Thursday, June 27, 2013

No More Showdown

Ajakan itu datang dengan aroma keakraban lewat sms dari seorang kawan lama. Tidak hanya itu, ajakan itu sendiri sangat menggiurkan karena sifatnya reuni dengan teman-teman lama lainnya. Bagaimana tidak? Merekalah yang dulu sempat membantuku mengurus organisasi yang beranggotakan hampir 700 orang di pelbagai daerah termasuk di luar negeri. Bahkan ada suatu masa dimana kami sempat harus putar otak untuk mengantisipasi serangan-serangan yang datang dari pihak-pihak yang tidak suka dengan kesuksesan yang kami capai. Mungkin boleh dikatakan salah satu alasan yang membuat pertemanan kami menjadi sangat baik adalah perjuangan yang kami lakukan bersama dulu.

Sayangnya, ajakan itu juga berarti kami mungkin sekali bertemu dengan pihak-pihak yang dulu berseberangan dengan kami. Acara reuni itu justru ingin digelar dalam bentuk nobar pementasan grup musik yang dulu menjadi alasan berdirinya organisasi kami ini. Hal ini yang membuat aku enggan hadir.
Sepintas keliatan wajar saja bila setelah sekian lama tidak saling bertemu, kami dikumpulkan lagi secara tidak langsung oleh grup musik ini, namun apa yang dulu membuatku memutuskan untuk membubarkan organisasi ini adalah sikap dari para personil grup musik ini juga.

Setelah begitu banyak yang aku sumbangkan, eksitensiku justru dianggap sebagai penyebab pecahnya grup musik ini. Belum lagi setelah bersatu kembali, mereka kini didukung oleh pihak-pihak yang menentang kami dulu. Tentu saja mungkin tercipta suasana yang aneh bahkan terkesan panas bila kami harus saling mencibir atau hanya sekedar bersikap seolah tiada kepahitan di masa lalu. Bisa saja ada anggapan bahwa waktu layaknya telah mendewasakan kami, namun tidak untuk aku yang menjadi sasaran utama dalam pertikaian yang dulu terjadi. Yang menjadi tuntutan dariku bukanlah permintaan maaf yang harusnya sejak dulu telah disampaikan melainkan kompensasi atas kerugian materil.

Memang semuanya bergantung padaku mengingat hanya akulah tokoh sentral yang dianggap inti sekaligus tombak dari pertemanan ini, sehingga keputusan terselenggaranya reuni ini seolah sepenuhnya murni ada di tanganku. Tapi dengan fakta bahwa akulah satu-satunya yang mampu dan mau menghunuskan pedangku, sebaiknya aku pastikan pedang itu tetap berada dalam sarungnya dan berada jauh dari medan pertempuran yang baru.
Sedalam-dalamnya aku berada di dasar jurang itu, aku tetap berdiri mempertahankan kehormatanku. Itu sudah menjadi harga mati!