Monday, June 1, 2020

Asian


Di era 80an, menjalani hidup di negeri Paman Sam bukanlah hal yang ideal bagi seorang mahasiswa. Buktinya, banyak teman seangkatanku yang tidak lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) atau kala itu sebutannya Sipenmaru, lebih memilih kuliah di perguruan tinggi swasta meskipun orangtua mereka lebih dari mampu untuk menutup biaya kuliah di luar negeri. Saat itu kehidupan di Indonesia terasa begitu nyaman untuk ditinggal studi selama lebih kurang lima tahun.
Banyak aturan yang mau tidak mau harus ditaati seperti misalnya dalam berkendara. Tak hanya aturan lalu lintas yang terbilang ketat, dokumen berkendara yang harus dimiliki juga lebih dari yang diharuskan di Indonesia. Selain SIM & STNK, semua pengemudi juga perlu memiliki bukti asuransi kendaraan. Sebenarnya saat itu, kepemilikan asuransi kendaraan bukan suatu keharusan kecuali pada situasi tertentu terutama ketika mengalami musibah karena hanya kepemilikan asuransi kendaraan lah yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan beban biaya perbaikan/ penggantian yang harus ditanggung, bagi pihak manapun yang terlibat. Misalnya ketika terjadi kecelakaan antar 2 mobil atau lebih, bagi siapapun yang memiliki asuransi kendaraan, kerusakan kendaraannya akan ditutup sebagian atau seluruhnya oleh perusahaan asuransi penanggung yang menabrak atau yang ditabrak, tergantung dari kasusnya. Tentunya jika tidak terlindungi asuransi, maka apapun biaya kerugian harus ditanggung  koceknya sendiri. Begitu pula halnya dengan jika musibah yang tidak melibatkan pengemudi lain seperti pengrusakan mobil (vandalisme) atau pencurian.
Buat orang Indonesia (anak mudanya) yang mindsetnya terpaku pada pengiritan pengeluaran, kepemilikan asuransi ini sering dianggap sebagai beban. Ketimbang memikirkan akibatnya jika terjadi kecelakaan tapi terlindungi asuransi, kebanyakan lebih memikirkan betapa percumanya membayar premi asuransi tahunan jika ternyata selama setahun itu mereka tidak mengalami kecelakaan. Sehingga "awalnya" mereka lebih memilih tidak memiliki asuransi dengan harapan tidak akan tertimpa musibah.

Mengapa aku mengutip kata awalnya? Karena ada masa dimana peraturan bahwa kepemilikan asuransi itu bukanlah suatu kewajiban direvisi pemerintah setempat menjadi kewajiban yang kondisional. Kondisionalnya adalah bahwa setiap kali pengemudi dihentikan polisi, selain SIM & STNK, mereka juga wajib menunjukkan bukti kepemilikan asuransi. Jika tidak punya, maka tilang dikenakan. Jadi contohnya, jika kita dihentikan karena ngebut, dan kita tidak punya asuransi, maka kita akan kena tilang dua kali; berkendara di luar batas kecepatan dan tidak memiliki asuransi.
Lalu apa yang dilakukan anak-anak muda Indonesia? Ya mereka terpaksa harus keluar biaya lagi untuk memiliki asuransi kendaraan. Aku sebut terpaksa karena dasarnya memang tidak ikhlas. Ketidak ikhlasan inilah yang membuat mereka mencari cara supaya tidak merugi di penghujung tahun kepemilikan asuransi. Ada yang sengaja menabrakkan mobil hingga ringsek, ada pula yang mendorongnya ke jurang sehingga penggantian kerugiannya bukan berupa perbaikan di bengkel namun berupa tunai.
Ya begitulah opsi yang  ditawarkan pihak perusahaan asuransi dalam penggantian kerugian. Jika memang tidak mungkin lagi dimasukkan bengkel karena kerusakannya fatal, maka penggantiannya berupa dana sebesar harga pasaran mobilnya yang sudah ditentukan saat membeli asuransi. Jadi ketika melihat teman yang tiba-tiba ganti mobil, aku menebak mobilnya sudah dihancurkan sendiri dan diganti dana yang kemudian dipakai untuk beli mobil baru.

Suatu ketika, Wibi, roommate-ku kala itu, mobilnya raib dari parkiran kampusnya saat ia sedang kuliah. Apesnya, mobil itu tidak terasuransikan dan hal ini membuatnya sangat gundah. Ia bingung harus bagaimana mengabarkan hal ini pada orangtua nya. Ia harus mempertanggung jawabkan kepada orangtuanya atas dana yang pernah dikirimkan kepadanya untuk membeli asuransi yang kemudian justru dihabiskan untuk hal-hal lain yang tidak diperlukan. Kepadaku dan beberapa teman, ia meminta saran apa yang harus ia katakan pada orangtuanya. Roommate-ku lainnya, Sani, kebetulan punya koneksi dengan sebuah cabang perusahaan asuransi besar yang sudah dikenal di kalangan mahasiswa Indonesia sering membantu dalam kasus serupa. Caranya dengan membuatkan perjanjian pembelian asuransi dengan tanggal yang dimundurkan beberapa hari. Hal ini dilakukan agar terkesan bahwa saat musibah terjadi, korban sudah memiliki asuransi yang baru dibeli sebelumnya. Kenapa hanya beberapa hari? Saat itu belum ada yang namanya sistem online. Jadi segala proses transaksi apapun di semua sektor termasuk perbankan, dilakukan secara manual sehingga makan waktu beberapa hari. Jika, katakanlah musibah terjadi tanggal 10, lalu dibuatkan perjanjian seolah pembelian asuransi terjadi tanggal 7 atau 6 di sebuah kantor cabang, maka sangat lumrah jika laporan transaksi pembelian itu belum sampai di kantor pusat. Selama memang ada bukti transaksi resmi dari kantor cabang, maka transaksi itu dianggap sah dan asuransi dinyatakan aktif saat musibah terjadi. Nah, kepada cabang inilah Wibi diarahkan untuk mendapatkan solusi. Tapi seperti yang aku pertanyakan saat usulan itu dilemparkan, agak aneh juga jika ada cabang yang mau melakukan kecurangan seperti itu. Maklumlah, aku bicara tentang Amerika, negeri yang padat dengan penduduk yang jujur (atau takut melanggar hukum). Selidik punya selidik, ternyata cabang itu dimiliki oleh warga keturunan yang kalau dinilai dari aksen bicaranya, masih kental adat istiadatnya. Ya, satu cabang itu karyawannya satu ras, bahkan ada yang satu keluarga dengan pemiliknya, keturunan Filipina atau disana sebutannya Pinoy. Mungkin karena sama-sama perantau dari Asia Tenggara, bisa diajak "main".

Maka dengan hati gembira penuh harap, Wibi pergi ke cabang tersebut diantar Sani. Sepulangnya dari sana, antara senang dan kecewa, Wibi menyatakan bahwa ternyata nilai transaksi pembelian itu cukup mahal hingga tiga kali lipat dari nilai standardnya. Namanya saja lewat jalan pintas, pasti ada konsekuensinya yang tidak ringan. Tapi ia tetap gembira karena transaksi itu akan terjadi keesokan harinya setelah dokumen siap, yang artinya begitu perjanjian dan pelunasan dilakukan ia tak perlu khawatir lagi atas musibah itu. Malam itu, ia menelpon orangtua nya untuk mengabarkan tentang kehilangan mobilnya dan prosedur penggantian dengan mobil serupa yang baru atau sejumlah dana oleh pihak perusahaan asuransi bila mobilnya tidak ditemukan dalam tempo 30 hari ke depan. Tentu saja orangtuanya memaklumi keadaannya sekaligus bersyukur karena semua teratasi dengan baik tanpa perlu tau bagaimana sebenarnya cara penanganannya. Dan Wibi pun sibuk menggalang pinjaman dana dari beberapa teman guna pembelian asuransi yang tidak murah itu. Rencananya, keesokan siangnya sepulang dari kuliah ia akan pergi sendiri untuk melakukan transaksi pembelian asuransi tersebut.

Paginya, ia berangkat kuliah dengan semangat yang tinggi karena upaya pengumpulan dana sejak semalam akan terlengkapi oleh teman sekuliahnya di kampus. Sementara hari itu, aku sendiri tidak ada jadwal kuliah sehingga aku lah yang menerima telpon di tengah hari untuk Wibi dari kantor polisi. Rupanya kurang dari 24 jam polisi berhasil menemukan mobilnya, terparkir di sebuah sudut daerah yang terbilang kumuh, dengan empat ban serep yang terpasang sebagai pengganti ban utamanya. Sebagai catatan, ban serep mobil disana umumnya lebih kecil ukurannya dari ban utamanya. Dibuat lebih kecil karena sifatnya yang hanya terpasang sementara sampai ban utama yang digantikannya diperbaiki dan bisa dipasang kembali. Polisi menyatakan kepadaku bahwa jika Wibi masih menyimpan kunci serep mobilnya, ia dapat mengambilnya di garasi penampungan kendaraan yang diderek pihak berwajib karena setelah diperiksa tidak ditemukan indikasi penjarahan pada mesin mobil. Mungkin berita itu sewajarnya merupakan hal yang positif untuk orang yang kehilangan mobilnya. Apalagi ditemukannya dengan kondisi "hanya" tanpa ban utama karena banyak kasus mobil hilang yang ditemukan dalam kondisi tanpa roda dan hanya terganjal di atas tumpukan batubata. Aku sempat heran dengan ketelatenan si maling dalam menyiapkan bahkan memasang ke empat ban serep itu. Tapi untuk Wibi tentunya beda jika ia keburu melakukan transaksi yang nilainya jauh sekali di atas nilai 4 velg dan roda standard Honda yang hilang. Maka selesai menerima laporan polisi, aku segera berusaha mencari tau keberadaan Wibi dengan harapan bisa menghentikannya mengeksekusi transaksi pembelian asuransi itu. Namun dengan minimnya sarana untuk mencari Wibi yang seharusnya berada di kampus (jaman itu belum ada telpon genggam), usahaku buntu. Ada sejam dua jam aku hanya duduk di ruang tamu memandangi jalan menunggu datangnya Wibi. Ia datang diantar teman kuliahnya dengan wajah berseri². Dugaanku bahwa ia pasti sudah membereskan urusan asuransi mundurnya memang tepat. Dan kegembiraannya hilang saat aku menyampaikan kabar baik tapi buruknya.

Hingga sore hari, ia hanya merenung sambil sebentar² menanyakan solusi pada semua teman yang kian sore kian bertambah banyak di tempat kami tinggal. Tempat tinggal di ujung jalan di atas bukit ini memang terbilang nyaman buat dijadikan tempat hang out. Banyak teman yang suka nongkrong disini sampai larut bahkan kadang ada yang menginap. Itu sebabnya jika ada teman yang punya masalah, cenderung datang ke rumah ini dengan harapan dapat pencerahan dari yang kebetulan hadir. Sekitar maghrib, seorang teman datang selesai kuliah seharian. Bima memang bukan termasuk dari enam penghuni rumah ini tapi sudah seperti penghuni karena meski tempat mondoknya jauh lebih dekat ke kampusnya, ia lebih suka menginap disini karena merasa sulit beradaptasi dengan lifestyle keluarga bule pemilik tempat mondoknya yang dinilainya kaku. Ia akan pulang ke tempat mondoknya seperlunya dan biasanya di akhir minggu. Itupun hanya untuk rehat beberapa jam lalu pergi lagi dengan membawa pakaian bersih. Bima ini orang yang rajin kuliah dan tidak mudah ikutan begitu saja dalam kegiatan kami. Tergantung mood nya saja. Kami menyebutnya sebagai pertapa karena kalaupun sesekali ikut ke diskotik atau pesta, ia lebih suka duduk menyendiri di pojokan ruangan yang tidak ramai. Introvert sejati lah. Aku sendiri menduga disaat kesendiriannya itu ia banyak memikirkan tentang berbagai masalah dan mencari solusinya. Tak hanya masalahnya tapi juga milik orang lain yang diserapnya saat ada yang sedang curhat ke kami. Dan ketika kami memberinya update tentang situasi yang dihadapi Wibi, tanpa berpikir panjang ia langsung mengusulkan agar Wibi ikut dengannya ke bengkel langganannya tanpa memberikan alasan yang mendetil. Karena kami sudah paham dengan cara kerja Bima, kami tidak mempertanyakan lebih jauh tentang usulannya dan hanya ikut memberi support pada Wibi untuk menurutinya sesegera mungkin.

Di hari berikutnya, aku berangkat kuliah pagi bersamaan dengan keberangkatan Wibi dan Bima untuk mengambil mobil dari garasi penampungan. Aku di kampus hingga menjelang sore dan sampai di rumah sekitar pukul empat, mendapati Wibi, Bima dan dua teman lainnya sedang tertawa-tawa di samping mobil Wibi yang masih beroda ban serep. Serta merta aku langsung melihat kondisi mobil tersebut dan kaget saat mendapati bagian interior nya yang semrawut kondisinya. Hanya jok belakang yang masih terpasang, tanpa jok depan, tanpa radio/cassette player, tanpa speaker baik di belakang maupun di pintu depan, bahkan tanpa setir.
"Lhoh...katanya cuma roda aja yang diembat?", tanyaku. Mereka tertawa lalu Wibi menjelaskan dengan rinci seperti ini:
Untuk meminimalkan kerugian dari pembayaran premi asuransi yang besarnya bisa mencapai lima kali lipat dari kerugian aslinya, Bima membawa Wibi ke bengkel modifikasi langganannya. Rupanya pihak bengkel bersedia membuatkan bon pembelian ban dan velg yang harganya mahal, sehingga terkesan nilai kerugiannya lebih tinggi dari sebenarnya. Kemudian bon itu diserahkan ke cabang asuransi sebagai bukti bahwa kerugian Wibi tidak sekedar harga ban dan velg standar bawaan pabrik Honda. Pembelian itu dinyatakan terjadi di antara tanggal pembelian asuransi dan tanggal hilangnya mobil. Dengan begitu, pihak perusahaan asuransi tak punya celah untuk menolak penyerahan bukti tersebut.
"Lalu trus ini pada diembat juga ternyata?", tanyaku masih belum paham.
"Bukan diembat tapi kita yang nglepas tadi sebelum ke asuransi biar bisa sekalian di claim", jawab Wibi.
"Wah..segitunya? Sampai potong kabel segala?", tanyaku lagi setelah melihat banyak kabel buntung bergantung di lubang tempat radio/cassette player harusnya berada.
"Jadi gini...waktu tadi kita tarik dari garasi, sebenarnya speaker dan radio itu dalam keadaan tergantung. Kayaknya mau diembat juga tapi gak jadi, mungkin karena mereka gak mau motong kabel. Bima lalu punya ide supaya gak cuma minta bon untuk ban dan velg aja."
Memang biasanya aksesoris asli bawaan pabrik itu kabelnya tidak pakai sambungan. Jadi mungkin inilah yang membuat si maling mobil enggan untuk mengambilnya karena sulit untuk melego barang elektronik yang kabelnya buntungan, kecuali kalau menjualnya di Black Market (pasar gelap).

Aku tanya lagi, "Trus memangnya aksesoris nya apa aja yang loe claim?"
"Ya atas usulan orang bengkelnya Bima, gue dibikinin bon buat stir Momo, jok Recarro, radio/cassette/CD player Nakamichi, speakernya Bose semua depan belakang. Top of the line semua deh pokoknya.", kata Wibi bangga.
"Oh my! Trus, ban nya minta merk apa? Pirelli?", aku merespon bercanda.
"Iya lah. Sama velg nya BBS".
Aku berdecak kagum sambil menaruh curiga pada pemilik bengkel langganannya Bima, "Pinoy lagi ya? Atau malah Chicano (ras Meksiko)? Soalnya rada gak mungkin kalo bule".
Sambil nyengir Bima menjawab, "Bukan...Korean".
Dan kamipun tertawa bersama.

Dan ketika dua hari kemudian pihak asuransi telah memberikan penggantian berupa uang tunai sesuai dengan permintaan Wibi yang total nilainya jauh di atas nilai premi yang sudah dibayarkan, semua aksesoris asli bawaan pabrik Honda itupun dipasang kembali. Sedangkan dananya untuk mengganti yang dipakai membeli asuransi.

Orang Asia memang luar biasa.



Catatan: Beberapa nama dan kondisi harus diubah dalam menghormati privacy tokoh yang bersangkutan