Tuesday, August 14, 2012

Ajaran Untuk Anakku


Sabtu malam kemarin, aku menunaikan ibadah tarawih lagi bersama kedua putraku. Aku memang telah mengamankan malam itu untuk tujuan tersebut karena dua malam sebelumnya kondisi badanku tidak cukup sehat bahkan untuk diajak melakukan ibadah yang harusnya istimewa mengingat sudah masuk 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Esoknya, ketika tengah berbuka puasa, mereka mencoba memastikan padaku atas rencana tarawih malam itu. Mereka terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku tidak berencana untuk tarawih karena rupanya mereka mengira di sepuluh hari terakhir Ramadhan, aku akan mengintensifkan ibadah tarawihku. Lalu aku jelaskan pada mereka tentang Lailatul Qadar yang seyogyanya terjadi di malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir, yang menjadi alasanku untuk melakukan ibadah tarawih hanya di malam-malam tersebut. 
Aku yakin tentu saja akan ada orang yang berpendapat bahwa caraku menyiasati 10 malam terakhir Ramadhan itu tidak tepat, namun....itulah aku.

Ya...itulah aku, seorang muslim, yang bukan Islam KTP tapi juga bukan yang fanatik. Aku bukan tipe muslim yang sholat wajibnya bolong-bolong atau tidak menganggap sholat Jum'at sebagai suatu kewajiban, atau menganggap sholat wajib dapat dengan mudah ditunda dan dipindahkan ke waktu-waktu lain, dlsb, namun aku juga bukan tipe muslim yang percaya bahwa ada doa-doa khusus tertentu yang pasti mustajab dalam mengatasi masalah tertentu, atau harus selalu melakukan sholat wajib di masjid dan kalau perlu di barisan terdepan, atau bahkan selalu membumbui semua ucapanku dengan hal-hal yang bersifat religi. Bukan. Aku hanya seorang muslim sederhana yang berusaha menngedepankan 5 kewajibanku dan melaksanakan perintahNya sesuai yang tertulis dalm Al-Qur'an tanpa berusaha menggali-gali untuk mendapatkan makna yang ada dibaliknya. Bukan seseorang yang berteriak-teriak mengingatkan orang lain untuk menjadi lebih Islami karena aku seharusnya sudah cukup sibuk melaksanakan tugas khusus untuk menjaga diriku sendiri menjadi penganut agama Islam seperti yang aku hendaki.

Aku memang tidak dibesarkan dalam keluarga yang ketat agamanya. Bahkan aku menghabiskan masa-masa sekolahku di sekolah non-Islam yang pada zaman itu termasuk sekolah terhebat di Jakarta. Meski sempat mendatangkan guru mengaji ke rumah, orang tuaku juga bukan tipe yang mengharuskan anak-anaknya mempelajari agama secara ekstrim dan mereka membiarkan kami untuk menerima ajaran Islam yang simpel. Bukannya hal itu lalu menelantarkan aku dalam beragama, justru aku lebih bisa menghargai nilai-nilai ajaran Islam yang aku anggap tidak pernah menggandeng unsur pemaksaan. Aku percaya bahwa yang dimaksud sebagai agama yang "mudah" oleh Allah swt, adalah kemudahan tiap individu dalam menjalaninya sesuai dengan interpretasinya secara individu. Bagiku, kerumitan akan Islam yang mungkin ditemui justru merupakan hasil dari pengartian yang kompleks, yang justru mendiskreditkan kemudahannya.

Tidak banyak memang, orang di negeri ini yang berpikir secara sederhana dibanding mereka yang cenderung mencari dan mencari jawaban yang dirasa paling pas. Banyak sekali orang yang mencari jawaban yang lain hanya karena alasan ingin menjadi orang yang terpandang dalam agama (Islam). Hal ini sangat aku maklumi mengingat betapa pentingnya derajat keagamaan seseorang di mata masyarakat kita hingga, sebagai contohnya, seseorang sengaja berdandan dengan kelengkapan pakaian Islamnya agar dianggap sebagai seorang haji. Dan faktanya, seorang haji bisa mendapat penghargaan lebih tinggi dari masyarakat ketimbang seorang sarjana atau pejabat. Orang berlomba-lomba mendapatkan penghargaan seperti itu dengan cara menunjukkan hasil penggaliannya atas ajaran-ajaran Islam atau dengan menggunakan ciri khas tertentu untuk bisa dijadikan trend baru, sehingga kemudian apa yang tampak sebenarnya bisa saja hanya sesuatu yang semu mengingat mereka hanyalah manusia biasa yang bisa setiap saat terjerat urusan duniawi. Karena itulah aku tidak pernah mengidolakan satupun pemuka agama atau falsafah-falsafah lain tentang ajaran Al-Qur'an diluar pengkajianku sendiri atasnya.

Jika disini, orang begitu memperhatikan cara berpakaian, cara bicara, perilaku, topik pembicaraan, yang kemudian dianggapnya bisa menempatkannya pada posisi tertentu di masyarakat, saya justru takjub pada kesederhanaan pengelolaan jemaat yang mengunjungi tanah suci, dimana saat itu tidak satupun sosok yang berkesempatan untuk menonjolkan kelebihannya dalam hal apapun. Disana, berbagai tipe kaum muslim berbaur menjadi satu tanpa pengecualian yang dipengaruhi oleh harta, tahta maupun ilmu. Pelbagai aliran Islam disatukan di atas tanah suci dimana tidak satu orangpun berhak mempermasalahkan perbedaanya. Segala sesuatunya kembali kepada urusan antara tiap jemaat berdua dengan Allah swt...itu saja. Setinggi-tingginya derajat atau sekaya-kaya dan sepandai-pandainya seseorang di tempat asalnya, ia disana akan mendapat perlakuan yang sejajar dengan jemaat lainnya, yang jelata atau miskin atau mungkin bodoh. Saat sholat, ia mungkin berdiri diapit jemaat yang miskin dan yang bodoh.

Aku tidak ingin kedudukan, harta ataupun hal-hal duniawi lainnya membutakan putra-putraku. Aku ingin mereka menjadi umat muslim yang sederhana yang tidak pernah menghindar dari ajaran-ajaran agama Islam karena dianggap rumit dan sulit. Aku bersyukur bahwa aku menjadi seorang muslim seperti ini dengan segala kesederhanaan pemikiran agama yang telah ditawarkan padaku sejak kecil dan itulah yang aku tawarkan pada putra-putraku. Aku berharap mereka bisa menjalani hidupnya kelak nanti dengan kesederhanaannya beragama.
Aku tidak menganggap remeh Islam dan aku juga tidak menskralkannya sedemikian rupa sehingga menjadi suatu agama yang menakutkan. Islam seharusnya adalah agama yang mudah dan nikmat untuk dianut. Dan itulah yang aku ajarkan pada mereka.