Sejak kecil aku memang dididik dengan cara yang terbilang ketat dalam hal kebersihan oleh kedua orangtuaku. Mungkin pada awalnya aku sempat merasa berat dalam mematuhi semua aturan yang diterapkan di dalam keluarga ayahku, aku tidak ingat, tapi yang kuingat hanyalah selama puluhan tahun sebelum aku punya anak, tidak satupun aturan kesehatan yang diberlakukan padaku itu terasa memberatkan. Mungkin saja karena setelah sekian lama digenjot dan dipaksa, aku jadi terbiasa hingga tidak lagi merasa terbebani. Lagipula aku juga tidak merasakan kerugian yang berarti setelah aku beradaptasi dengan semua aturan itu.
Aku baru mengerti sepenuhnya akan pentingnya aturan-aturan kesehatan itu diterapkan justru setelah aku menjadi orang tua. Aku jadi bisa melihat dengan lebih jelas bagaimana bermanfaatnya segala aturan itu bagiku dahulu sebagai seorang anak lelaki setelah aku punya tanggung jawab atas 2 anak lelaki ku sendiri. Bagaimana tidak? Tidak seperti anak perempuan umumnya yang lebih memilih aktifitas yang kalem, sifat ketidakacuhan dan ingin seenaknya yang ada dalam diri mereka yang tentunya juga aku miliki dulu cenderung mengarah ke pengabaian atas kebersihan dan aspek higienis. Dari mulai yang masih di lingkungan rumah seperti bermain di lantai dan teras rumah hingga di luar rumah seperti memegang bola yang telah bergulir kemana-mana termasuk masuk ke gorong-gorong sampai bergulingan di lapangan umum atau sekolah.
Sering sekali himbauanku pada mereka untuk mencuci kaki dan tangannya bahkan mandi seusai bermain mendapat respon yang mencerminkan kemalasan atau keengganan sehingga aku merasa perlu untuk menjadikannya sebagai paksaan. Semua itu tidak lain didasari oleh kepedulianku terhadap kesehatan mereka sendiri. Aku tidak mungkin membiarkan kuman dan bakteri yang terkandung dalam kotoran dan debu mengancam kesehatan mereka melalui makanan atau karena mereka mengucek matanya dengan tangan kotornya. Aku juga tidak ingin kuman dan bakteri itu tersebar di tempat duduk atau tempat tidur mereka yang harusnya menjadi tempat yang higienis dan aman buat kesehatan mereka.
Mungkin saja mereka kemudian dicap ribet oleh teman-temannya seperti halnya aku dulu. Mungkin saja mereka menganggapku kolot seperti bagaimana aku mungkin pernah menganggap orangtuaku dulu. Mungkin juga mereka lalu menyimpan rasa kekesalan padaku di balik kepatuhan mereka terhadap aturan yang kuterapkan pada mereka. Yang jelas, apa yang aku lakukan bukanlah upaya balasdendam sebagai pelampiasan kekesalanku dulu tapi murni karena sebagai orang tua, aku wajib mengajarkan pola hidup bersih kepada anak-anakku dan menjaga kesehatan mereka. Mulai dari mana lagi mereka harus belajar kalau bukan dari rumahnya sendiri?