Rupanya kemarin istriku baru beres-beres sebuah sudut rumah yang selama ini dijadikan tempat penimbunan berbagai barang termasuk barang-barang miliknya sendiri. Memang jenis barang paling banyak disitu adalah buku dan kertas milik kedua putraku. Maklumlah...mungkin memang lelaki umumnya tidak mudah membuang barangnya meskipun tak terpikirkan kegunaannya. Kebanyakan mereka cenderung menyimpannya dengan konsep pemikiran kelak suatu hari nanti ada manfaatnya.
Diantara barang-barang itu ditemukan sebuah foto putra sulungku bersama seorang tukang parkir yang merupakan bagian dari tugas sekolahnya dua tahun silam. Saat itu ia harus mencari dan mewawancarai seorang pekerja lepasaan yang pendapatannya tidak tetap, kemudian mendokumentasikannya dalam bentuk tulisan disertai foto dirinya bersamanya (sebagai bukti kebenaran wawancaranya). Kebetulan sekali tukang parkir ini dulu pernah bekerja sebagai tukang sapu di sekitar sekolah dasar putraku sehingga ia bukan lagi sosok asing buat putraku.
Dan foto yang dulu disertakan dengan tulisannya secara terpisah itu ditempelkan di atas selembar kertas berwarna berukuran lebih besar sehingga terkesan berbingkai. Fotonya terbilang bagus karena memang putraku ini hanya lebih mudah
tersenyum jika difoto bersama teman atau kenalannya dibanding jika
bersama ayah atau ibunya. Namun entah sebagus apapun nilai yang mungkin ia dapat, faktanya adalah foto dan tulisannya itu telah begitu lama tak terlihat diantara tumpukan kertas di pojok ruangan. Aku sendiri juga baru melihatnya semalam tergeletak di atas meja makan setelah dipisahkan dari barang-barang yang dianggap sebagai sampah dan telah dibuang sorenya.
Aku sempat mengamati foto itu beberapa saat, mengagumi senyum sekaligus kreatifitas putraku membuatnya lebih menarik. Mungkin ia sudah tak terlalu peduli lagi dengan foto ini, tapi setidaknya ia pernah memberikan perhatian yang besar dalam pengerjaannya sampai memberi kesan berbingkai. Terlintas dalam pikiranku untuk suatu hari nanti memberinya sebuah bingkai foto berkaca jika memang putraku ingin menyimpannya seperti itu. Maka aku berencana untuk membicarakannya siang ini dengannya setelah ia pulang sekolah.
Sayangnya...semua rencanaku buyar setelah pagi tadi istriku menggunting foto itu dan membuang setengah bagiannya sang tukang parkir. Otomatis foto itu tidak semenarik sebelumnya karena meski senyum putraku masih terlihat namun bingkainya sendiri hanya tersisa setengah. Lhah...apa bagusnya bingkai begitu?? Ini kebiasaan istri menyunting foto orang lain seenaknya. Belum lagi kalau memang ia belum dapat izin sebelumnya dari putraku.
Aku lalu teringat apa yang ia lakukan dulu dengan koleksi foto lamaku yang tersusun rapih di dua album foto. Dulu khan belum ada sistem foto digital sehingga semuanya berbentuk cetakan. Apalagi internet yang menyediakan banyak tempat untuk menyimpan foto digital. Jadi satu-satunya cara menyimpan foto kenangan ya dengan menggunakan album foto. Aku rajin mengumpulkan foto masa kecilku yang kudapat dari orangtuaku, dan alhamdulillah foto-foto itu selamat tak tersentuh. Tapi beberapa fotoku bersama teman wanita atau foto teman-temanku wanita (semua bukan mantan) kena screening. Ia menggunting atau mengganti dengan fotonya. Alasannya...aku sudah memasuki hidup baru sebagai suaminya sehingga fotonya harus ada lebih banyak dari foto wanita lainnya.
Ketika itu aku marah besar atas kelancangannya itu. Aku menyatakan bahwa apa yang aku simpan dalam album itu merupakan dokumentasi dari perjalanan hidupku. Semua orang yang fotonya aku simpan di dalamnya punya makna tersendiri buatku. Dari waktu ke waktu aku perlu diingatkan tentang pernah seperti apa aku dan hidup yang pernah aku jalani sehingga aku bisa terus belajar menjadi a better person. Dan jika ia ingin foto-fotonya menjadi bagian dari albumku itu, seharusnya aku yang menentukan di halaman mana dan seperti apa diikutsertakannya.
Hanya saja, kekesalan dan kemarahanku itu tak berefek banyak karena foto-foto yang kena screening sudah dibuangnya dan tak mungkin kudapatkan kembali. Seiring waktu berjalan, proses pengisian album-album foto itupun terhenti secara berkala dengan hadirnya kamera digital, scanner dan internet.
Yang mengejutkan adalah...tujuhbelas tahun kemudian, putraku menjadi korban tabiat buruk ibunya yang ternyata masih dipertahankan. Pheeww....