Friday, January 27, 2017

Imbang Yang Lainnya

Laptop ku sudah menyala sejak sekitar satu setengah jam yang lalu namun aku belum sempat menggunakannya karena ada urusan-urusan yang harus aku lakukan. Seperti layaknya tiap Selasa pagi, aku harus membagi dua tumpukan cucian yang ada mengingat banyaknya aktifitas  di luar rumah yang dilakukan anggota keluargaku di hari Senin sedangkan keterbatasan kapasitas mesin cuciku tak mungkin mampu mengilingnya sekaligus dalam satu kloter saja. Belum lagi seragam putih-putih kedua putraku yang harus dikucek secara manual sebelum masuk ke dalam mesin cuci. Maklumlah...namanya juga anak laki, tak terlalu menghiraukan semudah apa seragam putihnya jadi kotor sehingga mereka bisa duduk dimana saja termasuk di lantai yang berdebu.

Aku memang tidak melakukan tugas masak memasak, tapi aku yang lebih sering mencuci perangkat memasak dan makan tiap harinya. Hal ini aku lakukan sejak aku berkantor di rumah sekitar dua tahun yang lalu. Buatku, sedikitnya hal-hal itulah yang bisa aku kontribusikan untuk rumah tanggaku selain kewajibanku menafkahi keluargaku. Seperti halnya istriku, aku juga tidak suka melihat adanya tumpukan cucian atau rumah yang berantakan. Dan aku tak ingin semua pekerjaan rumah melulu digarap istruku, apalagi ia juga punya kegiatan berbisnis yang sering menyita waktunya. Jadi semua pekerjaan ini aku lakukan dengan senang hati tanpa mengeluh.

Gerimis yang acap datang dan pergi sejak subuh sedikit menambah pekerjaanku pagi itu. Awan mendung yang tersebar tak merata di langit membuat aku harus bolak balik menggeser jemuran. Bagaimana tidak? Gerimis bisa turun bersamaan dengan sinar matahari yang kadang tak ditutupi awan. Dan pagi itu semua harus aku tangani sendiri karena memang hanya aku sendiri yang ada di rumah. Sebelum berangkat, istriku sudah menyiapkan lauk untuk makan siangku dan kedua putraku, dan juga meninggalkan tumpukan perangkat masaknya di wastafel dapur bersamaan dengan piring dan gelas yang dipakai kedua putraku untuk sarapan.

Dan ketika aku akhirnya bisa meletakkan mug berisi kopi yang barus saja aku seduh dan duduk di depan laptop ku, rasa sangat senang itu hadir dalam diriku. Aku senang karena semua tugas yang harus aku lakukan sudah tuntas. Dari mengucek seragam putra-putraku, dua kali menggiling tumpukan pakaian kotor lalu menjemurnya sambil berkali-kali menggeser jemurannya agar mendapat sengatan sinar matahari yang cukup atau mengamankannya dari gerimis, mencuci perangkat masak dan makan minum, sampai memasak nasi dan air panas untuk stok sepanjang hari termasuk kopi buatku sendiri.

Aku yakin rasa kesenangan ini tidak akan hadir jika semua itu aku kerjakan dengan terpaksa. Keihlasan yang megiringiku dalam beraktifitas pagi ini yang membuatku merasa tak terbebani. Aku senang melihat cucian bersih yang terjemur di halaman rumahku, perangkat masak dan makan yang menanti kering di rak cucian di dapur, termos air panas yang mengebul jika dibuka, dan rice cooker yang tengah dalam proses mematangkan beras yang telah aku cuci. Dan kesenangan ini pula yang sempat membuatku duduk terdiam sejenak memandangi dari jendela ruang kerjaku awan mendung yang masih berserakan di langit, sambil mensyukuri berkah dariNya sehingga aku masih bisa melakukan itu semua dan berkesempatan untuk menikmati kopi pagiku.


Tak sedikit memang kesulitan yang tengah aku hadapi belakangan ini, tapi bila aku bijaksana, aku bisa tetap merasakan kebahagian dalam hidupku dengan cara berikhlas dalam menjalani kehidupanku. Sekali lagi ini bukti bahwa bersabar dan bersyukur itu selayaknya dilakukan berbarengan karena selalu ada saja hal yang harus disabari dan ada yang harus disyukuri pada waktu yang bersamaan. Itulah yang mem-balance-kan hidup.


Monday, January 23, 2017

Sariawan

Seminggu yang lalu, putra sulungku mengeluhkan sariawannya. Rupanya sudah sangat mengganggu sehingga makanan kegemarannyapun tak lagi bisa dinikmatinya. Aku paham sekali bagaimana rasanya diganggu sariawan yang seakut itu mengingat aku termasuk orang yang acapkali dititipi sariawan. Apalagi ketika aku terkena cacar air, almarhumah ibuku sengaja memberiku minuman Wedang Asem yang konon dapat menstimulasi semua bakteri yang mungkin tersimpan di dalam tubuhku agar keluar sekaligus sehingga aku tak akan pernah terjangkit lagi kelak di suatu hari nanti. Ketika itulah bakteri yang dimunculkan tak hanya berupa cacar di kulit tapi juga dalam wujud sebelas buah sariawan di dalam mulutku termasuk di lidahku. Otomatis berat badanku susut drastis karena aku kehilangan nafsu makan.

Peristiwa ini yang kugunakan untuk menghibur putraku dengan harapan ia mampu bersabar menjalani hari-hari bersariawannya. Aku juga terus mengingatkannya bahwa sariawan merupakan suatu penyakit ringan yang tidak mematikan namun amat sangat mengesalkan. Terkadang dengan posisi yang sangat tidak menguntungkan, penderita jadi enggan membuka mulut. Jangankan untuk mengkonsumsi makanan, untuk berbicarapun menjadi sulit dan menyakitkan. Aku sendiri masih belum pernah dapat pengobatannya yang bisa dianggap mujarab meskipun sudah banyak metode aku terapkan. Bagiku, penanganan paling tepat adalah dengan bersabar alias nrimo alias pasrah...itu saja. Karena sariawan sekecil apapun bisa bertahan lama meskipun sudah dicoba disembuhkan dengan berbagai cara atau dilain sisi, tanpa kita duga, yang akutpun bisa suatu ketika hilang begitu saja dalam sekejap meski kita tak mencoba menyembuhkannya.

Penyikapan terhadap sariawan ini sebenarnya bisa diaplikasikan juga di masalah finansialku yang hingga kini masih belum menunjukkan gejala pemulihan. Sudah banyak hal yang aku coba usahakan demi perbaikannya namun tak satupun membuahkan hasil. Kalau sekedar mengurangi beban, alhamdulillah kerap ada saja rezeki yang datang tanpa terprediksi sebelumnya. Nah ketika itulah aku menyadari bahwa rezeki yang hadir ataupun pemulihan total yang belum menghampiriku tak selalu disebabkan oleh ada atau tidaknya upaya dariku selain berdoa tentunya. Doa inilah yang tak mungkin bisa disangkal kehebatannya karena hal itulah yang mengindikasikan kepasrahan kita pada Yang Maha Kuasa. Bukankah semua yang terjadi memang sudah dirancang olehNya? Kita boleh jungkir balik atau hanya duduk terdiam saja dalam menyikapi segala permasalahan yang kita hadapi, namun solusinya ada di tanganNya.

Jadi...meski aku ingin sekali memberi asupan metode yang bisa langsung menyembuhkan sariawan putraku, aku hanya bisa menyarankannya untuk berdoa meminta kesembuhan kepadaNya. Aku tak melarangnya untuk melakukan upaya pengobatan apapun namun aku mengingatkannya untuk tidak mengeluh jika kesembuhan itu memang belum jadi miliknya.
Sabar ya nak....


Friday, January 20, 2017

Selalu Ada Yang Bisa Disyukuri

Keberuntunganku dalam hal mengatasi masalah finansialku masih belum bisa dianggap membaik. Itu sebabnya aku masih acap menggunakan layanan GoJek untuk keperluan sehari-hari termasuk mengantar dan menjemput putra-putraku ke dan dari sekolah tiap hari. Dan kemarin aku harus beberapa kali mengorder layanan GoJek untuk kebutuhanku sendiri dalam mengurus beberapa transaksi perbankan di beberapa bank.

Salah satu bagian dari rute yang terjadwal, aku harus melakukan perjalanan dari Gedung Setiabudi di jalan Kuningan ke sebuah cabang BCA di kawasan Tebet yang akan aku lalui dalam perjalanan pulangku. Dalam  upaya menghidari kemacetan di jalan Kuningan ketika menuju gedung Setibudi, driver GoJek yang mengantarku melintasi jalan pintas di samping jalan Kuningan. Dan saat itulah aku menyadari bahwa ada sebuah kantor cabang BCA yang letaknya sekitar satu setengah kilometer dari gedung Setiabudi. Maka akupun langsung memutuskan untuk menyinggahinya seusainya urusanku di gedung Setiabudi.

Satu setengah kilometer bukanlah jarak yang pendek untuk dilalui dengan berjalan kaki di bawah teriknya matahari. Namun aku juga berpikir bahwa tidaklah ideal untuk tetap menggunakan layanan Gojek untuk   jarak sependek itu. Meskipun aku bisa mendapatkan potongan setengah harga tarif yang berlaku, dengan kondisi finansial yang (masih) seperti ini, hal itu jadi terlalu disayangkan untuk dilakukan sehingga akupun memutuskan untuk berjalan kaki saja.

Di bawah sengatan sinar matahari, sambil menyusuri jalan yang tak lagi dihiasi banyak pepohoann berimbun, aku terus memikirkan perjalanan roda kehidupanku dan bagaimana aku bisa terus bertahan menjalaninya. Sambil berulang kali menyeka peluh di muka ku dengan sebuah handuk kecil yang selalu aku siapkan dalam tas ku, aku berusaha untuk tidak mengasihani diri sendiri. Yang aku coba pikirkan hanyalah hal apa saja yang bisa membuatku bersyukur supaya perjalananku tidak terasa melelahkan.

Dan sesampainya aku di rumah, rasa bersyukurku makin besar karena gambling-ku atas jemuran cucian yang ketika aku pergi sengaja tidak aku amankan dari kemungkinan dibasahi hujan sudah kering total. Tak seperti hari-hari sebelumnya, kemarin matahari bersinar terik seharian penuh sehingga tak hanya jemuran cucian yang sudah kering di tengah hari, seluruh aktifitasku juga berjalan menyenangkan..termasuk mengendarai motor GoJek berulang-ulang dan berjalan kaki sejauh satu setengah kilometer. Alhamdulillah...


  
 

Tuesday, January 10, 2017

Kambing Hitam

Kalau boleh aku memberi penilaian pada diri sendiri, seingatku...hingga aku duduk di kelas dua SMA, aku punya tabiat buruk yakni selalu mencari kambing hitam ketika aku melakukan kesalahan. Bukan karena dendam atau niat hendak mencelakakan pihak tertentu, namun simply karena aku tak ingin disalahkan saja. Biasanya, aku secara instan langsung menunjuk pihak lain, yang bisa aku kaitkan dengan kasus yang tengah diperkarakan, sebagai penyebab aku melakukan kesalahan yang dituduhkan kepadaku.

Aku ingat sekali moment penting yang membuatku sadar dan berniat untuk menghilangkan tabiat itu adalah ketika adikku yang saat itu sedang aku incar untuk dijadikan korban, tak seperti sebelumnya, ketimbang mempertanyakan alasan tuduhanku kepadanya, justru melontarkan sebuah kalimat yang benar-benar menohok ku.
"Kalau memang salah, nggak perlu dech nyalahin orang lain lagi. Sukurin loe sekarang..."
Kalimat itu membuatku sadar bahwa aku terpojok dan memang harus menanggung akibat dari kesalahan yang sudah aku buat.

Setelah kejadian itu, pahit memang rasanya menerima kenyataan bahwa setiap aku bersalah, aku harus menerima dampak dan resikonya. Namun akupun akhirnya terbiasa dengannya dan hal itu bisa aku terima dengan legowo sampai sekarang...alhamdulillah. Aku menganggap di titik balik itulah aku mengalami perubahab drastis sebagai salah satu bagian dari proses pendewasaan yang tengah aku lalui. Maka semakin hari, aku semakin mengerti pentingnya mengakui kesalahan tanpa sedikitpun mencoba berdalih sebagai upaya pembelaan.


Dengan pengertian itulah aku mencoba menjalani masa-masa (setengah) tua ku, termasuk dalam melakukan kerja apapun. Biarlah kebodohanku mempraktekkan tabiat buruk itu hanya mengisi masa mudaku dulu.
Lucunya...aku masih bertemu banyak orang yang punya sifat "nge-les" dengan cara mengkambing hitamkan pihak lain justru di usia mereka yang lebih kurang sebayaku. Yaah..mungkin karena belum pernah kesentil... :p



Thursday, November 24, 2016

Perbedaan

Jum'at kemarin, karena aku punya banyak waktu luang, aku menjadwalkan untuk menjemput putraku dari sekolah. Agar ia tak terlalu lama menungguku seusai shalat Jum'atan nya di sekolah, aku berencana melakukan shalat Jum'at di sekitar sekolahnya.
Dari beberapa yang ada, aku memilih sebuah masjid yang lumayan besar namun tidak terlalu menyolok keberadaannya karena posisinya yang terletak di sebuah jalan kecil di tengah-tengah pemukiman warga yang padat yang lumayan jauh dari jalan raya.

Sudah lama memang, aku berniat sekali menyambangi masjid ini karena meski tak terlihat dari jalan raya namun menara tunggalnya cukup tinggi dan memiliki desain yang menarik perhatian, menyeruak di balik padatnya rumah-rumah hunian yang mengelilinginya rapat. Putraku, yang pernah mengunjunginya, mengatakan bahwa masjid itu cukup populer di lingkungannya karena ketika ia melakukan saat shalat Dhuhur berjamaah di hari biasapun jemaatnya cukup banyak.

Ketika aku tiba disana sekitar 10 menit sebelum adzan berkumandang, hampir 70 persen ruangan masjid yang cukup luas ini sudah terisi, sementara jemaat terus berdatangan hingga akhirnya melimpah sampai ke teras dan halaman masjid.
Tak seperti di beberapa masjid lain, adzan dikumandangkan hanya sekali setelah sang khatib naik ke atas mimbar dan memberi salam. Dan setelah itu khatib langsung berkhutbah. Saat itu aku bertanya-tanya pada diri sendiri topik apakah yang akan menjadi materi khutbahnya, mengingat yang sedang menjadi trending topik adalah masalah penistaan agama Islam.

Sayangnya, aku tak pernah tau jawabannya...
Aku sempat heran dengan pembukaan khutbah berisikan hamdalah dan pujian kepada Allah SWT serta shalawat kepada Rasulullah SAW, yang selalu dalam bahasa Arab, yang bagaikan tak kunjung selesai. Namun yang membuat aku kaget adalah bahwa ketika aku masih menunggu bagian khutbah berbahasa Indonesia, sang khatib mengambil posisi duduk beristirahat sebelum memulai khutbah bagian kedua. Rupanya, khutbah bagian pertama telah lengkap dan selesai disampaikannya melulu dalam bahasa Arab. Begitu pula dengan bagian kedua yang tak diisi sedikitpun dengan bahasa Indonesia. Maklumlah...sebagai seorang yang ilmunya cetek, aku tak dapat membedakan mana bahasa Arab yang do'a, mana yang kutipan ayat Al-Qur'an dan mana yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-harinya.


Ada hal lain juga yang aku temui (sejauh ini) hanya di masjid tersebut. Tak lama setelah shalat Jum'at usai, sebagian kecil jemaat (nampaknya) melakukan shalat sunnah berjamaah. Aku yang hanya bisa menebak-nebak shalat apa yang mereka lakukan, memutuskan untuk meninggalkan masjid saja bersama sebagian besar jemaat yang langsung membubarkan diri ketimbang melakukan shalat sunnah sendirian yang bisa-bisa dianggap salah. Hasilnya, total waktu yang digunakan untuk khutbah dan shalat Jum'at menjadi relatif lebih pendek dari yang biasanya aku temui di tempat-tempat lain. Karena itulah dalam perjalanan menuju sekolah putraku, aku melewati beberapa masjid yang prosesi shalat Jum'at nya masih berlangsung, bahkan di masjid sekolah putraku, sang khatib masih tengah berkhutbah.

Entah apa yang menjadi patokan bagi para pengurus dan pihak manajemen masjid tersebut, namun buatku perbedaan seperti ini hanya merupakan suatu keanekaragaman yang ada dalam agama Islam di negeri ini.
Dan alhamdulillah hingga kini, tak pernah ada masalah bagi semua jemaat yang beribadah disana.
Suatu pengalaman baru lagi yang unik buatku. Memang jadinya aku tak mengerti apa yang disuarakan oleh sang khatib...tp itung-itung, pengalaman ini cukup mengingatkan aku pada kunjunganku ke tanah suci. :)



Tuesday, November 22, 2016

Melepaskan Keduniawian

Disadari atau tidak, rezeki itu selalu datang pada kita. Logikanya, tidak disadarinya karena jauh lebih kecil atau sedikit dibanding yang kita harapkan. Apalagi jika efeknya tidak signifikan dengan kondisi yang sedang kita alami. Misalnya kita lagi betul-betul butuh biaya besar untuk memenuhi hal-hal yang positif seperti untuk pengobatan, atau membayar tagihan bulanan yang sudah menunggak segian lama sehingga jika tidak dibayar tepat waktu bisa berdampak tragis, namun rezeki yang kita dapatkan (hanya) cukup untuk membeli sedikit lauk nan sangat sederhana untuk sekali makan. Bisa jadi sambil makan dengan lauk tersebut kita terus mempertanyakan mengapa rezeki tak kunjung datang. Padahal...kesempatan untuk terbangun di awal hari dan bernafas seharian saja merupakan suatu rezeki yang tidak semua orang mendapatkannya.

Sudah sejak tigaperempat tahun aku berusaha menjalani keseharianku dengan mengandalkan sebuah motor yang telah kumiliki selama lebih dari enam tahun, dan sebuah lagi motor pinjaman dari kakakku. Pinjaman ini aku dapatkan setelah motorku yang sebuah lagi ditarik oleh pihak leasing company karena tunggakan cicilan yang akhirnya tak mungkin aku bayar pada waktunya. Apesnya, sekitar tiga bulan yang lalu motorku akhirnya menampakkan gejala-gejala permasalahan yang tak mungkin diabaikan, sehingga harus aku biarkan terparkir setiap hari di dalam garasi hanya karena aku tak ingin dapat masalah yang lebih serius di tengah jalan ketika aku nekat mengendarainya. Karena itulah sebulan yang lalu, aku harus rela menjualnya dengan harga yang murah ke seorang teman yang siap menguras koceknya untuk memperbaikinya.
Jadi sejak itu, hanya motor kakakku lah yang dapat aku andalkan untuk menopang segala aktifitasku sekeluarga.

Hari Kamis kemarin, kakakku tiba-tiba memintaku mengembalikan motornya mengingat saat inipun ia jadi membutuhkannya setelah kondisi finansialnya juga tak kunjung membaik.
Awalnya terasa berat sekali buatku untuk memenuhi permintaannya meskipun itu sepenuhnya adalah haknya. Betapa tidak? Otomatis tak akan ada lagi alat transportasi yang dapat kuandalkan untuk melakukan aktifitas. Namun biar bagaimanapun pentingnya arti motor kakakku bagi keseharianku, aku tak berhak menahannya jika memang telah diminta kembali. Dan keikhlasanku melepaskannya membuat perjalanan panjangku kemarin ke rumah kakakku terasa ringan saja. Yang aku rasakan selama perjalanan hanyalah kelegaan atas keberhasilanku merawat motor itu dengan sebaik mungkin sehingga dapat kukembalikan dalam keadaan yang baik tanpa kekurangan apapun.

Kakakku juga telah menegaskan tentang seringnya ada kesalahan persepsi pada manusia yang mengharapkan "bayaran" dalam hidupnya di dunia atas segala amal ibadahnya, sementara harusnya semua perbuatan baiknya itu dilakukan demi imbalannya di akhirat nanti. Tapi, memang benar seperti kata seorang teman baikku lewat whatsapp semalam sesampainya aku kembali di rumah, bahwa sebagai manusia kita tidak mudah mengesampingkan faktor-faktor keduniawian. Keamanan dan kenyamanan hidupnya di dunia menjadi prioritas sehingga kita selalu merasa kurang. Kurang untuk memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri lah, keluarga lah atau bahkan niat baik untuk masyarakat banyak. Manusiawi sekali, bukan? Tpi disitulah keimanan dan kesabaran kita diuji.

Mungkin saja hari-hari di depanku akan terasa lebih berat dengan tidak adanya kendaraan yang dapat aku gunakan, namun aku yakin Allah sudah mengatur semuanya sehingga apapun yang terjadi bisa aku hadapi dengan kemudahan.In shaa Allah...


Thursday, October 13, 2016

Menunggu Cerah

Sebenarnya ini bukan kali pertama aku dihadapkan pada sebuah rezeki yang tampaknya begitu dekat tapi belum bisa tersentuh. Sudah berkali-kali malah. Dan pada akhirnya rezeki itu memang bukan milik karena ternyata apa yang terlihat dekat memang ibaratnya terpisahkan oleh kaca bening yang sangat amat tipis tapi tak tertembus bahkan oleh peluru kendali. Banyak faktor manusiawi dan buatan manusia yang menjadi penggagalnya.

Bedanya...yang ini tertunda karena faktor alam. Semua aspek lain sudah tertangani satu persatu lewat proses yang amat sangat njelimet dan bisa dikategorikan tidak masuk akal sehat. Misalnya saja hal-hal yang cenderung dianggap mistik oleh orang kota tapi dijunjung tinggi oleh orang kampung sebagai bagian dari tradisi yang tidak boleh dikesampingkan. Aku sebagai orang kota dan beragama ya manut saja selama aku tidak ikut-ikutan berperanserta supaya jatuhnya tidak musyrik.

Dan apapun alasannya, hubungannya ke pengunduran waktu. Aku hanya bisa menunggu sambil selayaknya membantu melancarkan segala proses sesuai kemampuanku. Hanya keikhlasanku yang bisa membuatku tahan menunggu waktu yang tepat dengan menjauhkan diri dari keramaian kota, rutinitas keseharianku, keluarga dan teman-teman. Makan minum seadanya, berhujan-hujanan dan tidur di dalam pendopo berlantai papan kayu beralaskan tikar anyamanpun kujalani berminggu-minggu.

Aku dan kedua temanku juga silih berganti mengalami gangguan kesehatan sebagai bagian dari proses adaptasi kami dengan kondisi di sekitar kami. Tapi tak mengapa. Kami bertiga toch sudah siaga dari awal sejak kami memutuskan untuk menggarap proyek ini. Hanya saja kami tak pernah menduga bahwa akhirnya laju perjalanan perjuangan kami harus terhambat oleh hujan yang sudah seminggu terakhir ini turun tiap hari. Pasalnya, untuk melanjutkan penggarapan proyek yang hampir mencapai akhir ini dibutuhkan cuaca yang cerah ceria cetar membahana...barang dua hari saja.

Konon menurut para dukun BMKG, ada empat hari yang diramalkan akan tak berhujan di minggu mendatang. Lepas dari kemungkinan adanya Human Error, sekali lagi kami harus bersabar menunggu kembalinya matahari bersinar sepanjang hari yang in shaa Allah identik dengan kembali bersinarnya masa depan kami bertiga. Bismillah...