas apa yang aku rasakan, alasanku sepertinya cukup masuk akal.
Coba bayangkan apa yang akan anda rasakan bila seorang yang begitu dekat dengan anda, yang telah anda anggap sebagai saudara sendiri, anda pinjami sejumlah besar uang, namun kemudian menolak untuk mengembalikan pinjaman tersebut? Apalagi penolakan itu berbumbu alasan yang tidak masuk akal bahkan cenderung menjurus pada fitnah.
Nah, hal itulah yang aku alami sekitar satu dekade yang lalu. Pinjaman yang aku berikan pada teman masa kecilku yang aku kenal sejak di bangku sekolah dasar itu cukup besar. Saat itu ia mengajak aku membangun sebuah perusahaan label rekaman yang rencananya akan menaungi artis-artis baru dan muda yang menurutnya layak diorbitkan. Sebenarnya tawaran untuk menanamkan investasi pada usaha ini cukup menggiurkan mengingat ia saat itu merupakan seorang musisi lokal terkenal dan aku mengakui kejeliannya dalam memilih musisi dan musik yang berbobot, sehingga usahanya bisa diprediksi punya peluang yang bagus untuk sukses. Tapi aku merasa perlunya menjadikan dana tersebut sebagai pinjaman ketimbang investasi karena aku sendiri belum tau persis bagaimana ia bekerja selaku seorang usahawan karena selama ia hanya baru membuktikan dirinya sebagai seseorang yang sukses sebagai musisi.
Aku kemudian memang ikut membantunya menggerakan roda bisnis label rekamannya. Bahkan aku sudah sepakat untuk nantinya mengurus urusan manajemen semua artis yang musiknya bernaung di bawah bendera label rekaman tersebut. Sebelum album rekaman diluncurkan, tentunya aktifitas yang ada dalam perusahaan itu melulu hanya perekaman, sehingga aku belum punya tugas resmi. Kehadiranku yang hampir setiap hari di kantor itu lebih merupakan bagian dari proses dari persiapan membentuk manajemen artisnya. Aku juga sering mendampingi dan membantunya dalam menjalankan aktifitas yang berkenaan dengan segala urusan perekaman dan karirnya sendiri.
Dan ketika ia butuh tambahan investasi, ia meminta tolong aku menjembatani usahanya untuk mendatangi dengan seorang sahabatku, Chandra yang sebelumnya pernah menjadi house mate ku selama masa kuliahku di luar negeri. Tidak ada sedikitpun penentangan atas niatnya ini karena bagiku semua bergantung pada masing-masing pihak. Aku bahkan menekankan pada Chandra bahwa aku bukanlah penjamin baik omongan teman kecilku ini maupun investasi yang mungkin dilakukan oleh Chandra. Bahwa yang akhirnya terjadi adalah kesepakatan pinjam-meminjam sejumlah besar uangpun dilakukan kedua belah pihak dengan menyadari segala hak, kewajiban dan konsekuensi dari masing-masing pihak tanpa melibatkan aku.
Sayangnya, ego tinggi dan sifat keras kepala yang dimiliki teman kecilku ini kemudian menjadi penyebab rontoknya usaha yang dirintisnya. Belum lagi pola hidupnya yang akrab dengan kehidupan malam, lengkap dengan clubbing dan entertaining nya. Meski tidak diakuinya, aku menduga ia terpengaruh efek minuman alkohol saat mobil sewaan yang dikendarainya menabrak sebuah tiang listrik pukul 4 pagi sepulangnya menjamu teman lama yang tengah berkunjung dari luar kota. Mobil itulah yang saat itu menjadi andalan untuk antar jemput salah seorang artis perusahaannya. Itu hanya satu diantara serentetan kasus lain yang lalu memposisikan baik dirinya maupun usahanya di bawah jurang kehancuran.
Yang lebih mengenaskan lagi, situasi genting yang dihadapinya justru disikapi dengan pemfitnahan terhadap berbagai pihak termasuk aku. Mungkin peringatan, nasehat atau himbauan yang pernah aku lemparkan kepadanya justru menjadi bumerang buatku. Seolah tidak ingin mengakui kebenaran dari apa yang pernah aku katakan padanya, ia justru melemparkan tuduhan bahwa aku merupakan faktor terbesar dari semua kegagalan yang ia temui. Buntutnya, ia dengan lantang mendeklarasikan bahwa tidak akan mengembalikan dana pinjaman dariku sebagai pelampiasan kekesalannya terhadapku.
Hmm..baiklah. Ini bukanlah sesuatu yang mudah ditelan begitu saja jika aku menganggapnya sebagai hal yang jelas merugikanku, namun setelah beberapa lama, aku sanggup menerimanya dengan penuh keikhlasan. Dan itu bisa terjadi karena aku lebih mengangapnya sebagai suatu kegagalan besar untuknya hingga ia mampu mengarang berbagai fitnah dan mengambil sikap negatif yang nantinya akan menjadi beban berat yang harus digendongnya.
Lalu bagaimana dengan kewajibannya yang belum selesai dengan Chandra?
Lucunya, apa yang terjadi sebagai kelanjutan dari kesepakatan itu sama dengan yang terjadi antara aku dengan teman kecilku itu. Padahal, Chandra jelas tidak ikut campur dalam usaha yang dilakukan teman kecilku. Pinjaman dana yang harusnya kembali dalam kurun waktu tertentu tidak pernah terlaksana. Niat yang mengarah kesanapun tidak diperlihatkan teman kecilku. Ia tidak berusaha menghubungi Chandra untuk hanya sekedar meminta maaf atas keterlambatnya dan ia tidak pernah punya nomor telpon yang tetap untuk jangka waktu yang lama mengingat banyak sekali pihak yang berusaha menghubunginya untuk menagih hutang.
Tentunya, dengan sikapnya mengabaikan kewajiban dalam menyelesaikan hutang selama lebih kurang 5 tahun ini ia tidak pernah tau menau apapun yang terjadi pada Chnadra. Kalaupun tau, mungkin saja ia tidak peduli. Begitu pula ketika Chandra divonis menderita gagal ginjal sekitar setahun yang lalu. Perjuangannya begitu besar hingga ia harus melalui operasi transplantasi ginjal di negeri Cina hanya untuk kemudian menerima fakta bahwa operasi itupun berbuntut kegagalan. Proses penyembuhan yang memakan biaya besar ini memaksanya menjual banyak harta bendanya termasuk sebidang tanah kosong yang dimilikinya sejak lama. Dan penderitaan itu berakhir ketika hari Sabtu yang lalu, Chandra berpulang memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa.
Apa yang kemudian akan berlaku pada masalah hutang piutang antara almarhum dengan teman kecilku? Apakah berita mangkatnya Chandra sampai ke teman kecilku? Entahlah. Sewajarnya ada mutual friend yang mungkin menyampaikan berita duka itu kepada teman kecilnya. Jika iya, mungkinkah teman kecilku itu merasa berdosa dan masih mau berbesar hati untuk menyampaikan rasa penyesalannya pada keluarga almarhum? Mungkinkah ia lalu melunasi hutang yang telah bertahun-tahun diabaikannya? Atau justru dengan arogansinya, ia kini merasa lega bahwa pihak yang dihutanginya sudah berkurang satu?
Apapun yang terjadi, aku melihatnya sebagai suatu keterlambatan. Bagaimanapun ia selama ini bisa dengan ringannya menganggap remeh hutangnya kepada almarhum, ia kini memanggul dosa yang jauh lebih berat. Aku merasakan iba yang mendalam terhadap keluarga yang ditinggalkan almarhum, dan aku sangat kehilangan sahabatku ini, namun aku juga mendapatkan kepuasan tersendiri jika melihat apa yang harus ditanggung teman kecilku dengan kepergian almarhum.
Doaku untuk sahabatku Chandra; Semoga hutang teman kecilku yang tidak pernah terbayar selama hidupmu bisa ikut melancarkan perjalananmu ke kebahagiaan hidup di sisiNya. Aamiiin...