Aku memang tidak melakukan tugas masak memasak, tapi aku yang lebih sering mencuci perangkat memasak dan makan tiap harinya. Hal ini aku lakukan sejak aku berkantor di rumah sekitar dua tahun yang lalu. Buatku, sedikitnya hal-hal itulah yang bisa aku kontribusikan untuk rumah tanggaku selain kewajibanku menafkahi keluargaku. Seperti halnya istriku, aku juga tidak suka melihat adanya tumpukan cucian atau rumah yang berantakan. Dan aku tak ingin semua pekerjaan rumah melulu digarap istruku, apalagi ia juga punya kegiatan berbisnis yang sering menyita waktunya. Jadi semua pekerjaan ini aku lakukan dengan senang hati tanpa mengeluh.
Gerimis yang acap datang dan pergi sejak subuh sedikit menambah pekerjaanku pagi itu. Awan mendung yang tersebar tak merata di langit membuat aku harus bolak balik menggeser jemuran. Bagaimana tidak? Gerimis bisa turun bersamaan dengan sinar matahari yang kadang tak ditutupi awan. Dan pagi itu semua harus aku tangani sendiri karena memang hanya aku sendiri yang ada di rumah. Sebelum berangkat, istriku sudah menyiapkan lauk untuk makan siangku dan kedua putraku, dan juga meninggalkan tumpukan perangkat masaknya di wastafel dapur bersamaan dengan piring dan gelas yang dipakai kedua putraku untuk sarapan.
Dan ketika aku akhirnya bisa meletakkan mug berisi kopi yang barus saja aku seduh dan duduk di depan laptop ku, rasa sangat senang itu hadir dalam diriku. Aku senang karena semua tugas yang harus aku lakukan sudah tuntas. Dari mengucek seragam putra-putraku, dua kali menggiling tumpukan pakaian kotor lalu menjemurnya sambil berkali-kali menggeser jemurannya agar mendapat sengatan sinar matahari yang cukup atau mengamankannya dari gerimis, mencuci perangkat masak dan makan minum, sampai memasak nasi dan air panas untuk stok sepanjang hari termasuk kopi buatku sendiri.
Aku yakin rasa kesenangan ini tidak akan hadir jika semua itu aku kerjakan dengan terpaksa. Keihlasan yang megiringiku dalam beraktifitas pagi ini yang membuatku merasa tak terbebani. Aku senang melihat cucian bersih yang terjemur di halaman rumahku, perangkat masak dan makan yang menanti kering di rak cucian di dapur, termos air panas yang mengebul jika dibuka, dan rice cooker yang tengah dalam proses mematangkan beras yang telah aku cuci. Dan kesenangan ini pula yang sempat membuatku duduk terdiam sejenak memandangi dari jendela ruang kerjaku awan mendung yang masih berserakan di langit, sambil mensyukuri berkah dariNya sehingga aku masih bisa melakukan itu semua dan berkesempatan untuk menikmati kopi pagiku.
Tak sedikit memang kesulitan yang tengah aku hadapi belakangan ini, tapi bila aku bijaksana, aku bisa tetap merasakan kebahagian dalam hidupku dengan cara berikhlas dalam menjalani kehidupanku. Sekali lagi ini bukti bahwa bersabar dan bersyukur itu selayaknya dilakukan berbarengan karena selalu ada saja hal yang harus disabari dan ada yang harus disyukuri pada waktu yang bersamaan. Itulah yang mem-balance-kan hidup.