Thursday, June 5, 2014
Rahasia
Akhirnya temanku ini angkat bicara juga tentang nilai-nilai negatif tentang lawan dari kandidat pemilihan presiden yang dijagokannya. Selama yang aku tau hanyalah betapa ia benar-beanr mengagumi sosok jagoannya itu dengan menuturkan segala faktor kepositifannya. Dan apa yang menjadi alasannya mengidolakan jagoannya itu dapat aku mengerti sepenuhnya karena aku juga setuju padanya. Mengapa tidak? Sudah jelas apa yang dipercayanya itu memang telah terbuktikan kebenarannya. Aku tidak pernah menentangnya, namu aku hanya sesekali menginigatkannya bahwa mungkin saja masih ada hal lain yang sifatnya negatif dari jagoannya yang selama ini belum terlihat, itu saja.
Namun aku tidak pernah menduga ia akan dengan gamblang membeberkan segala hal negatif yang iya percaya atas lawan jagoannya itu secara umum. Sejauh ini aku menganggap temanku itu sebagai orang yang sungguh berhati-hati dalam membicarakan tentang keburukan orang lain. Kalaupun perlu berbicara soal Pilpres yang akan datang ini, ia hanya akan membahasnya dengan orang-orang yang dekat dengannya. Tidak seperti kebanyakan masyarakat di negeri kita ini yang tiba-tiba seolah menjadi pintar berpolitik, lalu ikut berkampanye secara freelance lewat situs-situs jejaring sosial demi membela jagoannya masing-masing. Banyak pula dari mereka yang tak segan-segannya ikut menghujat lawan jagoannya atau bahkan saling menyerang kubu yang notabene kemungkinan besar malah tidak mengenal mereka sama sekali.
Suhu politik menjelang Pilpres kali ini memang mungkin pantas dibilang yang paling memanas. Bayangkan saja, kondisinya begitu panas hingga mampu membuat seseorang yang sekalem dan sebijaksana temanku ini angkat bicara di media publik sambil menuturkan aspek-aspek negatif orang yang dikenalnya hanya lewat tulisan dan berita yang bisa jadi merupakan bagian dari Black Campaign yang tengah jadi trendy saat ini. Kebebasan bersuara yang dipercaya bisa menjadi sarana pengungkapan suara hati nurani rakyat justru dijadikan kendaraan bagi banyak pihak untuk memutarbalikkan fakta, sampai-sampai sejarah bangsa ini bisa terlihat begitu rancu dan membingungkan.
"Bagaimana dengan aku?", kalau seseorang bertanya.
Aku ini bukan seorang ahli apalagi praktisi politik. Aku hanya sebagian (sangat) kecil dari masyarakat negara yang sudah memiliki 6 presiden. Dan kebetulan aku cukup beruntung telah merasakan aroma khidupan di bawah kepemimpinan 5 presiden terakhir. Aku bukanlah seorang pejuang kemerdekaan sehingga tugasku sebagai warga negara hanyalah memelihara kemerdekaan yang sudah dimiliki. Jujur saja, aku juga punya pendapat tentang kedua kandidat presiden yang ada, yang kemudian akan menentukan siapa yang akan kupilih nantinya. Tapi sebagai warga biasa yang tak memiliki ilmu politik yang tinggi, aku tidak punya tempat yang layak untuk mengutarakan pendapatku di depan umum. Aku tidak ingin kebebasan bersuara yang aku miliki ini membuatku berniat membeberkan apa yang buatku lebih pantas disimpan dalam hati dan benakku. Kerabat dan teman dekatku boleh saja tau siapa yang kujagokan, tapi jika memang ada hal yang tidak kusuka dari lawannya biarlah aku saja yang tau.
Seorang teman lain yang dulu berjuang mati-matian menggalang suara untuk sebuah partai pada Pemilu terdahulu, akhirnya harus menerima kenyataan bahwa di daerah pemilihannya sendiri partainya kalah telak. Tidak hanya itu, ia harus super kesal mengetahui kalau banyak kerabat dan kenalannyalah yang ikut memenangkan partai lain. Namun ia lalu berhasil menjadi seorang PNS dari sebuah kantor kecamatan di kota tempat tinggalnya. Dan di setiap kesempatan yang ada, ia tidak segan-segannya membalas dendam atas kekecewaannya itu. Misalnya pada saat dilakukan acara pembagian sembako, ia akan memprioritaskan warga yang ia tau dulu memihak partainya. Kalau perlu bahkan ia tidak menyisakan apapun untuk mereka yang dianggapnya telah membuat partainya kalah. Perilakunya itu tidak menghambat karir kerjanya di instansi pemerintah sehingga ia kini menjadi seorang pejabat tinggi di sebuah kantor walikota.
Apa yang terjadi pada temanku ini bisa juga terjadi pada banyak orang yang saat ini tengah mencurahkan segala upayanya demi kemenangan calon presiden yang dijagokan seperti halnya temanku yang tadi. Aku khawatir bahwa banyak pihak yang ikut berkampanye tanpa menyiapkan diri menghadapi kekalahan maupun kemenangan. Dahsyatnya mereka bersuara saat ini membuatku khawatir nantinya akan sedahsyat itu pula mereka menyuarakan kekecewaan atau kegembiraan mereka hingga memicu terjadinya gap yang sangat besar diantara kedua belah pihak. Mungkin bisa terbayangkan kericuhan yang biasanya terjadi antar suporter dua kesebelasan sepak bola seusai pertandingan akbar akan terjadi di berbagai tempat di seluruh pelosok negeri ini. Mengerikan sekali...
Aku sering mengingatkan para musisi muda yang tengah memperjuangkan nasibnya di industri musik yang terbilang susah ditebak. Yang sering mereka pertanyakan adalah bagaimana jika semua usaha yang telah dilakukan akhirnya tidak behasil. Aku dengan mudah menjawab bahwa pertanyaan itu punya jawaban yang tidak mungkin diragukan lagi, bahwa mereka akan tetap miskin dan harusnya mereka siap menghadapinya karena kondisi seperti itulah yang mereka jalani selama ini. Lalu aku balik bertanya, bagaimana jika usaha mereka berhasil. Teorinya mudah, tapi prakteknya bisa melenceng jauh dari teori dan angan-angan mereka. Tidak sedikit musisi sukses yang kemudian terjerat pada pelbagai masalah; obat-obatan, pacar, keluarga, senjata, hutang, dlsb. Apresiasi mereka terhadap harta, kehidupan bahkan agama menjadi tipis sehingga nasib mereka bisa berakhir semiris kematian yang tidak wajar.
Akan seperti itukah kita setelah presiden baru terpilih? Akan siapkah kita menerima kekalahan atau kemenangan? Akan siapkah kita merangkul dan dirangkul kembali oleh mereka yang sekarang menjadikan kita dan kita jadikan musuh bebuyutan? Akan siapkah jagoan kita melakukan itu juga? Sadarkah kita bahwa apa yang akan dihadapi presiden baru nanti begitu beratnya sehingga bisa merubah dirinya 180 derajat? Semua itu misteri Illahi. Dan aku mencoba mengantisipasi kesuraman masa depanku itu dengan cara merahasiakan konsep pemikiran yang menjadi dasar alasanku untuk memilih siapa nanti.
Aku tetap menjunjung tinggi pedoman Pemilu yang dahulu kala sempat digaungkan di negeri tercinta ini, Umum, Bebas dan Rahasia.
Selamat menjelang Pilpres 2014 dengan bijaksana.