Tuesday, June 3, 2014

Play Safe


Aku tengah duduk asyik mengobrol dengan babeh, tukang parkir tua yang tiap pagi bertugas menjaga motor-motor yang terparkir di pinggir jalan depan puskesmas besar itu, ketika sebuah mobil minivan Honda Freed memasuki lapangan parkir puskesmas. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat seorang wanita setengah baya turun dari mobil yang kemudian berhenti tepat di depan pintu utama itu. Dari penampilannya, aku sempat mengira ia seorang pejabat atau minimal istri pejabat pemda yang punya urusan khusus disitu. Maklum saja, setelah berkali-kali mengunjungi puskesmas ini, yang biasanya keluar masuk bangunan ini hanya pegawai puskesmas atau mereka yang ingin berobat. Wanita dengan penampilan seperti itu lebih sering terlihat keluar masuk kantor kecamatan yang terletak persis di sebelahnya.

Dandanannya necis dengan busana casual lengkap dengan tas bermerk yang ditentengnya. Dengan gaya sopannya, ia sempat berbicara pendek dengan penjaga pintu yang kemudian memberikannya kartu bernomor antrian. Saat itulah aku menyadari bahwa ia pun juga datang untuk berobat. Aku tidak tau lagi apa yang kemudian terjadi padanya setelah ia menaiki tangga yang menuju tempat pendaftaran pasien.
Ketika aku beberapa lama kemudian berjalan menuju ke koridor tempat menunggu para pasien klinik gigi, aku melihatnya lagi sedang duduk tepat di depan pintu klinik. Ah...rupanya ia juga sedang bermasalah dengan giginya seperti halnya aku dan orang-orang lainnya disitu yang tengah menunggu panggilan. Masih ada sekitar sepuluh menit lagi hingga dimulainya jam praktek dan aku cukup senang dengan fakta bahwa aku mendapat nomor urutan yang pertama. Dan sementara menunggu, perhatian wanita itu terkonsentrasi pada smartphone di tangannya.

Puskesmas ini memang besar dan lengkap sehingga membuatnya populer di kalangan masyarakat ibukota apalagi buat para peserta program jaminan kesehatan yang mengharapkan pengobatan murah bahkan mungkin gratis. Tak heran bila dokter gigi yang praktek disitu mencapai tiga orang sekaligus untuk mengantisipasi banyaknya pasien yang datang. Dan ketika aku sudah mulai diperiksa salah seorang dokter gigi yang bertugas, wanita tadi yang ternyata memegang nomor urut tiga itu memasuki ruangan klinik setelah mendapat giliran dipanggil. Sedangkan dokter gigi yang telah siap melayaninya adalah seorang dokter wanita yang sudah berumur dan terkenal berwatak tegas. Ya, aku kenal sekali sikapnya karena seperti itulah sikapnya ketika pernah menanganiku dulu. Mungkin terlalu mengada-ada jika aku menyebutnya galak, yang jelas ia bicara apa adanya tanpa padang bulu melihat seperti bagaimana pasiennya, wanita atau pria, masih muda atau sudah berumur, siapapun dapat perlakuan yang sama darinya.

Mulutku tengah terbuka lebar dan gigiku tengah dibenahi, namun perhatianku tertuju pada percakapan antara wanita tadi dengan dokter yang terkesan enggan untuk memulai tugasnya. Dokter itu rupanya mempertanyakan alasan wanita itu berobat di puskesmas yang ia nggap bukan tempat yang pantas untuk wanita itu. Ketika wanita itu menjelaskan bahwa sebagai penduduk ibukota yang sah, ia pun punya hak untuk berobat disitu. Lalu dokter itu berkata lagi bahwa seharusnya si wanita tidak ikut merasakan kemurahan biaya pengobatan disitu jika ia sanggup membeli tas bermerk yang dibawanya. Maka yang terjadi kemudian adalah sebuah perdebatan tentang layak tidaknya wanita itu mendapatkan pelayanan bertaraf murah yang berakhir dengan kemutungannya hingga pergi meninggalkan ruangan tanpa belum sempat mendapatkan pelayanan. Mungkin saja dokter itu akan mendapat tegoran dari pihak puskesmas atau dinas kesehatan bahkan dituntut seperti halnya yang diancamkan oleh wanita tadi.

Phew...sebenar-benarnya prinsip yang dianut wanita itu, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila ia bersikukuh untuk tetap dilayani oleh seorang dokter yang terang-terang enggan untuk menanganinya. Bisa jadi bukan terselesaikan tapi justru bertambah masalah pada giginya.

Pepatah, "Don't judge a book by its cover" memang sering terdengar bila seseorang diremehkan hanya karena penampilannya yang sama sekali tidak terlihat baik. Namun nasehat itu bisa dilemparkan pula pada mereka yang menilai siapapun berdasarkan rupanya, baik itu buruk maupun baik. Buatku, dalam kasus di atas, dokter itu tidak pantas untuk menilai bahkan hingga melontarkan penilaiannya pada wanita itu. Jika sebuah rumah sakit yang menolak menerima seseorang hanya karena ia terlihat seperti gelandangan dianggap salah, maka penolakan memberi layanan murah kepada seseorang hanya karena ia terlihat kayapun juga perlu dianggap salah. Sehebat apapun seseorang terlihat dari penampilannya, kita tidak pernah tau semampu apa ia sebenarnya. Bisa saja dibalik dandanan yang begitu necis, wanita tadi punya masalah finansial. Tas bermerk itu bisa jadi adalah sebuah hadiah yang didapatnya, dan mobil yang mengantarnya mungkin bukanlah miliknya.

Dan dokter itu, harusnya bisa memperlihatkan keprofesionalannya. Sebagai seorang dokter senior, harusnya ia lebih bisa bersikap bijaksana dan memberi contoh yang baik pada dokter-dokter muda yang berpraktek dalam satu ruangan. Lagipula, sudah menjadi tugas seorang dokter untuk melayani dengan ikhlas mereka yang membutuhkan keahliannya. Bukankah puskesmas itu tempat berobatnya masyarakat yang meliput segala lapisan tanpa memandang kasta? Kalau dokter tadi menganggap wanita itu tidak layak untuk datang dan berobat di sebuah puskesmas hanya karena terlihat mampu berobat di tempat yang mahal, sepertinya ia juga bisa dianggap tidak layak untuk berpraktek di puskesmas manapun. Cukup adil khan?

Untuk amannya...don't judge at all!!