Mungkin memang bukanlah hal yang mudah untuk menjalankan amanah. Pesan seseorang yang kita terima dan lalu kita jadikan sebagai sebuah janji untuk dilaksanakan saja sering begitu mudahnya terbengkalai dengan alasan klasik yang (menurut pendapat banyak orang) mau tidak mau harus diterima: lupa.
Jujur saja, aku bahkan sering menganggap ringan janji yang pernah aku ucapkan bila keadaan yang aku hadapi aku anggap sebagai suatu halangan yang cukup untuk dijadikan alasan.
Namun amanah dari mendiang ayahku yang satu ini tidak seperti hal-hal lain yang pernah aku jadikan sebagai janji untuk siapapun. Meskipun aku tidak pernah secara langsung berjanji akan melanjutkan niat baiknya dalam menyantuni begitu banyak mantan pegawai perusahaan yang pernah dipimpinnya, tapi penyampaian tentang niatnya ini kepadaku sekitar 3 bulan sebelum kepergiannya aku jadikan sebagai sebuah amanah tidak langsung darinya yang layak aku jalankan sebagai ahli warisnya.
Yang mengherankan justru mengapa dalam situasi yang rumit seperti sekarang ini, dimana wadah yang diciptakan oleh ayahku untuk dijadikan kendaraan dalam memperjuangkan niatnya ini praktis mogok dan harus dilepas dengan kompensasi yang jauh di bawah nilainya, ada saja pihak-pihak yang lalu berharap lain tanpa peduli dengan nasib mereka yang pernah diperjuangkan oleh ayahku semasa hidupnya? Parahnya, harapan lain itu justru tercetus demi kepentingan pribadi.
Anggap saja ayahku meninggalkan sebuah mobil mewah yang rencananya dipakai sebagai alat transportasi bagi sejumlah orang. Bahwasanya saat ini, mobil itu mogok sedangkan aku tidak mungkin mampu membayar biaya perbaikan dan pemeliharaan yang mahal itu, aku dengan mudah dapat menjualnya sebagai mobil rusak yang nilainya jauh lebih rendah. Dari hasil penjualan itu, aku lalu membeli sebuah mobil lain yang murah , tidak memiliki fasilitas yang memadai seperti halnya sebuah mobil mewah namun tetap bisa digunakan sebagai alat transportasi.
Pertanyaannya, sementara aku sendiri bukanlah termasuk orang yang hidup berkecukupan, apa iya aku lebih memilih menggunakan hasil penjualan mobil rusak itu untuk mencukupi kebutuhanku ketimbang mewujudkan niat ayahku? Apakah itu hal yang benar untuk dilakukan jika aku beranggapan bahwa ayahku tentu akan senang melihatku hidup berkecukupan? Apakah semua yang aku terima dari ayahku selama hidupnya masih begitu kurang sehingga aku perlu memprioritaskan kepentinganku di atas kepentingan orang lain?
Jawabanku: sama sekali tidak.
Kenyataannya, ada saja yang merasa hal itu layak dilakukan dengan berbagai macam dalih, termasuk demi pemenuhan rukun terakhir Islam. Tak hanya saudara sekandung, namun mereka yang bukan anak ayahku tiba-tiba merasa punya hak mutlak atas kompensasi yang buatku juga menjadi hak para mantan pegawai ayahku, sekecil apapun jumlahnya dan seberapa kecukupanpun hidup mereka. Intinya, aku lebih suka tidak mendapatkan sepeserpun selama niat baik ayahku terpenuhi. Apalagi jika dikemudian hari usahaku untuk mewujudkan niatnya memenuhi kegagalan. Tak terbayangkan bagaimana aku hidup berkecukupan sementara amanah ayahku sama sekali tidak aku bela.
Aku sudah berkali-kali mencoba menerima dengan ikhlas apa yang aku dapatkan (dan yang tidak aku dapatkan). Meski bukan hal yang mudah, aku sering mencoba mengingatkan diri sendiri bahwa perjuangan yang aku lakukan dalam hidupku ini didasari kepentingan Ukhrawi, dan bukan Duniawi. Dari situ aku belajar berikhlas, tidak hanya untuk kebaikanku saja tapi juga untuk kebaikan para penerusku di akhir zaman. Jika memang apa yang aku perjuangkan dianggap sebagai suatu hal yang bodoh karena tidak membuat hidupku sendiri di dunia ini lebih baik, paling tidak ada niat mulia yang mendasarinya. Dan buatku, kebenaranlah yang lebih penting bagiNya. In shaa Allah...