Monday, June 1, 2020

Berpikir Terlalu Luas

Ketika baru masuk sekolah menengah kejuruan 3 tahun yang lalu, putra sulungku acapkali menyatakan atau melakukan hal-hal yang tidak rasional hingga aku harus sering mengingatkannya untuk memikirkannya dahulu sebelum diwujudkan dalam ucapan atau tindakannya. Kadang aku harus sampai mengomel saking kesal karenanya. Masalahnya, hal itu terlakukannya hanya karena ia enggan mikir panjang. Tak hanya ia memang seorang anak yang simpel, artinya cenderung sebagai doer ketimbang sebagai thinker, ia juga berada di zona usia yang sedang getol-getolnya terpaku perhatiannya pada gadget, sehingga fokus pada sekelilingnya menjadi sangat minim.

Bukannya aku ingin membandingkan dengan adiknya yang berbeda satu setengah tahun umurnya, tapi aku lebih sering menyerahkan tanggung jawab ke adiknya bila mendesak dan terpaksa. Bisa disimpulkan bahwa putra sulungku ini kurang mahir sebagai handyman, simply karena malas mikir saja. Apalagi kalau yang tengah ada di benaknya adalah hal lain yang baginya lebih penting seperti game di computer atau proyek pribadinya yang berhubungan dengan photoshop yang mulai gemar digelutinya sejak setengah tahun yang lalu.

Kemarin, aku berpapasan dengannya di rumah ketika aku hendak mengakali rantai pengikat pelampung dalam tangki kloset kamar mandi ruang tamu yang putus. Bukan kerusakan yang serius tapi terus menerus terjadi hingga aku sudah menyerah dan menerima saja fakta bahwa mungkin beberapa bulan lagi aku harus kembali membetulkannya. Memang...dengan mudah aku bisa saja mengganti suku cadangnya, tapi kondisi finansialku mengeliminasi opsi tersebut. Jadi aku perlu mengakalinya dengan barang apapun yang sudah ada di rumah sebagai alternatif-nya.

Masalahnya...air di rumahku itu tergolong air yang tidak sehat. Kiranya ada unsur logam yang tinggi terkandung di dalamnya sehingga apapun yang terendam di dalamnya tak berumur panjang kecuali jika terbuat dari bahan tertentu yang jelas-jelasan water-proof. Dan apapun yang tahan air yang aku perlukan berarti harus dibeli dulu dan pasti tidak murah.
Aku sudah mencoba menggunakan beberapa jenis material namun umurnya relatif pendek. Paling lama ya tiga hingga empat bulan sampai akhirnya berkarat atau keropos, mengingat hampir selama dua puluh empat jam terendam dalam air setiap harinya.

Dengan menggenggam seutas kawat dan sebuah tang sambil memasang wajah pasrah, aku menjelaskan kepada anakku ketika ia bertanya padaku apa yang sedang aku lakukan. Aku juga menjelaskan bahwa reparasi ini sifatnya sementara mengingat materialnya yang sudah beberapa kali aku gunakan sehingga aku hafal berapa lama bertahannya. Dan tanpa mengharapkan asupan ide yang bermanfaat darinya, aku berlalu menjauhinya yang masih berdiri di tengah ruang keluarga.
Tapi kemudian dari kejauhan ia bertanya, "Kenapa nggak pake isolasi tape yang buat kraan aja, Pa?"

Aku terhenti di depan pintu kamar mandi dan memutar badanku sambil berpikir, "Oh iya...bisa juga ya?".
"Yang warnanya putih itu lho, Pa...", katanya lagi setelah melihat aku memberi perhatian pada usulannya.
"Wow", pikirku. Aku takjub dengan pemikirannya sekaligus menyadari betapa bloonnya aku selama ini. Aku rasa memang selama ini aku mencoba mencari solusi dengan berpikir terlalu luas.