Sama halnya dengan kegagalan Prabowo dalam memenangkan kursi kepresidenan yang dipertarungkan kemarin. Tapi apakah kegagalannya itu pantas disebut sebagai kekalahan? Dalam perebutan kursi mungkin bisa, tapi mungkin saja suatu hari nanti kegagalan ini justru memberikannya kemenangan dalam hal lain. Prabowo pun telah menunjukkan sikap karismatik dan legowonya dengan memberikan salam hormat pada Jokowi sesaat sebelum Jokowi dilantik sebagai presiden terpilih, sementara Jokowi sendiri dengan kesederhanaannya membungkuk di hadapannya. Sikap-sikap kepemimpinan yang sportif yang layaknya patut ditiru oleh para pendukungnya.
Lalu bagaimana dengan para pendukung Prabowo sendiri?
Aku selalu ingat perkataan kakakku dahulu kala sesaat sebelum pertarungan tinju antara Muhammad Ali dan Joe Frazier dimulai. Ia mengoreksi ucapanku yang mengisyaratkan harapan agar Frazier kalah dengan anjuran agar aku mendoakan Ali menang. Dengan begitu, meskipun artinya sama, namun sebaiknya doa yang terucap dari mulutku merupakankan suatu hal yang bersifat kebaikan dan bukan keburukan.
Selayaknya para pendukung ini mengharapkan posisi Prabowo yang bukan sebagai presiden justru memberikan hal yang positif bagi dirinya. Bukan mengharapkan Jokowi akan menemui banyak masalah dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden.
Sejak awal dimulainya pertarungan perebutan kursi kepemimpinan negara ini aku lebih memilih tidak ikutan berkampanye. Aku justru lebih menyimak teman dan kerabat yang kerap berdebat dan saling menyerang demi membela jagoannya, terutama di jejaring sosial. Yang mengherankan, mengapa setelah semua harusnya berakhir saat pemenang pertarungan diumumkan, perdebatan itu masih berlangsung? Tak hanya itu, meskipun ada kalanya perdebatan bisa dihindari, namun ahlak buruk pendukung masing-masing kubu tetap dipertahankan seolah keikhlasan menerima kenyataan itu masih belum ada. Dari mulai cibiran, keluhan atau sarkasme yang terlontarkan dalam postingan atau komen, sampai drastisnya penurunan jumlah orang yang "mau" berpartisipasi di postingan "teman" yang kebetulan berseberangan kubu. Sampai segitunya "sakit hati" yang tersisa rupanya...ckckck...
Sama halnya dengan pendukung Jokowi yang telah mencurahkan segenap dukungan moril dan materilnya, seharusnya siap menerima keadaan apapun yang terbentuk setelah Jokowi menjadi presiden. Kenyataannya, banyak dari mereka yang kini kecewa karena tidak mendapatkan apa yang diharapkan sebelumnya. Rupanya ada konsep "pamrihan" di belakang aksi dukungan yang diberikan selama kampanye sehingga kemenangan yang didapat Jokowi dirasa sebagai sesuatu yang mengandung imbalan "pribadi" untuk pendukungnya, bukan untuk negara secara keseluruhan. Aku melihat betapa meredamnya dukungan mereka pasca pemerintahan baru mulai berjalan. Bahkan tidak sedikit yang justru mulai mengicaukan kekecewaannya karena merasa kebijakan Jokowi tidak sejalan lagi dengan harapannya.
Jika aku sekarang mencoba berusaha melakukan manuver dalam mencari jalan lain yang sekiranya tetap bisa mewujudkan amanah mendiang ayahku, mengapa tidak para pendukung Jokowi dan Prabowo juga melakukan hal yang sama? Aku mencoba membayangkan apa yang kira-kira akan ayahku lakukan di posisiku? Aku yakin beliau tidak akan lalu "mutung" bahkan mencoba menggagalkan siapapun yang akhirnya meneruskan usaha yang telah dirintisnya. Beliau yang memang bukan seorang pendendam, mungkin akan mencoba menggunakan situasi ini untuk mewujudkan impiannya dengan cara yang tidak merugikan siapapun. Begitu pula harusnya yang dilakukan pendukung Prabowo dalam menjalani hari-harinya sebagai warga negara yang dipimpin oleh seorang Jokowi. Karena biar bagaimanapun, siapapun yang jadi presidennya, hidup tenang, makmur dan sentosa di negara ini tentunya adalah hal yang diinginkan semua orang. Bagaimana mungkin hidup tenang jika kita sendiri tidak ikhlas menerima apa yang sudah digariskanNya?
MOVE ON, PEOPLE...
.