Tuesday, July 24, 2012

Ramadhan

Sebagian orang mengelu-elukan kedatangannya sebagai bulan yang ditunggu-tunggu. Banyak yang mensyukuri fakta bahwa mereka masih dapat dipertemukan dengannya lagi. Bulan dimana kaum Muslim diwajibkan berpuasa yang datang setahun sekali ini begitu dianggap istimewanya sehingga kedatangannya disambut dengan sukacita dengan pelbagai cara. Ada yang mengadakan kumpul-kumpul untuk berdoa bersama. Ada yang segera pulang kampung untuk saling bermaafan dengan sanak keluarga. Dan banyak yang menggangap penyambutannya perlu keberisikan sehingga petasan dan mercon langsung beredar dan disulut dimana-mana.

Lalu setelah hampir sebulan berjalan, pada saat kita tiba di penghujung bulan ini, sebagian orang merasa sangat sedih bahkan meratapinya. Bahwa bulan yang dianggap begitu suci itu akan segera berlalu dan tidak akan kembali hingga setahun kemudian, memang sangat tidak menjamin kita akan dipertemukannya lagi. Sementara, sebagian lain justru menganggap kepergiannya mengartikan kedatangan Lebaran sebagai hari perayaan kemenangan atas segala ujian yang telah dilalui selama bulan Ramadhan sehingga suka cita lebih mewakili apa yang dirasakannya.

Sepertinya ada yang mereka lupakan dalam hal ini. Bulan Ramadhan memang bulan suci. Bulan dimana kita, kaum Muslim, dilatih untuk bersabar dan melawan nafsu. Kesucian bulan ini justru mendukung upaya pelatihan bagi kaum Muslim, sehingga segala tindakan, baik maupun buruk, akan digandakan ganjaran dan pahalanya. Sama halnya dengan kondisi saat seseorang Muslim berada di tanah suci Mekkah.
Kalaupun ada kegembiraan atas kedatangannya bulan ini, tentunya karena kita siap menghadapi pelatihan Ramadhan. Saat pelatihan ini segera berakhir lalu ditangisi, apakah itu berarti kita belum siap ditinggal oleh pelatihan ini?

Mengapa aku menganggap Ramadhan hanya sebagai bulan pelatihan? Karena bagiku, ujiannya justru kita hadapi di luar Ramadhan. Ya...pada saat kita tidak diharuskan untuk berpuasa, bisakah kita menahan lapar dan haus sementara lebih banyak orang disekeliling kita yang tidak berpuasa? Mampukah kita menahan diri dari amarah pada saat sedikit sekali orang yang menjaga sifat, sikap dan kata-katanya dalam berperilaku? Apa yang akan kita lakukan saat orang lain tidak menganggap penting untuk menghargai perasaan kita? Bagaimana kita menghadapi orang-orang yang kembali membejatkan diri setelah Ramadhan berlalu, karena justru banyak sekali orang yang kemudian kembali ke sifat buruknya setelah Ramadhan berlalu. Apalagi mereka yang menganggap masa "bertobat" telah selesai seiring dengan kepergian Ramadhan.

Aku sendiri bukan tipe yang mengelu-elukan kedatangan Ramadhan hingga merasa perlu melakukan ritual-ritual tertentu. Kedatangan Ramadhan ini lebih aku sikapi dengan kemantaban diri dalam menghadapi berbagai cobaan sebagai bagian dari proses pelatihannya. Selama Ramadhan, aku tidak ingin menghitung hari yang aku lalui ataupun sisa hari yang masih harus aku hadapi karena pada saatnya nanti, bukanlah kemenangan yang akan aku rayakan namun berakhirnya penggemblengan ini, dimana aku lalu, suka tidak suka, siap ataupun tidak, akan memulai hari-hari ujian sesungguhnya selama 11 bulan. Aku mungkin lebih merasa was-was atau khawatir, bukan meratapinya, saat Ramadhan akan berakhir karena aku segera menghadapi hari-hari yang jauh lebih berat.

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah. Berkah berlipat bagi kita yang mampu melalui pelatihan ini dengan benar dan baik. Sementara banyak orang menjalaninya sebagai bulan penuh cobaan dan ujian, Ramadhan hanyalah bulan suci yang sepatutnya benar-benar dimanfaatkan untuk menempa keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Karena begitu bulan Ramadhan ini berlalu, kita akan menghadapi ujian yang berat, yang keberhasilannya tidak terganjar sebesar di bulan Ramadhan.

Selamat menjalani pelatihan Ramadhan.....