Thursday, December 7, 2017

Perseteruan Yang Berlanjut

Ternyata masih ada duri yang tertinggal dalam tubuh perusahaan yang ditinggalkan mendiang ayahku. Perbedaan paham diantara kami, ahli warisnya, yang aku kira telah kami selesaikan beberapa bulan yang lalu ketika kami (akhirnya) berkumpul dalam susana damai dan sepakat untuk mengesampingkannya demi keutuhan persaudaran kami, nyatanya belum tuntas sempurna.

Di saat kami sedang mencoba menjalin kerjasama dengan pihak lain untuk proyek yang sudah terkatung-katung selama hampir genap lima tahun, muncul gugatan dari kakak ku yang ditujukan ke perusahaan. Otomatis gugatan ini juga teralamatkan pada kami semua termasuk dirinya sendiri yang menjadi pemegang saham diantara empat belas nama lainnya. Dan karena gugatan ini secara spesifik juga mempertanyakan keabsahan sebuah akta notaris, maka notaris pembuatnya pun ikut menjadi salah satu tergugat. Padahal, beliau telah membantu kami menyelesaikan banyak masalah yang pernah mengekang ruang gerak perusahaan ini. Lebih sialnya lagi, aku lah yang mereferensikan beliau ke perusahaan ini.

Aku yakin di balik upaya gugatan ini ada hal yang bersifat pribadi bagi kakak ku. Ini bukanlah masalah ia tidak terima dengan proses yang terjadi selama ini sehingga menempatkan perusahaan di posisi seperti sekarang yang berarti tidak akan memberinya rezeki sebanyak yang diharapkannya dulu, namun lebih tepatnya ia harus mendapatkan sesuatu yang lebih demi kepentingan pihak lain. Ya...pihak lain yang mungkin dulu pernah memberi banyak padanya dengan kompensasi yang sebanding. Dan kini ia terjepit diantara pihak tersebut dan pihak kami serta pemegang saham lainnya yang seharusnya lebih dibelanya. Segala kemewahan yang pernah didapatkannya selama ini, termasuk kesuksesan kerja anak-anaknya, kini menjadi bukti nyata yang menyudutkannya dan tak mungkin dipungkiri. Kata-kata manisnya yang diumbarnya ke banyak pihak kini menjadi bumerang baginya.

Itulah sebabnya aku yakin gugatan ini sangat kecil kemungkinan ditariknya meski para ahli hukum yang sudah siap mendampingi kami dalam menghadapi gugatan ini acapkali menganjurkan untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan. Personally...aku anggap mata hatinya telah sekian lama dibutakan oleh urusan duniawi hingga sulit baginya untuk bisa melihat kembali. Jika dulu ia rela menyimpang dari jalan kebenaran demi mendapatkan kemewahan duniawi, maka kinipun seperti itu pulalah ia harus menyelesaikan urusan yang menghimpitnya. Sampai kapan hal ini akan berlanjut? Entahlah. Yang pasti, tak satu pun pihak lain yang akan ikut terseret jika kelak ia harus menemui jalan buntu atas kasus gugatan ini dan harus terjerat jebakan hukum yang diciptakannya sendiri.

Ah...mirip sekali dengan kondisi persaudaraan antar warga negara di negeri ini saat ini. Ironis...


Wednesday, November 8, 2017

Memburu San Ustadz

Ustadz Abdul Somad, Lc., MA adalah seorang ustadz yang saat ini sedang naik daun. Beliau bisa dalam waktu singkat menjadi kondang karena video-video dakwahnya yang tersebar dan menjadi viral lewat berbagai media sosial. Adalah seorang temanku yang sekitar empat bulan yang lalu memintaku menyimaknya di YouTube. Dan begitu aku kali pertama menontonnya, aku langsung menyukainya.

Dakwahannya lucu dan menghibur. Itu kesan pertama darinya yang membuatku tertarik. Tapi lebih jauh lagi, tak seperti kebanyakan pendakwah, beliau bukan tipe yang menggunakan unsur paksaan atau ancaman dalam memberikan petunjuk tentang visi-nya. Beliau lebih menyajikannya sebagai ilmu yang ia anut dan praktekan ketimbang sebagai yang seolah berdampak "dosa besar" jika tidak dilakukan. Inilah yang membuatku makin tertarik pada dakwahnya.

Semakin sering aku menonton videonya, semakin suka aku padanya karena ia terkesan sebagai sosok apa adanya yang sederhana. Cara bicaranya mengisyaratkan seperti itulah beliau bicara dalam kesehariannya yang bisa membuat lawan bicaranya di satu sisi terhibur dan tertawa, sementara di sisi lain mudah menyerap hikmahnya. Intinya, beliau bisa menjadi seorang teman bicara yang baik, yang bisa memberi nasehat dan mengkoreksiku tanpa membuatku kecil hati.

Nah, akhir minggu kemarin beliau melakukan tur dakwah yang kebetulan mencakup dua tempat di wilayah tempat tinggalku. Sontak aku langsung membuat agenda untuk menghadiri salah satunya yang diselenggarakan setelah waktu shalat Dhuhur. Meskipun aku sudah dianjurkan untuk datang pagi, aku tetap datang sekitar pukul setengah sebelas dengan harapan dapat tempat di dalam masjid  walau tak harus di shaf-shaf terdepan. Kenyataannya, aku hanya bisa dapat tempat di teras masjid hingga shalat Dhuhur dilaksanakan.

Untungnya, begitu shalat Dhuhur berjamaah usai, aku bisa ikut terdorong ke dalam masjid karena saking banyaknya jemaah di belakangku yang mencoba "memblesek" masuk. Namun itu hanya cukup menempatkanku di shaf bagian belakang tepat disebelah partisi pembatas yang memisahkan jemaah pria dan wanita. Adapun mimbar tempat beliau berkhatbah berada di belakang dua kamera video di atas tripot yang diletakkan di ujung partisi pembatas. Kondisi ini yang membuat pandanganku agak terhalangi sehingga aku harus sesekali menegakkan badan untuk dapat melihat beliau.

Tak puas dengan pengalaman ini, bersama temanku yang datang dari Bogor akupun berniat menghadiri acara dakwah beliau berikutnya yang diselenggarakan di masjid lain malam harinya seusai pelaksanaan shalat Isya. Yang tak kuketaui sebelumnya, berbeda dengan masjid pertama, masjid kedua ini hanya memanjang ke samping dimana jarak antara mimbar dan pintu masuk terbilang pendek yang hanya muat terisi tujuh shaf. Untung saja aku telah hadir sekitar pukul setengah lima sehingga bisa mendapatkan spot di shaf ketiga setelah begitu banyaknya jemaah yang memaksa masuk memadati masjid.

Sebenarnya, sebagian besar isi dakwahannya pernah aku dengar lewat video-videonya, namun mendengarnya secara "live" memberi kesan tersendiri buatku. Apalagi dengan berburu tempat dan rela berjubel-jubelan untuk menjadi bagian dari jemaah yang shalat dan berdoa bersama beliau di bawah satu atap, pengalaman ini sungguh berharga.
Apakah aku akan mau melakukannya lagi kelak bila ada kesempatan serupa? Ah...cukup kali ini saja...kecuali jika event-nya lebih istimewa. :)


Monday, October 30, 2017

Hikmah Dibalik Secuil Pizza



Sering sudah kita dengar nasihat agar kita mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang terjadi, terlebih dari peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan. Kesannya memang klise saat kita sedang berada dalam kondisi yang tidak mengenakan kita. Anjuran itu tentunya dimaksudkan agar kita bisa sabar menerima suatu penolakan atas apa yang kita harapkan termasuk sedang mengalami  musibah. Tapi alangkah berat menelannya ketika kita lebih berkeinginan untuk mengeluh, berteriak atau memaki-maki.

Awalnya memang susah...namun saat perbaikan situasi yang sesuai harapan tidak juga kunjung tiba tapi justru sebaliknya makin memburuk, kita mungkin bisa sampai pada fase dimana kita sudah capek mengeluh, capek kesal, capek marah-marah, dlsb. Dan ketika itulah kita tak lagi punya pilihan lain selain menerima dengan ikhlas apa saja yang menimpa kita...seburuk-buruknya pun itu. Bagaimana tidak? Segala sikap tidak menerima kita akan kondisi kita ternyata tak juga membuatnya lebih baik hingga akhirnya kita harus menyerah.

Menyerah itu tak berarti kalah tapi berarti berserah diri pada Yang Kuasa...pada kehendakNya...pada kalamNya. Maksudnya secara ikhlas dan tulus menerima keputusanNya sambil terus berharap akan diberkahi olehNya rezeki di kemudian waktu. Intinya, ketimbang menunggu waktu tersebut sambil melakukan hal-hal yang negatif, yang bisa saja justru menambah dosa, kita justru melakukan perbuatan baik yang menambah amal dan pahala kita. Dengan bersabar dan tetap bersyukur atas apa yang diberikan olehNya, seharusnya perjalanan waktu kita akan terasa lebih ringan daripada jika kita mengisinya dengan kegelisahan dan emosi.

Sudah lebih dari empat tahun terakhir ini perjalanan hidupku bagaikan roller coaster yang kebanyakan turunnya. "Kebanyakan" ini artinya tidak melulu turun tapi ada juga naiknya. Hanya saja jumlah kenaikannya terbilang sedikit. Awalnya, saking seringnya aku meratapi penurunannya, aku sangat sering tak menyadari adanya kenaikannya. Bahkan seringkali kenaikan yang tak seberapa itu aku responi dengan rasa kecewa karena tak sesuai harapan atau tak sebanding dengan drastisnya penurunan yang sudah aku lewati. Akibatnya kenaikan itu lebih aku anggap masih sebagai penurunan yang membuatku tambah tertekan. Ironis bukan?

Nah...disaat aku telah kehabisan hasrat untuk tetap mengeluh, putus asa mendapati segala keluhan dan amarah yang tak kunjung memperbaiki kondisiku, aku menyerah. Aku mencoba me-reset ulang mindset ku dengan mencoba meyakini bahwa selalu ada hal baik dibalik segala hal yang buruk yang menimpaku. Mau tidak mau...suka tidak suka...aku melakukan manuver ekstrim dengan mencoba menerima nasibku secara ikhlas sambil berharap hal itu akan diganjar dengan berkah olehNya. Akibatnya, kesantaian itu benar-benar membuat hatiku tenang tak seperti keluhan yang menguras tenaga dan pikiranku. Hati dan pikiranku menjadi tenang ketika aku memohon kepadaNya segala kebaikan dengan berniat menunggunya secara ikhlas. Artinya...dikasih ya bersyukur, tidak dikasih ya bersabar.

Hasilnya pun luar biasa. Rezeki yang mungkin tidak seberapa, terasa sangat menyejukkan. Kenapa? Karena aku tak berharap yang muluk-muluk. Setelah berikhlas menerima semua tempaan hidup yang datangnya sambut menyambut, rezeki seperti ini ibarat setetes air di padang tandus.
Suatu contoh saja...beberapa waktu yang lalu, ketika aku dapat rezeki berupa dana pembayaran atas sebuah proyek kecil yang baru aku selesaikan, aku memesan pizza buat keluargaku. Dan setelah gigitan pertamanya, rasanya lezat sekali. Padahal ini bukan kali pertamanya kami menyantap pizza. Bahkan dahulu, pizza itu termasuk makanan yang setidaknya kami makan minimal dua bulan sekali. Aku yakin rasanya masih sama dengan yang dulu kami sering santap, namun kelezatan kali ini terasa karena mungkin sudah setahun lebih kami tidak makan pizza yang harganya tidak murah.

Kenikmatan seperti ini yang kemudian memotivasiku untuk selalu ikhlas dan tetap bersyukur atas kondisi buruk apapun yang aku hadapi. Rezeki yang terlihat kecil menjadi terasa bagai sebesar raksasa ketika datangnya setelah kita ikhlas bersabar menerima cobaan berat yang sifatnya hanya duniawi. Dan bisa saja tanpa disadari, ketika kenikmatan duniawi yang datang seperti itu kita sambut dengan rasa syukur yang, hadiahnya adalah kenikmatan ukhrawi kelak di kemudian hari.
Indah bukan?

TetapSabar&SyukurModeON....!!

Thursday, October 26, 2017

Cacar Air

Senin kemarin, tak seperti biasanya putra sulungku tiba-tiba sudah kembali di rumah dari sekolah pukul setengah empat. Aku mendapatinya sedang duduk di teras depan sambil menunduk dan memegangi kepalanya. Rupanya ia sedang sakit kepala yang dirasakannya seusai upacara bendera paginya. Hal inilah yang membuatnya melewatkan kegiatan ekstra kurikulernya dan memutuskan untuk segera pulang.

Seiringan dengan pernyataan tentang dugaannya tertular teman dekatnya, aku mendapati semacam dua bisul kering di mukanya. Memang awalnya ia tak menerangkan secara detil penyakit apa yang mungkin telah ditularkan, namun aku langsung curiga itu cacar air. Dan ternyata kemudian ia pun menyatakan bahwa temannya itu baru saja kembali masuk sekolah setelah seminggu absen karena sakit cacar air. Wali kelasnya pun menyatakan kepadaku kemungkinan hal itu karena ia tau mereka berteman dekat.

Phew...akhirnya ada juga putraku yang terjangkit penyakit ini. Tindakanku selanjutnya adalah konsultasi dengan kakak perempuanku yang seorang dokter anak tentang penanganannya. Yang jadi pertanyaan buatku sendiri adalah, apakah akan aku upayakan kesembuhannya dalam arti mencegahnya bertambah parah, atau kudiamkan bertambah parah dalam arti diforsir agar keluar semua sekaligus terbuang semua virus dan calon virusnya? Konon kabarnya setiap orang punya kadar maksimal tersendiri atas penyakit cacar air ini. Artinya, selama kadar yang tercapai pada saat terjangkit hingga sembuh belum maksimal maka kemungkinan terjangkit lagi masih ada.

Dulu ketika aku terjangkit juga saat duduk di bangku SMA, mendiang ibuku memberiku wedang asem yang dimaksudkan untuk memaksakan kadarnya mencapai maksimal agar setelah sembuh aku tak akan pernah terjangkit lagi. Itu sebabnya di awalnya aku hanya mengkonsumsi obat dan bedak penghilang rasa sakit dan gatal. Tak ada obat pembunuh virus hingga kadarnya mencapai maksimal. Rambutku bahkan sempat dipangkas habis oleh ibuku hingga kepalaku plontos agar cacar air yang ada di kepala bisa diberi salep dan bedak. Aku ingat benar saat itu salah satu derita terberatnya adalah menjalani hari-hariku dengan sariawan yang jumlahnya mencapai belasan, dan itu belum termasuk tujuh buah yang ada di lidah dan kerongkonganku.

Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan upaya penyembuhan atas apapun yang sudah terjangkit di tubuh putraku karena aku tak tega melihatnya harus menjalani hari-hari seperti yang pernah aku alami dulu. Lagipula, sebagai seorang siswa yang baru memulai studinya di sekolah menengah kejuruan ini, ia sedang giat-giatnya mengikuti berbagai kegiatan di sekolahnya. Kasihan jika ia harus melewatinya begitu lama. Dan aku pun meluangkan banyak waktu untuk mendampinginya dalam upaya penyembuhannya mengingat mungkin hanya akulah satu-satunya kandidat yang tidak akan tertular.

Namun entah mengapa, cacar air yang ada justru terus bertambah seolah segala obat yang aku berikan tidak berfungsi apa-apa. Hari-harinya semakin sulit karena rasa perih dan gatal yang terus bertambah. Biasanya suhu badannya meningkat drastis di malam hari sehingga tidurnya pun semakin sering terganggu. Kakak perempuanku juga terheran-heran atas hal ini hingga ia sempat berkelakar kalau ini disebabkan karena faktor turunan...halah! Pagi ini ia sempat memberi anjuran obat lain sebagai upaya penanganannya, namun aku sudah tak memfokuskan pada kesembuhan putraku dalam waktu dekat ini mengingat banyaknya cacar air yang sudah bermunculan di seluruh tubuhnya.

Mungkin putraku memang pada akhirnya harus lebih lama melewati fase ini, namun aku juga berharap jika memang ini berarti kemungkinannya kelak ia akan terjangkiti lagi adalah nol, maka biarlah ini terjadi sekarang. Toh aku sudah berusaha semaksimal mungkin dan ia juga sudah menuruti semua anjuran yang diterimanya. Kami sudah berusaha, tapi semua kembali ke padaNya yang sudah menentukan kalam putraku ini. Sabar dan ikhlas lagi....


Kehebatannya

Kakakku yang sulung ini memang sungguh istimewa. Istimewa karena ia punya sifat, tabiat, sikap, perangai atau apalah yang mau disebut, yang lain dari pada yang lain. Itu bisa berarti berdampak positif ataupun negatif untuknya sendiri, keluarganya, dan orang lain. Otaknya sangat amat encer, dan hal ini sudah dimilikinya sejak di bangku SD dulu. Buktinya ia, minimal, selalu menduduki peringkat tiga yang teratas dalam pencapaian prestasi tiap tahunnya. Ia sudah lumayan fasih menguasai bahasa Inggris di kelas dua SD. Tak lama pula setelah ia dikenalkan pada Tabel Unsur Kimia pun ia langsung hafal semua unsur di luar kepala, lengkap dengan posisi dan jumlah ion-ion yang dikandungnya. Selepasnya SMA, ia dengan mudahnya langsung lolos ujian seleksi masuk ke perguruan tinggi dengan mendapatkan tempat di kampus pilihan pertamanya di Bandung.

Apa yang kemudian terjadi setelah itu memang sama sekali tidak seperti yang diharapkan orangtua kami, tapi bukan berarti ia tak menyukainya. Pilihan arah yang ditentukannya di tiap persimpangan jalan hidupnya terlihat ekstrim namun rupanya ia tentukan dengan penuh pertimbangan akan segala konsekuensinya. Kami sekeluarga sempat berpikir bahwa keputusannya untuk menikah tidak tepat karena terkesan buru-buru sebelum ia mengenal betul calon istrinya. Tapi pernikahan itu telah diarunginya selama tiga dekade lebih dengan dikarunia empat anak lelaki yang kini semuanya sudah menjadi orang-orang yang sukses di pekerjaan dan sekolahnya. Dan semua kesuksesan itu tak lepas dari konsep hidupnya yang hingga kini masih sering kami anggap aneh dan tak lazim.

Hebatnya...ia bukan tipe orang yang cenderung menampilkan kehebatannya di depan umum. Ia sangat mengerti teknologi karena ia juga pernah menggeluti bidang IT sebagai bisnisnya, tapi ia tidak memanfaatkannya untuk mempromosikan data dirinya. Pernah sekali seorang Laksamana Sukardi terkagum-kagum atas kepintaran kakakku ini seusai mendengarkan presentasinya tentang lahan tambang yang izinnya dipegang oleh perusahaan ayah kami. Ia pun sempat mempertanyakan tentang sosok kakakku ini pada mediator yang mengenalkan pada kakakku hanya karena ia tak pernah mendengar nama kakakku di dunia bisnis dan ekonomi sedangkan ia mengira ia mengenal semua orang pintar yang ada dalam dunia bisnis di tanah air. Well...bagaimana ia bisa mendengar nama kakakku ketika data dirinya tidak pernah diekspos bahkan di dunia maya, wadah paling efisien bagi setiap orang untuk menjual diri?

Ketika ada yang mencari data dirinya dengan menggunakan nama kakakku sebagai keyword-nya, mungkin yang akan tampil hanya satu dua situs yang dibuat orang lain yang kebetulan mengikutsertakan nama kakakku, seperti situs silsilah keluarga yang pernah aku buat. Itupun tak dapat diakses tanpa izin dariku sebagai pembuatnya. Tak ada facebook, google account, linkedIn, blog atau media sosial miliknya. Kalaupun ia punya alamat email, tak mengandung nama lengkap apalagi fotonya.
 
Begitulah kakakku. Melanglang buana selama ini dengan menempatkan dirinya di belakang layar. Kalau dalam pertunjukkan wayang kulit atau wayang orang, jelas ia bukan wayangnya tapi mungkin juga bukan dalangnya. Ia lebih pantas disebut sebagai tim sukses sang dalang yang ikut mengatur alur cerita yang di suguhkan sang dalang. Sosok dalang bisa terekspos dan mungkin menjadi sosok yang terkenal, namun siapapun yang membantunya mengatur babak demi babak pertunjukannya tak pernah dimunculkan ke permukaan, betapapun suksesnya pertunjukannya itu. Di sisi lain, jika ada masalah di tengah jalan, ia tak akan jadi yang termasuk harus bertanggung jawab langsung. Akibatnya, namanya pun otomatis aman dari publikasi dan sorotan media.

Buatku, ia tak sekedar pintar tapi juga orang yang jenius atau brilian. Hubunganku dengannya yang terbilang kaku karena diantara semua adiknya, akulah yang paling suka menentang secara terbuka pola berpikirnya yang aku nilai cenderung egois sehingga lebih pantas aku sebut licik ketimbang cerdik. Namun jujur saja, aku tak enggan menganggapnya cerdik karena ia pandai bicara sehingga sifat egoisnya itu bisa dibungkusnya rapih dengan teori dan ilmu tinggi yang dimiliki kemudian disajikan dalam tutur bahasa yang sangat sopan dan terkesan menghormati lawan bicaranya. Bagi seorang awam yang artinya tidak mengenalnya sedalam aku mengenalnya, kakakku bisa dianggap sebagai nara sumber yang potensial dan motivator yang pantas diikuti omongannya. Itu sebabnya ia dapat dengan mudah meyakinkan orang untuk menggandengnya dalam berbisnis di bidang apapun.

Sudah sekitar tiga bulan belakangan ini aku mencoba untuk melakukan pendekatan kepadanya setelah tujuh tahun kami jarang sekali bertemu karena ia tinggal di pulau seberang dan jadwal masing-masing tak memungkinkan kami untuk mudah buka kontak. Selama tiga bulan ini aku mencoba menerimanya tanpa ingin melihatnya sebagai sosok yang aku uraikan di atas. Kami sama-sama sudah berusia kepala lima, dan itu menjadi alasanku mengapa aku mencoba untuk tidak judgemental terhadapnya. Secara teori, proses pendekatan ini akan berjalan mulus selama kami tidak saling menghakimi dan saling menerima apa adanya sehingga tidak condong menyerang satu sama lain dengan prinsip masing-masing.

Nah...disaat aku dan semua kakak adikku kini telah sepakat untuk menyelesaikan urusan keluarga yang selama ini belum tuntas karena adanya perbedaan paham diantara kami, ia jadi sulit dihubungi. Padahal proses penyelesaian ini sudah sampai pada tahap akhir dimana kami perlu menandatangani sebuah akta di depan notaris. Tempat tinggalnya yang jauh itu menjadi kendala sehingga ia juga tak mudah untuk didatangi, sementara tenggat waktu yang ada semakin sempit. Seandainya saja ia merespon kami lewat WAG, SMS atau telpon, kami pasti tak akan berada di posisi yang tidak mengenakkan ini. Pasalnya, kami tau pasti bahwa ia tau kami mencarinya. Ia juga membaca semua pesan kami, namun kalaupun merespon ia tak memberikan info yang akurat dan kena sasaran. Jawaban atas pertanyaan dan permintaan kami kebanyakan sifatnya menggantung bahkan sering mengundang tanya.

Pheew...kami pun mulai bertanya-tanya, jangan-jangan ada hal yang mengganjalnya (lagi) yang ia sembunyikan sehingga ia lalu menghindari kami dan proses penyelesaian ini. Dan hingga hari ini pun, meskipun ia telah menjelaskan kondisi fisiknya yang telah seminggu sakit berat sehingga baru bisa terbang untuk datang sore ini, selama ia belum menampakkan dirinya di depan kami, tidak ada yang dapat kami pastikan. Pada akhirnya, apapun yang ada dibalik semua peristiwa ini, aku dan adik-adiknya yang lain memang tak punya pilihan lain selain bersabar dan ikhlas menerima semua alasan yang ia berikan..seolah kami memang hanya wayang, sementara kakakku punya kuasa yang lebih besar dari dalangnya. Disitulah hebatnya kakakku... :p


Tuesday, July 11, 2017

Thanks, But No Thanks.

Ketika remaja dulu, terutama sebelum aku berkeluarga, aku termasuk orang yang tidak peka terhadap apa yang ada di sekelilingku. Aku sering bersikap dan berkata blak-blakan dalam bersosialisasi. Meskipun tanpa bermaksud menyerang perasaan orang lain, namun beberapa kali ada yang tersinggung dan kesal atas hal itu. Karena itulah aku kemudian menjadi pribadi yang lebih suka menyendiri demi mengantisipasi kemungkinan menyinggung perasaan orang lain. Lagipula...dengan "mojok" itu aku lebih punya banyak waktu untuk menikmati indahnya sepi...bak lagunya Candra Darusman. 😜

Seorang mantan sahabatku acapkali menjelaskan pada mereka yang belum lama atau baru mengenalku bahwa aku tipe orang yang bicara apa adanya. Dengan penjelasannya itu, orang lalu banyak yang mau menerima pendapatku lebih sebagai hal yang tulus dan jujur, meski kedengarannya nyelekit. Mungkin itu dianggap bermanfaat sebagai kritik membangun buat intruspeksi diri. Namun akhirnya pun aku harus intruspeksi diri akan tabiatku itu mengingat hal itu jugalah yang (sepertinya) membuat mantan sahabatku ini memutuskan pertemanan kami karena tidak bisa menerima pendapatku tentang kiprahnya yang buatku banyak negatifnya.

Aku lalu sering mengingatkan diri sendiri untuk menempatkan diriku sendiri di posisi orang yang sedang aku coba berikan pendapat. Hal yang sama aku coba terapkan setiap aku bertemu dengan orang yang sedianya sedang melakukan apapun yang siap membuatku kesal bahkan marah. Misalnya ketika hak ku dirampas oleh pengendara lain di jalan ketika aku punya hak yang lebih besar darinya. Tak hanya aku mencoba berada di posisinya dan memahami apa yang ada dalam benaknya sehingga melakukan hal itu, aku juga mencoba membayangkan efek apapun yang mungkin aku terima sebagai dirinya atas perbuatan itu. Sebut saja yang aku rampas haknya lalu memperpanjang permasalahan, akankah aku menerimanya dengan legowo atau justru ngeyel karena merasa tak bersalah? Bisa jadi urusannya berbuntut panjang. Capek juga lah...

Seperti itulah aku kemudian mencoba menahan diri dan menjadi sosok yang lebih cinta damai. Gundah dan gusar mungkin tetap terjadi padaku, namun semuanya kusimpan saja dalam hati tanpa ditindaklanjuti dalam hal yang negatif (baca: konyol). Dengan ikhlas aku harus bisa meredam emosiku...emosi dalam naik pitam atau bahkan dalam sekedar berpendapat. Sebagai seorang Muslim, aku membiasakan diri beristighfar dan mengucap hamdallah dalam berespon dengan harapan aku bisa terhindar dari segala situasi yang tak hanya merugikan aku sendiri tapi juga keluarga yang menjadi tanggung jawabku.

Ada hal-hal yang buatku jadi sensitif dengan terpuruknya situasi finansilku beberapa tahun belakangan ini. Dengan kondisi seperti itu, standarisasi kebijkasanaanku dalam bersikap dan berucap pun menjadi lebih tinggi. Ironisnya...meski tau tentang kondisi finansialku ini, beberapa kenalan dan kerabatku dengan mudahnya memojokkan aku di tempat yang sangat tidak nyaman. Dan ketika aku mencoba menyuarakan ketidak nyamananku itu, aku dianggap terlalu sensitif atau mudah tersinggung.

Satu contoh saja, minggu lalu sekumpulan teman yang juga orangtua dari teman-teman se-almamater putra sulungku bersepakat untuk melakukan kegiatan reuni sekaligus halal bihalal yang sekiranya diwujudkan dalam bentuk vakansi bersama di sebuah villa di daerah Puncak akhir bulan depan. Kebetulan pada tanggal yang sama, aku berencana menghadiri acara pernikahan keponakanku di Yogya. Nah...rencana ketidak ikutsertaanku ini dianggap sebagai suatu masalah oleh yang lain, sehingga mereka mencoba memundurkan jadwal reuni-nya dengan harapan aku bisa ikutan. Tak sekedar itu saja, rencanaku harus ke Yogya rupanya dicurigai sebagai dalih buatan belaka untuk menutupi fakta bahwa aku mungkin tak punya cukup dana untuk ikutan ke Puncak, sehingga mereka pun sepakat menyediakan subsidi-silang buatku sekeluarga.

Ugh...!!
Aku akan senang meluangkan waktu sejenak untuk mendukung niat rencana yang sangat berarti bagi putra sulungku ber-reuni lagi dengan teman-temannya yang telah lama tak ditemuinya. Jujur saja...sebenarnya di awal bulan depan, ada sejumlah dana yang (rencananya) akan turun, yang membuatku mampu membayar biaya yang diperlukan untuk vakansi ini. Namun kalaupun rencananya pemasukan dana itu mundur hingga setelah tanggal rencana pelaksanaan vakansi, aku sangat tidak suka dengan ide subsidi silang buat aku itu. Bukannya aku tak menghargai niat baiknya...namun aku bukan tipe orang yang mudah menerima bantuan yang tidak aku rasa penting. Vakansi ini bukanlah hal krusial yang perlu aku ikuti sampai aku harus menerima subsidi silang. Aku lebih memilih mendapatkan pinjaman tanpa bunga jika memang mendesak.

Pada seorang dari sekumpulan orangtua ini, aku sempat menyampaikan keberatanku dengan maksud agar bisa ia teruskan ke yang lain. Tapi seperti umumnya, ia memintaku untuk menerima dengan ikhlas rencana subsidi silang ini agar tidak menyinggung perasaan penggagas ide dan mereka yang menyetujuinya. Aku memang tidak memaparkan padanya tentang rencana turunnya dana ke kocekku mengingat rencana itu bisa berubah kapan saja, sehingga ia taunya hanya aku tak mau terima subsidi silang. Ia pun menolak menerima alasan penolakanku karena berharap aku tetap ikut hingga aku (akhirnya) memintanya mencoba menempatkan dirinya di posisiku karena ia pun tak ingin mendapatkan subsidi silang seperti itu jika ia tak punya dana yang cukup untuk membiayai keluarganya.

Strategi menempatkan diri kita di posisi orang lain harusnya efektif dalam menentukan suatu sikap dalam bersosialisasi.

Entah kapan ia akan menyampaikan pesanku ini pada yang lain. Mungkin juga akhirnya ia tak bernyali untuk melakukannya...tapi setidaknya, si bapak ini bisa mengerti mengapa aku akan lebih suka berdiam diri di rumah dengan kocek kosong ketimbang menerima subsidi silang itu untuk bisa ikutan acara yang tak wajib aku ikuti. Dan aku cukup yakin putra sulungku pasti setuju dengan keputusanku.


Thursday, June 29, 2017

Keberhasilan Anak

Kisah tentang lika liku perjalanan karir pendidikan putra sulungku ini memang seolah bagai tak ada habisnya. Sejak awal ketika ia usai mengikuti Ujian Nasional sekolah dasar saja aku sudah dibuatnya cemas. Jawaban "In shaa Allah" yang selalu diberikannya sebagai respon jika kutanya apakah ia akan mendapatkan hasil yang bagus membuatku bungkam karena aku tau setelah itu aku tak seharusnya mengharapkan jawaban yang lebih tepat dari penyerahan keputusannya kepada Allah meskipun hal itu memberi ganjalan dalam hati. Apalagi ia punya sikap cuek seolah tak peduli ke sekolah mana ia akan melanjutkan pendidikannya.

Namun aku seterperanjat teman-temannya ketika ternyata ia mendapat nilai tertinggi di sekolahnya. Seorang temannya, Putri, yang selama lima tahun sebelumnya selalu menjadi juara angkatanpun hanya menempati peringkat kedua. Yang lebih lucu sekaligus mengesalkan adalah bahwa guru bimbingan test-nya pun justru sempat mempertanyakan keabsahan hasil ujiannya disaat sewajarnya ia harusnya bangga akan prestasi anak didiknya sendiri itu. Tak ketinggalan kesan tak percaya dari para orang tua siswa lainnya dibalik ucapan selamat yang diberikan kepada anakku. Sikap anakku sendiri tentang keberhasilannya? Tetap datar-datar saja seperti tak ada yang istimewa....

Maka ia pun berhasil dengan mudah diterima dan melanjutkan pendidikannya di SMP pilihannya bersama sembilan teman sealmamaternya, termasuk Putri.
Tak ada juga yang terlihat istimewa dari putraku ini sepanjang tiga tahun pendidikannya disitu. Bahkan aku lebih sering melihat kewajarannya sebagai murid yang nilai hasil belajarnya tergolong rata-rata. Hasil belajarnya di tengah semester terakhirnyapun tak menempatkannya di lima belas besar di kelasnya. Suatu prestasi yang wajar bagi seorang anak yang banyak menghabiskan waktu di rumahnya menatap laptop atau telpon selulernya.

Sempat gemas juga aku dibuatnya beberapa kali karena ia tak sering memperlihatkan keseriusannya dalam persiapannya menghadapi Ujian Nasional. Memang kondisi finansialku tak memberinya kesempatan untuk mengikuti program-program bimbingan belajar seperti kebanyakan teman-temannya, namun minat belajar atas kemauannya sendiri juga sering tak ditunjukkannya. Saat aku mengingatkannya untuk lebih mempersiapkan diri, ia cenderung menurutinya dengan sikap ogah-ogahan dan mimik muka kesalnya. Itupun tak aku tindak lanjuti dengan pemaksaan karena buatku belajar dengan paksaan orang lain tak akan pernah membuatnya mudah menyerap ilmu.

Seusainya mengikuti Ujian Nasional, ia memang sempat menyatakan bahwa ada soal-soal yang tak terjawab olehnya. Tapi ia tetap terlihat santai dan enteng-enteng saja menjalani hari-harinya sambil menanti pengumuman hasil ujiannya. Dan pada akhirnya, semua terjawab dengan nilai yang ternyata lumayan cukup jauh di atas nilai rata-rata sekolahnya. Untuk sementara waktu memang hal ini membuatku lega mengingat begitu banyak teman di sekolahnya yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata. Hanya saja kelegaanku tak bisa dijadikan patokan saat faktanya ia harus bertarung menghadapi siswa-siswa dari sekolah lain yang lebih tinggi dari nilainya.

Lucunya...setelah mendaftarkan pilihannya pada sekolah menengah kejuruan negeri unggulan dan melewati tiga hari proses seleksinya, namanya terkunci di peringkat sepuluh dari enam puluh enam tempat yang dipertarungkan. Artinya, nilai hasil Ujian Nasional dari minimal lima puluh enam siswa yang mendaftar di jurusan yang sama di sekolah ini tak mengungguli nilainya. Yang mengejutkan adalah bahwa nilai terendah dari siswa yang diterima lebih rendah dari mereka yang berada di posisi terbawah di sekolah menengah atas, sehingga tak sedikit orangtua teman-temannya yang menganggap bahwa pertarungan untuk masuk ke sekolah unggulan ini ternyata tak sesengit masuk ke sekolah-sekolah menengah atas negeri yang selama ini dianggap sejajar predikatnya.

Aku akui tak ada yang salah dengan anggapan itu karena rupanya memang begitulah adanya. Buktinya...di penghujung proses seleksi tahap satu ini, hampir semua teman putraku yang mendaftar di sekolah-sekolah menengah atas pilihannya tak berhasil mengunci namanya di daftar siswa yang diterima. Kecuali mereka mau namanya terkunci di sekolah yang berpredikat lebih rendah, mereka terpaksa harus ikhlas mengikuti proses perebutan tempat berikutnya di tahap kedua yang berbasis rayonisasi atau kesamaan lokasi dengan tempat tinggal...suatu tahap yang dianggap lebih memberikan harapan.
Nah...disinilah mulai terdengar suara-suara sumbang yang kesannya didasari rasa iri atau sirik atas keberhasilan putraku lolos di tahap satu.

Selain berpendapat bahwa masuk ke sekolah menengah kejuruan lebih mudah, ada juga yang mengatakan bahwa sekolah pilihan putraku yang selama ini menyandang gelar sekolah unggulan ini ternyata tidak sehebat kabarnya. Hal ini didasari fakta diterimanya sejumlah siswa yang nilai hasil Ujian Nasionalnya rendah. Kemudian terdengar lagi pendapat bahwa dengan kondisi begitu, sekolah kejuruan seperti ini tak akan menjembatani siswanya ke perguruan tinggi negeri yang notabene selalu dianggap sulit dimasuki. Lalu ada yang berpendapat karena alasan itulah sekolah menengah kejuruan cenderung mengarahkan siswanya untuk bekerja seusai lulus.

Apakah semua ini harus mengganggu kelegaanku atas keberhasilan putraku? Tentu saja tidak.

Sederhananya begini tentang putra sulungku.
Sudah sejak masih belum sekolah, ia menaruh minat yang menggila pada mobil. Lalu ketika masuk sekolah dasar, ia rajin mengumpulkan brosur mobil disamping menyukai buku-buku tentang mobil. Ia bukan tipe anak yang cenderung tertidur ketika sedang dalam perjalanan darat, tapi justru sibuk mengamati mobil-mobil yang ada di sekelilingnya. Dari yang klasik hingga yang paling gres, dapat dikenali merk-nya. Sebelum lulus sekolah dasarpun ia sudah mulai memahami mesin mobil dan mekanisme nya hingga ia punya cita-cita memiliki usaha bengkel modifikasi mesin dan bodi mobil.

Ia begitu terpikatnya ketika ia kali pertama mengetahui dari penjual mie ayam tentang jurusan otomotif di sekolah menengah kejuruan ini sekitar empat tahun yang lalu saat secara tak sengaja aku mengajaknya jajan mie ayam gerobakan yang mangkal di depannya. Ia sangat terkesima dengan cerita bahwa para siswanya dikirim ke Jepang untuk diberi kesempatan melakukan studi lapangan di perusahaan otomotif di sana. Sejak itulah ia selalu mengarahkan tujuan pendidikannya di sekolah ini.

Sekarang...boleh saja orang menganggap sekolah ini tak sebaik sekolah menengah atas negeri. Atau masuk ke sekolah ini sangat mudah dan nyaris tak ada saingan yang berarti. Atau seusainya di sekolah ini, siswanya akan mengalami kesulitan untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi negeri unggulan.
Intinya...ia sudah resmi lolos seleksi dan diterima di sekolah unggulan yang menjadi incarannya selama empat tahun belakangan ini, dimana ia bisa berharap mendapat banyak ilmu tentang apa yang menjadi hasrat hidupnya selama lebih dari satu dekade. Sekolah yang mungkin akan menjembataninya ke kesuksesan hidupnya. Dan itu sangat solid untuk dijadikan alasan mengapa buatku tak ada yang bisa mengganggu kelegaanku.

Sementara temen-temannya masih ketar ketir menunggu nasibnya di seleksi masuk ke sekolah menengah atas tahap kedua, putraku sudah tengah mempersiapkan diri untuk memulai pendidikannya.

Congratulation, son. I am and forever be proud of you....


 

Thursday, April 27, 2017

Sukses dan Gagal

Semalam tiba-tiba aku ditelpon seorang kawan dan diminta untuk menemaninya pergi menjemput sepedanya yang baru saja ditawar orang. Ceritanya...ia memang sudah sejak beberapa waktu lalu memasarkannya tapi selama ini, meskipun telah banyak yang menyatakan berminat membelinya, tak satupun yang mengajukan penawaran yang layak diterimanya. Dan akhirnya siang kemarin ada seorang peminat dari Yogya yang tak hanya memberi penawaran yang bagus tapi juga langsung mentransfer sejumlah dana sebagai tanda jadi. Maka akan disiapkan untuk dikirimlah sepeda yang sedang dititipkan di sebuah bengkel sepeda milik kenalannya.

Selama dalam perjalanan, kawanku ini terlihat sangat riang. Rupanya ia juga punya rencana membeli sepeda lain yang lebih mahal sebagai gantinya. Dan dengan terjualnya sepeda ini, maka ia pun akan dapat segera membeli sepeda yang sedang diincarnya. Sebenarnya ia tak punya dana yang cukup untuk menutup selisih harganya, namun sejumlah dana pinjaman guna meng-cover itu sudah disiapkan oleh seorang kawannya. Jadi semalam, ia berulang kali menyatakan kelegaannya karena segalanya tampak teratasi dengan mulus. Baginya, jika ia sampai berhasil membeli sepeda barunya berarti ia telah mencapai kesuksesan atas usahanya.

Ia sempat bercerita bahwa ia sempat kesal pada para peminat yang dianggapnya tidak serius dan hanya mempermainkan mentalnya sehingga ia pernah berniat menghentikan usaha penjualannya beberapa saat sebelum kemudian tanpa diduga masuk penawaran dari Yogya ini. Dengan pengalaman insiden ini ia mengingatkan aku untuk tidak menyerah ketika aku sering dihadapkan pada kegagalan karena "kegagalan adalah sukses yang tertunda", katanya. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik meskipun sesungguhnya ingin juga aku membahas soal semboyan ini...tapi pada saat yang sama aku tak ingin merusak nuansa hatinya yang sedang berbunga-bunga.

Yup...sebuah semboyan yang sudah sering aku dengar sejak lama terutama ketika aku dulu sesekali ikutan bisnis Multi Level Marketing. Semboyan yang sering digaungkan oleh para pesukses dalam memotivasi mereka yang sedang berjuang mendapatkan kesuksesan yang sama. Aku seratus persen setuju karena buatku tak ada yang salah dengan semboyan itu dan penggunaannya.  Sudah terbukti efektif untuk banyak orang termasuk aku sendiri dari waktu ke waktu dan dari kasus ke kasus. Tapi dari segala hal negatif yang hadir kemudian setelah kesuksesan, mungkin hal sebaliknyapun perlu dijadikan sebagai pengingatan.

Kita diingatkan bahwa kegagalan itu bisa memacu semangat kita untuk terus berusaha sehingga kesuksesan itu (akhirnya) bisa dihadirkan. Jadi bisa diartikan bahwa peran kegagalan sangat besar dalam mewujudkan kesuksesan. Bukan berarti kesuksesan itu hanya hadir setelah adanya kegagalan, namun kesuksesan orang yang pernah gagal biasanya justru lebih besar dari kesuksesan mereka yang tidak pernah mengalami kegagalan. Minimal kesuksesan menjadi lebih berarti bagi mereka yang sebelumnya menemui kegagalan. Bisa jadi makin besar kegagalan, makin besar pula kesuksesan yang menyusulnya.

Suka tidak suka...mau tidak mau...di belakang kesuksesan pun ada kegagalan yang siap menghampiri kita. Bagaimana tidak? Adalah hal yang wajar jika segala sesuatu yang terjadi ada konsekuensinya. Keuletan kita memperjuangkan kesuksesan ketika sedang gagal bisa sama besarnya dengan kelengahan kita dalam menghindari kegagalan ketika sedang sukses. Tanpa disadari, nikmatnya kesuksesan sering begitu membuai sehingga kita jadi lupa diri sampai-sampai kita melakukan kesalahan-kesalahan yang mampu mengarahkan kita pada kegagalan yang kemudian datang menyusul. Aku paham hal itu karena aku pernah mengalamaninya beberapa kali.

Seperti apa yang sempat dialami kawanku saat kegagalan dirasakan mempermainkan mentalnya, kesuksesanpun bisa mempermainkan bahkan merusak mental peraihnya. Para penawar yang dianggapnya abal-abal adalah bagian dari suatu ujian kesabaran yang kuatnya sama dengan semua hal muluk yang menjadi bagian dari ujian buat kita dalam mensyukuri kesuksesan. Jadi kita selayaknya mampu menangani kedua jenis ujian itu dengan kebijaksanaan yang sama. Berjuang meraih kesuksesan itu sulit...tapi tak sesulit memeliharanya, yang sama artinya dengan berjuang menghindari kegagalan.

Pada setiap orang yang mempertanyakan bagaimana jika mereka gagal dalam usahanya, aku cenderung merespon, "Saya sudah tau kalau anda gagal ya anda akan terus miskin. Yang saya tidak tau justru apa jadinya jika anda sukses dalam usaha anda. Apakah anda sudah siap?"
Nyatanya...tidak sedikit pesukses yang tidak siap menghadapi kondisi yang diburunya. Kesuksesan yang didapat dengan susah payah ternyata cepat dikandaskan dalam sekejap oleh kegagalan yang datang kemudian hanya karena mereka jadi kaget tau-tau sukses lalu mblinger, tak bijaksana dalam me-manage kesuksesannya atau bahkan seperti orang gila yang bertindak ceroboh tanpa berpikir.
Intinya...gagal dan sukses itu bisa datang tanpa diduga kapan dan ukurannya. Soal kans-nya...tergantung bagaimana cara kita menyikapinya.

Jadi semalam aku hanya bisa memberi anjuran pendek kepadanya agar lebih berhati-hati dalam menindaklanjuti kesuksesan dalam penjualan sepedanya. Terlebih ketika dana yang digunakan untuk membeli sepeda barunya itu sifatnya titipan yang kelak harus dikembalikan. Banyak faktor X yang mungkin terjadi yang nantinya bisa membuyarkan atau mengubah apapun yang telah direncanakannya. Tinggal bagaimana ia bertindak bijaksana supaya terhindar dari kegagalan yang mungkin datang kapan saja.
After all...kesuksesan (pun bisa jadi) adalah kegagalan yang tertunda... :p

Thursday, April 20, 2017

Pilihan Baru

Akhirnya terpilihlah gubernur DKI Jakarta yang baru setelah pilkada putaran kedua sukses dilakukan kemarin dengan aman tanpa gangguan apapun yang sebelumnya dikhawatirkan banyak pihak termasuk pemerintah.
Terbukti sudah bahwa rakyat kita, khususnya warga Jakarta masih rukun, taat hukum dan menjaga kedamaian. Suatu kondisi yang bertolak belakang dengan kesan yang ditampilkan sebagian besar pendukung kedua paslon sepanjang masa kampanye.
 

Memang keputusan resmi belum dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum, namun hasil hitungan cepat (Quick Count) sudah meyakinkan kedua belah kubu siapa pemenangnya. Keduanya telah melakukan konferensi pers sebagai tindaklanjut dari hasil hitungan cepat ini. Yang satu sudah menyatakan rasa syukurnya atas kemenangannya, dan yang lawannya sudah menyatakan ikhlas menerima kekalahannya.
Maka di kalangan para paslon dan tim sukses yang terjun langsung ke dalam arena pertarungan ini semuanya telah diselesaikan dengan cara yang resmi dan baik.
 

Sayangnya tidak begitu halnya di kalangan pendukungnya. Meski sambil mengucapkan selamat atas kemenangan kubu lawan, dengan nada menyinyir pendukung paslon yang kalah mengingatkan paslon pemenang akan janji-janji yang pernah diberikan, dengan keyakinan semua itu tak akan terpenuhi. Sementara sebagai responnya, para pendukung paslon pemenang ikut menyinyir atas ketidak legowoan pendukung lawan. Yang sebelumnya medsos dipenuhi aksi saling serang dengan kampanye, terrmasuk yang hitam, tudingan dan tuduhan, kini dipenuhi dengan aksi nagih janji, ngeles dan mbully.

Ah...mau sampai kapan sih bertindak childish seperti ini? Padahal pengguna medsos seperti ini khan bisa dianggap sebagai golongan menengah ke atas yang cukup terdidik. Harusnya mereka bisa belajar dari masyarakat dari lapisan bawah yang siap melanjutkan perjuangan hidup di bawah kepemimpinan yang baru.
Aku juga pernah kecewa saat jagoanku tidak menang di Pilpres yang lalu. Namun kekecewaanku hanya kusimpan sebatas dalam diri saja karena toh tak akan mengubah kondisi yang ada. Aku harus ikhlas menerima kemenangan lawan kandidat yang aku dukung karena dia lah pilihan mayoritas rakyat negeri ini. Selama aku menjadi warga negara negeri ini, aku harus mengakui dan menghormatinya sebagai pemimpinku. 

Begitu pula yang selayaknya diterapkan oleh pendukung paslon yang kalah kemarin. Kalau kemarin mereka dihadapkan pada dua pilihan paslon, mulai hari ini mereka juga punya dua pilihan; tetap menetap di Jakarta dengan segala peraturan daerahnya yang ditentukan oleh gubernur baru, atau pindah dari Jakarta. Sesederhana itu lah...


Selamat kepada gubernur dan wakil gubernur terpilih. Semoga amanah dan bisa menjadikan Jakarta lebih makmur, aman dan nyaman.
 


Sunday, April 16, 2017

Halo Jakarta

Pilkada Jakarta putaran kedua dan terakhir sudah diambang pintu, hanya tinggal menghitung hari. Setiap hari ada saja kegiatan yang berkaitan dengan kampanye kedua pasangan calon (paslon) yang akan bertarung memperebutkan tampuk kepemimpinan ibukota negara ini. Ada yang berkonsep agama, ada yang sosial maupun juga yang berkaitan dengan hiburan. Intinya, masing-masing tim sukses berlomba menebar pesona demi mengambil hati rakyat. Maka janji-janji manispun diobral.

Secara paralel, ada juga pihak-pihak pendukung biasa yang dengan gencar melancarkan kampanye hitamnya. Mereka ini masyarakat biasa yang tidak tergabung dalam tim sukses atau organisasi resmi pendukung paslon. Bebasnya mereka menulis dan mempublikasikan tulisannya di dunia maya membuat suasana menjelang pilkada ini semakin menggila. Tak terkecuali beberapa teman di grup-grup whatsapp yang aku ikuti hingga aku lebih sering melewatkan postingan-postingannya. Jujur saja, aku tak peduli hal baik atau hal buruk yang dipaparkan tentang kedua paslon karena aku tak menilai mereka dari hal-hal yang diutarakan oleh pihak-pihak yang mungkin tidak mengenal langsung sosok mereka.

Ada dua hal yang aku pertanyakan tentang semua ini.

Seperti pilkada lain yang sudah-sudah di masa lalu, banyak sekali janji para kandidat yang ternyata bodong dan tak pernah terlaksana setelah mereka menang. Buntut dari pilkada kali ini nantinya bisa jadi sama saja dengan yang terdahulu. 
Lalu sadarkah masyarakat bahwa kemungkinan besar segala kegiatan yang marak digalangkan ini sifatnya sementara yang memang hanya terjadi saat menuju pilkada? 
Bahwa bantuan dan bakti sosial, cenderamata atau sejumlah dana yang dibagikan secara gratis, ibadah bersama, bahkan remeh temeh antara paslon dengan masyarakat dalam acara open house atau kunjungan ke tempat-tempat terpencil di pelosok ibukota, yang notabene memungkinkan masyarakat selfie bersama paslon itu semuanya mungkin akan jarang terjadi lagi pasca pilkada.

Bagi anggota tim sukses, kegagalan paslon yang diusungnya mungkin adalah hal yang sudah jauh-jauh hari diwaspadainya. Mental mereka dari awal harusnya sudah dilatih sehingga mereka siap menerima kondisi seperti itu.
Pertanyaan kedua menyangkut para pendukung biasa yang ikutan aktif hingga memakai cara yang ekstrim dalam menggembar gemborkan kehebatan paslon pilihannya atau bahkan kebusukan lawannya di berbagai media sosial.
Siapkah mereka ini menerima fakta bahwa lawan paslon-nyalah yang akan menjadi pemimpinnya?
Bahwa mungkin mereka akan dibully oleh para pendukung paslon pemenang yang bisa jadi selama ini kesal dengan segala postingan dan tanggapan kampanyenya, termasuk oleh teman-teman dan kerabatnya sediri.

Pilkada Jakarta yang satu ini memang berbeda dengan semua pilkada yang pernah ada. Bahkan bisa dibilang lebih menyita perhatian dari pilpres terakhir karena dikaitkan dengan agama dan etnis...dua faktor super sensitif yang selama puluhan tahun dijaga ketat kerukunannya demi menciptakan kehidupan bangsa yang harmonis.
Sudah tidak mungkin lagi untuk menjadikan Jakarta senyaman seperti 40 tahun yang lalu, tapi aku berharap pilkada ini tidak menyisakan efek negatif setelah usai nanti. Sampah, polusi, kemacetan, cuaca dan semua permasalahan yang ada selama ini sudah cukup untuk membuatku ingin hidup jauh-jauh dari Jakarta. Jangan sampai jadi lebih parah...

Thursday, March 16, 2017

Lancang

Rupanya kemarin istriku baru beres-beres sebuah sudut rumah yang selama ini dijadikan tempat penimbunan berbagai barang termasuk barang-barang miliknya sendiri. Memang jenis barang paling banyak disitu adalah buku dan kertas milik kedua putraku. Maklumlah...mungkin memang lelaki umumnya tidak mudah membuang barangnya meskipun tak terpikirkan kegunaannya. Kebanyakan mereka cenderung menyimpannya dengan konsep pemikiran kelak suatu hari nanti ada manfaatnya.

Diantara barang-barang itu ditemukan sebuah foto putra sulungku bersama seorang tukang parkir yang merupakan bagian dari tugas sekolahnya dua tahun silam. Saat itu ia harus mencari dan mewawancarai seorang pekerja lepasaan yang pendapatannya tidak tetap, kemudian mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan disertai foto dirinya bersamanya (sebagai bukti kebenaran wawancaranya). Kebetulan sekali tukang parkir ini dulu pernah bekerja sebagai tukang sapu di sekitar sekolah dasar putraku sehingga ia bukan lagi sosok asing buat putraku.

Dan foto yang dulu disertakan dengan tulisannya secara terpisah itu ditempelkan di atas selembar kertas berwarna berukuran lebih besar sehingga terkesan berbingkai. Fotonya terbilang bagus karena memang putraku ini hanya lebih mudah tersenyum jika difoto bersama teman atau kenalannya dibanding jika bersama ayah atau ibunya. Namun entah sebagus apapun nilai yang mungkin ia dapat, faktanya adalah foto dan tulisannya itu telah begitu lama tak terlihat diantara tumpukan kertas di pojok ruangan. Aku sendiri juga baru melihatnya semalam tergeletak di atas meja makan setelah dipisahkan dari barang-barang yang dianggap sebagai sampah dan telah dibuang sorenya.

Aku sempat mengamati foto itu beberapa saat, mengagumi senyum sekaligus kreatifitas putraku membuatnya lebih menarik. Mungkin ia sudah tak terlalu peduli lagi dengan foto ini, tapi setidaknya ia pernah memberikan perhatian yang besar dalam pengerjaannya sampai memberi kesan berbingkai. Terlintas dalam pikiranku untuk suatu hari nanti memberinya sebuah bingkai foto berkaca jika memang putraku ingin menyimpannya seperti itu. Maka aku berencana untuk membicarakannya siang ini dengannya setelah ia pulang sekolah.

Sayangnya...semua rencanaku buyar setelah pagi tadi istriku menggunting foto itu dan membuang setengah bagiannya sang tukang parkir. Otomatis foto itu tidak semenarik sebelumnya karena meski senyum putraku masih terlihat namun bingkainya sendiri hanya tersisa setengah. Lhah...apa bagusnya bingkai begitu?? Ini kebiasaan istri menyunting foto orang lain seenaknya. Belum lagi kalau memang ia belum dapat izin sebelumnya dari putraku.

Aku lalu teringat apa yang ia lakukan dulu dengan koleksi foto lamaku yang tersusun rapih di dua album foto. Dulu khan belum ada sistem foto digital sehingga semuanya berbentuk cetakan. Apalagi internet yang menyediakan banyak tempat untuk menyimpan foto digital. Jadi satu-satunya cara menyimpan foto kenangan ya dengan menggunakan album foto. Aku rajin mengumpulkan foto masa kecilku yang kudapat dari orangtuaku, dan alhamdulillah foto-foto itu selamat tak tersentuh. Tapi beberapa fotoku bersama teman wanita atau foto teman-temanku wanita (semua bukan mantan) kena screening. Ia menggunting atau mengganti dengan fotonya. Alasannya...aku sudah memasuki hidup baru sebagai suaminya sehingga fotonya harus ada lebih banyak dari foto wanita lainnya.

Ketika itu aku marah besar atas kelancangannya itu. Aku menyatakan bahwa apa yang aku simpan dalam album itu merupakan dokumentasi dari perjalanan hidupku. Semua orang yang fotonya aku simpan di dalamnya punya makna tersendiri buatku. Dari waktu ke waktu aku perlu diingatkan tentang pernah seperti apa aku dan hidup yang pernah aku jalani sehingga aku bisa terus belajar menjadi a better person. Dan jika ia ingin foto-fotonya menjadi bagian dari albumku itu, seharusnya aku yang menentukan di halaman mana dan seperti apa diikutsertakannya.
Hanya saja, kekesalan dan kemarahanku itu tak berefek banyak karena foto-foto yang kena screening sudah dibuangnya dan tak mungkin kudapatkan kembali. Seiring waktu berjalan, proses pengisian album-album foto itupun terhenti secara berkala dengan hadirnya kamera digital, scanner dan internet.

Yang mengejutkan adalah...tujuhbelas tahun kemudian, putraku menjadi korban tabiat buruk ibunya yang ternyata masih dipertahankan. Pheeww.... 


Wednesday, March 15, 2017

Seteguk Air

Hari ini aku pergi lagi ke gedung Setiabudi dengan menggunakan layanan Gojek. Dan seperti yang sudah-sudah, seusainya urusanku disana aku selalu berjalan kaki sekitar satu setengah kilometer untuk sampai ke titik ideal buatku memesan layanan Gojek kembali ke rumah. Hal ini perlu aku lakukan guna menghindari rute perjalanan yang memutar agar aku bisa berhemat di ongkos Gojek-nya.

Nah, kebetulan siang tadi langitnya sangat cerah sehingga sinar matahari-nya terasa menyengat dan udaranya cukup terasa panas. Sebenarnya aku tak berencana untuk jajan makanan atau minuman, karena aku memang bawa uang pas-pasan, apalagi biasanya di daerah komersial dan perkantoran seperti disitu harga-harga panganan bisa lebih tinggi dari umumnya. Namun perjalanan panjang itu membuat perut kosongku yang memang belum terisi sejak pagi seolah tak mau diajak kompromi ketika aku melewati sebuah gerobak gorengan. Untung saja harga gorengan tersebut masih normal sehingga aku memutuskan untuk membeli tiga potong risol buat sanguku selama berjalan kaki.

Sanyangnya, tak satupun kutemui tempat yang menjual air mineral dalam kemasan gelas. Ukuran kemasan air mineral terkecil yang mereka sediakan adalah botol 500ml. Koq lucu ya...seolah semua pedagang disitu kompak tidak menyetok kemasan gelas bermerk apapun. Jadi bisa dikatakan bahwa siapapun yang butuh air mineral harus mau membayar untuk kemasan botolan meskipun tak sebanyak itu air yang mereka butuhkan.

Jujur saja aku sangat butuh minum saat itu, namun dilain sisi aku tak perlu air sebanyak satu botol untuk mengimbangi tiga potong gorengan yang tengah aku makan. Lha wong gorengan saja hanya kubeli sesedikit itu demi menghemat biaya dan itupun karena perut yang sudah bersenandung, bagaimana mungkin aku harus merogoh kocek lebih banyak untuk jumlah air yang tak kubutuhkan? So...aku memenangkan ego-ku dengan menahan haus selama perjalanan pulangku.

Dalam keadaan yang sedikit beda dimana aku punya dana lebih, aku yakin aku tak akan berpikir dua kali untuk membeli sebotol air minum. Kalaupun tak habis diminum saat itu, aku kemungkinan akan menyimpan sisanya untuk waktu yang lain. Tapi aku memang tadi terjepit diantara kebutuhan dan kemampuan membeli yang saling tidak mendukung satu sama lain. Keinginan untuk melepaskan diri dari dahaga yang sempat menggila harus aku abaikan demi mendukung program penghematan yang dtaku jalani.

Tenggorokanku memang sempat terasa amat seret, tapi air gratisan yang kuteguk sesampaiku di rumah menjadi terasa jauh lebih nikmat dan melegakan. Memang kemenangan yang didapat lewat perjuangan berat biasanya terasa lebih manis...



Monday, March 13, 2017

Berlatih (tidak) Bicara

Semalam aku melakukan brain storming dengan adikku hingga larut sekitar jam dua. Sudah sekitar 5 tahun lamanya aku tidak melakukan pertemuan one-on-one dengannya sejak terakhir kami bertemu di sebuah cafe. Pertemuan semalam kami lakukan di rumahnya karena ia merasa lebih leluasa untuk bicara tanpa batasan waktu. Nah...soal "bicara" ini yang jadi topik tulisanku ini.

Umurnya hanya terpaut satu setengah tahun dari umurku, dan ketika kami kecil dulu hingga aku selesai SMA, kamar kami bersebelahan dengan sebuah pintu yang penghubung yang nyaris tak pernah tertutup. Jadi bisa dikatakan diantara kami enam bersaudara, ia lah yang paling kenal karaterku dan begitupun sebaliknya. 

Salah satu ciri khas darinya adalah bahwa ia doyan sekali berbicara. Tak hanya itu, ia bukanlah seorang pendengar yang baik. Bukan berarti ia tidak mengindahkan apa yang didengar, tapi ia cenderung tak sabar untuk menunggu lawan bicaranya selesai berbicara. Hal ini membuatnya sering memotong pembicaraan lawan bicaranya. Tak jarang ia bisa tertidur dalam rapat dengan boss-nya di saat ia tak mungkin menyelanya.

Begitulah yang terjadi semalam. Dan saking lamanya tak bicara man-to-man dengannya, aku sampai lupa kebiasaannya itu. Berkali-kali di awalnya aku terjebak situasi dimana ia memotong pembicaraanku. Padahal kebanyakan apa yang aku coba utarakan merupakan respon dari pertanyaannya buatku. Seolah ia sebenarnya tak butuh jawaban dariku, ia bisa nyelonong begitu saja melanjutkan bicaranya. Huff...sesaat sempat kesal juga aku dibuatnya, hingga aku teringatkan kembali tentang kebiasaannya ini.

Namun, aku tak marah padanya. Aku juga tak lalu ngoyo untuk menyelesaikan dulu jatah giliranku yang dipotong olehnya mengingat ada tiga hal yang jadi pertimbanganku. Pertama, apa gunanya pula aku bicara jika ia hanya akan terkantuk-kantuk mendengarkannya? Disamping itu, pertemuan semalam ini dimaksudkan agar ia bisa menjelaskan panjang lebar tentang sebuah proyek yang sedang dirintisnya dimana aku diajak terlibat di dalamnya. Jadi aku rasa selain yang formatnya pertanyaan tentang proyek ini, penting tidaknya apapun yang terucap dariku untuk diresponi memang ia yang berhak menentukan. Dan yang terakhir...yang bermanfaat buatku juga...ini bagaikan sebuah pelatihan untuk membatasi diri dalam bicara.

Aku masih sering terlambat menyadari setelah aku kebablasan dalam bicara. Tak berarti aku ngember bocor, tapi mengutarakan lebih dari yang diperlukan saja. TMI...Too Much Information, kalau istilahnya orang seberang. Masih harus banyak melatih diri aku ini dalam soal angkat bicara. Dan punya lawan bicara seperti adikku, dengan kondisi seperti semalam menjadi suatu hal yang bermanfaat buatku untuk belajar nge-rem sekaligus berpahala membuat orang lain senang karena diberi keleluasaan bicara sepuasnya. :p




Sunday, March 12, 2017

Duniawi - Ukhrawi

Makin hari aku makin sering mendapatkan kiriman-kiriman pengingatan, baik lewat medsos ataupun Whatsapp, akan pentingnya kita sebagai umatNya mengesampingan segala hal yang sifatnya duniawi dan memperjuangkan kebaikan kelak di akhir zaman.

Aku senang jika sering diingatkan seperti itu...ketimbang melihat kiriman sampah tentang politik yang belakangan berserakan dimana-mana. Pengingatan itu menyadarkan aku bahwa aku ini sangat kecil dan masih harus banyak belajar. Belajar dari mereka yang punya kesederhanaan dalam menjalani hidupnya. Yang sudah merasa cukup dengan segala kelebihannya yang bagi orang lain bisa dianggap sebagai kekurangan. Mereka bagaikan MacGyver yang bisa memanfaatkan apapun yang mereka punya demi kelangsungan hidup mereka. Aah...betapa bahagianya bila aku bisa seperti itu, tak perlu cemas dengan masalah keduniawian.

Tapi di sisi lain, sebagai seorang kepala keluarga, aku adalah lelaki yang punya tanggung jawab dalam menafkahi keluargaku. Meski sudah mencoba berusaha mati-matian, kalau aku tak mampu memberi makan mereka tentunya pikiranku jadi terbebani. Aku bisa saja menahan lapar dan mengurangi jatah makanku tiap hari...tapi apakah aku tak berdosa jika anak istriku juga terpaksa harus begitu? Kalaupun mereka dengan ikhlas menerima situasi seperti itu, in shaa Allah mereka akan mendapatkan imbalan pahalanya, tapi apa iya aku juga akan terbebaskan karena keikhlasan mereka?

Tak hanya itu, aku juga punya kewajiban memberi suatu tempat yang layak untuk mereka. Tempat dimana mereka bisa terlindungi dari cuaca dan alam yang tak selalu ramah, dan segala hal yang mungkin bisa merugikan mereka. Aku tak punya pakem harus seperti apa tempat itu, namun wajarnya jarang sekali ada tempat yang tak perlu didukung faktor-faktor keduniawian. Dimanapun kita tinggal, tentunya kita akan butuh akomodasi tertentu untuk mendukungnya seperti air dan listrik yang tak bisa didapatkan secara cuma-cuma. Oke sebutlah untuk penerangan aku hanya memakai lilin atau lampu templok. Untuk masak aku pakai kompor minyak, atau bahkan sesederhana pakai kayu sebagai sumber apinya. Tapi kesemua itu khan tak ada yang bisa didapat secara gratisan? Mau dapat kayu dari pohon? Pohonnya siapa? Mau menanam dan membesarkan pohon sendiri? Berapa lama sampai pohon itu cukup besar untuk dipreteli menjadi kayu bakar?

Kalau dalam kondisi seperti sekarang ini, sepertinya akan sangat sulit untuk tak mencemaskan tentang keduniawian. Aku percaya akan diberi jalan keluar olehNya, namun sementara aku bekerja sambil menunggu solusinya dengan penuh keihlasan, keluargaku punya keperluan primer yang tak mungkin diabaikan, seperti makan, sekolah dan berobat ketika sakit. Ini yang membuat ikhlasku jadi setengah-setengah. Aku bukannya memilah milih pekerjaan yang pantas aku lakoni, namun aku juga harus mentargetkan apa yang bisa aku dapatkan yang layaknya sepadan dengan waktu dan effort yang aku berikan untuk pekerjaan itu. Sebagai manusia, aku tetap mencari kepuasan.

"Manusia memang tak pernah puas", kata kebanyakan orang. Benar...tapi kepuasan tiap individu tidak sama. Ada yang tak puas meski sudah kaya raya dan seolah tak ada yang tak mungkin terbeli olehnya sehingga ia hanya menghambur-hamburkan kekayaannya untuk hal-hal yang sepele.
Kalau boleh aku berdalih, kepuasanku aku set di level hidup yang sederhana saja...tak muluk-muluk. Tak perlu rumah besar, mobil dan lifestyle yang sedikit-sedikit merogoh kocek untuk dapat hiburan. Mengontrak rumah petakan pun tak mengapa, yang penting cukup layak buat memayungi keluarga dengan baik. Kemana-mana bisa pakai kendaraan umum karena tak punya kendaraan pribadi juga oke. Kalau perlu pengobatan, ke Puskesmas-pun boleh...seperti yang kulakukan sekarang. Tapi kontrakan, angkutan umum dan dokter puskesmas itu bagaimana harus dibayarnya kalau dananya tidak ada?

Aku tau betapa pentingnya concern pada kehidupan ukhrawi, tapi bukan berarti yang duniawi tidak penting. Jauh kalah penting...memang, tapi kita sebagai umatNya juga punya tugas-tugas duniawi yang wajib dibereskan dengan baik...apalagi buat seorang kepala keluarga seperti aku. Dan baik atau buruknya hasil kerja kita menangani hal-hal yang duniawi juga akan mempengaruhi nilai rapor kita yang akan dibuka dan dibacakan di akhir masa nanti.
Sebab itulah, sejujurnya, aku masih sering belum bisa menerapkan konsep "Tinggalkan yang duniawi demi yang ukhrawi", karena aku berharap bisa dapat referensi yang baik kelak dari semua perbuatan baikku selama hidup di dunia. Bukannya aku lebih mementingkan keduniawian di atas keukhrawian, tapi justru keukhrawian itulah yang menjadi alasanku (seolah) mendahulukan keduniawian.

Harta yang aku punya dan akan aku punya memang tak akan kubawa mati, tapi sesedikitpun harta itu kuharapkan bisa memberi kebaikan dan kenyamanan bagi hidup keluargaku. In shaa Allah kebaikan dan kenyamanan mereka bisa kelak memberi kebaikan dan kenyamanan padaku kelak di akhirat. Jadi kalau aku lebih memilih uring-uringan, kesal, bete, menangis, bingung sambil meratapi nasibku yang kuanggap masih belum baik, berarti aku tak hanya sedang cemas akan kehidupanku di dunia, tapi juga di akhirat....

Thursday, March 9, 2017

Sebuah Perjalanan Musik

Grup band SMA angkatanku yang aku ikuti sejak sekitar dua tahun terakhir ini rencananya akan tampil lagi untuk ke tiga kalinya pada ajang yang sama di venue yang sama pula, Hard Rock Cafe, Jakarta hari ini. Sebenarnya kami tak seharusnya dapat jatah tampil untuk ajang yang digelar per enam bulanan ini karena sesuai dengan aturan yang ada sebelumnya, setiap band yang telah tampil dua kali berturut-turut tidak diperkenankan ikut di satu ajang berikutnya. Nah, dengan keikutsertaan kami di ajang kedua dan ketiga yang lalu, otomatis kami harusnya, dalam istilah kepanitiaannya, meliburkan diri di ajang keempat ini, dan akan boleh kembali ikutan di ajang yang kelima bulan November depan.

Buatku, aturan ini sangat bisa diterima mengingat makin banyaknya band yang berminat ikutan di setiap ajangnya sehingga semua bisa berkesempatan menjadi bagian dari sejarah perjalanan ajang pagelaran musik band alumni sekolahku ini. Lagipula aku juga dengan senang hati bersedia rehat dan hanya datang sebagai penonton saja, atau aku bisa tampil dengan formasi band dan genre yang berbeda. Hitung-hitung semacam refreshing saja. Belum lagi fakta bahwa ajang kali ini kembali akan digelar di venue yang sama. Padahal, pada meeting pasca ajang terakhir bulan november lalu, telah disepakati bahwa ajang berikutnya akan diselenggarakan di venue lain yang dinilai lebih baik.

Sekedar info saja, segenap keluarga besar komunitas band alumni kami ini sebenarnya sempat sangat kecewa dengan kerjasama yang kami jalani dengan pihak venue di ajang-ajang yang silam. Dari kurang baiknya penanganan teknis seputar sound system hingga pemungutan dana f&b yang dilakukan pihak venue secara terselubung dengan memanfaatkan para tamu yang sebagian besar para alumni yang sukses dan sebagian cenderung ingin mengekspos kesuksesan mereka dengan cara menghambur-hamburkan uangnya selama ajang ini berlangsung. Hasilnya, ada saja suara kekecewaan datang dari tetamu yang saat itu merasa dianak tirikan oleh pihak venue, misalnya tidak dilayani kecuali bersedia membayar lebih dari yang seharusnya dibayar, atau tidak mendapatkan tempat duduk (yang disepakati sebelumnya harusnya disediakan secara gratis) jika tidak mengeluarkan biaya yang dipungut tanpa sepengetauan panitia acara.

Namun...semua jadi berbeda karena tahun ini sekolah almamaterku genap berusia sembilanpuluh tahun. Nah karena ajang ini memang bagian dari rangkaian acara peringatan momen bersejarah itu, dirombaklah pakem-pakem yang sudah ada di banyak sektor. Mulai dari penetapan venue yang sama lagi, diizinkannya band apapun untuk tampil meski telah ikutserta di dua ajang terakhir seperti halnya band ku, hingga diberlakukannya konsep "Tribute of". Aturan baru yang juga ditetapkan adalah bahwa setiap personil tidak diperkenankan bermain di lebih dari satu grup band. Aturan inilah yang mungkin mem-backup-i diizinkannya band-band seperti bandku tampil lagi. Dampaknya buat personil seperti aku, yang di ajang terakhir sempat tampil dengan dua band yang berbeda, kali ini harus memilih band mana yang ingin diikutsertai. Dan orang seperti aku yang bermain di dua grup dalam satu ajang ini jumlahnya tidak sedikit.

Dari awal, aku sebenarnya tidak antusias untuk tampil dengan band angkatanku karena sama sekali tidak ada wacana itu sejak November lalu. Hanya saja, aku tak mungkin tidak menerima ajakan bandmates ku untuk ikutan lagi kali ini. Mereka bahkan sangat senang dapat kesempatan tampil lagi jauh lebih awal dari yang direncanakan mengingat penyelenggaraan ajang ini dimajukan dari Mei. Di lain sisi, band ku yang satu lagipun tak mungkin tampil karena para anggota lainnya (terpaksa) memilih menjadi bagian dari band-band lain yang akan berpartisipasi juga hari ini. Maka jadilah aku kembali ikut merencanakan pemetasan kami meski untuk kali ini, gitaris kami sudah menyatakan akan absen dari sejak awal karena bentroknya jadwal dengan urusan kerjaannya.

Secara berkala kami menjalani pelatihan dengan segala keterbatasan kami. Sangat jarang sesi latihan band kami dihadiri semua anggotanya. Kalau lengkap pun, artinya dengan posisi gitaris yang hingga minggu lalu masih kosong. Yah...segala kekurangan ini yang membuatku makin tidak yakin kami akan tampil dengan baik. Rasanya malas sekali aku menjalani sesi latihan yang tak kunjung membuahkan hasil yang membaik. Apalagi menurutku, besarnya antusias bandmates ku tak diimbangi dengan effort berlatih yang optimal. Mungkin bagi mereka, tampil di ajang seperti ini bagaikan sekedar cari fun saja. Tapi bagiku, momen seperti ini akan selalu meninggalkan kesan berarti dalam hidupku, sehingga aku tak ingin hanya sekedar tampil bak layaknya naik panggung secara spontan di acara-acara keluarga, kelurahan, interen kantor atau semacam itulah pokoknya.

Minggu lalu, di tengah kesibukanku menjalani persiapan tampil yang melulu didasari azas solidaritas terhadap bandmates ku, tiba-tiba aku dikontak oleh kakakku yang memberi update terkini tentang usaha yang kami rintis bersama sekitar enam tahun lalu, sekaligus menugaskanku untuk menindaklanjutinya dengan melakukan kunjungan ke luar kota selama dua hari mulai hari ini. Wah...sudah sewajarnya bila ada rasa senang mengingat usaha ini sempat terkatung-katung tanpa kejelasan selama tiga tahun lebih. Jika saat ini ada secercah harapan baru yang tersaji di depanku, apalagi aku berkesempatan untuk pergi jauh meninggalkan sejenak kehidupanku yang kian semu di kota besar yang makin membosankan ini, selayaknya aku merasa overwhelmed.
Namun kegembiraanku tak terasa full...

Yang kemudian menyita pikiranku adalah bagaimana aku mengabarkan kepada bandmatesku bahwa aku akan berhalangan untuk ikut tampil mengingat tugas ini mutlak tak mungkin aku tolak. Bahwa pada akhirnya setelah bertahun-tahun bersusah payah mencari dan menunggu kesempatan untuk bertemu para pejabat setempat yang berwenang, tiba-tiba peluang itu datang. Tapi bagaimana mungkin aku mundur begitu saja setelah sekian lama justru akulah yang selama ini memotivasi yang lainnya dalam melakukan persiapan penampilan kami? Di satu sisi aku punya komitmen terhadap band ku. Sementara di sisi lain aku juga lebih dahulu membuat komitmen pada semua pihak yang sejak awal menjadi bagian dari usaha yang aku jalani bersama kakakku itu. Belum lagi ribuan orang yang nasibnya bergantung pada usaha ini.

Akhirnya memang fakta ini tidak mungkin tidak ditelan bandmates ku dengan penuh kekecewaan. Dan akupun telah siap menerima kenyataan bahwa jika sampai batal tampil, aku tak urung akan jadi penyebab utamanya. Namun fakta ini sama sekali tak melenturkan kebulatan tekad mereka untuk tetap tampil meski jika nantinya mereka tak menemukan penggantiku. Ini yang lalu membuatku kembali bersemangat untuk tetap andil dalam membantu persiapan mereka termasuk mencarikan pengganti ku dan gitaris ku. Dan alhamdulillah, sehari setelah berita penugasan itu aku terima, aku juga berhasil meminang seorang adik kelas untuk mengisi posisi gitaris yang sebenarnya berencana untuk off di ajang ini karena besok pagi harus terbang ke New York mengurus kerjaan kantornya. Aku juga berhasil membujuk panitia agar memberi lampu hijau bagi seorang bassis dari grup lain untuk juga bermain di grup ku mengingat situasiku yang bisa dianggap Force Majeure ini.

Lucunya...manuver cepat di tengah kegentingan ini justru memompa antusias dan semangat bandmates ku, sehingga di minggu terakhir kemarin tiga kali latihan yang dilakukan dihadirin semua bandmates ku termasuk para musisi penggantinya. Effort berlatih mereka juga lebih besar dari yang pernah mereka berikan selama persiapan menuju ajang-ajang sebelumnya. Aku melihat bagaimana mereka lebih mudah menerima kritikan dan lebih berusaha memperbaiki kekurangannya. Karena itulah latihan mereka jadi terasa lebih kritikal dan memberi manfaat lebih banyak bagi persiapan mereka. Sepertinya memang untuk menuju ke ajang ini, perjuangan kami semua lebih berat. Hasilnya, latihan terakhir semalam berakhir memuaskan...yang pasti buatku. Mereka menyatakan lebih siap dan bersemangat ketimbang menjelang ajang-ajang yang lalu. Ini yang menimbulkan adanya sedikit kekecewaan dalam diriku atas akan absennya aku menjadi bagian dari penampilan mereka nanti malam.

Tapi tak mengapa...
Jalan yang sedang kami lalui memang berbeda dan masih belum terlihat ujungnya. Sejauh ini ada kekecewaan dan ada juga kepuasan yang kami dapat. Kami dapat masalah, kami pun dapat solusi dalam mengatasinya. Hal-hal yang tidak diharapkan terjadi bisa setiap saat menjadi penghalang di depan kami. Aku tidak tau akan bagaimana hasil dari perjalananku dalam mengemban tugas ini, dan aku tidak tau juga akan seperti apa penampilan mereka nanti malam. Para penggede yang akan aku temui bisa mendadak berhalangan, sementara masalah teknis dan sound system juga masih bisa jadi batu sandungan buat penampilan grup band ku. Yang aku tau, semua sudah diatur sempurna olehNya. Jadi kun fayakun...aku hanya perlu berikhtiar dan bertawakal saja. 
 
 

Wednesday, March 8, 2017

Menunda dan Konsekuensinya

Aku berusaha untuk menjalani hari-hariku sehemat mungkin setelah keadaan finansialku memburuk dalam tiga tahun terakhir ini. Aku merasa bahwa aku bukanlah tipe Big Spender, namun kuakui bahwa aku acap membeli barang murahan yang sebenarnya tidak terlalu penting buatku hanya untuk memanjakan ego saja. Misalnya membeli gorengan dikala aku tidak lapar hanya karena harganya lebih murah dari harga umumnya. Tak jarang keputusanku itu berujung dengan kekecewaan karena ternyata rasanya tidak memuaskan. Atau satu set obeng kecil a la kawe sekian yang harusnya bisa bermanfaat untuk membuka sekrup kacamata tapi langsung rusak ketika pertama kali digunakan.

Setahun lalu ketika aku sedang sangat kesal dengan layanan provider Indosat yang sering mandek saat sedang sangat dibutuhkan, di sebuah warung makan kecil di daerah seputar Tasikmalaya aku bertemu dua orang marketing Telkomsel yang menawarkan kartu SIM Abondemen versi baru yang bisa aku tentukan sendiri nilai tagihan pokoknya. Karena harga terendahnya cukup murah dengan quota data dan telpon yang cukup memadai buatku maka aku membelinya untuk menggantikan kartu SIM Indosat yang saat itu sudah siap aku ganti. Nah...maka sejak saat itu aku kembali menjadi pengguna kartu SIM abondemen Telkomsel setelah hampir satu dekade sejak aku memutuskan untuk hanya melulu menggunakan versi Pra-bayar.

Aku memilih paket bulanan termurah sebesar enampuluh ribu dengan quota internet sebesar dua giga. Sebenarnya mungkin besarnya quota sekilas terlihat tidak ideal buatku mengingat ramainya traffic internet yang aku gunakan. Apalagi dengan beberapa grup Whatsapp yang aku ikuti yang memakan banyak quota atas media-media foto dan video postingan anggota lainnya. Namun karena aku berkantor di rumah, kondisiku cukup aman dengan adanya jaringan Wifi dari MNC yang secara bersamaan memberikan layanan cable TV di rumah. Jadi praktis layanan internet dari Telkomsel ini hanya aku butuhkan di luar rumah ketika tak ada jaringan Wifi yang bisa aku tumpangi.

Pada saat quota internet atau telpon dari Telkomsel ini habis terpakai sebelum memasuki masa putaran baru untuk bulan berikutnya, aku dapat membeli tambahan paket data atau telpon dengan pilihan harga dan quota, yang masa berlakunya hingga memasuki putaran baru. Jadi memang aku harus pandai-pandai memilih paket tambahan ini sesuai dengan kebutuhan di sisa periode bulanannya. Khusus paket tambahan datanya, otomatis akan terhenti ketika putaran baru mulai bergulir. Artinya, berapapun besarnya quota yang tersisa dari paket ini akan hangus. Namun di lain kasus, paket tambahan lainnya seperti telpon ke sesama nomor telkomsel, ke provider lain, ke nomor rumah dan sms, tidak otomatis terhenti. Jumlah durasi telpon atau jatah sms yang tersisa di akhir periode memang juga akan hangus, tapi jika aku tidak meminta pihak Telkomsel untuk menghentikannya maka paket-paket itu akan secara otomatis diperbarui. Disinilah aku harus ekstra waspada karena jika aku lupa menghubungi pihak Telkomsel di akhir periode, aku akan memasuki putaran baru dengan paket bulanan yang aku pilih, plus paket-paket tambahan yang belum tentu akan aku butuhkan di periode bulan berikutnya. Ini yang terjadi kemarin padaku.

Di bulan lalu, layanan  dari MNC sempat dua kali terputus karena adanya gangguan teknis dari pusatnya. Lebih apesnya lagi, putusnya layanan ini berlangsung hingga 3-4 hari setiap kalinya. Jadi dalam sebulan yang jumlah tanggalnya hanya duapuluh delapan hari itu aku mendapat layanan internet dan cable selama hanya duapuluh satu hari. Situasi ini yang membuat quota internet dan telponku dari Telkomsel terkuras habis sehingga aku harus membeli beberapa paket tambahan sesuai kebutuhan untuk melancarkan usaha apapun yang aku jalani. Dan saat aku membelinya, aku sudah mewanti-wanti diri sendiri untuk tidak lupa meminta Telkomsel menghentikan layanan paket-paket itu sebelum periode baru dimulai. Aku bahkan sudah menyeting sebuah reminder di hape-ku dan tak ada yang salah dengan hape-ku. Yang salah adalah bahwa aku mengabaikan reminder hape-ku yang tepat waktu mencoba mengingatkanku di saat aku tengah mengerjakan sesuatu yang harusnya bisa aku tunda selama sepuluh menit saja. Dengan penuh keyakinan aku akan segera menghubungi Telkomsel setelah aku tuntaskan dahulu apa yang sedang aku kerjakan sehingga aku tak mengaktifkan mode Snooze. "Mana mungkin aku lupa. Untuk apa aku aktifkan fitur Snooze-nya? Toch sebentar lagi juga aku selesai, lalu baru aku hubungi Telkomsel", pikirku sambil terus bekerja. Memang tak sampai lima menit kemudian aku telah menuntaskan apa yang aku kerjakan, tapi aku langsung melakukan hal baru lainnya tanpa ingat tentang Telkomsel hingga pagi ini. Hasilnya...aku telah memulai putaran periode baru dengan paket-paket tambahan yang harusnya bisa aku hindari jika saja aku tak menundanya.

Well...inilah konsekuensi yang harus aku tanggung sekarang atas kesombonganku terlalu percaya diri di saat yang salah. Sepuluh menit yang harusnya mudah untuk diluangkan telah aku abaikan begitu saja sehingga aku bisa saja telah menciptakan kesulitan buatku sendiri di depan sana dengan tagihan bulanan yang membengkak. Aku meremehkan peringatan dari hape-ku karena aku tak bersedia meninggalkan sejenak saja apa yang tengah aku kerjakan. Kepuasanku dalam membereskan pekerjaanku itu besarnya jadi tak sebanding dengan kekecewaanku pada kebodohanku yang sepele itu. Itu negatifnya.
Positifnya...kejadian ini mengingatkan aku bahwa ada hal semirip ini yang jauh lebih serius dalam hidup. Terbayangkah oleh kita besarnya konsekuensi yang kita pertaruhkan ketika kita melakukan penundaan untuk melakukan perintahNya? Bagaimana jika kita berniat menunda lima menit saja untuk melakukan perintahNya namun ternyata yang tersisa dalam hidup kita hanya empat menit? Taruhannya bukan lagi hal duniawi....FOREVER!!



Thursday, February 16, 2017

Gembira Untuk Teman

Tak banyak sosok apalagi teman yang aku kagumi cara berpikirnya. Mungkin bisa dihitung dengan jari di satu tanganku. Aku memang "a sucker" for orang yang mampu menghargai prinsip orang lain. Tak harus pintar, tapi kalaupun pintar dan bahkan punya prinsip hidup yang njelimet buat aku, asal mereka bukan tipe orang yang memaksakan orang lain untuk mengakui kebenaran prinsip mereka, buat aku aman-nyaman saja untuk diajak berteman. Artinya, mereka mudah dan enak diajak berdiskusi dan bertukar pikiran. Malah seringkali kerendahan hati mereka ini yang membuatku mudah mengagumi prinsipnya dan menganggapnya lebih baik dari prinsipku.

Salah satu diantara mereka ini sudah aku kenal sejak sekitar tujuh tahun yang silam. Pertemanan kami mengalir dengan mulus karena ia seorang pendengar yang baik. Tak hanya rajin mendengarkanku, ia juga dengan humble memberi asupan padaku bila memang dirasa perlu. Humble-nya ini yang sering membuat aku menganggap prinsipnya mudah aku terima sehingga layak untuk aku coba ikuti. Hal lain darinya yang mengagumkanku adalah bahwa ia tak mudah begitu saja memberitakan hal-hal baik yang terjadi padanya meskipun sebenarnya itu bisa membuatku ikut senang. Dengan kata lain, ia mungkin lebih memilih menyimpannya dalam hati ketimbang terkesan menyombongkan diri.

Tiga hari yang lalu, tiba-tiba ia mengabariku bahwa ia akan segera berangkat untuk menunaikan ibadah Umrah-nya sekaligus meminta maaf atas kesalahannya padaku. Huuuft...!! Kabar ini begitu mengejutkanku sekaligus membuatku sangat senang. Bagaimana tidak? Aku pernah beberapa kali mengutarakan keinginanku untuk kelak pergi Umrah bersama tapi ia selalu mengelak dengan alasan hati dan pikirannya belum siap untuk menjadi tamu Allah. Dan kini, ia pun menunggu hingga H minus dua untuk mebagi berita menggembirakan ini. Ketika kutanya, ia menyatakan bahwa ketika seorang kawannya menawarkan sponsorship untuknya, ia tak kuasa menolak undangan Allah, tapi ia juga sekaligus tak merasa nyaman untuk menyebarkan beritanya sebelum semua persiapannya sudah bisa memastikannya untuk berangkat. As simple as that!

Well...tak sedikitpun kekecewaan ada padaku hanya karena ia akan pergi sendiri dan bukan denganku. Alasan aku mengandaikan kepergiannya bersamaku dulu itu murni karena aku ingin sekali ia mengunjungi tanah suci dan menjalani prosesi ibadah Umrah agar ia juga mungkin bisa dapat pembelajaran yang bermanfaat seperti yang telah aku dapatkan. Dan aku tak harus jadi orang yang membawanya kesana dan menemaninya ketika ia menjalaninya. Buatku, yang penting adalah kelancarannya dalam menjalani pengalaman itu dan apa yang mungkin didapatnya untuk bisa menjadikannya orang yang lebih baik dan bijaksana. Karena bila dan ketika itu terjadi, aku akan mungkin belajar lebih banyak darinya untuk kebaikan hidupku sendiri.

Jadi, tak ada rasa lain yang kurasakan selain rasa gembira yang tak terkira dan rasa syukur atas keberangkatannya untuk menempa ilmu kehidupan.
Selamat jalan, teman. Selamat menjadi tamu Allah dalam menunaikan ibadah Umrah. Semoga perjalananmu lancar dan segala urusanmu diberi kemudahan olehNya sehingga kau bisa kembali ke tanah air dengan keadaan selamat dan sehat, dan menjadi manusia yang lebih baik di jalanNya...aamiin.