Pada akhirnya, engkau akan melihat sendiri sekokoh apa pilar yang selama ini kau anggap kuat untuk menopang atap yang menaungimu. Mungkin kau sudah muak dengan apa yang telah kulontarkan meski dibalik itu hanya ada itikad baik. Mungkin juga himbauan dari orang-orang lain yang hanya terdengar sebagai cemoohan olehmu sudah membuatmu menutup telinga rapat-rapat. Tapi apakah kau tidak ingin menelaah lebih jauh tentang apa yang dibisikkan bahkan diteriakkan ke telinganmu dengan kepositifanmu? Tidakkah kau menganggap kau, sebagai manusia yang layak berbuat salah, perlu juga mendapat asupan yang bisa membuatmu lebih baik?
Aku bukan ingin mengajarimu karena aku merasa paling benar. Aku hanya ingin berbagi denganmu apa yang selama ini aku anggap benar. Itu artinya, akupun bisa salah dan kau bisa menjadi orang yang membuatku menyadari kesalahanku lalu memberiku kesempatan untuk memperbaikinya. Dan sebagai manusia biasa, akupun bisa mengulangi kesalahan yang sama ketika aku tau aku memang seorang "slow learner". Tapi bila hal itu kemudian membuatmu menutup diri maka aku akan seterusnya berdiri di tempat yang salah. Ilmu tinggi-mu itu mungkin akan terus membuatmu melihatku di bawah sementara aku akan terus melihat ke semua arah untuk mencari tau dimana kau berdiri.
Bungkamku bukan berarti aku kecewa, tapi karena aku tidak ingin mengusik ketenangan atau kegundahan hatimu karena selama hatimu masih merasa terancam aku tidak bisa menemukan cara lain yang mungkin dapat menyejukannya. Aku tidak mungkin lagi mencoba membuatmu tersenyum dan tertawa jika itu berarti kau terpaksa mengabaikan pembelajaran yang bermanfaat buat kita. Aku hanya bisa terdiam sambil menunggu awan mendungmu berlalu ketika kembali bersedia menyapaku dengan ketulusan hatimu karena aku kau anggap sebagai orang yang berarti buat hidupmu. Aku lebih suka kau merangkulku kembali di bawah sinar matahari yang terang tapi tetap menyejukan tanpa perlu aku memohon.
Monday, September 23, 2013
Saturday, September 21, 2013
Bersih dan Aman
Sejak kecil aku memang dididik dengan cara yang terbilang ketat dalam hal kebersihan oleh kedua orangtuaku. Mungkin pada awalnya aku sempat merasa berat dalam mematuhi semua aturan yang diterapkan di dalam keluarga ayahku, aku tidak ingat, tapi yang kuingat hanyalah selama puluhan tahun sebelum aku punya anak, tidak satupun aturan kesehatan yang diberlakukan padaku itu terasa memberatkan. Mungkin saja karena setelah sekian lama digenjot dan dipaksa, aku jadi terbiasa hingga tidak lagi merasa terbebani. Lagipula aku juga tidak merasakan kerugian yang berarti setelah aku beradaptasi dengan semua aturan itu.
Aku baru mengerti sepenuhnya akan pentingnya aturan-aturan kesehatan itu diterapkan justru setelah aku menjadi orang tua. Aku jadi bisa melihat dengan lebih jelas bagaimana bermanfaatnya segala aturan itu bagiku dahulu sebagai seorang anak lelaki setelah aku punya tanggung jawab atas 2 anak lelaki ku sendiri. Bagaimana tidak? Tidak seperti anak perempuan umumnya yang lebih memilih aktifitas yang kalem, sifat ketidakacuhan dan ingin seenaknya yang ada dalam diri mereka yang tentunya juga aku miliki dulu cenderung mengarah ke pengabaian atas kebersihan dan aspek higienis. Dari mulai yang masih di lingkungan rumah seperti bermain di lantai dan teras rumah hingga di luar rumah seperti memegang bola yang telah bergulir kemana-mana termasuk masuk ke gorong-gorong sampai bergulingan di lapangan umum atau sekolah.
Sering sekali himbauanku pada mereka untuk mencuci kaki dan tangannya bahkan mandi seusai bermain mendapat respon yang mencerminkan kemalasan atau keengganan sehingga aku merasa perlu untuk menjadikannya sebagai paksaan. Semua itu tidak lain didasari oleh kepedulianku terhadap kesehatan mereka sendiri. Aku tidak mungkin membiarkan kuman dan bakteri yang terkandung dalam kotoran dan debu mengancam kesehatan mereka melalui makanan atau karena mereka mengucek matanya dengan tangan kotornya. Aku juga tidak ingin kuman dan bakteri itu tersebar di tempat duduk atau tempat tidur mereka yang harusnya menjadi tempat yang higienis dan aman buat kesehatan mereka.
Mungkin saja mereka kemudian dicap ribet oleh teman-temannya seperti halnya aku dulu. Mungkin saja mereka menganggapku kolot seperti bagaimana aku mungkin pernah menganggap orangtuaku dulu. Mungkin juga mereka lalu menyimpan rasa kekesalan padaku di balik kepatuhan mereka terhadap aturan yang kuterapkan pada mereka. Yang jelas, apa yang aku lakukan bukanlah upaya balasdendam sebagai pelampiasan kekesalanku dulu tapi murni karena sebagai orang tua, aku wajib mengajarkan pola hidup bersih kepada anak-anakku dan menjaga kesehatan mereka. Mulai dari mana lagi mereka harus belajar kalau bukan dari rumahnya sendiri?
Aku baru mengerti sepenuhnya akan pentingnya aturan-aturan kesehatan itu diterapkan justru setelah aku menjadi orang tua. Aku jadi bisa melihat dengan lebih jelas bagaimana bermanfaatnya segala aturan itu bagiku dahulu sebagai seorang anak lelaki setelah aku punya tanggung jawab atas 2 anak lelaki ku sendiri. Bagaimana tidak? Tidak seperti anak perempuan umumnya yang lebih memilih aktifitas yang kalem, sifat ketidakacuhan dan ingin seenaknya yang ada dalam diri mereka yang tentunya juga aku miliki dulu cenderung mengarah ke pengabaian atas kebersihan dan aspek higienis. Dari mulai yang masih di lingkungan rumah seperti bermain di lantai dan teras rumah hingga di luar rumah seperti memegang bola yang telah bergulir kemana-mana termasuk masuk ke gorong-gorong sampai bergulingan di lapangan umum atau sekolah.
Sering sekali himbauanku pada mereka untuk mencuci kaki dan tangannya bahkan mandi seusai bermain mendapat respon yang mencerminkan kemalasan atau keengganan sehingga aku merasa perlu untuk menjadikannya sebagai paksaan. Semua itu tidak lain didasari oleh kepedulianku terhadap kesehatan mereka sendiri. Aku tidak mungkin membiarkan kuman dan bakteri yang terkandung dalam kotoran dan debu mengancam kesehatan mereka melalui makanan atau karena mereka mengucek matanya dengan tangan kotornya. Aku juga tidak ingin kuman dan bakteri itu tersebar di tempat duduk atau tempat tidur mereka yang harusnya menjadi tempat yang higienis dan aman buat kesehatan mereka.
Mungkin saja mereka kemudian dicap ribet oleh teman-temannya seperti halnya aku dulu. Mungkin saja mereka menganggapku kolot seperti bagaimana aku mungkin pernah menganggap orangtuaku dulu. Mungkin juga mereka lalu menyimpan rasa kekesalan padaku di balik kepatuhan mereka terhadap aturan yang kuterapkan pada mereka. Yang jelas, apa yang aku lakukan bukanlah upaya balasdendam sebagai pelampiasan kekesalanku dulu tapi murni karena sebagai orang tua, aku wajib mengajarkan pola hidup bersih kepada anak-anakku dan menjaga kesehatan mereka. Mulai dari mana lagi mereka harus belajar kalau bukan dari rumahnya sendiri?
Wednesday, September 4, 2013
Berjaga-jaga Dalam Keikhlasan
Setelah menimbang-nimbang dan menggantungkan sepanjang akhir minggu, akhirnya dengan konsultasi dan anjuran dari seorang teman dekatku, aku terbitkan juga tulisanku yang terakhir kemarin. Nasihatnya meyakinkanku untuk tetap konsisten pada keinginan menjauhi kemunafikan diri, sehingga aku menyertakan keikhlasanku dalam menerima anggapan senegatif apapun tentang diriku dari setiap orang yang membacanya.
Lalu selang beberapa jam kemudian ada sebuah tawaran yang disentilkan kepadaku lewat SMS. Tawaran ini begitu menggiurkan sehingga agak sulit dipercaya kalau bisa terealisasi meskipun sangat masuk di akal. Isinya tidak penting, tapi bahwa itu tergolong kabar yang baik aku jadi mulai bertanya-tanya akan makna dibaliknya mengingat apa yang telah kupublikasikan kemarin. Ini bisa menjadi jalan keluar atas kesulitan yang tengah aku hadapi, atau malah tempaan ujian yang lebih berat lagi buat aku hadapi.
Entah apa lagi yang akan aku temui di depan sana, wallahualam. Yang jelas sekali lagi aku diberi olehNya kesempatan untuk menggodok keikhlasanku baik-baik. Ibarat memasak mie instan yang katanya mengandung bahan semacam lem, aku harus cukup bijaksana dalam menentukan waktu yang tepat untuk mematikan api. Kelihatannya memang mudah, namun tiap detik sangat berarti dalam mendapatkan wujud mie yang tidak hanya sesuai dengan keinginanku tapi juga baik buat kesehatanku. Aku harus berhati-hati dalam menyikapi berita yang aku dapat semalam karena aku hanya akan menjadi orang yang bodoh jika sekarang bersorak-sorak kegirangan atas apa yang nantinya ternyata tidak kudapatkan.
Ini bisa jadi bukan kali pertama aku kejatuhan durian rontok, tapi bisa juga jadi untuk kesekian kalinya aku terjerembab dalam lubang. Ada yang bilang bahwa doa seseorang akan terkabul disaat dia sudah sampai di titik terujung keikhlasannya, sementara yang lain beranggapan terjadinya justru setelah batas keikhlasan itu terlewati. Buatku keduanya tidak mustahil terjadi karena Allah sudah menyiapkan konsep kalam yang berbeda-beda bagi setiap umatNya. Semuanya misteri Illahi yang akan diketahui manusia hanya ketika sedang berlangsung, tidak seperberapa detik pun sebelumnya. Tinggal keikhlasan saja yang bisa dijadikan andalan dalam menyambut kehendakNya.
Insha Allah mukjizat itu memang menjadi milikku tanpa aku harus kehilangan keikhlasanku. Aamiin.
Lalu selang beberapa jam kemudian ada sebuah tawaran yang disentilkan kepadaku lewat SMS. Tawaran ini begitu menggiurkan sehingga agak sulit dipercaya kalau bisa terealisasi meskipun sangat masuk di akal. Isinya tidak penting, tapi bahwa itu tergolong kabar yang baik aku jadi mulai bertanya-tanya akan makna dibaliknya mengingat apa yang telah kupublikasikan kemarin. Ini bisa menjadi jalan keluar atas kesulitan yang tengah aku hadapi, atau malah tempaan ujian yang lebih berat lagi buat aku hadapi.
Entah apa lagi yang akan aku temui di depan sana, wallahualam. Yang jelas sekali lagi aku diberi olehNya kesempatan untuk menggodok keikhlasanku baik-baik. Ibarat memasak mie instan yang katanya mengandung bahan semacam lem, aku harus cukup bijaksana dalam menentukan waktu yang tepat untuk mematikan api. Kelihatannya memang mudah, namun tiap detik sangat berarti dalam mendapatkan wujud mie yang tidak hanya sesuai dengan keinginanku tapi juga baik buat kesehatanku. Aku harus berhati-hati dalam menyikapi berita yang aku dapat semalam karena aku hanya akan menjadi orang yang bodoh jika sekarang bersorak-sorak kegirangan atas apa yang nantinya ternyata tidak kudapatkan.
Ini bisa jadi bukan kali pertama aku kejatuhan durian rontok, tapi bisa juga jadi untuk kesekian kalinya aku terjerembab dalam lubang. Ada yang bilang bahwa doa seseorang akan terkabul disaat dia sudah sampai di titik terujung keikhlasannya, sementara yang lain beranggapan terjadinya justru setelah batas keikhlasan itu terlewati. Buatku keduanya tidak mustahil terjadi karena Allah sudah menyiapkan konsep kalam yang berbeda-beda bagi setiap umatNya. Semuanya misteri Illahi yang akan diketahui manusia hanya ketika sedang berlangsung, tidak seperberapa detik pun sebelumnya. Tinggal keikhlasan saja yang bisa dijadikan andalan dalam menyambut kehendakNya.
Insha Allah mukjizat itu memang menjadi milikku tanpa aku harus kehilangan keikhlasanku. Aamiin.
Tuesday, September 3, 2013
UntukMu
Aku sangat percaya bahwa semua yang terjadi padaku adalah bagian dari kalamku. Seberapapun buruknya kesengsaraan yang aku derita tentunya memang itu yang Kau sediakan buatku seperti halnya semua kebahagiaan yang diikuti dan mengikutinya. Tanpa harus mempertanyakan misteri alasanMu di balik penulisannya, aku percaya akan keagunganMu. Sifat Maha TauMu meyakinkanku bahwa Kau tidak akan pernah dikejutkan oleh apa yang akhirnya kulakukan disaat aku melewati batas kesabaranku karena semua adalah kehendakMu.
Kau telah menetapkan ukuran cinta yang kumiliki untukMu, yang sering tidak kutunjukkan dalam perilaku maupun kata-kata yang manis dalam keseharianku. Kau juga telah menentukan waktu dan tempat yang tepat buatku untuk bersyukur dan memujaMu ataupun berputusasa dan memakiMu. Disaat sekarangpun aku tau Kau masih memperhatikanku menjalani sisa kesabaranku sambil mulai berpaling dariMu seperti yang telah Kau tulis dalam kalamku.
Keyakinanku kian melemah dan imanku makin menggoyah seiring dengan kekalutan pikiranku yang entah untuk berapa lama, hanya Kau yang tau. Dan sebelum terlambat...sebelum imanku pada diriMu dapat memudar setiap saat, izinkanlah aku memohon ampun atas kegagalanku dalam berikhlas lebih jauh, dan berikanlah aku satu kesempatan lagi untuk berikhlas dalam menerima ganjaran atas apa yang akan kuperbuat disaat keimanan tidak menyertaiku lagi, seberat apapun itu. Izinkanlah pula aku untuk berterima kasih atas ketulusan hati yang paling tidak telah mendasari kejujuranku terhadap diriku sendiri hingga aku bisa sampai di tempatku berada saat ini.
Kau telah menetapkan ukuran cinta yang kumiliki untukMu, yang sering tidak kutunjukkan dalam perilaku maupun kata-kata yang manis dalam keseharianku. Kau juga telah menentukan waktu dan tempat yang tepat buatku untuk bersyukur dan memujaMu ataupun berputusasa dan memakiMu. Disaat sekarangpun aku tau Kau masih memperhatikanku menjalani sisa kesabaranku sambil mulai berpaling dariMu seperti yang telah Kau tulis dalam kalamku.
Keyakinanku kian melemah dan imanku makin menggoyah seiring dengan kekalutan pikiranku yang entah untuk berapa lama, hanya Kau yang tau. Dan sebelum terlambat...sebelum imanku pada diriMu dapat memudar setiap saat, izinkanlah aku memohon ampun atas kegagalanku dalam berikhlas lebih jauh, dan berikanlah aku satu kesempatan lagi untuk berikhlas dalam menerima ganjaran atas apa yang akan kuperbuat disaat keimanan tidak menyertaiku lagi, seberat apapun itu. Izinkanlah pula aku untuk berterima kasih atas ketulusan hati yang paling tidak telah mendasari kejujuranku terhadap diriku sendiri hingga aku bisa sampai di tempatku berada saat ini.
Aku yakin Kau mengerti karena semua adalah kehendakMu ...
Subscribe to:
Posts (Atom)