Friday, June 20, 2014

Bijaksana Dalam Bersuara


Wah...makin lama makin seru rupanya postingan-postingan yang dibuat oleh para pendukung dari kedua belah kubu dalam menyambut Pilpres mendatang. Mungkin demokrasi yang dijanjikan kedua pasangan cpres dan cawapres itu tidak perlu terlalu besar lagi kadarnya karena dari penggunaan kebebasan bersuara yang dilakukan para pendukungnya sudah memperlihatkan skala kedemokrasian yang cukup besar.

Tak bisa dipungkiri lagi bahwa pembagian menjadi dua sisi terjadi di seluruh kalangan masyarakat. Contoh termudahnya adalah mereka-mereka yang ada dalam lingkaran pengaruhku sendiri. Kampanye yang dialirkan lewat tulisan dalam postingan di media sosial internet maupun di grup-grup seperti Blackberry Messenger dan WhatsApp kian gencar. Meskipun proporsi pemakaian metode saling menyerang pendukung sudah menurun drastis, namun proporsi hujatan kepada para kandidat justru makin meningkat, baik itu dilakukan secara santun ataupun secara ganas dan langsung. Bisa jadi hal ini dilakukan karena para pendukung dari masing-masing kubu sudah sumpek berdebat. Ini hal yang kuanggap positif karena paling tidak bacaan yang ada tidak menjadi semu dan membosankan, bahkan cenderung bisa dinikmati.

Bagi kelompok yang berada di poros tengah, materi bacaan seperti ini bisa sangat membantu dalam membentuk pola pemikiran yang jelas tentang kedua kandidat yang kemudian bisa memudahkan mereka menentukan pilihannya. Jangankan mereka, orang seperti aku saja, yang notabene masih mau membuka mata, telinga, pikiran dan hati, merasakan manfaatnya karena bisa saja kelak aku melakukan manuver yang drastis dengan memilih oponan dari orang yang sejauh ini aku jagokan. Apalagi dengan sopannya, ada beberapa pendukung ini kerap mengingatkan pembaca dan pendengar untuk menggunakan akal sehat dan logika ketika mereka memaparkan berbagai hal yang dianggapnya fakta yang sebenar-benarnya. Tampaknya, mereka belajar dari situasi yang sudah terjadi, sehingga bak juru kampanye resmi, mereka bisa menjelaskan kehebatan jagoannya maupun kebobrokan lawannya dengan cara yang elegan sehingga lebih mudah untuk bisa diterima.

Aku teringat kejadian belasan tahun silam ketika seorang kawan wanita yang telah menjalin hubungan asmara selama 8 tahun dengan seorang pria yang berbeda keyakinan. Saat itu, temanku berniat membawa kekasihnya menghadap seorang ustadz yang diharapkan bisa meyakinkan kekasihnya untuk menjadi mualaf agar mereka kemudian dapat menikah. Sayangnya, bukannya memberikan asupan yang menjunjung tinggi agamanya, ustadz itu justru mediskreditkan agama yang dianut oleh kekasih temanku yang jelas saja membuatnya geram dan mengurungkan niatnya untuk berpindah agama.
Kemutungan kekasih temanku itu berlangsung sekitar satu tahun dimana meskipun temanku mencoba keras meyakinkannya bahwa pindah agama adalah syarat terakhir yang harus dipenuhi untuk bisa menikahinya, namun trauma dan sakit hatinya sempat membuatnya percaya kalau Islam bukan lagi agama yang pantas untuk dianutnya. Ironis bukan?

Hal ini juga sangat pantas diaplikasikan dalam usaha para pendukung meyakinkan seseorang atas kebaikan dari kubu yang didukungnya. Orang seperti aku saja masih bisa merubah dukungan dan pilihanku ke kandidat yang aku percaya ternyata lebih kompeten jika memang penyampaiannya benar dan baik, apalagi mereka yang hingga kini masih mencari-cari hal yang bisa menuntunnya pada pilihannya.
Seorang salesperson akan punya kans yang lebih besar dalm menjual produk yang ditawarkannya jika ia bisa menunjukkan betapa besarnya kepercayaan yang dimilikinya terhadap produk tersebut tanpa harus menjelek-jelekkan produk saingannya. Karena semakin banyak ia memberikan poin (negatif) pada produk saingannya, semakin besar pula minat produsen untuk mencari tau tentang produk saingannya itu. Dan bisa dibayangkan jika akhirnya produsen justru kemudian mendapat asupan dari salesperson produk saingannya yang menjelaskannya dengan cara yang lebih baik.

Ini tidak ada kaitannya dengan agama, suku, gender, derajat atau latar belakang. Ini bukan soal solidaritas dalam persaudaraan atau pertemanan atau persahabatan atau bahkan pernikahan. Ini soal hak setiap individu dalam menggunakan satu-satunya kesempatan untuk menentukan pilihan yang tepat. Orang yang bijaksana seharusnya pandai mensiasati kondisi yang ada dalam menyuarakan pilihan dan semua alasan yang ada di baliknya sehingga mampu menjual apa yang dikampanyekannya. Dan jika asupan yang baik dan santun itu datang dari seorang kerabat atau teman dekat, harusnya akan lebih mudah diterima. Namun jika pendekatannya tidak tepat, pendapat seorang suamipun sangat mungkin ditolak mentah-mentah oleh istrinya yang kemudian memutuskan untuk menajdi oponannya.

Semoga di waktu yang tersisa hingga pelaksanaan Pilpres nanti, kampanye yang ada akan dilakukan oleh lebih banyak lagi orang yang bijaksana, yang bisa merayakan kemenangannya dengan martabat yang tinggi dan bisa menerima kekalahannya dengan besar hati. Aamiin.



Tuesday, June 17, 2014

Nyampah

Lucu sekali teman-teman dan beberapa kontak ku yang sering saling berinteraksi di dunia maya maupun dunia nyata. Setelah menyatakan tidak akan ikut-ikutan berkampanye menjelang Pilpres, ternyata, disadari atau tidak, mereka justru makin menggila dengan postingannya yang bersifat memihak hingga mendulang komen orang lain yang memicu perdebatan. Tidak ada yang salah dalam berperan serta mendukung jagoannya karena itu toh hak masing-masing warga negara.Hanya saja cara mereka menunjukkan dukungannya itu yang membuatku tersenyum-senyum melihatnya.

Ada yang hanya murni mengangkat-angkat citra jagoannya, namun ada saja yang masih melakukan kampanye negatif atau bahkan kampanye hitam.  Kampanye negatif-nya pun ada yang dilakukan baik dengan cara halus dan tidak menohok ataupun dengan cara sambil menyertakan pernyataan sinis atau malah makian. Hal ini dilakukan secara gencar hampir tiap hari hingga halaman pofilnya sarat dengan postingan seperti itu. Lalu apa sih yang memberikan kenikmatan bagi mereka dalam melakukan hal ini? Selain sebagai pelampiasan kefanatikan atau kebenciannya pada kedua kandidat, aku menduga mungkin nantinya semua postingan itu kelak bisa mereka jadikan pembuktian atas kebenaran postingannya sekaligus dipakai untuk bahan ledekan saat jagoannya terpilih sebagai pemenang. Lalu apa yang akan mereka lakukan saat harapannya tidak terpenuhi di ujung Pilpres bulan depan? Membersihkan semua postingannya?
Entahlah.

Aku sendiri berprinsip bahwa pendukungan pada masing-masing kandidat sebaiknya dilakukan dengan cara yang elegan tanpa harus mengangkat-angkat jagoannya setinggi langit atau membanting lawannya dengan keras. Hampir semua postingan bernafaskan kampanye yang aku jumpai itu wujudnya sudah seperti tulisan dakwah agama yang mengajak pembacanya untuk lebih bertakwa namun dengan dibumbuh ancaman yang teramat mengerikan sehingga mencerminkan seolah Sang Pencipta itu kejam. Postingan-postingan itu tidak hanya menggambarkan kesejahteraan yang dijanjikan para kandidat namun juga kesengsaraan yang bisa ditimbulkan mereka jika terpilih. Bacaan yang mengerikan sekali buat mereka yang hingga kini masih berada di poros tengah dan belum menentukan pilihannya. Tapi buat para pendukung, hal seperti itu takkan terbeli.

Aku percaya bahwa setiap orang akan menganggap sebuah teori itu benar jika memang sejalan dengan pendapatnya, dan begitu pula sebaliknya. Sebaik-baiknya seorang khatib berkhotbah, sebenar-benarnya apa yang dipaparkan dalam khotbahnya, hanya akan terbeli oleh mereka yang memang sepaham, dan tidak akan masuk ke dalam hati dan pikiran mereka yang punya anggapan berbeda. Jangankan isi khotbahnya, sekali seseorang tidak menyukai khatibnya, segala materi khotbahnya hanya akan melulu terdengar sumbang. Hal ini juga yang aku cukup yakin terjadi dalam kasus berkampanye tanpa batas.

Debat capres yang kedua telah dilaksanakan hari Minggu kemarin. Dan menurutku, ada 3 tipe orang yang ingin menyaksikan semua acara perdebatan yang sudah lalu maupun yang akan datang;
1. Orang yang perlu asupan tentang siapa yang layak dipilih.
2. Orang yang ingin melihat kehebatan jagoannya.
3. Orang yang ingin meilhat ketidak hebatan lawan jagoannya.
Jelas bagi orang yang masih bingung menentukan pilihannya, acara ini akan sangat bermanfaat. Namun bagi tipe nomor 2 dan 3, acara ini bisa jadi hanya bermanfaat untuk menambah bahan pembahasan dan/atau postingan mereka yang menyampah dimana-mana. Ironis sekali bagaimana mereka menggunakan waktu dan akalnya dengan cara seperti ini....




Thursday, June 12, 2014

Low Batt

Suasana hingar bingar perdebatan tentang Pilpres yang minggu kemarin semakin menggila dan sudah kelewat batas normal, lengkap dengan penjunjungan atas kandidat yang dijagokan dan cacimaki yang dilemparkan kepada lawan jagoannya secara berlebihan mendadak mereda bahkan bisa dikatakan sunyi senyap. Entah apa penyebabnya, bisa jadi bak handphone yang sudah low batt, mungkin saja para pelakunya sudah kecapaian. Yang jelas, memang sebelumnya sudah terlihat dengan adanya postingan-postingan yang menyerukan keluhan terhadap semua itu. Tidak sedikit orang yang merasa kesal dan capai membaca berbagai tulisan yang bersifat saling menyerang. Himbauan agar kampanye dan pembahasan diantara para pendukung kedua kubu dilakukan secara damai sempat tidak digubris bahkan perdebatan yang ada justru menjadi semakin kasar.

Ada beberapa kenalan yang berniat untuk menghindari postingan yang tidak bermutu itu dengan cara menyaring kontak-kontaknya dan meng-unfriend mereka yang dianggap menyampah. Seorang teman bahkan memutuskan untuk sementara waktu tidak lagi menyambangi situs-situs media sosialnya hingga Pilpres telah selesai dilaksanakan karena sudah muak mendapati hujatan yang ditujukan pada jagoannya. Rupanya, ia juga sempat berdebat dengan salah seorang kontaknya yang dianggap menyerang dan melecehkan martabat jagoannya. Mungkin saja akhirnya ia merasa menang dan puas dengan hasil pembelaannya, mungkin juga tidak. Tapi yang pasti aku yakin semua itu telah menyita waktu, energi dan emosinya. Dampak seperti inilah yang mungkin dialami mereka yang kemarin-kemarin doyan berkampanye secara all out sehingga saat ini, untuk sementara waktu, suasana kembali normal.

Kalau sebagian besar orang menyatakan tidak habis pikir menemui mereka yang melakukan hal-hal yang melelahkan itu, aku justru bisa mengerti. Dari awal aku sudah berprinsip untuk tidak menyuarakan pilihanku secara umum dan/atau alasan yang mengusungnya. Hidup di tengah lingkungan masyarakat yang moralnya begitu rapuh itu memaksaku untuk lebih berhati-hati dalam membuka mulut. Jangankan orang lain, teman bahkan kerabat dekatku sendiri bisa mengartikan salah apa yang aku ucapkan atau cara penyampaiannya. Kebijaksanaan masyarakat yang rentan sangat mudah menjadikan orang sensitif dan mudah tersinggung. Dan konsep pemikiran seperti inilah yang membuatku mengerti juga jika kemudian para pejuang tangguh tanggung ini seolah lalu tertidur karena kehabisan enerji.

Ya, ya...jika ada yang berkata bahwa perjuangan mereka itu didasari tekad untuk memiliki pemimpin yang berakhlak baik agar negeri ini dapat kembali menjadi makmur, aku setuju. Tapi dengan merendahkan moralnya dalam berjuang membela kandidat yang dijagokan, melayani dampratan lawan dengan cara mendampratnya balik atau mengerahkan segenap pikirannya untuk menangkis serangan-serangan yang tidak berarti, secara tidak disadari mereka membiarkan dirinya ditulari kebodohan lawannya. Tanpa disadari, mereka sedang menciptakan bangsa yang bermoral rendah untuk menghuni negara yang ingin dijadikan makmur oleh kandidat jagoan mereka sendiri. Kalau memang begitu, bukankah berarti mereka sedang menciptakan tugas yang lebih berat untuk dipikul di pundak pemimpin kita nanti yang 50% kemungkinannya adalah jagoannya sendiri?

Kita sebagai warga negara harus menyadari bahwa tugas kita tetap sama, mendukung pemimpin pilihan mayoritas. Siapapun yang akan terpilih sebagai presiden berikutnya punya tugas yang berat. Dan pemerintahan baru yang dipimpinnya nanti akan butuh sumbangan tenaga dan pikiran kita. Jadi, ketika nanti tenaga dan akal sehat kita sudah terkumpul kembali, jangan dihabiskan lagi hanya untuk kampanye atau pembahasan yang berlebihan apalagi debat kusir. Simpan saja untuk digunakan kelak dalam membantu pemerintahan baru memperbaiki negeri ini.




Wednesday, June 11, 2014

Modus Baru


Awalnya aku bersikap santai saja ketika di bulan yang lalu tagihan kartu kreditku itu tiba-tiba seolah berlipat dari tagihan di bulan-bulan sebelumnya. Aku hanya  menanggapinya dengan berniat untuk lebih membatasi penggunaannya. Lagipula toh alhamdulillah dana yang khusus aku simpan untuk semua tagihan kartu kredit masih cukup untuk meng-cover total tagihan bulan itu. Sudah berbulan-bulan aku memang tidak lagi menerima tagihan melalui pos karena aku sempat memindahkan alamat pengiriman dari rumah mertua ke kantorku. Jadi informasi jumlah tagihan yang aku dapatkan biasanya lewat ATM yang secara otomatis menunjukkannya jika aku memilih transaksi pembayaran. Aku baru bisa membaca rinciannya ketika tagihan itu kuterima pada kunjunganku ke rumah mertua. Itupun juga jarang aku lakukan selama tagihannya terasa normal dan pembayaranpun sudah aku lakukan sebelumnya.

Namun ketika kemarin tagihan kartu kredit yang sama itu mempunyai nominal 6 digit, aku langsung merasa ada yang tidak beres. Dan tanpa harus menunggu sampai aku menjemput surat tagihan di rumah mertuaku, aku langsung menelpon layanan call center guna menanyakan hal itu. 
Penjelasan yang aku dapatkan itu menyambarku bagaikan halilintar di hari yang cerah. Bagaimana tidak? Rupanya tanpa alasan yang masuk akal, pihak bank terkait secara sepihak menurunkan batas kredit pada kartuku. Penurunan batas kredit yang mencapai 3 juta ini diberlakukan begitu saja hanya dengan alasan keputusan pihak administrasi bank yang bersangkutan dan tanpa pemberitauan sebelumnya. Kontan saja tiba-tiba aku harus merogoh kocek yang jauh lebih besar dari anggaranku. Tak hanya itu, status aman dimana aku berada sebelumnya tiba-tiba berubah menjadi over limit.

Kartu kredit yang bermerk sebuah pasar swalayan besar yang disponsori oleh bank terkait ini memang mudah untuk didapatkan. Aku ingat dulu proses penyetujuan aplikasi yang aku ajukan memang begitu cepatnya. Padahal ketika itu, aku berkutat untuk tidak menyangkutpautkannya dengan kartu kreditku yang lain sebagai persyaratannya. Mungkin karena itu jugalah batas kedit yang diberikan masih jauh lebih kecil dibanding kartu-kartu kredit yang langsung aku dapatkan dari bank lain, sehingga nilai minimum pembayaran sebesar 10% dari total tagihan yang meskipun sudah mencapi batas kredit harusnya tidak memberatkan. Namun hal itu tidak akan berarti lagi jika kemudian harus diakumulasikan dengan selisih antara nilain pemakaian yang kini dianggap over limit.

Dalam perjalanan penggunaannya, aku menemui berbagai masalah seperti tidak dapat digunakannya di banyak tempat, ditolak bahkan oleh mesin di pasar swalayan itu sendiri sehingga transaksi pembayarannya harus diulang berkali-kali sampai berhasil dan sering dianggap tidak beres oleh ATM bank itu sendiri.
Tentunya dengan mudahnya mendapatkan kartu kredit ini, bank terkait punya banyak sekali nasabah. Bisa terbayangkan keuntungan yang sangat besar ketika pihak bank melakukan pemaprasan kredit secara sepihak kepada nasabahnya ini. Hmmm...rupanya ini bisa jadi sebuah modus baru yang cukup efektif buat instansi yang mendapat kepercayaan dari nasabahnya.  Dan segala keluhan bahkan protesku tidak membuat pihak bank tersebut mengubah keputusannya mengingat posisiku yang memang tidak mungkin memaksanya.

Kalau saja aku punya dana yang mencukupi, aku akan langsung menutup rekening kartu kredit itu. Harusnya aku memang lebih berhati-hati dengan hal-hal yang bisa didapat dengan mudah karena semua itu dapat menghilang dengan mudah pula.



Saturday, June 7, 2014

Jangan Bawa Agama

Hmmm...rupanya aku cenderung sering menulis blog disini hingga Pilpres berlangsung nanti. Bukan untuk berkampanye tapi lebih pada urusan curhat :p

Kemarin, sekali lagi aku diceritakan sekaligus ditunjukkan bagaimana sebuah tulisan berita bisa sampai mempengaruhi banyak orang bahkan mereka yang selama ini aku anggap bijaksana untuk lebih memilih diam ketimbang ikut berkampanye. Ternyata mereka yang terlihat diam atau anteng-anteng saja di depan umum doyan berdebat juga tentang para capres dan cawapres. Lebih dari itu, di balik kekaleman mereka di depan umum itu tersimpan ego yang tinggi dan ilmu yang salah. Yang lebih lucu lagi, aku dapat info bahwa banyak pendebat kusir yang tergolong muda dan belum pernah mengikuti pemilu sebelumnya.
Entah darimana mereka ini mendapat asupan. Kemungkinan besar mereka membaca di internet, yang notabene penuh dengan muatan sampah dan teori konspirasi yang memang dibuat untuk membelokkan fakta demi suksesnya kampanye hitam, lalu menarik kesimpulan sendiri. Parahnya, banyak  yang kemudian berkedok agama sebagai alasan untuk berkampanye dan/atau memilih.

Negara kita ini memang negara beragama tapi bukan dikhususkan pada agama tertentu seperti halnya Pakistan, India, Vatikan atau negara-negara agama lainnya. Ideologi kita adalah Pancasila, yang jelas-jelas mengakui adanya berbagai agama yang punya Tuhan yang sama. Jika ada kelompok yang menganggap negara kita lebih pantas menjadi negara agama, sebutlah Islam, tentunya sama salahnya dengan kelompok yang menganggap lebih pantas menjadi negara Kristen atau Hindu atau Budha, dll. Bahwa Islam merupakan agama mayoritas tidak berarti negara ini harus menjadi negara Islam. Kalau hal itu sampai berlaku, maka yang terjadi bukan lagi pembelokan sejarah namun sudah merupakan perubahan ideologi, yang artinya akan harus terjadi perubahan pada Pancasila dan UUD'45. Apa iya negara ini akan sampai pada hal itu? Itu artinya kita akan memulai dari nol lagi. Semua yang telah dirumuskan dan disahkan oleh para pendahulu kita akan dirombak habis-habisan seolah semua itu tidak tepat. Apakah segala aspek sejarah yang sejak dahulu menjadi materi pendidikan di sekolah lalu dianggap hal yang salah sehingga harus diubah?

Kondisi negara kita ini sedang rentan di berbagai aspek. Kesalahan para pejabat negara dalam menjalankan pemerintahan selama ini mungkin merupakan penyebab utama dari kerentanan itu. Yang kita butuhkan saat ini adalah suatu perbaikan dari semua kesalahan itu. Kita menginginkan kondisi negeri yang sejahtera dan makmur di alam kebebasan yang telah diraih para pejuang kita dulu. Kita ingin kembali ke masa-masa kemakmuran yang pernah kita alami setelah kita merdeka, bukan kembali ke awal saat proklamasi didengungkan karena saat itu rakyat kita belum merasakan kesejahteraan yang luas. Meskipun di masa perjuangan merebut kemerdekaan, banyak organisasi Islam yang memegang peranan penting di dalamnya, aturan agama Islam dari dulu toh tidak pernah dijadikan landasan untuk mengatur negara. Sila pertama Pancasila sudah jelas menerangkannya, mengapa masih didebatkan pula?

Sekarang siiapa yang masih menganggap dirinya pantas untuk bebrbicara mewakili Islam? Seorang ulama atau kiai kondang saja bisa melencengkan ilmunya di jalan yang salah, apalagi anak-anak muda yang menimba ilmu agamanya dari nara sumber yang menyesatkan?
Mungkin sudah tidak pada tempatnya lagi kita mengacu pada, "benahi diri dulu sebelum membenahi orang lain", tapi lebih tepat pada, "benahi diri sendiri saja". Tak perlu menghakimi capres atau cawapres manapun dari segi agama karena itu tugas Yang Maha Kuasa. Aku yakin kalau yang duduk di kursi pemerintahan itu orang-orang yang punya maksud dan akhlak yang baik, otomatis pengaturan negeri ini juga akan baik.
Insha Allah.



Friday, June 6, 2014

Mekkah Atau Israel?

Masjid Cut Meutia yang dibangun di zaman kumpeni awalnya berfungsi sebagai tempat perkumpulan para insinyur saat itu, sehingga orientasi aksis-nya tidak selaras dengan arah kiblat. Maka shaf yang ada di dalam masjid memang dibuat miring ke kanan sekitar 45 derajat dari arah dinding terdepan. Selayaknya shaf di halaman masjid-pun dibuat serupa, namun para pekerja yang bertugas menggelar karpet-karpet panjang sebagai alas sajadah rupanya tidak melakukannya dengan cermat sehingga acapkali kemiringan itu tidaklah sempurna. Belum lagi ada saja jemaat yang percaya bahwa arah kiblat yang ditentukan pemerintah masih salah yang membuat mereka selalu menempatkan sajadahnya dengan orientasi yang dipercayanya lebih menghadap ke kiblat.

Itulah sebabnya kami selalu menggunakan sajadah berkompas jika kebetulan harus melakukan sholat di tempat-tempat yang arah kiblatnya tidak diketahui atau meragukan. Di suatu Jum'at, ketika kami hanya bisa mendapat tempat di halaman masjid ini. Dari observasi kami, kami merasa karpet yang digelar tidak mengarah dengan baik, sehingga kami lalu memposisikan sejadah kami sesuai petunjuk dari kompas yang ada. Agak janggal memang ketika posisi sajadah kami terlihat tidak singkron dengan yang lain, namun setelah kami menjelaskan pada mereka yang mempertanyakannya, ada sebagian orang yang lalu mensejajarkan sejadahnya dengan sejadah kami.

Perbedaan arah ini tidak terlalu dipermasalahkan oleh yang lain hingga tiba saatnya sholat akan dimulai. Dalam posisi berdiri, perbedaan arah kemana kami menghadap dengan mereka yang mengikutibentangan karpet lebih jelas terlihat. Dan hal itulah yang kemudian mendorong seorang satpam masjid untuk meminta kami mensejajarkan sajadah kami sesuai dengan mayoritas shaf yang ada. Tapi kami berkutat pada arah yang telah kami tentukan. Satpam tersebut bahkan meminta kami memiringkan sejadah kami 45 derajat dari poros masjid. Hal ini membuat kami makin mempertahankan posisi kami dengan menunjukkan padanya bahwa shaf yang ada malah lebih mendekat ke arah poros masjid yang artinya melenceng dari 45 derajat.

Akhirnya, dengan wajah pasrah ia hanya bisa berkata bahwa alangkah baiknya bila shaf-nya terlihat seragam dan sejajar. Aku hanya berniat untuk tetap pada posisiku tanpa merespon himbauan ini mengingat bagiku semuanya kembali kepadaNya. Namun tidak demikian dengan adikku yang punya sifat harus selalu menegaskan apa yang dianggapnya benar. Dengan tegas ia lalu berkata,
"Saya ini posisinya sudah menghadap kiblat, sesuai dengan anjuran pihak masjid. Nggak tau ya ke arah mana orang yang beda posisinya. Insha Allah bukan Israel."

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan adikku ini. Tanpa kusadari sebelumnya bahwa hal itu memang sangat mungkin terjadi mengingat meskipun Israel berjarak sekitar 1250 km dari Mekkah, namu sedikit melenceng saja posisi sholat kita disini efeknya bisa sejauh ke Israel arahnya...

Tentukan arah kiblat anda dengan benar



Thursday, June 5, 2014

Rahasia


Akhirnya temanku ini angkat bicara juga tentang nilai-nilai negatif tentang lawan dari kandidat pemilihan presiden yang dijagokannya. Selama yang aku tau hanyalah betapa ia benar-beanr mengagumi sosok jagoannya itu dengan menuturkan segala faktor kepositifannya. Dan apa yang menjadi alasannya mengidolakan jagoannya itu dapat aku mengerti sepenuhnya karena aku juga setuju padanya. Mengapa tidak? Sudah jelas apa yang dipercayanya itu memang telah terbuktikan kebenarannya. Aku tidak pernah menentangnya, namu aku hanya sesekali menginigatkannya bahwa mungkin saja masih ada hal lain yang sifatnya negatif dari jagoannya yang selama ini belum terlihat, itu saja.

Namun aku tidak pernah menduga ia akan dengan gamblang membeberkan segala hal negatif yang iya percaya atas lawan jagoannya itu secara umum. Sejauh ini aku menganggap temanku itu sebagai orang yang sungguh berhati-hati dalam membicarakan tentang keburukan orang lain. Kalaupun perlu berbicara soal Pilpres yang akan datang ini, ia hanya akan membahasnya dengan orang-orang yang dekat dengannya. Tidak seperti kebanyakan masyarakat di negeri kita ini yang tiba-tiba seolah menjadi pintar berpolitik, lalu ikut berkampanye secara freelance lewat situs-situs jejaring sosial demi membela jagoannya masing-masing. Banyak pula dari mereka yang tak segan-segannya ikut menghujat lawan jagoannya atau bahkan saling menyerang kubu yang notabene kemungkinan besar malah tidak mengenal mereka sama sekali.

Suhu politik menjelang Pilpres kali ini memang mungkin pantas dibilang yang paling memanas. Bayangkan saja, kondisinya begitu panas hingga mampu membuat seseorang yang sekalem dan sebijaksana temanku ini angkat bicara di media publik sambil menuturkan aspek-aspek negatif orang yang dikenalnya hanya lewat  tulisan dan berita yang bisa jadi merupakan bagian dari Black Campaign yang tengah jadi trendy saat ini. Kebebasan bersuara yang dipercaya bisa menjadi sarana pengungkapan suara hati nurani rakyat justru dijadikan kendaraan bagi banyak pihak untuk memutarbalikkan fakta, sampai-sampai sejarah bangsa ini bisa terlihat begitu rancu dan membingungkan.

"Bagaimana dengan aku?", kalau seseorang bertanya.

Aku ini bukan seorang ahli apalagi praktisi politik. Aku hanya sebagian (sangat) kecil dari masyarakat negara yang sudah memiliki 6 presiden. Dan kebetulan aku cukup beruntung telah merasakan aroma khidupan di bawah kepemimpinan 5 presiden terakhir. Aku bukanlah seorang pejuang kemerdekaan sehingga tugasku sebagai warga negara hanyalah memelihara kemerdekaan yang sudah dimiliki. Jujur saja, aku juga punya pendapat tentang kedua kandidat presiden yang ada, yang kemudian akan menentukan siapa yang akan kupilih nantinya. Tapi sebagai warga biasa yang tak memiliki ilmu politik yang tinggi, aku tidak punya tempat yang layak untuk mengutarakan pendapatku di depan umum. Aku tidak ingin kebebasan bersuara yang aku miliki ini membuatku berniat membeberkan apa yang buatku lebih pantas disimpan dalam hati dan benakku. Kerabat dan teman dekatku boleh saja tau siapa yang kujagokan, tapi jika memang ada hal yang tidak kusuka dari lawannya biarlah aku saja yang tau.

Seorang teman lain yang dulu berjuang mati-matian menggalang suara untuk sebuah partai pada Pemilu terdahulu, akhirnya harus menerima kenyataan bahwa di daerah pemilihannya sendiri partainya kalah telak. Tidak hanya itu, ia harus super kesal mengetahui kalau banyak kerabat dan kenalannyalah yang ikut memenangkan partai lain. Namun ia lalu berhasil menjadi seorang PNS dari sebuah kantor kecamatan di kota tempat tinggalnya. Dan di setiap kesempatan yang ada, ia tidak segan-segannya membalas dendam atas kekecewaannya itu. Misalnya pada saat dilakukan acara pembagian sembako, ia akan memprioritaskan warga yang ia tau dulu memihak partainya. Kalau perlu bahkan ia tidak menyisakan apapun untuk mereka yang dianggapnya telah membuat partainya kalah. Perilakunya itu tidak menghambat karir kerjanya di instansi pemerintah sehingga ia kini menjadi seorang pejabat tinggi di sebuah kantor walikota.

Apa yang terjadi pada temanku ini bisa juga terjadi pada banyak orang yang saat ini tengah mencurahkan segala upayanya demi kemenangan calon presiden yang dijagokan seperti halnya temanku yang tadi. Aku khawatir bahwa banyak pihak yang ikut berkampanye tanpa menyiapkan diri menghadapi kekalahan maupun kemenangan. Dahsyatnya mereka bersuara saat ini membuatku khawatir nantinya akan sedahsyat itu pula mereka menyuarakan kekecewaan atau kegembiraan mereka hingga memicu terjadinya gap yang sangat besar diantara kedua belah pihak. Mungkin bisa terbayangkan kericuhan yang biasanya terjadi antar suporter dua kesebelasan sepak bola seusai pertandingan akbar akan terjadi di berbagai tempat di seluruh pelosok negeri ini. Mengerikan sekali...

Aku sering mengingatkan para musisi muda yang tengah memperjuangkan nasibnya di industri musik yang terbilang susah ditebak. Yang sering mereka pertanyakan adalah bagaimana jika semua usaha yang telah dilakukan akhirnya tidak behasil. Aku dengan mudah menjawab bahwa pertanyaan itu punya jawaban yang tidak mungkin diragukan lagi, bahwa mereka akan tetap miskin dan harusnya mereka siap menghadapinya karena kondisi seperti itulah yang mereka jalani selama ini. Lalu aku balik bertanya, bagaimana jika usaha mereka berhasil. Teorinya mudah, tapi prakteknya bisa melenceng jauh dari teori dan angan-angan mereka. Tidak sedikit musisi sukses yang kemudian terjerat pada pelbagai masalah; obat-obatan, pacar, keluarga, senjata, hutang, dlsb. Apresiasi mereka terhadap harta, kehidupan bahkan agama menjadi tipis sehingga nasib mereka bisa berakhir semiris kematian yang tidak wajar.

Akan seperti itukah kita setelah presiden baru terpilih? Akan siapkah kita menerima kekalahan atau kemenangan? Akan siapkah kita merangkul dan dirangkul kembali oleh mereka yang sekarang menjadikan kita dan kita jadikan musuh bebuyutan? Akan siapkah jagoan kita melakukan itu juga? Sadarkah kita bahwa apa yang akan dihadapi presiden baru nanti begitu beratnya sehingga bisa merubah dirinya 180 derajat? Semua itu misteri Illahi. Dan aku mencoba mengantisipasi kesuraman masa depanku itu dengan cara merahasiakan konsep pemikiran yang menjadi dasar alasanku untuk memilih siapa nanti.
Aku tetap menjunjung tinggi pedoman Pemilu yang dahulu kala sempat digaungkan di negeri tercinta ini, Umum, Bebas dan Rahasia.

Selamat menjelang Pilpres 2014 dengan bijaksana.



Tuesday, June 3, 2014

Play Safe


Aku tengah duduk asyik mengobrol dengan babeh, tukang parkir tua yang tiap pagi bertugas menjaga motor-motor yang terparkir di pinggir jalan depan puskesmas besar itu, ketika sebuah mobil minivan Honda Freed memasuki lapangan parkir puskesmas. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat seorang wanita setengah baya turun dari mobil yang kemudian berhenti tepat di depan pintu utama itu. Dari penampilannya, aku sempat mengira ia seorang pejabat atau minimal istri pejabat pemda yang punya urusan khusus disitu. Maklum saja, setelah berkali-kali mengunjungi puskesmas ini, yang biasanya keluar masuk bangunan ini hanya pegawai puskesmas atau mereka yang ingin berobat. Wanita dengan penampilan seperti itu lebih sering terlihat keluar masuk kantor kecamatan yang terletak persis di sebelahnya.

Dandanannya necis dengan busana casual lengkap dengan tas bermerk yang ditentengnya. Dengan gaya sopannya, ia sempat berbicara pendek dengan penjaga pintu yang kemudian memberikannya kartu bernomor antrian. Saat itulah aku menyadari bahwa ia pun juga datang untuk berobat. Aku tidak tau lagi apa yang kemudian terjadi padanya setelah ia menaiki tangga yang menuju tempat pendaftaran pasien.
Ketika aku beberapa lama kemudian berjalan menuju ke koridor tempat menunggu para pasien klinik gigi, aku melihatnya lagi sedang duduk tepat di depan pintu klinik. Ah...rupanya ia juga sedang bermasalah dengan giginya seperti halnya aku dan orang-orang lainnya disitu yang tengah menunggu panggilan. Masih ada sekitar sepuluh menit lagi hingga dimulainya jam praktek dan aku cukup senang dengan fakta bahwa aku mendapat nomor urutan yang pertama. Dan sementara menunggu, perhatian wanita itu terkonsentrasi pada smartphone di tangannya.

Puskesmas ini memang besar dan lengkap sehingga membuatnya populer di kalangan masyarakat ibukota apalagi buat para peserta program jaminan kesehatan yang mengharapkan pengobatan murah bahkan mungkin gratis. Tak heran bila dokter gigi yang praktek disitu mencapai tiga orang sekaligus untuk mengantisipasi banyaknya pasien yang datang. Dan ketika aku sudah mulai diperiksa salah seorang dokter gigi yang bertugas, wanita tadi yang ternyata memegang nomor urut tiga itu memasuki ruangan klinik setelah mendapat giliran dipanggil. Sedangkan dokter gigi yang telah siap melayaninya adalah seorang dokter wanita yang sudah berumur dan terkenal berwatak tegas. Ya, aku kenal sekali sikapnya karena seperti itulah sikapnya ketika pernah menanganiku dulu. Mungkin terlalu mengada-ada jika aku menyebutnya galak, yang jelas ia bicara apa adanya tanpa padang bulu melihat seperti bagaimana pasiennya, wanita atau pria, masih muda atau sudah berumur, siapapun dapat perlakuan yang sama darinya.

Mulutku tengah terbuka lebar dan gigiku tengah dibenahi, namun perhatianku tertuju pada percakapan antara wanita tadi dengan dokter yang terkesan enggan untuk memulai tugasnya. Dokter itu rupanya mempertanyakan alasan wanita itu berobat di puskesmas yang ia nggap bukan tempat yang pantas untuk wanita itu. Ketika wanita itu menjelaskan bahwa sebagai penduduk ibukota yang sah, ia pun punya hak untuk berobat disitu. Lalu dokter itu berkata lagi bahwa seharusnya si wanita tidak ikut merasakan kemurahan biaya pengobatan disitu jika ia sanggup membeli tas bermerk yang dibawanya. Maka yang terjadi kemudian adalah sebuah perdebatan tentang layak tidaknya wanita itu mendapatkan pelayanan bertaraf murah yang berakhir dengan kemutungannya hingga pergi meninggalkan ruangan tanpa belum sempat mendapatkan pelayanan. Mungkin saja dokter itu akan mendapat tegoran dari pihak puskesmas atau dinas kesehatan bahkan dituntut seperti halnya yang diancamkan oleh wanita tadi.

Phew...sebenar-benarnya prinsip yang dianut wanita itu, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila ia bersikukuh untuk tetap dilayani oleh seorang dokter yang terang-terang enggan untuk menanganinya. Bisa jadi bukan terselesaikan tapi justru bertambah masalah pada giginya.

Pepatah, "Don't judge a book by its cover" memang sering terdengar bila seseorang diremehkan hanya karena penampilannya yang sama sekali tidak terlihat baik. Namun nasehat itu bisa dilemparkan pula pada mereka yang menilai siapapun berdasarkan rupanya, baik itu buruk maupun baik. Buatku, dalam kasus di atas, dokter itu tidak pantas untuk menilai bahkan hingga melontarkan penilaiannya pada wanita itu. Jika sebuah rumah sakit yang menolak menerima seseorang hanya karena ia terlihat seperti gelandangan dianggap salah, maka penolakan memberi layanan murah kepada seseorang hanya karena ia terlihat kayapun juga perlu dianggap salah. Sehebat apapun seseorang terlihat dari penampilannya, kita tidak pernah tau semampu apa ia sebenarnya. Bisa saja dibalik dandanan yang begitu necis, wanita tadi punya masalah finansial. Tas bermerk itu bisa jadi adalah sebuah hadiah yang didapatnya, dan mobil yang mengantarnya mungkin bukanlah miliknya.

Dan dokter itu, harusnya bisa memperlihatkan keprofesionalannya. Sebagai seorang dokter senior, harusnya ia lebih bisa bersikap bijaksana dan memberi contoh yang baik pada dokter-dokter muda yang berpraktek dalam satu ruangan. Lagipula, sudah menjadi tugas seorang dokter untuk melayani dengan ikhlas mereka yang membutuhkan keahliannya. Bukankah puskesmas itu tempat berobatnya masyarakat yang meliput segala lapisan tanpa memandang kasta? Kalau dokter tadi menganggap wanita itu tidak layak untuk datang dan berobat di sebuah puskesmas hanya karena terlihat mampu berobat di tempat yang mahal, sepertinya ia juga bisa dianggap tidak layak untuk berpraktek di puskesmas manapun. Cukup adil khan?

Untuk amannya...don't judge at all!!