Kisah tentang lika liku perjalanan karir pendidikan putra sulungku ini memang seolah bagai tak ada habisnya. Sejak awal ketika ia usai mengikuti Ujian Nasional sekolah dasar saja aku sudah dibuatnya cemas. Jawaban "In shaa Allah" yang selalu diberikannya sebagai respon jika kutanya apakah ia akan mendapatkan hasil yang bagus membuatku bungkam karena aku tau setelah itu aku tak seharusnya mengharapkan jawaban yang lebih tepat dari penyerahan keputusannya kepada Allah meskipun hal itu memberi ganjalan dalam hati. Apalagi ia punya sikap cuek seolah tak peduli ke sekolah mana ia akan melanjutkan pendidikannya.
Namun aku seterperanjat teman-temannya ketika ternyata ia mendapat nilai tertinggi di sekolahnya. Seorang temannya, Putri, yang selama lima tahun sebelumnya selalu menjadi juara angkatanpun hanya menempati peringkat kedua. Yang lebih lucu sekaligus mengesalkan adalah bahwa guru bimbingan test-nya pun justru sempat mempertanyakan keabsahan hasil ujiannya disaat sewajarnya ia harusnya bangga akan prestasi anak didiknya sendiri itu. Tak ketinggalan kesan tak percaya dari para orang tua siswa lainnya dibalik ucapan selamat yang diberikan kepada anakku. Sikap anakku sendiri tentang keberhasilannya? Tetap datar-datar saja seperti tak ada yang istimewa....
Maka ia pun berhasil dengan mudah diterima dan melanjutkan pendidikannya di SMP pilihannya bersama sembilan teman sealmamaternya, termasuk Putri.
Tak ada juga yang terlihat istimewa dari putraku ini sepanjang tiga tahun pendidikannya disitu. Bahkan aku lebih sering melihat kewajarannya sebagai murid yang nilai hasil belajarnya tergolong rata-rata. Hasil belajarnya di tengah semester terakhirnyapun tak menempatkannya di lima belas besar di kelasnya. Suatu prestasi yang wajar bagi seorang anak yang banyak menghabiskan waktu di rumahnya menatap laptop atau telpon selulernya.
Sempat gemas juga aku dibuatnya beberapa kali karena ia tak sering memperlihatkan keseriusannya dalam persiapannya menghadapi Ujian Nasional. Memang kondisi finansialku tak memberinya kesempatan untuk mengikuti program-program bimbingan belajar seperti kebanyakan teman-temannya, namun minat belajar atas kemauannya sendiri juga sering tak ditunjukkannya. Saat aku mengingatkannya untuk lebih mempersiapkan diri, ia cenderung menurutinya dengan sikap ogah-ogahan dan mimik muka kesalnya. Itupun tak aku tindak lanjuti dengan pemaksaan karena buatku belajar dengan paksaan orang lain tak akan pernah membuatnya mudah menyerap ilmu.
Seusainya mengikuti Ujian Nasional, ia memang sempat menyatakan bahwa ada soal-soal yang tak terjawab olehnya. Tapi ia tetap terlihat santai dan enteng-enteng saja menjalani hari-harinya sambil menanti pengumuman hasil ujiannya. Dan pada akhirnya, semua terjawab dengan nilai yang ternyata lumayan cukup jauh di atas nilai rata-rata sekolahnya. Untuk sementara waktu memang hal ini membuatku lega mengingat begitu banyak teman di sekolahnya yang mendapat nilai di bawah nilai rata-rata. Hanya saja kelegaanku tak bisa dijadikan patokan saat faktanya ia harus bertarung menghadapi siswa-siswa dari sekolah lain yang lebih tinggi dari nilainya.
Lucunya...setelah mendaftarkan pilihannya pada sekolah menengah kejuruan negeri unggulan dan melewati tiga hari proses seleksinya, namanya terkunci di peringkat sepuluh dari enam puluh enam tempat yang dipertarungkan. Artinya, nilai hasil Ujian Nasional dari minimal lima puluh enam siswa yang mendaftar di jurusan yang sama di sekolah ini tak mengungguli nilainya. Yang mengejutkan adalah bahwa nilai terendah dari siswa yang diterima lebih rendah dari mereka yang berada di posisi terbawah di sekolah menengah atas, sehingga tak sedikit orangtua teman-temannya yang menganggap bahwa pertarungan untuk masuk ke sekolah unggulan ini ternyata tak sesengit masuk ke sekolah-sekolah menengah atas negeri yang selama ini dianggap sejajar predikatnya.
Aku akui tak ada yang salah dengan anggapan itu karena rupanya memang begitulah adanya. Buktinya...di penghujung proses seleksi tahap satu ini, hampir semua teman putraku yang mendaftar di sekolah-sekolah menengah atas pilihannya tak berhasil mengunci namanya di daftar siswa yang diterima. Kecuali mereka mau namanya terkunci di sekolah yang berpredikat lebih rendah, mereka terpaksa harus ikhlas mengikuti proses perebutan tempat berikutnya di tahap kedua yang berbasis rayonisasi atau kesamaan lokasi dengan tempat tinggal...suatu tahap yang dianggap lebih memberikan harapan.
Nah...disinilah mulai terdengar suara-suara sumbang yang kesannya didasari rasa iri atau sirik atas keberhasilan putraku lolos di tahap satu.
Selain berpendapat bahwa masuk ke sekolah menengah kejuruan lebih mudah, ada juga yang mengatakan bahwa sekolah pilihan putraku yang selama ini menyandang gelar sekolah unggulan ini ternyata tidak sehebat kabarnya. Hal ini didasari fakta diterimanya sejumlah siswa yang nilai hasil Ujian Nasionalnya rendah. Kemudian terdengar lagi pendapat bahwa dengan kondisi begitu, sekolah kejuruan seperti ini tak akan menjembatani siswanya ke perguruan tinggi negeri yang notabene selalu dianggap sulit dimasuki. Lalu ada yang berpendapat karena alasan itulah sekolah menengah kejuruan cenderung mengarahkan siswanya untuk bekerja seusai lulus.
Apakah semua ini harus mengganggu kelegaanku atas keberhasilan putraku? Tentu saja tidak.
Sederhananya begini tentang putra sulungku.
Sudah sejak masih belum sekolah, ia menaruh minat yang menggila pada mobil. Lalu ketika masuk sekolah dasar, ia rajin mengumpulkan brosur mobil disamping menyukai buku-buku tentang mobil. Ia bukan tipe anak yang cenderung tertidur ketika sedang dalam perjalanan darat, tapi justru sibuk mengamati mobil-mobil yang ada di sekelilingnya. Dari yang klasik hingga yang paling gres, dapat dikenali merk-nya. Sebelum lulus sekolah dasarpun ia sudah mulai memahami mesin mobil dan mekanisme nya hingga ia punya cita-cita memiliki usaha bengkel modifikasi mesin dan bodi mobil.
Ia begitu terpikatnya ketika ia kali pertama mengetahui dari penjual mie ayam tentang jurusan otomotif di sekolah menengah kejuruan ini sekitar empat tahun yang lalu saat secara tak sengaja aku mengajaknya jajan mie ayam gerobakan yang mangkal di depannya. Ia sangat terkesima dengan cerita bahwa para siswanya dikirim ke Jepang untuk diberi kesempatan melakukan studi lapangan di perusahaan otomotif di sana. Sejak itulah ia selalu mengarahkan tujuan pendidikannya di sekolah ini.
Sekarang...boleh saja orang menganggap sekolah ini tak sebaik sekolah menengah atas negeri. Atau masuk ke sekolah ini sangat mudah dan nyaris tak ada saingan yang berarti. Atau seusainya di sekolah ini, siswanya akan mengalami kesulitan untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi negeri unggulan.
Intinya...ia sudah resmi lolos seleksi dan diterima di sekolah unggulan yang menjadi incarannya selama empat tahun belakangan ini, dimana ia bisa berharap mendapat banyak ilmu tentang apa yang menjadi hasrat hidupnya selama lebih dari satu dekade. Sekolah yang mungkin akan menjembataninya ke kesuksesan hidupnya. Dan itu sangat solid untuk dijadikan alasan mengapa buatku tak ada yang bisa mengganggu kelegaanku.
Sementara temen-temannya masih ketar ketir menunggu nasibnya di seleksi masuk ke sekolah menengah atas tahap kedua, putraku sudah tengah mempersiapkan diri untuk memulai pendidikannya.
Congratulation, son. I am and forever be proud of you....