Friday, June 20, 2014

Bijaksana Dalam Bersuara


Wah...makin lama makin seru rupanya postingan-postingan yang dibuat oleh para pendukung dari kedua belah kubu dalam menyambut Pilpres mendatang. Mungkin demokrasi yang dijanjikan kedua pasangan cpres dan cawapres itu tidak perlu terlalu besar lagi kadarnya karena dari penggunaan kebebasan bersuara yang dilakukan para pendukungnya sudah memperlihatkan skala kedemokrasian yang cukup besar.

Tak bisa dipungkiri lagi bahwa pembagian menjadi dua sisi terjadi di seluruh kalangan masyarakat. Contoh termudahnya adalah mereka-mereka yang ada dalam lingkaran pengaruhku sendiri. Kampanye yang dialirkan lewat tulisan dalam postingan di media sosial internet maupun di grup-grup seperti Blackberry Messenger dan WhatsApp kian gencar. Meskipun proporsi pemakaian metode saling menyerang pendukung sudah menurun drastis, namun proporsi hujatan kepada para kandidat justru makin meningkat, baik itu dilakukan secara santun ataupun secara ganas dan langsung. Bisa jadi hal ini dilakukan karena para pendukung dari masing-masing kubu sudah sumpek berdebat. Ini hal yang kuanggap positif karena paling tidak bacaan yang ada tidak menjadi semu dan membosankan, bahkan cenderung bisa dinikmati.

Bagi kelompok yang berada di poros tengah, materi bacaan seperti ini bisa sangat membantu dalam membentuk pola pemikiran yang jelas tentang kedua kandidat yang kemudian bisa memudahkan mereka menentukan pilihannya. Jangankan mereka, orang seperti aku saja, yang notabene masih mau membuka mata, telinga, pikiran dan hati, merasakan manfaatnya karena bisa saja kelak aku melakukan manuver yang drastis dengan memilih oponan dari orang yang sejauh ini aku jagokan. Apalagi dengan sopannya, ada beberapa pendukung ini kerap mengingatkan pembaca dan pendengar untuk menggunakan akal sehat dan logika ketika mereka memaparkan berbagai hal yang dianggapnya fakta yang sebenar-benarnya. Tampaknya, mereka belajar dari situasi yang sudah terjadi, sehingga bak juru kampanye resmi, mereka bisa menjelaskan kehebatan jagoannya maupun kebobrokan lawannya dengan cara yang elegan sehingga lebih mudah untuk bisa diterima.

Aku teringat kejadian belasan tahun silam ketika seorang kawan wanita yang telah menjalin hubungan asmara selama 8 tahun dengan seorang pria yang berbeda keyakinan. Saat itu, temanku berniat membawa kekasihnya menghadap seorang ustadz yang diharapkan bisa meyakinkan kekasihnya untuk menjadi mualaf agar mereka kemudian dapat menikah. Sayangnya, bukannya memberikan asupan yang menjunjung tinggi agamanya, ustadz itu justru mediskreditkan agama yang dianut oleh kekasih temanku yang jelas saja membuatnya geram dan mengurungkan niatnya untuk berpindah agama.
Kemutungan kekasih temanku itu berlangsung sekitar satu tahun dimana meskipun temanku mencoba keras meyakinkannya bahwa pindah agama adalah syarat terakhir yang harus dipenuhi untuk bisa menikahinya, namun trauma dan sakit hatinya sempat membuatnya percaya kalau Islam bukan lagi agama yang pantas untuk dianutnya. Ironis bukan?

Hal ini juga sangat pantas diaplikasikan dalam usaha para pendukung meyakinkan seseorang atas kebaikan dari kubu yang didukungnya. Orang seperti aku saja masih bisa merubah dukungan dan pilihanku ke kandidat yang aku percaya ternyata lebih kompeten jika memang penyampaiannya benar dan baik, apalagi mereka yang hingga kini masih mencari-cari hal yang bisa menuntunnya pada pilihannya.
Seorang salesperson akan punya kans yang lebih besar dalm menjual produk yang ditawarkannya jika ia bisa menunjukkan betapa besarnya kepercayaan yang dimilikinya terhadap produk tersebut tanpa harus menjelek-jelekkan produk saingannya. Karena semakin banyak ia memberikan poin (negatif) pada produk saingannya, semakin besar pula minat produsen untuk mencari tau tentang produk saingannya itu. Dan bisa dibayangkan jika akhirnya produsen justru kemudian mendapat asupan dari salesperson produk saingannya yang menjelaskannya dengan cara yang lebih baik.

Ini tidak ada kaitannya dengan agama, suku, gender, derajat atau latar belakang. Ini bukan soal solidaritas dalam persaudaraan atau pertemanan atau persahabatan atau bahkan pernikahan. Ini soal hak setiap individu dalam menggunakan satu-satunya kesempatan untuk menentukan pilihan yang tepat. Orang yang bijaksana seharusnya pandai mensiasati kondisi yang ada dalam menyuarakan pilihan dan semua alasan yang ada di baliknya sehingga mampu menjual apa yang dikampanyekannya. Dan jika asupan yang baik dan santun itu datang dari seorang kerabat atau teman dekat, harusnya akan lebih mudah diterima. Namun jika pendekatannya tidak tepat, pendapat seorang suamipun sangat mungkin ditolak mentah-mentah oleh istrinya yang kemudian memutuskan untuk menajdi oponannya.

Semoga di waktu yang tersisa hingga pelaksanaan Pilpres nanti, kampanye yang ada akan dilakukan oleh lebih banyak lagi orang yang bijaksana, yang bisa merayakan kemenangannya dengan martabat yang tinggi dan bisa menerima kekalahannya dengan besar hati. Aamiin.