Monday, June 1, 2020

Stay Strong

Setelah tarik ulur berulang kali, akhirnya aku dan tiga orang temanku sepakat untuk mengadakan meeting di kantor seorang dari mereka, Bams, pada hari Minggu sore kemarin guna menindaklanjuti ide proyek musik yang tercetus sekitar dua bulan lalu.
Sulit memang untuk mensinkronisasikan waktu kami berempat mengingat kami punya aktifitas masing-masing yang memadati jadwal keseharian kami. Oleh karenanya, meeting ini akhirnya direncanakan digelar pada hari libur di lokasi yang cukup netral buat kami berempat.

Sayangnya...di minggu pagi itu, Ben menyatakan akan berhalangan hadir karena dapat tugas dadakan mengangkut hewan qurban yang sekiranya akan disembelih Senin esoknya. Tak lama kemudian, menyusul Yanto yang minta rescheduling karena ada kesibukan juga di daerah tempat tinggalnya dalam mempersiapkan acara pemotongan hewan.
Bams yang sifatnya memang luwes, serta merta merespon positif dengan menyatakan tak keberatan untuk menjadwal ulang meeting...meskipun sebelumnya ia sempat menyatakan telah menyiapkan cukup panganan untuk mengakomodasi lancarnya meeting. Sementara aku, tak bergeming dari tekad bulatku untuk berkomit penuh, menyatakan akan tetap hadir.

Proyek ini memang gagasan Bams yang ditawarkan kepadaku, dan langsung aku sambut baik karena buatku ini proyek yang menantang dan pantas dialankan. Ben dan Yanto masuk belakangan atas kesepakatan bersama aku dan Bams, dengan harapan bisa memuluskan proses perealisasiannya. Jadi sebenarnya jika mereka berhalangan untuk datangpun tidak membuatku enggan datang mengingat otak dari proyek ini adalah Bams. Terlebih bahwa Bams sudah memberikan effort besar dalam menyediakan tempat kerjanya berikut panganannya. Aku harus menerima dengan legowo berhalangannya Ben dan Yanto yang mungkin belum sepenuhnya bisa memberi komitmen lebih besar sehingga belum bisa menempatkan proyek ini sebagai sesuatu yang diprioritaskan.

Maka meetingpun terjadi hanya dengan kehadiran kami berdua. Dan seperti yang aku harapkan sebelumnya, meeting yang lebih berupa brain storming ini membuahkan satu lagi ide brilliant yang patut dijajal. Hal seperti inilah yang tak akan terjadi bila aku merespon dengan cara yang sama seperti cara Bams merespon pembatalan kehadiran kedua temanku yang lain di meeting ini. Disinilah justru terlihat bagaimana kekuatan tekad membuahkan hasil yang baik. Suatu bukti lagi yang memotivasi aku untuk tidak menyerah dalam berusaha meski sudah acapkali aku terpojok dalam kondisi dan situasi yang memberi gambaran seolah tak ada solusi buat segala masalah yang kuhadapi.
Allah memang tak pernah melepaskan gandengan tanganNya Yang Maha Kuat itu dalam menuntunku selama tekadku bulat. Alhamdulillah...




Lembaran Baru

Mungkin aku termasuk kelompok orang Indonesia pertama yang aktif menggunakan internet di negeri ini. Bahkan sebelum ada yang namanya jejaring sosial, aku sudah memanfaatkan internet. Dari sekedar searching data, menggunakan e-mail, hingga berhasil memasarkan jasa percetakan ke manca negara pun sudah aku jalani. Itu terjadi sekitar 4-5 tahun sebelum kemudian friendster mulai menjadi tren di kalangan kaum muda. Setelah facebook menjadi jejaring sosial terkemuka hingga saat ini, aku sudah memiliki akun di hampir semua jejaring sosial yang ada, meskipun tidak di semuanya aku ikuti dengan aktif. Bahkan aku bisa memiliki lebih dari satu akun di beberapa situs itu, tentunya dengan tujuan tertentu seperti bemain game online.

Awalnya memang menarik sekali saat aku bisa menemukan kembali teman dan kerabat yang sempat hilang kontak denganku. Lalu dengan adanya kemungkinan bertambah kenalan yang mungkin juga diajak kerjasama dalam bisnis makin membuat situs-situs jejaring sosial ini terlihat bermanfaat. Namun sejalan dengan maraknya perdebatan tentang berbagai isu politik, sosial atau agama karena semakin mudahnya menyebarkan isu yang terkesan bohong dan bersifat menghasut, aku semakin malas untuk aktif berinteraksi. Apalagi sekarang sudah ada ajang baru seperti aplikasi bbm dan whatsapp yang lebih mudah digunakan dan dapat membatasi kontaknya.

Sudah dua bulan belakangan ini aku tidak lagi aktif membuat postingan di situs jejaring sosial. Padahal sebelumnya, minimal aku membuat 1 postingan di beberapa situs ini. Aku bukan tipe yang mudah bosan, namun aku tidak lagi menemui banyak masukan yang bermanfaat ketika kebanyakan kontakku cenderung lebih suka protes atau mengeluh tentang situasi politik atau agama di tanah air.
Jadi kalaupun mengudara, aku lebih suka mencari berita dari situs-situs yang cukup reliable, atau hanya sekedar membuat postingan di situs-situs blog yang aku ikuti seperti misalnya situs ini karena semuanya lebih kuanggap sebagai catatan harian yang selalu dapat kubaca dan nikmati kembali kelak di kemudian hari. Salah satunya bahkan melulu berisi ribuan gambar yang aku kumpulkan dari berbagai situs lain, yang aku yakin bisa menjadi koleksi yang apik untuk dinikmati olehku kapan saja...dan mungkin juga oleh orang lain.

Mungkin setelah akrab dengan internet selama lebih dari 15 tahun, aku harus memulai lembaran baru dalam kehidupanku yang bersosialisasi lewat jejaring sosial tidak lagi menjadi bagiannya...

https://docswhatever.wordpress.com/



Nyampah

Aku capek.
Tak mungkinlah aku membohongi aku sendiri. Bisa jadi di luaran sana aku terlihat mapan tanpa kesulitan apapun. Senyumku bisa mengisyaratkan seolah aku tak menanggung beban yang begitu berat di pundakku. Tapi apa yang sedang aku hadapi sejak sekitar setengah tahun terakhir ini benar-benar menguras energi mentalku. Dan aku merasakan sekali bagaimana otakku sudah sering tidak mudah diajak kompromi. Ujian-ujian yang ada itu datangnya beruntun tanpa kenal jeda waktu. Namun lucunya...setiap aku siap menyerah, ada saja hal yang bisa menyadarkanku dan membuatku tidak keluar jalur.

Seolah aku ini memang sedang diperlakukan bak layangan yang harus sering ditarik ulur agar bisa mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Proses yang terjadi pada layangan itu sangat mungkin berarti melibatkan layangan lain yang harus dihindari agar tidak saling bersangkutan gelasannya. Belum lagi layangan-layangan yang memang sengaja dimaksudkan untuk mengintimidasi. Makin tinggi posisinya pun berarti makin kencang angin yang ditemui. Kencangnya angin ini bisa mendorong layangan lebih pesat ke atas, atau malah ke bawah. Kuncinya ya seberapa pintar (dan bijaksana) layang itu dikendalikan.

Begitulah aku sering disadarkan. Tentunya di balik semua kesulitan yang aku hadapi ada hikmah yang (harusnya) bisa aku dapatkan. Karena mendesaknya waktu, aku sering lupa bahwa solusinya tidak selalu bersifat instan. Secara alamiah, aku inginnya dapat jalan keluar yang cepat sehingga kesulitanku segera teratasi. Kalau itu memang tidak terjadi, masalahku mudah jadi bertambah dan aku terperosok ke lubang yang lebih dalam. Otomatis hati yang memanas ini dengan mudah memprovokasi logikaku untuk malas berfungsi dengan baik.

Bagaimana tidak ingin kesal jika setelah aku mencoba wira wiri kesana kemari berusaha mencari jalan keluar, aku tetap ditempatkan di ujung jalan yang buntu? Cukup masuk akalkah bila aku lalu kembali mempertanyakan keampuhan segala doa yang telah aku panjatkan tapi nyatanya belum memberi feedback yang berarti?



Ungkapkan

Sesungguhnya tidaklah sulit bagimu untuk melepasnya. Apa lagi yang kau inginkan darinya jika kau tak lagi melihat dirinya sebagai sosok yang kau lihat seperti sebelumnya? Kalau memang minatmu pada apa yang ditawarkannya kian terkikis sedikit demi sedikit hanya karena kau terlalu sibuk dengan yang lainnya, apa pula yang kau harapkan dari kehadirannya dalam hidupmu yang semakin kau padatkan dengan urusan duniawimu?

Bila engkau tak mampu lagi menyejukkan hatinya atau sebaliknya, biarkan dia mengetahuinya agar hatinya juga tak lagi gundah menanyakan kepedulianmu. Dinginnya sapaanmu dan tajamnya kata-katamu bisa saja telah mengoyak-ngoyak batinnya yang seharusnya mendapatkan ketenangan darimu. Namun jika engkau memang masih ingin dia menjadi bagian penting dari hari-harimu, naungilah dia dengan payung cintamu dan biarkanlah dia mewarnai hidupmu dengan cintanya.

Cinta yang kau dapat darinya dan kau berikan kepadanya itu toh bukan karena paksaan, jadi kau pun tak perlu memaksakan diri untuk mempertahankannya. Cinta itu bersemi karena kau dan dia saling menikmatinya, sehingga kenikmatan yang telah berubah menjadi kesemuan harusnya sudah cukup menjadi alasan buatmu untuk melepasnya. Janganlah kau berkutat dengan alasan lain hanya untuk melindungi perasaannya karena waktu yang kau sita darinya hanya akan menjadi virus yang kelak mematikannya dan mematikanmu..



Logo Baru

Masih seputar pembicaraan tentang kenangan tempo doeloe yang selalu enak buat dibahas antar mereka yang beruntung pernah mengalaminya.

Ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, orangtuaku sering mengajak aku dan semua kakak dan adikku berkeliling kota pada malam hari, khususnya malam minggu. Tidak ada acara istimewa yang kami lakukan di waktu-waktu seperti itu karena aktifitas tersebut dijalankan hanya untuk menikmati kebersamaan yang buat orangtuaku sebuah prioritas sambil mencuci mata. Tongkat persneling yang terletak di belakang stir memungkinkan jok panjang ditempatkan juga di bagian muka sehingga mobil dapat dengan mudah dimuati oleh kedua orangtua dan 6 anaknya yang umunya terbilang masih kecil. Rute utama ritual "puter-puter" ini difokuskan ke wilayah seputar jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk yang kala itu merupakan "pusat kota". Sepanjang jalan-jalan ini dipenuhi toko, restoran, klub malam bahkan casino yang tidak tanggung-tanggung memakai sign board ukuran besar terbentuk dari lampu-lampu neon berwarna-warni dan bisa menyala bersamaan atau bergantian dan berkelap kelip. Situasinya hampir menyerupai strip utama di kota Las Vegas dan Atlantic City di Amerika, Monte Carlo di Perancis atau kota-kota perjudian lainnya.

Mungkin cara seperti itu dibutuhkan untuk lebih menegaskan logo dan icon usaha yang awalnya memang cukup padat bahkan terkesan njelimet. Sebagai contoh saja, sign board rokok djarum bisa menunjukkan figur kartun orang yang tengah merokok, lalu berganti menjadi tanda tanya, dan berganti lagi menjadi logo simbol padi dan kapas yang banyak digunakan juga di lambang-lambang instansi pemerintahan. Lampu ikon padi bisa menyala satu demi satu mulai dari daun pertama hingga semua daun menyala seperti halnya icon kapas.
 
Aku ingat dipertengahan tahun 80-an, aku dan seorang temanku dimintai tolong oleh teman kami lainnya untuk merancang logo toko yang baru dibukanya. Toko ini akhirnya memang menjual aneka ragam pernak pernik memorabilia dari mainan anak hingga perhiasan mahal, namun awalnya hanya melulu menyediakan keranjang parsel yang dibuat sesuai permintaan pelanggan dan event.

Seminggu kemudian aku sudah membuat dua atau tiga buah pilihan desain yang didasari konsep keranjang parsel dan/atau inisial nama tokonya. Baik aku maupun si pemilik toko sempat bingung melihat desain yang dibuat temanku itu karena kami tidak dapat menarik benang merahnya dengan usaha ataupun nama tokonya. Aku memang kurang bisa menerima alasan yang mendasari logonya, tapi aku hanya terdiam karena aku selalu beranggapan bahwa semua orang punya taste masing-masing. Pendek kata, si pemilik toko menilai desainnya kurang merepresentasikan usahanya mengingat ia harus mendapat penjelasan terlebih dahulu untuk dapat mengerti arti desain tersebut, sehingga akhirnya desainku yang meski artistik namun jelas terlihat sebagai sebuah keranjang.

Satu hal yang aku ingat adalah pernyataan temanku itu tentang gaya pendesainan baru yang mulai diterapkan di beberapa hal yang ia prediksi akan menjadi sebuah trend dalam waktu dekat. Ia memberi contoh maskapai Garuda Indonesia yang telah menggunakannya di logo yang belum lama menggantikan logo lamanya. Aku tidak menentang pernyataan tersebut karena aku juga melihat indikasi bahwa gaya seperti itu mulai banyak digunakan. Penggantian logo-logo perusahaan yang dipelopori oleh banyak pendesain dari luar negeri seperti halnya yang dialami logo maskapai Garuda Indonesia, yang dirancang oleh orang yang sama dengan yang merancang logo baru untuk maskapai Singapore Airlines, Thai Airlines dan beberapa maskapai lain ini jadi lebih artistik. Warna yang digunakannyapun mengandung makna baru yang mungkin sebelumnya tidak digunakan.

Namun sejalan dengan itu, aku juga merasakan hilangnya makna yang sebelumnya lebih jelas tersampaikan terutama pada logo perusahaan milik pemerintah. Logo Garuda Indonesia itu sendiri contohnya, yang kemudian sama sekali tidak mengandung warna yang identik dengan Indonesia karena perisai berbendera merah putih yang tadinya terletak di tengah-tengah logo kini lenyap. Lalu logo Pertamina yang kini sekilas terlihat seperti tiga helai kain berwana merah, hijau dan biru sebagai pengganti logo lama yang mengandung dua kuda laut sebagai simbol kelautan sebagai tempat utama pendulangan minyak bumi, yang mengapit sebuah bintang yang menggambarkan kekuatan guna mencapai tujuan nasional, ditambah ornamen ornamen pita kuning khas logo klasik yang bertuliskan Pertamina. 3 elemen yang mirip 3 helai kain pada logo baru yang ternyata sebenarnya membentuk huruf "P" dan merepresentasikan bentuk panah yang artinya bergerak maju dan progresif. Sedangkan warna-warna itu masing-masing mengartikan, keuletan perusahaan (merah), lingkungan sumber daya energi (hijau) dan tanggung jawab (biru). Lucunya, kita tidak mungkin langsung menangkap itu semua tanpa mendapat penjelasan mendetil.

Yang pasti, banyak sekali logo baru yang menghilangkan elemen-elemen yang dahulu identik dengan simbol-simbol dalam Pancasila seperti bintang, padi dan kapas. Logo-logo baru ini memang terlihat lebih artistik tapi juga lebih simple. Pengindikasian makna perusahaan kini diwakili dalam bentuk yang cenderung artistik dan tidak mudah dikenali. Aku hanya khawatir jika untuk menyesuaikan diri dengan negara-negara yang lebih maju ikon-ikon yang identik dengan perusahaan yang selama puluhan tahun telah dipakai harus dihilangkan, generasi penerus kita juga akan buta terhadap maknanya yang sebelumnya dengan mudah membantu mengingatkan kita pada sejarah perkembangan negeri ini seperti halnya lambang Burung Garuda Pancasila yang sarat makna tentang Indonesia.

Entahlah. Semakin hari semakin banyak logo baru yang buatku tidak mudah ditarik maknanya jika memang ada makna dibaliknya. Bukannya aku anti logo yang artistik, tapi aku lebih memilih yang mudah dibaca orang banyak, baik itu tergolong simple atau njelimet. Artistik boleh, tapi tidak yang lebih mengedepankan seni nya ketimbang kemudahan dalam mengartikannya. Toch tak semua orang punya jiwa seni yang sama dengan seniman yang menciptakannya.



Memahami Musibah

Ada kejadian bunuh diri Jum'at kemarin yang sempat menghebohkan karena dilakukan secara live di facebook. Tentu saja rekaman itu lalu jadi viral sebelum akhirnya diblokir dibanyak situs demi etika. Paling yang tersisa hanya potongan bagian awalnya saja yang memperlihatkan korban memberi kata pengantar sebelum melakukan eksekusinya.

Banyak yang kaget dan menyesali insiden ini lalu memberi komen dukacitanya, tapi tak sedikit pula yang menghujatnya. Masya Allah...orang sudah meninggal koq masih dihujat?

Bisa jadi si pelaku ini memang sudah tak tahan menghadapi masalah dengan sang istri seperti yang diutarakan dalam video rekaman live-nya, namun di dalam Islam (agamnya), tindakan bunuh diri tidak dibenarkan...itu mutlak. Harusnya sebagai seorang Muslim, ia lebih bisa sabar dan bijaksana dalam menangani masalah hidupnya. Tapi menurutku, mau sesalah apapun ia, dan bagaimana nantinya ia mempertanggungjawabkan tindakannya itu, sebaiknya kita sebagai manusia beriman tidak melakukan hal yang negatif atasnya.

Aku membaca sebuah tulisan seseorang berkenaan dengan peristiwa ini yang diulasnya dengan baik. Penulis juga memberi beberapa contoh tentang kiat menghindari jebakan stres yang pernah ia terapkan pada kerabatnya. Ia bukan seorang Muslimah tapi tulisannya sejalan dengan ajaran-ajaran Islam. Sementara dari mereka yang menghujat dalam komen kebanyakan jelas-jelasan Muslim. Dalam Islam, bunuh diri memang dilarang. Namun bila itu terjadi pada orang lain, entah agamanya apa, sebagai Muslim harusnya tidak menghinakannya. Afterall, semua khan sudah diatur olehNya.

https://seword.com/umum/kasus-bunuh-diri-pahinggar-indrawan-menjadi-tamparan-keras-bagi-masyarakat/


Catatan: Draft 18 Maret 2017

Berpikir Terlalu Luas

Ketika baru masuk sekolah menengah kejuruan 3 tahun yang lalu, putra sulungku acapkali menyatakan atau melakukan hal-hal yang tidak rasional hingga aku harus sering mengingatkannya untuk memikirkannya dahulu sebelum diwujudkan dalam ucapan atau tindakannya. Kadang aku harus sampai mengomel saking kesal karenanya. Masalahnya, hal itu terlakukannya hanya karena ia enggan mikir panjang. Tak hanya ia memang seorang anak yang simpel, artinya cenderung sebagai doer ketimbang sebagai thinker, ia juga berada di zona usia yang sedang getol-getolnya terpaku perhatiannya pada gadget, sehingga fokus pada sekelilingnya menjadi sangat minim.

Bukannya aku ingin membandingkan dengan adiknya yang berbeda satu setengah tahun umurnya, tapi aku lebih sering menyerahkan tanggung jawab ke adiknya bila mendesak dan terpaksa. Bisa disimpulkan bahwa putra sulungku ini kurang mahir sebagai handyman, simply karena malas mikir saja. Apalagi kalau yang tengah ada di benaknya adalah hal lain yang baginya lebih penting seperti game di computer atau proyek pribadinya yang berhubungan dengan photoshop yang mulai gemar digelutinya sejak setengah tahun yang lalu.

Kemarin, aku berpapasan dengannya di rumah ketika aku hendak mengakali rantai pengikat pelampung dalam tangki kloset kamar mandi ruang tamu yang putus. Bukan kerusakan yang serius tapi terus menerus terjadi hingga aku sudah menyerah dan menerima saja fakta bahwa mungkin beberapa bulan lagi aku harus kembali membetulkannya. Memang...dengan mudah aku bisa saja mengganti suku cadangnya, tapi kondisi finansialku mengeliminasi opsi tersebut. Jadi aku perlu mengakalinya dengan barang apapun yang sudah ada di rumah sebagai alternatif-nya.

Masalahnya...air di rumahku itu tergolong air yang tidak sehat. Kiranya ada unsur logam yang tinggi terkandung di dalamnya sehingga apapun yang terendam di dalamnya tak berumur panjang kecuali jika terbuat dari bahan tertentu yang jelas-jelasan water-proof. Dan apapun yang tahan air yang aku perlukan berarti harus dibeli dulu dan pasti tidak murah.
Aku sudah mencoba menggunakan beberapa jenis material namun umurnya relatif pendek. Paling lama ya tiga hingga empat bulan sampai akhirnya berkarat atau keropos, mengingat hampir selama dua puluh empat jam terendam dalam air setiap harinya.

Dengan menggenggam seutas kawat dan sebuah tang sambil memasang wajah pasrah, aku menjelaskan kepada anakku ketika ia bertanya padaku apa yang sedang aku lakukan. Aku juga menjelaskan bahwa reparasi ini sifatnya sementara mengingat materialnya yang sudah beberapa kali aku gunakan sehingga aku hafal berapa lama bertahannya. Dan tanpa mengharapkan asupan ide yang bermanfaat darinya, aku berlalu menjauhinya yang masih berdiri di tengah ruang keluarga.
Tapi kemudian dari kejauhan ia bertanya, "Kenapa nggak pake isolasi tape yang buat kraan aja, Pa?"

Aku terhenti di depan pintu kamar mandi dan memutar badanku sambil berpikir, "Oh iya...bisa juga ya?".
"Yang warnanya putih itu lho, Pa...", katanya lagi setelah melihat aku memberi perhatian pada usulannya.
"Wow", pikirku. Aku takjub dengan pemikirannya sekaligus menyadari betapa bloonnya aku selama ini. Aku rasa memang selama ini aku mencoba mencari solusi dengan berpikir terlalu luas.