Wednesday, February 11, 2015

Setelah Niat Terpenuhi

Sebenarnya sudah dari awal aku diingatkan untuk tidak memaksakan diri dalam beramal. Artinya, jika aku memang tidak mampu untuk beramal atau amalanku itu akan memojokkan posisiku, selayaknya aku merelakan diri untuk beramal hanya lewat niat saja. Apalagi bahwa sudah banyak orang yang menganggapku terlalu sering beramal atas dasar rasa kasihan tanpa mengasihani diriku sendiri.

Ya....dalam hal yang satu ini, aku memang sudah menyadari bahwa amalan yang tengah aku perjuangkan saat itu bisa menjadi bumerang bagiku karena masa depan keuanganku yang belum jelas akan menjadi seperti apa. Namun niat yang ada dalam hati dan benakku sudah terlanjur terbentuk begitu bakunya sehingga aku tetap berusaha mengeksekusinya. Perjalanan panjang menuju garis finish itu memang akhirnya dipenuhi dengan segala kerumitan dan rintangan yang jelas-jelasan menyita banyak moril dan materi dariku.
Dan akhirnya, pasangan sayap metal yang merobek-robek awan putih di langit Jakarta pagi ini memberikan kelegaan di hatiku karena selesai sudah segala usaha yang perlu aku lakukan demi tercapainya niatku dalam beramal.

Jujur saja, kemarin-kemarin ketika sedang bertanya pada sendiri tentang perlunya berkorban demi niat ini, aku memang sering menenangkan hati dengan mengharapkan imbalan yang setimpal dariNya. Namun aku juga sadar bahwa aku tidak akan pernah mendapatkan kepastiannya kecuali jika aku berikhlas. Karena dengan berikhlas itulah aku bisa mensyukuri hal sekecil apapun yang dianugerahiNya padaku dan menganggapnya sebagai bayaran atas apapun kebaikan yang telah aku lakukan.
Kini, setelah niatku terpenuhi, aku tidak ingin lagi berpengharapan pahala atasnya, namun justru berharap atas kelancaran dari perjalanan suci yang semuanya aku serahkan kepadaNya...aamiin.

=02042015=



Tanda-Tanda Akhir Zaman

Sebenarnya seberapa dekat sih kita dari hari kiamat?
Harusnya tidak seorangpun yang tau karena hal itu (masih) merupakan misteri Illahi yang meski cenayang sehebat Nostradamuspun tidak akan pernah tau. Artinya, apapun yang diduga sebagai pertanda harusnya bukanlah pertanda. Sayangnya, banyak sekali orang yang (kata temanku) o'on dengan style yakin-nya sering mengalamatkan suatu perkara buruk sebagai pertanda dekatnya kiamat. Huh...sebal sekali aku setiap mendengar mereka berucap seperti itu.

Misalnya, ketika mendengar ada berita tentang maraknya korupsi di sana sini, atau meningkatnya angka kejahatan yang dinilai keji, mereka langsung menyatakan itu sebagai pertanda kiamat sudah dekat. Tapi...kalau ditanya seberapa dekat, mereka tidak punya jawabannya. Hellooo...atas dasar apa dugaan mereka ini? Apakah hanya karena apa yang mereka dengar itu adalah sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi? Atau karena kebejatan si pelaku kejahatan sudah dianggap melampaui batas-batas kemanusiaan yang notabene ditentukan sendiri oleh manusia?

Memang ada petunjuk dari Yang Kuasa bahwa suatu hari ahlak manusia akan begitu rapuhnya dan saat itulah kehidupan ini mendekati akhir zaman. Pertanyaannya adalah, bagaimana ahlak manusia yang bisa dikategorikan sebagai "begitu rapuh"? Kalau hanya sekedar "lebih rapuh" dari yang pernah ada, tentuya situasi seperti ini pasti juga pernah berulang kali terjadi di masa lalu. Tak bisa dipungkiri kebejatan manusia memang selalu bertambah dari masa ke masa. Buktinya, manusia yang selalu bertambah pintar dalam mengembangkan cara hidupnya telah memberi celah lebih banyak untuk menuai kesalahan yang lebih fatal.

Kalau dulu lewat nabi Nuh a.s, Allah swt telah memberi pelajaran berharga bagi umat manusia untuk tidak gegabah dalam menghadapi ujian dariNya, dan nyatanya selama ratusan tahun kemudian umat manusia masih saja melakukan kesalahan yang sama, apa itu bukannya berarti manusia bisa dianggap tidak belajar dari pengalaman? Bukankah air bah yang meluluh lantahkan umat manusia saat itu merupakan bencana yang jauh lebih dahsyat dari bencana apapun yang terjadi di zaman peradaban sekarang? Lalu kalau saat itu, anggap saja ada orang yang mengatakan bencana itu merupakan suatu pertanda dekatnya hari kiamat, mengapa pula kita masih ada disini ribuan tahun kemudian?

Secara teori, tidak salah memang jika kita semakin dekat dengan kiamat. Tiap hari juga kita semakin dekat dengan kiamat. Tapi rasanya mengesalkan sekali jika hal itu lalu dijadikan bumbu dalam mengajarkan umat manusia untuk bertobat, apalagi jika memakai konsep menakut-nakuti. Agama mengajarkan bahwa kehidupan ini tidak kekal yang suatu saat nanti akan ada "expiration date"-nya. Agama juga mengajarkan bahwa disaat sudah mendekati hari akhir, akan terjadi banyak kejadian yang aneh dan buruk buat umatnya. Hanya sedikit clue saja, dan tidak pernah terinci kejadian buruk dan aneh apa yang akan dihadapi manusia. Mengapa hanya clue? Sekali lagi, karena semua adalah misteri Illahi.

Manusia boleh menciptakan teori atau rumus baru sebagai bagian dari proses menduga-duga dan menebak masa depan, tapi seharusnya tidak perlu didamping panji-panji agama. Dengan embel-embel "didukung hukum agama", apapun yang orang katakan tentang adanya relasi antara perkara buruk dengan makin dekatnya kita pada akhir zaman buatku hanyalah isapan jempol belaka. Akan sama saja konyolnya dengan jika aku menganggap bahwa semakin banyaknya orang yang percaya pada hal itu juga adalah pertanda semakin dekat juga kita dengan hari kiamat.  :p



Wednesday, February 4, 2015

Keeping

There are lots of things about you that makes him fall for you even that you often disagree with many of them. For whatever happens, what matters to him is that he gives you whatever he think is right for you in the good times and the bad times. And that's the reason why he's still around, even when you  treat him unkindly. To him, you are very special that he tries his best to tolerate your behavior when you're not in a good mood. Stepping aside in silence doesn't make him care any less just for you because he tries to avoid making false moves accidentally that may make your situation worse.

All the attentions he gives you may sometimes look unnecessary to you or others but that's how he show how he cares. He doesn't have a lot to give you but he gives you everything he can, including his heart. He may not be a perfect guy, but then again, who is? There are many who would want to be in his shoes, but surely there's none that would treat you as good as he does. So when you happen to feel like ignoring him, make sure that he knows why and that you're not giving him a reason to dislike how you treat him. And unless you are really ready to lose him, you should too give full effort to keep him in your heart.




Wednesday, January 28, 2015

Bahasa Endonesa

Mengapa orang asing mudah sekali belajar bahasa Indonesia.
Karena bahasa Indonesia lebih simple dibanding bahasa Inggris. 
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

English:
"Would you please care to elaborate on that statement?"
Indonesian:
"MAKSUD LOH?!"

English:
"The meeting will start at 9:15 AM. Please be there 15 minutes beforehand."
Indonesian:
"Jgn Telat Yee!!!"

English:
"I definitely won't make it. You guys go and have fun without me." 
Indonesian:
"Ntar gue nyusul"

English:
"your statement is already known by everybody else". Indonesian:
"BASI.. L0h "

English:
"I couldn't see the necessity of this conversation".
Indonesian:
"GA PENTING Boo ..."

English:
"I couldn't think of any idea of where to go and what to do".
Indonesian:
"MATI GAYA neh".

English:
"I need to tell u something, unfortunately the validity still needs to be confirmed"
Indonesian:
"Eh....TAU GA' SIH LO...... (nggosip) "

English:
"I couldn't imagine what else could have happened".
Indonesian:
"BUSEEETTT dah...!!!

English:
"The conclusion which is not accepted".
Indonesian:
"CAPE DEH !!"

English:
"pardon me"
Indonesian;
"HAAAHH...???"

English:
"I think you should not act in such an improper way". 
Indonesian:
"Pliiisss Dech..."

English:
"I think it would be better if we don't see each other again..."
Indonesian:
"LOE, GUE, END !!!"

English:
"Thank you, God... This moment and circumstances mean so much to me and I should be grateful...."
Indonesian:
"Alhamdulillah yaah... Sesuatu banget..."

English:
"oh well... it may be amazing to you, but to me it's just okay."
Indonesian:
"trus gw harus bilang "wow" gituu.."

English:
don't lie to me, let God be our witness for that..... 
Indonesian:
sumpeee loo?

English:
It's really disappointinjg to know how you treat me like this after all what I've done for you..
Indonesian:
Sakitnya tuh disini..


 

Monday, January 26, 2015

Protes Harga BBM

Dari sejak terpilihnya presiden Jokowi, masih saja banyak pihak yang mencuatkan berbagai topik untuk menyerang pemerintahannya. Entah karena sakit hati yang mendalam karena merasa pihak dukungannya "kalah" dalam pilpres lalu, atau hanya sekedar memanas-manasi orang lain tanpa ingin terlebih dahulu memastikan kebenaran sumber-sumber berita yang mendasari provokasinya.
Salah satu alat yang hingga kini masih sebentar-sebentar diangkat adalah soal harga bahan bakar premium yang memang belakangan ini mengalami pasang surut. Okelah kalau orang banyak yang berteriak saat harganya naik, tapi saat harganya turun hingga kembali ke harga semula sebelum melonjakpun ada saja pihak yang protes dengan tudingan pemerintahan yang plinplan.

Kenaikan harga BBM memang bukan hal yang baru lagi buat negeri ini. Begitu pula dengan penurunannya meskipun sepanjang sejarah hanya terjadi sesekali dua kali saja. Bahwa orang masih menjadikannya sebagai alat untuk berdebat menandakan betapa tidak sadarnya masyarakat kita akan konsep dagang yang seharusnya (juga) bisa berlaku dalam bisnis BBM di negeri ini.
Sebutlah di negara Amerika Serikat yang usahaan BBMnya digeluti oleh beberapa nama perusahaan besar seperti Shell, Chevron, Mobil, Texaco, dll. Sistem yang berlaku sudah jelas waralaba atau frenchise, dimana siapapun boleh memiliki SPBU dengan bendera perusahaan apapun tanpa harus menyamakan harga, bahkan dengan SPBU lain dengan bendera perusahaan yang sama. Misalnya, sebuah SPBU berbendera Shell boleh menjual BBM-nya dengan harga yang lebih tinggi dari harga penjualan BBM dari SPBU berbendera Shell yang letaknya mungkin hanya sejauh beberapa kavling di ruas jalan yang sama. Kenapa tidak? Selama kedua SPBU ini menyetor harga yang sudah dipatok oleh Shell, tentunya masing-masing punya hak dalam menentukan seberapa besar keuntungan yang diincar. Toch konsekuensi dari pemasangan harga jualnya kembali ke pihak masing-masing pemilik SPBU.

Hal ini yang seharusnya berlaku bagi semua SPBU Pertamina yang notabene punya pemilik yang berbeda yang semuanya ber frenchise dari Pertamina sebagai satu-satunya pemasok BBM di negeri ini. Bedanya, masyarakat sudah terbiasa dengan konsep kesamaan harga BBM seolah Pertamina memberlakukan harga jual yang sama kepada seluruh pihak yang ber frenchise darinya, sehingga masyarakat cenderung protes ketika menemukan SPBU yang menjual harga di atas harga yang "dianjurkan" pemerintah lewat Pertamina. Padahal, setiap pelaku bisnis BBM punya hak untuk menentukan harga jual di SPBU miliknya seperti halnya yang dilakukan para penjual bensin eceran.
Sistem inilah yang dilakukan oleh banyak pemegang frenchise Pertamina di daerah-daerah yang jauh dari pusat pensuplaian bensin ketika mereka bisa menjual BBM dengan harga selangit karena sulitnya mendapatkan pasokan BBM di sana hingga pembelian bensinpun harus dijatah. Apalagi oleh pihak-pihak penjual bensin eceran yang paham sekali tentang ketidak imbangan antara kebutuhan BBM dan pasokan yang tersedia di SPBU.

Minggu lalu, aku sempat membaca pengumuman di atas kertas yang menempel di pompa bensin di sebuah SPBU dekat tempat tinggalku. Isinya menjelaskan bahwa harga jual yang diberlakukan disitu memang di atas harga yang anjurkan Pertamina. Mungkin penegasan ini dirasa perlu untuk menghindari protes yang setiap saat bisa dilemparkan oleh konsumen. Dan ketika aku bertanya pada petugas yang melayaniku, ia menjelaskan bahwa suka tidak suka, konsumen harus menerima keputusan dari pihak SPBU tersebut. Tentunya pematokan harga tersebut bisa saja membuat konsumen lalu mengisi lebih sedikit volume bensin dari yang semula direncanakannya, atau bahkan mengurungkan niatnya lalu mencari SPBU lain. Yang jelas, konsumen sadar bahwa keputusan itu adalah yang mutlak dan harus diterima apa adanya.

Lalu kenapa masih banyak orang yang sulit memperlakukan kebijakan pemerintah sebagai hal yang mutlak dan menerimanya apa adanya?



Friday, January 23, 2015

Pengendalian Emosi

Belakangan ini aku sering kongkow-kongkow dengan pemilik sebuah tempat percetakan sehubungan dengan job pembuatan buku yang birokrasinya cukup ribet. Sebenarnya aku sudah kenal lama dengannya, sejak aku masih memiliki tempat percetakan sendiri. Namun disamping karena jadwalku yang padat sehingga kunjunganku ke tempatnya tidak banyak, aku juga agak menghindar untuk terlibat pembicaraan dengannya mengingat ia doyan sekali ngobrol. Bukannya apa yang diucapkannya tidak berisi, justru menurutku ia termasuk orang yang enak diajak nongkrong sambil menyeruput kopi karena sosoknya berwibawa dan sering sekali memberi inspirasi, tapi aku lebih suka mendengarkannya bicara saat aku tidak diburu waktu. Hitung2 aku bisa konsultasi tentang segala hal.

Nah...karena akhir-akhir ini aku memang harus banyak melakukan konsolidasi dengannya dalam mengatasi segala masalah pencetakan buku yang aku hadapi ini, aku bisa duduk lama saling bertukar pendapat tentang banyak hal. Yang aku suka darinya adalah bahwa ia punya pemikiran yang terbuka, moderat dan tidak senang mendalami politik dan agama. Jadi pendapat pasti standard dan mudah dicerna orang yang pemikirannya sederhana. Banyak hal baik yang aku terima darinya kemarin, namun ada satu hal yang sangat menyadarkan aku akan pentingnya bersikap. Awalnya kami bicara tentang faktor-faktor dari sukses dan gagalnya bisnis percetakan. Dengan mengambil beberapa contoh orang yang gagal dan sukses, ia memberikan satu faktor kunci kesuksesan atau kegagalannya: Emosi.

Buatku, itu suatu hal yang masuk akal tapi jarang sekali dijadikan kunci. Biasanya orang lebih suka menggunakan unsur-unsur keagamaan untuk mengejar kesuksesan, misalnya do'a, puasa, dll.
Ia mengatakan bahwa selama kita bisa mengendalikan emosi, selama itu pula layaknya kita bisa sukses menjalani bisnis apapun. Misalnya dalam penanganan masalah pekerjaan atau klien atau rekan sejawat. Aku ingat bagaimana dulu, ketika aku masih menjadi bagian dari manajemen band terkenal, setiap breefing sebelum band naik panggung pasti ada yang mengingatkan kami untuk menjaga sikap, menjaga ucapan dan menjaga perasaan orang lain. Hal itu sangat penting demi kelancaran penampilan yang tiap saat bisa saja kena masalah dengan instrumen musik, sound system, panitia, crew venue (tempat penyelenggaraan acara), sesama personil band, sesama crew dan tentunya penonton.

Dalam perbincangan kami, aku juga menyatakan betapa pentingnya teori pengendalian emosi itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saat kita sedang berkendaraan di jalan yang ramai dan cenderung sarat macet. Karena emosi yang tak terkendali, kita sering lupa bahwa hal terpenting dalam perjalanan yang tengah kita tempuh adalah sampainya kita ditujuan dalam keadaan selamat dan utuh. Kenyamanan di jalan yang mudah diganggu pengendara lain harusnya tidak sirna jika gangguan itu kita respon dengan pengendalian emosi yang baik. Sehingga, bila semua pengendara menerapkan hal yang sama, maka sangat mudah mendapatkan kenyamanan dalam perjalanan. Inilah yang terjadi di negara-negara yang berpenduduk tertib pada peraturan. Aturan boleh saja ekstrim, namun akan mudah dilanggar bila memang tidak diimbangi dengan pengendalian emosi.

Begitu pula dengan cara kita berinteraksi dengan anak. Sebagai orangtua dari dua anak pria yang menginjak remaja, aku sering mengenyampingkan kesabaran ketika mereka sedang berulah. Akibatnya, aku lebih cenderung untuk mengomel dalam konsep dimana aku adalah pembuat peraturan yang telah mereka langgar, sambil aku berharap mereka tidak akan mengulangi kesalahannya. Tapi setelah selesai mengomel yang aku rasakan hanyalah rasa capai yang belum tentu juga terbayar dengan sikap mereka yang mungkin tidak langsung seluruhnya berubah menjadi baik. Aku lalu mencoba membayangkan betapa rileksnya suasana hatiku bila penanganan masalah dari ulah mereka aku lakukan dengan tenang. Mungkin saja usaha mengoreksi kelakuan mereka jadi lebih mudah diterima sementara aku tidak perlu merusak suasana hatiku sendiri. Kans atas keberhasilan cara demikianpun toch sama, 50-50. Dan bila memang belum berhasil, penanganan dengan sistem seperti ini mungkin harus dilakukan berulang kali hingga berhasil. Nyatanya, pemraktekan sistem ini dalam berbisnis juga tidak selalu memberi kesuksesan yang instan. Dan pemilik tempat percetakan itu sudah memberikan contoh buktinya.



Thursday, January 22, 2015

Buku Kenangan

Ini bukan kali pertamaku menerima job yang sifatnya "membantu", yang artinya aku tidak menerima sepeserpun imbalan atas kerja yang aku lakukan. Namun jelas aku akhirnya harus mengerjakannya dengan berat hati. Bagaimana tidak? Job yang di awalnya aku sangka akan memberiku begitu banyak keleluasaan dalam berkarya berubah menjadi rumit dengan begitu banyak request yang seharusnya sama sekali tidak perlu aku terima bahkan pertimbangkan.

Buku Kenangan untuk sebuah biro perjalanan besar yang layaknya berfungsi sebagai buku direktori jamaah peserta ibadah Umroh ini tiba-tiba ingin disertai berbagai data dan dokumentasi tentang perusahaan yang justru akan menjadikannya seolah sebuah buklet lengkap atau company profile. Kalau saja hanya dokumentasi dari acara manasik akbar yang memang masih berhubungan perjalanan ibadah itu sendiri tak mengapa, namun apa gunanya menyertakan dokumentasi segala kegiatan lain seperti acara buka puasa bersama, rapat pengurus, dll, hanya untuk menampilkan kehebatan perusahaan? Buku saku pedoman ibadah yang sarat berisi petunjuk cara melakukan kegiatan di tanah suci serta do'a-do'anya pun sudah pasti selalu menjadi syarat kepemilikan utama jamaah yang dibagikan secara terpisah. Jadi untuk apalagi memuat buku kenangan ini dengan konten yang serupa?

Aku harus berkali-kali berdebat dengan bohir yang selalu mengingatkan aku untuk ikut beramal dalam mengerjakan job ini. Plafon harga yang ditetapkannya memaksa aku untuk menghemat dalam penggunaan kuantitas kertas dan finishingnya. Namun disisi lain, ia ingin sekali buku ini punya nilai prestisi dengan ide-ide yang justru memboroskan biaya. Dan ketika harga yang aku berikan sedikit melebihi plafon yang ada, ia minta aku "melempengkannya" ke plafon. Padahal tanpa diketahuinya, aku sendiri sudah menutup sebagian dari kelebihan biayanya.

Proses pengerjaannya pun cukup sulit karena data yang diberikan padaku dilakukan secara bertahap dengan revisi yang tak kunjung henti dalam periode berbulan-bulan hingga seminggu lalu sebelum kloter pertama diberangkatkan hari ini. Belum lagi kebanyakan data yang masuk formatnya masih mentah sehingga harus aku ubah dulu ke format yang bisa mendukung proses perancangan grafisnya. Yang membuat lebih parah adalah bahwa pengecekan progres desain grafis dan input data yang aku kirimkan via email tidak terjadi secara rutin dan berkala hanya karena pihak bohir kurang fasih dengan teknologi internet. Sedangkan tidak mudah untuk menyambanginya guna menyerahkan laporan kerja untuk dicek.

Hingga akhirnya aku harus memberi ceramah panjang via telpon, menjelaskan kedudukanku yang tidak mungkin menuruti semua yang ia harapkan. Dengan terpaksa, aku harus menyatakan berapa besar biaya yang akan aku tanggung demi tercetaknya buku tersebut.
Ini bukan job pendesainan dan pencetakan majalah atau buku atau barang cetakan biasa. Ini job buku yang digunakan untuk memudahkan jamaah ibadah Umroh dalam berinteraksi antar sesama jamaah. Alasan itulah yang sedari awal membuatku rela mengerjakannya tanpa imbalan. Yang menjadi targetku hanyalah kepuasan hati jika buku ini memang tampil sebaik yang aku harapkan dan benar-benar bermanfaat bagi penggunanya selama perjalanan menjadi tamu Allah swt.

Jadi masih perlukah aku diingatkan untuk beramal ketika aku menolak untuk membiarkan buku ini berubah fungsinya atau menanggung lebih banyak lagi biaya pencetakan yang melebihi plafon yang ditentukan pihak bohir? Bila hasil kerjaanku ingin diserahkan pihak lain untuk dicetakpun aku tidak akan keberatan. Toch aku yakin harga yang aku tawarkan akan sulit untuk dikalahkan siapapun.
Dan ketika buku itu (akhirnya) berhasil aku serahkan sehari sebelum deadline, aku bisa bersyukur meski hanya kepuasan moril yang aku dapatkan. Tapi jika aku ditawari job yang serupa, dengan segala kerumitan yang serupa pula, pilihannya hanya dua; biaya jasa pendesainannya tidak akan gratis (bahkan akan mahal) atau silahkan cari orang lain.

--o--


Selamat jalan dan selamat menunaikan ibadah Umroh, para tamu Allah swt tahun ini. In shaa Allah Buku Kenangan itu memberikan kenangan yang manis bagi anda semua....aamiin.