Makin hari aku makin sering mendapatkan kiriman-kiriman pengingatan, baik lewat medsos ataupun Whatsapp, akan pentingnya kita sebagai umatNya mengesampingan segala hal yang sifatnya duniawi dan memperjuangkan kebaikan kelak di akhir zaman.
Aku senang jika sering diingatkan seperti itu...ketimbang melihat kiriman sampah tentang politik yang belakangan berserakan dimana-mana. Pengingatan itu menyadarkan aku bahwa aku ini sangat kecil dan masih harus banyak belajar. Belajar dari mereka yang punya kesederhanaan dalam menjalani hidupnya. Yang sudah merasa cukup dengan segala kelebihannya yang bagi orang lain bisa dianggap sebagai kekurangan. Mereka bagaikan MacGyver yang bisa memanfaatkan apapun yang mereka punya demi kelangsungan hidup mereka. Aah...betapa bahagianya bila aku bisa seperti itu, tak perlu cemas dengan masalah keduniawian.
Tapi di sisi lain, sebagai seorang kepala keluarga, aku adalah lelaki yang punya tanggung jawab dalam menafkahi keluargaku. Meski sudah mencoba berusaha mati-matian, kalau aku tak mampu memberi makan mereka tentunya pikiranku jadi terbebani. Aku bisa saja menahan lapar dan mengurangi jatah makanku tiap hari...tapi apakah aku tak berdosa jika anak istriku juga terpaksa harus begitu? Kalaupun mereka dengan ikhlas menerima situasi seperti itu, in shaa Allah mereka akan mendapatkan imbalan pahalanya, tapi apa iya aku juga akan terbebaskan karena keikhlasan mereka?
Tak hanya itu, aku juga punya kewajiban memberi suatu tempat yang layak untuk mereka. Tempat dimana mereka bisa terlindungi dari cuaca dan alam yang tak selalu ramah, dan segala hal yang mungkin bisa merugikan mereka. Aku tak punya pakem harus seperti apa tempat itu, namun wajarnya jarang sekali ada tempat yang tak perlu didukung faktor-faktor keduniawian. Dimanapun kita tinggal, tentunya kita akan butuh akomodasi tertentu untuk mendukungnya seperti air dan listrik yang tak bisa didapatkan secara cuma-cuma. Oke sebutlah untuk penerangan aku hanya memakai lilin atau lampu templok. Untuk masak aku pakai kompor minyak, atau bahkan sesederhana pakai kayu sebagai sumber apinya. Tapi kesemua itu khan tak ada yang bisa didapat secara gratisan? Mau dapat kayu dari pohon? Pohonnya siapa? Mau menanam dan membesarkan pohon sendiri? Berapa lama sampai pohon itu cukup besar untuk dipreteli menjadi kayu bakar?
Kalau dalam kondisi seperti sekarang ini, sepertinya akan sangat sulit untuk tak mencemaskan tentang keduniawian. Aku percaya akan diberi jalan keluar olehNya, namun sementara aku bekerja sambil menunggu solusinya dengan penuh keihlasan, keluargaku punya keperluan primer yang tak mungkin diabaikan, seperti makan, sekolah dan berobat ketika sakit. Ini yang membuat ikhlasku jadi setengah-setengah. Aku bukannya memilah milih pekerjaan yang pantas aku lakoni, namun aku juga harus mentargetkan apa yang bisa aku dapatkan yang layaknya sepadan dengan waktu dan effort yang aku berikan untuk pekerjaan itu. Sebagai manusia, aku tetap mencari kepuasan.
"Manusia memang tak pernah puas", kata kebanyakan orang. Benar...tapi kepuasan tiap individu tidak sama. Ada yang tak puas meski sudah kaya raya dan seolah tak ada yang tak mungkin terbeli olehnya sehingga ia hanya menghambur-hamburkan kekayaannya untuk hal-hal yang sepele.
Kalau boleh aku berdalih, kepuasanku aku set di level hidup yang sederhana saja...tak muluk-muluk. Tak perlu rumah besar, mobil dan lifestyle yang sedikit-sedikit merogoh kocek untuk dapat hiburan. Mengontrak rumah petakan pun tak mengapa, yang penting cukup layak buat memayungi keluarga dengan baik. Kemana-mana bisa pakai kendaraan umum karena tak punya kendaraan pribadi juga oke. Kalau perlu pengobatan, ke Puskesmas-pun boleh...seperti yang kulakukan sekarang. Tapi kontrakan, angkutan umum dan dokter puskesmas itu bagaimana harus dibayarnya kalau dananya tidak ada?
Aku tau betapa pentingnya concern pada kehidupan ukhrawi, tapi bukan berarti yang duniawi tidak penting. Jauh kalah penting...memang, tapi kita sebagai umatNya juga punya tugas-tugas duniawi yang wajib dibereskan dengan baik...apalagi buat seorang kepala keluarga seperti aku. Dan baik atau buruknya hasil kerja kita menangani hal-hal yang duniawi juga akan mempengaruhi nilai rapor kita yang akan dibuka dan dibacakan di akhir masa nanti.
Sebab itulah, sejujurnya, aku masih sering belum bisa menerapkan konsep "Tinggalkan yang duniawi demi yang ukhrawi", karena aku berharap bisa dapat referensi yang baik kelak dari semua perbuatan baikku selama hidup di dunia. Bukannya aku lebih mementingkan keduniawian di atas keukhrawian, tapi justru keukhrawian itulah yang menjadi alasanku (seolah) mendahulukan keduniawian.
Harta yang aku punya dan akan aku punya memang tak akan kubawa mati, tapi sesedikitpun harta itu kuharapkan bisa memberi kebaikan dan kenyamanan bagi hidup keluargaku. In shaa Allah kebaikan dan kenyamanan mereka bisa kelak memberi kebaikan dan kenyamanan padaku kelak di akhirat. Jadi kalau aku lebih memilih uring-uringan, kesal, bete, menangis, bingung sambil meratapi nasibku yang kuanggap masih belum baik, berarti aku tak hanya sedang cemas akan kehidupanku di dunia, tapi juga di akhirat....