Nah...karena akhir-akhir ini aku memang harus banyak melakukan konsolidasi dengannya dalam mengatasi segala masalah pencetakan buku yang aku hadapi ini, aku bisa duduk lama saling bertukar pendapat tentang banyak hal. Yang aku suka darinya adalah bahwa ia punya pemikiran yang terbuka, moderat dan tidak senang mendalami politik dan agama. Jadi pendapat pasti standard dan mudah dicerna orang yang pemikirannya sederhana. Banyak hal baik yang aku terima darinya kemarin, namun ada satu hal yang sangat menyadarkan aku akan pentingnya bersikap. Awalnya kami bicara tentang faktor-faktor dari sukses dan gagalnya bisnis percetakan. Dengan mengambil beberapa contoh orang yang gagal dan sukses, ia memberikan satu faktor kunci kesuksesan atau kegagalannya: Emosi.
Buatku, itu suatu hal yang masuk akal tapi jarang sekali dijadikan kunci. Biasanya orang lebih suka menggunakan unsur-unsur keagamaan untuk mengejar kesuksesan, misalnya do'a, puasa, dll.
Ia mengatakan bahwa selama kita bisa mengendalikan emosi, selama itu pula layaknya kita bisa sukses menjalani bisnis apapun. Misalnya dalam penanganan masalah pekerjaan atau klien atau rekan sejawat. Aku ingat bagaimana dulu, ketika aku masih menjadi bagian dari manajemen band terkenal, setiap breefing sebelum band naik panggung pasti ada yang mengingatkan kami untuk menjaga sikap, menjaga ucapan dan menjaga perasaan orang lain. Hal itu sangat penting demi kelancaran penampilan yang tiap saat bisa saja kena masalah dengan instrumen musik, sound system, panitia, crew venue (tempat penyelenggaraan acara), sesama personil band, sesama crew dan tentunya penonton.
Dalam perbincangan kami, aku juga menyatakan betapa pentingnya teori pengendalian emosi itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saat kita sedang berkendaraan di jalan yang ramai dan cenderung sarat macet. Karena emosi yang tak terkendali, kita sering lupa bahwa hal terpenting dalam perjalanan yang tengah kita tempuh adalah sampainya kita ditujuan dalam keadaan selamat dan utuh. Kenyamanan di jalan yang mudah diganggu pengendara lain harusnya tidak sirna jika gangguan itu kita respon dengan pengendalian emosi yang baik. Sehingga, bila semua pengendara menerapkan hal yang sama, maka sangat mudah mendapatkan kenyamanan dalam perjalanan. Inilah yang terjadi di negara-negara yang berpenduduk tertib pada peraturan. Aturan boleh saja ekstrim, namun akan mudah dilanggar bila memang tidak diimbangi dengan pengendalian emosi.
Begitu pula dengan cara kita berinteraksi dengan anak. Sebagai orangtua dari dua anak pria yang menginjak remaja, aku sering mengenyampingkan kesabaran ketika mereka sedang berulah. Akibatnya, aku lebih cenderung untuk mengomel dalam konsep dimana aku adalah pembuat peraturan yang telah mereka langgar, sambil aku berharap mereka tidak akan mengulangi kesalahannya. Tapi setelah selesai mengomel yang aku rasakan hanyalah rasa capai yang belum tentu juga terbayar dengan sikap mereka yang mungkin tidak langsung seluruhnya berubah menjadi baik. Aku lalu mencoba membayangkan betapa rileksnya suasana hatiku bila penanganan masalah dari ulah mereka aku lakukan dengan tenang. Mungkin saja usaha mengoreksi kelakuan mereka jadi lebih mudah diterima sementara aku tidak perlu merusak suasana hatiku sendiri. Kans atas keberhasilan cara demikianpun toch sama, 50-50. Dan bila memang belum berhasil, penanganan dengan sistem seperti ini mungkin harus dilakukan berulang kali hingga berhasil. Nyatanya, pemraktekan sistem ini dalam berbisnis juga tidak selalu memberi kesuksesan yang instan. Dan pemilik tempat percetakan itu sudah memberikan contoh buktinya.