Salah satu alat yang hingga kini masih sebentar-sebentar diangkat adalah soal harga bahan bakar premium yang memang belakangan ini mengalami pasang surut. Okelah kalau orang banyak yang berteriak saat harganya naik, tapi saat harganya turun hingga kembali ke harga semula sebelum melonjakpun ada saja pihak yang protes dengan tudingan pemerintahan yang plinplan.
Kenaikan harga BBM memang bukan hal yang baru lagi buat negeri ini. Begitu pula dengan penurunannya meskipun sepanjang sejarah hanya terjadi sesekali dua kali saja. Bahwa orang masih menjadikannya sebagai alat untuk berdebat menandakan betapa tidak sadarnya masyarakat kita akan konsep dagang yang seharusnya (juga) bisa berlaku dalam bisnis BBM di negeri ini.
Sebutlah di negara Amerika Serikat yang usahaan BBMnya digeluti oleh beberapa nama perusahaan besar seperti Shell, Chevron, Mobil, Texaco, dll. Sistem yang berlaku sudah jelas waralaba atau frenchise, dimana siapapun boleh memiliki SPBU dengan bendera perusahaan apapun tanpa harus menyamakan harga, bahkan dengan SPBU lain dengan bendera perusahaan yang sama. Misalnya, sebuah SPBU berbendera Shell boleh menjual BBM-nya dengan harga yang lebih tinggi dari harga penjualan BBM dari SPBU berbendera Shell yang letaknya mungkin hanya sejauh beberapa kavling di ruas jalan yang sama. Kenapa tidak? Selama kedua SPBU ini menyetor harga yang sudah dipatok oleh Shell, tentunya masing-masing punya hak dalam menentukan seberapa besar keuntungan yang diincar. Toch konsekuensi dari pemasangan harga jualnya kembali ke pihak masing-masing pemilik SPBU.
Hal ini yang seharusnya berlaku bagi semua SPBU Pertamina yang notabene punya pemilik yang berbeda yang semuanya ber frenchise dari Pertamina sebagai satu-satunya pemasok BBM di negeri ini. Bedanya, masyarakat sudah terbiasa dengan konsep kesamaan harga BBM seolah Pertamina memberlakukan harga jual yang sama kepada seluruh pihak yang ber frenchise darinya, sehingga masyarakat cenderung protes ketika menemukan SPBU yang menjual harga di atas harga yang "dianjurkan" pemerintah lewat Pertamina. Padahal, setiap pelaku bisnis BBM punya hak untuk menentukan harga jual di SPBU miliknya seperti halnya yang dilakukan para penjual bensin eceran.
Sistem inilah yang dilakukan oleh banyak pemegang frenchise Pertamina di daerah-daerah yang jauh dari pusat pensuplaian bensin ketika mereka bisa menjual BBM dengan harga selangit karena sulitnya mendapatkan pasokan BBM di sana hingga pembelian bensinpun harus dijatah. Apalagi oleh pihak-pihak penjual bensin eceran yang paham sekali tentang ketidak imbangan antara kebutuhan BBM dan pasokan yang tersedia di SPBU.
Minggu lalu, aku sempat membaca pengumuman di atas kertas yang menempel di pompa bensin di sebuah SPBU dekat tempat tinggalku. Isinya menjelaskan bahwa harga jual yang diberlakukan disitu memang di atas harga yang anjurkan Pertamina. Mungkin penegasan ini dirasa perlu untuk menghindari protes yang setiap saat bisa dilemparkan oleh konsumen. Dan ketika aku bertanya pada petugas yang melayaniku, ia menjelaskan bahwa suka tidak suka, konsumen harus menerima keputusan dari pihak SPBU tersebut. Tentunya pematokan harga tersebut bisa saja membuat konsumen lalu mengisi lebih sedikit volume bensin dari yang semula direncanakannya, atau bahkan mengurungkan niatnya lalu mencari SPBU lain. Yang jelas, konsumen sadar bahwa keputusan itu adalah yang mutlak dan harus diterima apa adanya.
Lalu kenapa masih banyak orang yang sulit memperlakukan kebijakan pemerintah sebagai hal yang mutlak dan menerimanya apa adanya?