Monday, February 25, 2013

Membaca, Menulis dan Berdiam

Aku bukan tipe orang yang suka membaca. Ada beberapa faktor yang harus terpenuhi hingga aku mau membaca sesuatu terlebih bacaan yang panjang. Misalnya saja bacaan yang aku anggap sangat menarik, genre bacaannya, quantitas materinya dan mood ku sendiri. Seringkali aku berminat membaca karena memang aku sedang mencari sesuatu yang aku harapkan bisa didapat dari bacaan itu.

Berkenaan dengan hal menimba ilmupun begitu. Aku lebih suka mendengarkan pengajaran lisan dari seseorang, atau yang kini lebih mudah didapatkan adalah dengan menonton video tutorial di dunia maya. Aku merasa lebih mudah dan cepat mengerti materi yang aku dengarkan daripada yang aku baca. Mungkin karena itulah dahulu aku lebih suka mendengarkan guru atau doseku mengajar ketimbang membaca buku pelajaran yang digunakan sebagai text book. Hingga saat inipun aku lebih suka menonton berita di televisi atau mendengarkannya di radio dari pada membacanya di surat kabar.

Sudah sekitar 5 tahun belakangan ini aku cukup terlibat dalam beberapa media sosial di internet dan aku merasa sedikit lebih terangkat minat bacaku karena banyak tulisan yang aku temui terbilang ringan dan lebih mudah dipahami mengingat penulisnya bukanlah kaum jurnalis yang umumnya menggunakan kata-kata rumit yang kemudian terangkum dalam kalimat bahkan paragraf yang "njelimet". Seperti halnya aku sendiri, para penulis di media sosial ini cenderung menggunakan bahasa keseharian yang ringan (mungkin) dengan harapan agar makna tulisannya mudah ditangkap pembaca.

Namun setelah lebih kurang dua tahun belakangan ini, aku menyadari bahwa ada satu faktor lagi yang dapat mengurangi minat bacaku. Tak hanya itu, faktor itu justru dapat membuatku mengurungkan niatku dalam menyelesaikan bacaan yang sudah aku mulai. Di saat penulis bermaksud menguatkan materi penulisannya dengan mengikut sertakan unsur-unsur religi di dalamnya, aku justru menganggap bacaan itu tiba-tiba menjadi berat. Terlebih bila unsur religi itu lalu ditekankan sebagai sesuatu yang harus dipatuhi.

Aku memang tidak hobby membaca. Mungkin menulispun aku lakukan karena aku ingin menuangkan apa yang ada dalam benakku ke dalam tulisan. Di beberapa media sosial pembaca memang diperkenankan (baca: diharapkan) untuk memberikan komentar. Dan ada saatnya aku sangat terdorong untuk memberi komentar, baik itu pujian atau sekedar penguatan dari apa yang aku baca. Yang jelas, aku menghindari komentar yang bersifat penentangan atas tulisan yang bersangkutan atau apapun yang cenderung mengarah ke perdebatan. Aku tidak akan mengkomentari bacaan yang menurutku bertentangan dengan pendapatku...sesederhana itulah. Tentunya, jika memang ada komentator lain yang keberatan dengan komentarku, lalu memberikan berkomentar atasnya, tidak akan aku tanggapi karena itu hak mereka untuk berpendapat.

Nah, jika aku sampai memberikan komentar tentunya aku juga berminat membaca komentar dari pembaca lainnya. Kalau hanya sekedar perbedaan pendapat antar pembaca yang dituangkan dalam komentar, aku masih terus memantau perkembangannya, meskipun mungkin aku tidak lagi terlibat di dalmnya. Namun, hal itu, sekali lagi, bisa pupus jika kemudian ada komentar yang dibumbui unsur-unsur religi. Otomatis aku akan berhenti membaca komentar-komentar yang menyusulnya.

Banyak sudah pembelajaran yang aku dapatkan dalam usahaku bersosialisasi di dunia maya. Aku sudah melihat sendiri bagaimana orang mencoba "unjuk gigi" dengan ilmu agamanya atau ilmu lainnya yang diposisikan di tempat atau/dan waktu yang kurang tepat. Yang sering terjadi adalah perdebatan atau lebih cocok dikatakan sebagai adu ilmu. Perdebatan atau pembahasan suatu bacaan atau komentar cenderung menjadi panjang, yang akhirnya (biasanya) tidak berakhir dengan konklusi yang bijaksana. Dan yang kemudian aku temui adalah begitu banyaknya orang yang lebih bersikap munafik tanpa mereka sadari.
Yang berilmu menjadi arogan. Yang setengah berilmu menjadi sok tau. Sementara yang tidak berilmu menjadi galak. Di ujung-ujungnya semuanya menjadi jahat dan terlihat bodoh.

Entah mengapa begitu sulitnya bagi mereka untuk menjadi bijaksana. Entah apa yang menghalangi mereka untuk menyimak sambil berdiam diri. Bisa jadi itu merupakan panggilan nurani untuk memperlihatkan pada yang lain bahwa mereka atau komentarnya layak dihargai. Atau mereka butuh sejumlah orang untuk mendukung prinsipnya agar dirinya bisa merasa (lebih) hebat? Mungkin saja. Yang jelas, selama konsep ini masih mereka terapkan, selama itu pulalah tidak akan ada pembelajaran. Dan selama istilah diam itu emas belum bisa sukses diterapkan, negeri ini akan terus begini.

Oh...whatever!





Wednesday, February 20, 2013

Nice Try

Yes...you did try to explain to me about it so many times. And....


Dialogue Of A Man And A Tree




The Man: Why do you grow so tall, way up there in the sky?

The Tree: I love the heights that are clean and free, where the lonely eagles fly, where the crane and the hawk can nest with me, and my friends, the geese, go by.

The Man: What do you use for food, Tree to make you grow and grow?

The Tree: I live on a diet of Nature's best from my roots deep down below; I never go hungry, I rest and rest and wait for the rain and the snow.

The Man: How do you grow so strong, Tree, sturdy and straight and true?

The Tree: I live in the light of the sunshine and yarn for the sky's deep blue; the clean, sweet air is always mine, and the cold winds help me too.

The Man: How do you live so long, Tree, so much longer than man?

The Tree: I've geared my days with the Creator's ways since ever the world began. There is no death when life keeps faith with nature's wonderful plan.


Vincent Godfrey Burns, Poet Laureate of Maryland, 1965


Monday, January 28, 2013

Sederhana Saja


Aku baru mendapat sebuah link yang dapat mengarahkan aku ke suatu situs dimana kita bisa mencari tau arti nama kita sendiri. Aku tidak menyambanginya karena aku sudah sejak kecil tau makna yang terkandung di balik namaku. Yang teringat olehku adalah saat seorang tanteku tiba-tiba merubah namanya dengan alasan nama yang disandangnya sejak lahir dirasa tidak menguntungkan jalan hidupnya. Ketika itu, aku masih sangat muda sehingga tidak mempedulikan hal tersebut dan cenderung menerimanya begitu saja. Namun setelah puluhan tahun berlalu aku mulai menganggapnya sebagai hal yang tidak masuk akal. Aku telah menyaksikan sendiri bagaimana hingga kini ia masih saja mengeluh atas hidup yang harus ia jalani. Lalu apa gunanya ia merepotkan dirinya dengan urusan penggantian nama di pelbagai dokumen seperti kartu nama, kartu keluarga dan lain sebagainya? Belum lagi jika ia mungkin masih berniat merubah namanya lagi.
Tentunya, orang tua kita telah sedikit banyak mempertimbangkan nama baik apa yang layak mereka berikan pada kita. Aku yakin akan sulit sekali menemukan orang tua yang dengan sengaja memberi anaknya nama yang punya arti buruk atau negatif.

Kepercayaan akan adanya dampak baik atau buruk dari nama yang kita sandang hanya satu contoh kasus saja. Aku sering mendengar cerita bagaimana orang begitu percaya akan hal-hal sepele, yang bisa saja tidak seharusnya berpengaruh banyak pada jalan hidupnya. Contohnya, ada tipe orang yang percaya pada penafsiran mimpi. Mimpi yang disebut-sebut sebagai bunga tidur dianggap sebagai pembawa pesan untuk pemimpinya. Artinya, mimpi bukan lagi sesuatu yang membumbui tidur kita tapi juga mempengaruhi perilaku di alam sadar kita. Lucunya, banyak juga orang yang terus mengambil keputusan dengan mengacu pada mimpi yang mereka dapati meskipun keutusan itu bertentangan dengan prinsip hidupnya atau hati nuraninya. Mimpi yang harusnya berakhir di saat kita terbangun kemudian malah memberi beban dalam pikiran kita seolah proses mimpi kita terus berlangsung.

Apakah hal-hal seperti ini benar atau sampai seberapa jauh kita ingin percaya pada hal-hal tersebut? Sementara aku berpikir bahwa kita bisa sedikit banyak  merancang mimpi, orang lain justru menyodorkan teori bahwa mimpi itu sendiri hadir sebagai sebuah pertanda. Jika dua hal tersebut dianggap benar, bukankah berarti kita bisa mengatur sendiri agar mendapat mimpi yang punya pesan yang bagus? Sebut saja mimpi digigit ular yang konon dipercaya membawa pesan mendapatkan jodoh. Mungkinkah mimpi seperti itu bisa hadir disaat sebuah potongan film dengan adegan yang menampilkan seseorang tengah dikepung oleh segerombolan ular, lalu ia berteriak-teriak kesakitan saat ia mulai digigit ular-ular yang menyerangnya, diputar berulang-ulang di dekat kita ketika sedang terlelap? Suara yang tertangkap kuping kita dalam keadaan di bawah alam sadar sangat mungkin diwujudkan dalam suatu mimpi yang cukup mewakilinya.

Sulit dipercaya?
Aku seringkali melakukan hal serupa dengan memutar secara berulang semalaman sebuah video konser musik hanya karena aku ingin tau bagaimana rasanya hadir dalam pertunjukan musisi yang bersangkutan. Mengapa sering saya lakukan? Karena 80% selalu berhasil. Mengapa bisa begitu? Karena dalam kondisi tertidur, otak kita tidak dipergunakan. Sehingga sangatlah mudah membuat otak bekerja dengan cara menjejali suara lewat indera pendengaran kita ke otak. Begitulah umunya cara kerja hypnotherapy untuk merubah suatu kebiasaan, seperti misalnya berhenti merokok. Suatu kebiasaan yang sulit dihilangkan kecuali dengan tekad yang sangat tinggi.
Lalu masih bolehkah mimpi yang kita dapatkan seperti itu dianggap sebagai pembawa pesan? Ataukah ada lagi ketentuan khusus yang perlu dipenuhi agar arti sebuah mimpi bisa dianggap sah dan berlaku?

Bagaimana dengan kasus pengambilan keputusan murni berdasarkan mimpi yang didapat? Sebutlah seseorang yang baru saja bermimpi digigit ular itu. Ia kemudian begitu percaya akan segera mendapatkan jodoh alias pasangan hidupnya, sehingga ketika beberapa hari kemudian ia diperkenalkan pada seseorang yg  menyatakan tertarik padanya, ia langsung menganggapnya sebagai jodoh yang dinantinya. Pernikahanpun dijalani tidak selang lama setelah perkenalan itu terjadi. Bagaimana jika kemudian yang ia dapatkan adalah sebuah pernikahan semu yang mengkandaskan segala bayangan indah dalam berumahtangga? Apakah sepantasnya ia menyalahkan dirinya sendiri atas pengambilan keputusan instan untuk menikah itu? Akhirnya ia pun harus ikhlas menjalani beratnya pernikahan itu. Akan lebih mudah baginya untuk menganggapnya sebagai bagian dari kalam yang telah tertulis untuknya.

Kepercayaan akan hal-hal yang bisa juga disebut sebagai tahyul terjadi di seluruh dunia. Kejatuhan cicak, mata yang kedutan dan memecahkan cermin adalah sedikit dari sekian banyak hal yang dipercaya sebagai pertanda oleh berbagai kultur di dunia. Tentunya akan sangat picik sekali jika kita sampai menganggap semuanya bukanlah pertanda karena tidak bisa dipungkiri bahwa semua itu masih mungkin benar adanya. Lalu sampai sejauh mana kita akan menyikapi hal yang dianggap sebgian orang sebagai tahyul? Sampai sejauh mana kita akan menganggap serius sebuah ramalan yang tidak didasari ilmu pengetahuan? Bahkan ramalan cuaca yang didasari oleh penelitian yang cukup akurat pun masih bisa meleset.

Orang lain boleh saja dan berhak mawas diri dengan cara mencari arti dari hal-hal yang terjadi disekelilingnya, dan menggunakannya sebagai sinyalemen atau pedoman dalam menentukan langkah berikutnya. Aku sendiri lebih suka menyerahkannya pada Yang Kuasa tanpa perlu sibuk mencari pertanda. Karena aku percaya, setiap kejadian yang berlaku di tiap detik kehidupanku merupakan suratan yang telah ditulisNya jauh sebelum aku dilahirkan. Dan semua itu adalah misteri yang tidak akan terbaca hingga waktunya terjadi. Aku tidak ingin mengkomplikasikan hidupku dengan mencari tau arti mimpi bahkan keterkaitannya dengan kejadian di masa depanku. Aku tidak mau membatasi ruang geraku dalam pengambilan keputusan atas apa yang perlu aku lakukan sehari-harinya. Aku juga tidak akan merubah namaku bila nasib hidupku tidak seindah yang aku harapkan. Hal-hal yang dianggap sebagai pertanda buruk, aku anggap sebagai pewarna hidup yang belum tentu punya arti apapun bagi masa depanku. Aku jalani saja waktu demi waktu dalam kehidupanku yang hanya sekali ini dengan melakukan apapun yang sesuai dengan situasi yang tengah aku hadapi. Sesederhana itu saja....

Que sera sera...



Asa

Aku masih tidak mengerti bagaimana kau bisa melakukan apa yang sejauh ini telah kau lakukan. Bagaimana kau menilai semua yang kau katakan selama ini salah. Sementara kau telah diberi pelbagai pembuktian atas keabsahannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apa mungkin justru ilmu dan pengetahuan kami yang ternyata salah?

Diantara sekian banyak keraguan kami atas kebenaran yang kau nyatakan, bisa saja apa yang kau ketahui memang lebih benar. Namun terlepas dari semua itu, aku sangat menyayangkan sikapmu yang (bagiku) hanya menandakan keangkuhanmu. Entah apa pula yang mendasarinya, kau bersikeras berdiri menantang apa yang kami kuatirkan akan menghempasmu terlalu jauh sehingga kami tak kan mampu menggapaimu dan menarikmu kembali.

Keaslianmu seolah sirna dalam lumpur hisap yang terus menjeratmu lebih dalam. Segala ketulusan dan kebajikanmu juga tidak tercerminkan dalam makna ucapanmu sekalipun kau tuturkan dalam bahasa yang tersantun. Mata dan hatimu bagai tertutup rapat untuk dapat menerima logika yang seyogyanya mudah dicerna oleh akal sehat. Di tempat kami berdiri, kau terlihat memilih untuk tidak beranjak dari kegelapan yang menaungimu. Kegelapan yang meredupkan pancaran sinar hidupmu yang dulu menyilaukan.

Lalu sebenarnya apa yang kau cari? Apa lagi yang masih kau perjuangkan di ruang yang suram itu? D tengah mereka yang tertawa dalam kebingungannya? Tidakkah kau menyadari niat tulus kami untuk membebaskanmu?
Jika kau tidak melihat kemampuan kami untuk menolongmu, mungkinkah kau sedikitnya menatap kami dengan penuh harap saat kau membutuhkan kami?

Waktu yang ada dalam genggaman kami tidaklah banyak. Kesempatanpun tidak selamanya kami miliki. Hanya doa tulus untukmu yang selalu dapat kami sampaikan kepadaNya. Dan semoga doa itulah yang suatu hari dapat mengembalikanmu ke jalan yang benar.



Tuesday, January 22, 2013

Arts of Gregory Thielker

Gregory Thielker creates these realistic life like paintings with the stroke of his brush. He gets the idea for his works just by driving around, exploring and appreciating what life brings on a everyday basis.
























Monday, January 7, 2013

Coca-Cola




Kata Coca-Cola berasal dari gabungan 2 unsur "obat" yang menjadi bahan dasarnya, daun Coca dan kacang Cola. Coca merupakan tanaman mahal yang berasal dari Amerika Selatan, tepatnya di daerah Andean/Andes, Peru. Sedangkan Cola, yang mengandung caffeine, adalah pohon yang berasal dari hutan Afrika. Formula Coca-Cola ini pertama kali dibuat tahun 1886 oleh John Styth, seorang apoteker dan mantan tentara konfederasi, dengan proporsi 3:1 antara Coca dan Cola.

Tumbuhan Coca ini dianggap mahal karena dari daunnya lah kemudian dihasilkan "obat bius" yang bernama Cocaine (Kokain). Bubuk Cocaine sendiri dulu sering dipergunakan sebagai penghilang rasa sakit pada luka parah di medan peperangan. Dengan penggunaan bubuk Cocaine, penderita akan merasa ba'al (mati rasa) pada lukanya. Sedangkan Coca-Cola awalnya dibuat sebagai minuman alternatif pengganti minuman keras beralkohol tinggi. Tentunya cukup dipahami bila istilah "Coke" sering digunakan sebagai sebutan untuk baik Coca-Cola maupun Cocaine, bukan?

Penggunaan Cocaine sebagai bahan dasar Coca-Cola ini telah berlangsung hingga 1929 saat Coca-Cola menyatakan dirinya "bebas-Cocaine" setelah adanya serangan dari masyarakat sejak tahun 1890 tentang penggunaan Cocaine dalam minuman tersebut. Karena penyalahgunaan Cocaine yang telah merebak dimana-mana, maka pemerintah Amerika telah melarang impor dan kepemilikan Cocaine dalam bentuk apapun di Amerika.

Namun, ada sumber yang menyatakan bahwa ternyata Cocaine masih digunakan untuk mempertahankan dan melindungi nama merk dagang "Coca-Cola". Hanya saja kadar penggunaan Kokain di dalamnya telah dikurangi. Karena itulah, meskipun larangan telah diberlakukan di Amerika, Coca-Cola merupakan pengecualian yang hingga kini masih menjadi satu-satunya pihak yang secara legal boleh mengimpor tanaman Coca.

Lepas dari benar tidaknya berita tentang Coca-Cola masih menggunakan Cocaine atau kepada negara mana pihak Coca-Cola memberi donasinya, Coca-Cola masih merajai penjualannya di atas merk minuman lain. Mungkinkah logo Coca-Cola bukanlah satu-satunya hal yang dipertahankan sejak dulu? Entahlah...