Thursday, June 12, 2014

Low Batt

Suasana hingar bingar perdebatan tentang Pilpres yang minggu kemarin semakin menggila dan sudah kelewat batas normal, lengkap dengan penjunjungan atas kandidat yang dijagokan dan cacimaki yang dilemparkan kepada lawan jagoannya secara berlebihan mendadak mereda bahkan bisa dikatakan sunyi senyap. Entah apa penyebabnya, bisa jadi bak handphone yang sudah low batt, mungkin saja para pelakunya sudah kecapaian. Yang jelas, memang sebelumnya sudah terlihat dengan adanya postingan-postingan yang menyerukan keluhan terhadap semua itu. Tidak sedikit orang yang merasa kesal dan capai membaca berbagai tulisan yang bersifat saling menyerang. Himbauan agar kampanye dan pembahasan diantara para pendukung kedua kubu dilakukan secara damai sempat tidak digubris bahkan perdebatan yang ada justru menjadi semakin kasar.

Ada beberapa kenalan yang berniat untuk menghindari postingan yang tidak bermutu itu dengan cara menyaring kontak-kontaknya dan meng-unfriend mereka yang dianggap menyampah. Seorang teman bahkan memutuskan untuk sementara waktu tidak lagi menyambangi situs-situs media sosialnya hingga Pilpres telah selesai dilaksanakan karena sudah muak mendapati hujatan yang ditujukan pada jagoannya. Rupanya, ia juga sempat berdebat dengan salah seorang kontaknya yang dianggap menyerang dan melecehkan martabat jagoannya. Mungkin saja akhirnya ia merasa menang dan puas dengan hasil pembelaannya, mungkin juga tidak. Tapi yang pasti aku yakin semua itu telah menyita waktu, energi dan emosinya. Dampak seperti inilah yang mungkin dialami mereka yang kemarin-kemarin doyan berkampanye secara all out sehingga saat ini, untuk sementara waktu, suasana kembali normal.

Kalau sebagian besar orang menyatakan tidak habis pikir menemui mereka yang melakukan hal-hal yang melelahkan itu, aku justru bisa mengerti. Dari awal aku sudah berprinsip untuk tidak menyuarakan pilihanku secara umum dan/atau alasan yang mengusungnya. Hidup di tengah lingkungan masyarakat yang moralnya begitu rapuh itu memaksaku untuk lebih berhati-hati dalam membuka mulut. Jangankan orang lain, teman bahkan kerabat dekatku sendiri bisa mengartikan salah apa yang aku ucapkan atau cara penyampaiannya. Kebijaksanaan masyarakat yang rentan sangat mudah menjadikan orang sensitif dan mudah tersinggung. Dan konsep pemikiran seperti inilah yang membuatku mengerti juga jika kemudian para pejuang tangguh tanggung ini seolah lalu tertidur karena kehabisan enerji.

Ya, ya...jika ada yang berkata bahwa perjuangan mereka itu didasari tekad untuk memiliki pemimpin yang berakhlak baik agar negeri ini dapat kembali menjadi makmur, aku setuju. Tapi dengan merendahkan moralnya dalam berjuang membela kandidat yang dijagokan, melayani dampratan lawan dengan cara mendampratnya balik atau mengerahkan segenap pikirannya untuk menangkis serangan-serangan yang tidak berarti, secara tidak disadari mereka membiarkan dirinya ditulari kebodohan lawannya. Tanpa disadari, mereka sedang menciptakan bangsa yang bermoral rendah untuk menghuni negara yang ingin dijadikan makmur oleh kandidat jagoan mereka sendiri. Kalau memang begitu, bukankah berarti mereka sedang menciptakan tugas yang lebih berat untuk dipikul di pundak pemimpin kita nanti yang 50% kemungkinannya adalah jagoannya sendiri?

Kita sebagai warga negara harus menyadari bahwa tugas kita tetap sama, mendukung pemimpin pilihan mayoritas. Siapapun yang akan terpilih sebagai presiden berikutnya punya tugas yang berat. Dan pemerintahan baru yang dipimpinnya nanti akan butuh sumbangan tenaga dan pikiran kita. Jadi, ketika nanti tenaga dan akal sehat kita sudah terkumpul kembali, jangan dihabiskan lagi hanya untuk kampanye atau pembahasan yang berlebihan apalagi debat kusir. Simpan saja untuk digunakan kelak dalam membantu pemerintahan baru memperbaiki negeri ini.