Thursday, March 9, 2017

Sebuah Perjalanan Musik

Grup band SMA angkatanku yang aku ikuti sejak sekitar dua tahun terakhir ini rencananya akan tampil lagi untuk ke tiga kalinya pada ajang yang sama di venue yang sama pula, Hard Rock Cafe, Jakarta hari ini. Sebenarnya kami tak seharusnya dapat jatah tampil untuk ajang yang digelar per enam bulanan ini karena sesuai dengan aturan yang ada sebelumnya, setiap band yang telah tampil dua kali berturut-turut tidak diperkenankan ikut di satu ajang berikutnya. Nah, dengan keikutsertaan kami di ajang kedua dan ketiga yang lalu, otomatis kami harusnya, dalam istilah kepanitiaannya, meliburkan diri di ajang keempat ini, dan akan boleh kembali ikutan di ajang yang kelima bulan November depan.

Buatku, aturan ini sangat bisa diterima mengingat makin banyaknya band yang berminat ikutan di setiap ajangnya sehingga semua bisa berkesempatan menjadi bagian dari sejarah perjalanan ajang pagelaran musik band alumni sekolahku ini. Lagipula aku juga dengan senang hati bersedia rehat dan hanya datang sebagai penonton saja, atau aku bisa tampil dengan formasi band dan genre yang berbeda. Hitung-hitung semacam refreshing saja. Belum lagi fakta bahwa ajang kali ini kembali akan digelar di venue yang sama. Padahal, pada meeting pasca ajang terakhir bulan november lalu, telah disepakati bahwa ajang berikutnya akan diselenggarakan di venue lain yang dinilai lebih baik.

Sekedar info saja, segenap keluarga besar komunitas band alumni kami ini sebenarnya sempat sangat kecewa dengan kerjasama yang kami jalani dengan pihak venue di ajang-ajang yang silam. Dari kurang baiknya penanganan teknis seputar sound system hingga pemungutan dana f&b yang dilakukan pihak venue secara terselubung dengan memanfaatkan para tamu yang sebagian besar para alumni yang sukses dan sebagian cenderung ingin mengekspos kesuksesan mereka dengan cara menghambur-hamburkan uangnya selama ajang ini berlangsung. Hasilnya, ada saja suara kekecewaan datang dari tetamu yang saat itu merasa dianak tirikan oleh pihak venue, misalnya tidak dilayani kecuali bersedia membayar lebih dari yang seharusnya dibayar, atau tidak mendapatkan tempat duduk (yang disepakati sebelumnya harusnya disediakan secara gratis) jika tidak mengeluarkan biaya yang dipungut tanpa sepengetauan panitia acara.

Namun...semua jadi berbeda karena tahun ini sekolah almamaterku genap berusia sembilanpuluh tahun. Nah karena ajang ini memang bagian dari rangkaian acara peringatan momen bersejarah itu, dirombaklah pakem-pakem yang sudah ada di banyak sektor. Mulai dari penetapan venue yang sama lagi, diizinkannya band apapun untuk tampil meski telah ikutserta di dua ajang terakhir seperti halnya band ku, hingga diberlakukannya konsep "Tribute of". Aturan baru yang juga ditetapkan adalah bahwa setiap personil tidak diperkenankan bermain di lebih dari satu grup band. Aturan inilah yang mungkin mem-backup-i diizinkannya band-band seperti bandku tampil lagi. Dampaknya buat personil seperti aku, yang di ajang terakhir sempat tampil dengan dua band yang berbeda, kali ini harus memilih band mana yang ingin diikutsertai. Dan orang seperti aku yang bermain di dua grup dalam satu ajang ini jumlahnya tidak sedikit.

Dari awal, aku sebenarnya tidak antusias untuk tampil dengan band angkatanku karena sama sekali tidak ada wacana itu sejak November lalu. Hanya saja, aku tak mungkin tidak menerima ajakan bandmates ku untuk ikutan lagi kali ini. Mereka bahkan sangat senang dapat kesempatan tampil lagi jauh lebih awal dari yang direncanakan mengingat penyelenggaraan ajang ini dimajukan dari Mei. Di lain sisi, band ku yang satu lagipun tak mungkin tampil karena para anggota lainnya (terpaksa) memilih menjadi bagian dari band-band lain yang akan berpartisipasi juga hari ini. Maka jadilah aku kembali ikut merencanakan pemetasan kami meski untuk kali ini, gitaris kami sudah menyatakan akan absen dari sejak awal karena bentroknya jadwal dengan urusan kerjaannya.

Secara berkala kami menjalani pelatihan dengan segala keterbatasan kami. Sangat jarang sesi latihan band kami dihadiri semua anggotanya. Kalau lengkap pun, artinya dengan posisi gitaris yang hingga minggu lalu masih kosong. Yah...segala kekurangan ini yang membuatku makin tidak yakin kami akan tampil dengan baik. Rasanya malas sekali aku menjalani sesi latihan yang tak kunjung membuahkan hasil yang membaik. Apalagi menurutku, besarnya antusias bandmates ku tak diimbangi dengan effort berlatih yang optimal. Mungkin bagi mereka, tampil di ajang seperti ini bagaikan sekedar cari fun saja. Tapi bagiku, momen seperti ini akan selalu meninggalkan kesan berarti dalam hidupku, sehingga aku tak ingin hanya sekedar tampil bak layaknya naik panggung secara spontan di acara-acara keluarga, kelurahan, interen kantor atau semacam itulah pokoknya.

Minggu lalu, di tengah kesibukanku menjalani persiapan tampil yang melulu didasari azas solidaritas terhadap bandmates ku, tiba-tiba aku dikontak oleh kakakku yang memberi update terkini tentang usaha yang kami rintis bersama sekitar enam tahun lalu, sekaligus menugaskanku untuk menindaklanjutinya dengan melakukan kunjungan ke luar kota selama dua hari mulai hari ini. Wah...sudah sewajarnya bila ada rasa senang mengingat usaha ini sempat terkatung-katung tanpa kejelasan selama tiga tahun lebih. Jika saat ini ada secercah harapan baru yang tersaji di depanku, apalagi aku berkesempatan untuk pergi jauh meninggalkan sejenak kehidupanku yang kian semu di kota besar yang makin membosankan ini, selayaknya aku merasa overwhelmed.
Namun kegembiraanku tak terasa full...

Yang kemudian menyita pikiranku adalah bagaimana aku mengabarkan kepada bandmatesku bahwa aku akan berhalangan untuk ikut tampil mengingat tugas ini mutlak tak mungkin aku tolak. Bahwa pada akhirnya setelah bertahun-tahun bersusah payah mencari dan menunggu kesempatan untuk bertemu para pejabat setempat yang berwenang, tiba-tiba peluang itu datang. Tapi bagaimana mungkin aku mundur begitu saja setelah sekian lama justru akulah yang selama ini memotivasi yang lainnya dalam melakukan persiapan penampilan kami? Di satu sisi aku punya komitmen terhadap band ku. Sementara di sisi lain aku juga lebih dahulu membuat komitmen pada semua pihak yang sejak awal menjadi bagian dari usaha yang aku jalani bersama kakakku itu. Belum lagi ribuan orang yang nasibnya bergantung pada usaha ini.

Akhirnya memang fakta ini tidak mungkin tidak ditelan bandmates ku dengan penuh kekecewaan. Dan akupun telah siap menerima kenyataan bahwa jika sampai batal tampil, aku tak urung akan jadi penyebab utamanya. Namun fakta ini sama sekali tak melenturkan kebulatan tekad mereka untuk tetap tampil meski jika nantinya mereka tak menemukan penggantiku. Ini yang lalu membuatku kembali bersemangat untuk tetap andil dalam membantu persiapan mereka termasuk mencarikan pengganti ku dan gitaris ku. Dan alhamdulillah, sehari setelah berita penugasan itu aku terima, aku juga berhasil meminang seorang adik kelas untuk mengisi posisi gitaris yang sebenarnya berencana untuk off di ajang ini karena besok pagi harus terbang ke New York mengurus kerjaan kantornya. Aku juga berhasil membujuk panitia agar memberi lampu hijau bagi seorang bassis dari grup lain untuk juga bermain di grup ku mengingat situasiku yang bisa dianggap Force Majeure ini.

Lucunya...manuver cepat di tengah kegentingan ini justru memompa antusias dan semangat bandmates ku, sehingga di minggu terakhir kemarin tiga kali latihan yang dilakukan dihadirin semua bandmates ku termasuk para musisi penggantinya. Effort berlatih mereka juga lebih besar dari yang pernah mereka berikan selama persiapan menuju ajang-ajang sebelumnya. Aku melihat bagaimana mereka lebih mudah menerima kritikan dan lebih berusaha memperbaiki kekurangannya. Karena itulah latihan mereka jadi terasa lebih kritikal dan memberi manfaat lebih banyak bagi persiapan mereka. Sepertinya memang untuk menuju ke ajang ini, perjuangan kami semua lebih berat. Hasilnya, latihan terakhir semalam berakhir memuaskan...yang pasti buatku. Mereka menyatakan lebih siap dan bersemangat ketimbang menjelang ajang-ajang yang lalu. Ini yang menimbulkan adanya sedikit kekecewaan dalam diriku atas akan absennya aku menjadi bagian dari penampilan mereka nanti malam.

Tapi tak mengapa...
Jalan yang sedang kami lalui memang berbeda dan masih belum terlihat ujungnya. Sejauh ini ada kekecewaan dan ada juga kepuasan yang kami dapat. Kami dapat masalah, kami pun dapat solusi dalam mengatasinya. Hal-hal yang tidak diharapkan terjadi bisa setiap saat menjadi penghalang di depan kami. Aku tidak tau akan bagaimana hasil dari perjalananku dalam mengemban tugas ini, dan aku tidak tau juga akan seperti apa penampilan mereka nanti malam. Para penggede yang akan aku temui bisa mendadak berhalangan, sementara masalah teknis dan sound system juga masih bisa jadi batu sandungan buat penampilan grup band ku. Yang aku tau, semua sudah diatur sempurna olehNya. Jadi kun fayakun...aku hanya perlu berikhtiar dan bertawakal saja. 
 
 

Wednesday, March 8, 2017

Menunda dan Konsekuensinya

Aku berusaha untuk menjalani hari-hariku sehemat mungkin setelah keadaan finansialku memburuk dalam tiga tahun terakhir ini. Aku merasa bahwa aku bukanlah tipe Big Spender, namun kuakui bahwa aku acap membeli barang murahan yang sebenarnya tidak terlalu penting buatku hanya untuk memanjakan ego saja. Misalnya membeli gorengan dikala aku tidak lapar hanya karena harganya lebih murah dari harga umumnya. Tak jarang keputusanku itu berujung dengan kekecewaan karena ternyata rasanya tidak memuaskan. Atau satu set obeng kecil a la kawe sekian yang harusnya bisa bermanfaat untuk membuka sekrup kacamata tapi langsung rusak ketika pertama kali digunakan.

Setahun lalu ketika aku sedang sangat kesal dengan layanan provider Indosat yang sering mandek saat sedang sangat dibutuhkan, di sebuah warung makan kecil di daerah seputar Tasikmalaya aku bertemu dua orang marketing Telkomsel yang menawarkan kartu SIM Abondemen versi baru yang bisa aku tentukan sendiri nilai tagihan pokoknya. Karena harga terendahnya cukup murah dengan quota data dan telpon yang cukup memadai buatku maka aku membelinya untuk menggantikan kartu SIM Indosat yang saat itu sudah siap aku ganti. Nah...maka sejak saat itu aku kembali menjadi pengguna kartu SIM abondemen Telkomsel setelah hampir satu dekade sejak aku memutuskan untuk hanya melulu menggunakan versi Pra-bayar.

Aku memilih paket bulanan termurah sebesar enampuluh ribu dengan quota internet sebesar dua giga. Sebenarnya mungkin besarnya quota sekilas terlihat tidak ideal buatku mengingat ramainya traffic internet yang aku gunakan. Apalagi dengan beberapa grup Whatsapp yang aku ikuti yang memakan banyak quota atas media-media foto dan video postingan anggota lainnya. Namun karena aku berkantor di rumah, kondisiku cukup aman dengan adanya jaringan Wifi dari MNC yang secara bersamaan memberikan layanan cable TV di rumah. Jadi praktis layanan internet dari Telkomsel ini hanya aku butuhkan di luar rumah ketika tak ada jaringan Wifi yang bisa aku tumpangi.

Pada saat quota internet atau telpon dari Telkomsel ini habis terpakai sebelum memasuki masa putaran baru untuk bulan berikutnya, aku dapat membeli tambahan paket data atau telpon dengan pilihan harga dan quota, yang masa berlakunya hingga memasuki putaran baru. Jadi memang aku harus pandai-pandai memilih paket tambahan ini sesuai dengan kebutuhan di sisa periode bulanannya. Khusus paket tambahan datanya, otomatis akan terhenti ketika putaran baru mulai bergulir. Artinya, berapapun besarnya quota yang tersisa dari paket ini akan hangus. Namun di lain kasus, paket tambahan lainnya seperti telpon ke sesama nomor telkomsel, ke provider lain, ke nomor rumah dan sms, tidak otomatis terhenti. Jumlah durasi telpon atau jatah sms yang tersisa di akhir periode memang juga akan hangus, tapi jika aku tidak meminta pihak Telkomsel untuk menghentikannya maka paket-paket itu akan secara otomatis diperbarui. Disinilah aku harus ekstra waspada karena jika aku lupa menghubungi pihak Telkomsel di akhir periode, aku akan memasuki putaran baru dengan paket bulanan yang aku pilih, plus paket-paket tambahan yang belum tentu akan aku butuhkan di periode bulan berikutnya. Ini yang terjadi kemarin padaku.

Di bulan lalu, layanan  dari MNC sempat dua kali terputus karena adanya gangguan teknis dari pusatnya. Lebih apesnya lagi, putusnya layanan ini berlangsung hingga 3-4 hari setiap kalinya. Jadi dalam sebulan yang jumlah tanggalnya hanya duapuluh delapan hari itu aku mendapat layanan internet dan cable selama hanya duapuluh satu hari. Situasi ini yang membuat quota internet dan telponku dari Telkomsel terkuras habis sehingga aku harus membeli beberapa paket tambahan sesuai kebutuhan untuk melancarkan usaha apapun yang aku jalani. Dan saat aku membelinya, aku sudah mewanti-wanti diri sendiri untuk tidak lupa meminta Telkomsel menghentikan layanan paket-paket itu sebelum periode baru dimulai. Aku bahkan sudah menyeting sebuah reminder di hape-ku dan tak ada yang salah dengan hape-ku. Yang salah adalah bahwa aku mengabaikan reminder hape-ku yang tepat waktu mencoba mengingatkanku di saat aku tengah mengerjakan sesuatu yang harusnya bisa aku tunda selama sepuluh menit saja. Dengan penuh keyakinan aku akan segera menghubungi Telkomsel setelah aku tuntaskan dahulu apa yang sedang aku kerjakan sehingga aku tak mengaktifkan mode Snooze. "Mana mungkin aku lupa. Untuk apa aku aktifkan fitur Snooze-nya? Toch sebentar lagi juga aku selesai, lalu baru aku hubungi Telkomsel", pikirku sambil terus bekerja. Memang tak sampai lima menit kemudian aku telah menuntaskan apa yang aku kerjakan, tapi aku langsung melakukan hal baru lainnya tanpa ingat tentang Telkomsel hingga pagi ini. Hasilnya...aku telah memulai putaran periode baru dengan paket-paket tambahan yang harusnya bisa aku hindari jika saja aku tak menundanya.

Well...inilah konsekuensi yang harus aku tanggung sekarang atas kesombonganku terlalu percaya diri di saat yang salah. Sepuluh menit yang harusnya mudah untuk diluangkan telah aku abaikan begitu saja sehingga aku bisa saja telah menciptakan kesulitan buatku sendiri di depan sana dengan tagihan bulanan yang membengkak. Aku meremehkan peringatan dari hape-ku karena aku tak bersedia meninggalkan sejenak saja apa yang tengah aku kerjakan. Kepuasanku dalam membereskan pekerjaanku itu besarnya jadi tak sebanding dengan kekecewaanku pada kebodohanku yang sepele itu. Itu negatifnya.
Positifnya...kejadian ini mengingatkan aku bahwa ada hal semirip ini yang jauh lebih serius dalam hidup. Terbayangkah oleh kita besarnya konsekuensi yang kita pertaruhkan ketika kita melakukan penundaan untuk melakukan perintahNya? Bagaimana jika kita berniat menunda lima menit saja untuk melakukan perintahNya namun ternyata yang tersisa dalam hidup kita hanya empat menit? Taruhannya bukan lagi hal duniawi....FOREVER!!



Thursday, February 16, 2017

Gembira Untuk Teman

Tak banyak sosok apalagi teman yang aku kagumi cara berpikirnya. Mungkin bisa dihitung dengan jari di satu tanganku. Aku memang "a sucker" for orang yang mampu menghargai prinsip orang lain. Tak harus pintar, tapi kalaupun pintar dan bahkan punya prinsip hidup yang njelimet buat aku, asal mereka bukan tipe orang yang memaksakan orang lain untuk mengakui kebenaran prinsip mereka, buat aku aman-nyaman saja untuk diajak berteman. Artinya, mereka mudah dan enak diajak berdiskusi dan bertukar pikiran. Malah seringkali kerendahan hati mereka ini yang membuatku mudah mengagumi prinsipnya dan menganggapnya lebih baik dari prinsipku.

Salah satu diantara mereka ini sudah aku kenal sejak sekitar tujuh tahun yang silam. Pertemanan kami mengalir dengan mulus karena ia seorang pendengar yang baik. Tak hanya rajin mendengarkanku, ia juga dengan humble memberi asupan padaku bila memang dirasa perlu. Humble-nya ini yang sering membuat aku menganggap prinsipnya mudah aku terima sehingga layak untuk aku coba ikuti. Hal lain darinya yang mengagumkanku adalah bahwa ia tak mudah begitu saja memberitakan hal-hal baik yang terjadi padanya meskipun sebenarnya itu bisa membuatku ikut senang. Dengan kata lain, ia mungkin lebih memilih menyimpannya dalam hati ketimbang terkesan menyombongkan diri.

Tiga hari yang lalu, tiba-tiba ia mengabariku bahwa ia akan segera berangkat untuk menunaikan ibadah Umrah-nya sekaligus meminta maaf atas kesalahannya padaku. Huuuft...!! Kabar ini begitu mengejutkanku sekaligus membuatku sangat senang. Bagaimana tidak? Aku pernah beberapa kali mengutarakan keinginanku untuk kelak pergi Umrah bersama tapi ia selalu mengelak dengan alasan hati dan pikirannya belum siap untuk menjadi tamu Allah. Dan kini, ia pun menunggu hingga H minus dua untuk mebagi berita menggembirakan ini. Ketika kutanya, ia menyatakan bahwa ketika seorang kawannya menawarkan sponsorship untuknya, ia tak kuasa menolak undangan Allah, tapi ia juga sekaligus tak merasa nyaman untuk menyebarkan beritanya sebelum semua persiapannya sudah bisa memastikannya untuk berangkat. As simple as that!

Well...tak sedikitpun kekecewaan ada padaku hanya karena ia akan pergi sendiri dan bukan denganku. Alasan aku mengandaikan kepergiannya bersamaku dulu itu murni karena aku ingin sekali ia mengunjungi tanah suci dan menjalani prosesi ibadah Umrah agar ia juga mungkin bisa dapat pembelajaran yang bermanfaat seperti yang telah aku dapatkan. Dan aku tak harus jadi orang yang membawanya kesana dan menemaninya ketika ia menjalaninya. Buatku, yang penting adalah kelancarannya dalam menjalani pengalaman itu dan apa yang mungkin didapatnya untuk bisa menjadikannya orang yang lebih baik dan bijaksana. Karena bila dan ketika itu terjadi, aku akan mungkin belajar lebih banyak darinya untuk kebaikan hidupku sendiri.

Jadi, tak ada rasa lain yang kurasakan selain rasa gembira yang tak terkira dan rasa syukur atas keberangkatannya untuk menempa ilmu kehidupan.
Selamat jalan, teman. Selamat menjadi tamu Allah dalam menunaikan ibadah Umrah. Semoga perjalananmu lancar dan segala urusanmu diberi kemudahan olehNya sehingga kau bisa kembali ke tanah air dengan keadaan selamat dan sehat, dan menjadi manusia yang lebih baik di jalanNya...aamiin.



Friday, January 27, 2017

Imbang Yang Lainnya

Laptop ku sudah menyala sejak sekitar satu setengah jam yang lalu namun aku belum sempat menggunakannya karena ada urusan-urusan yang harus aku lakukan. Seperti layaknya tiap Selasa pagi, aku harus membagi dua tumpukan cucian yang ada mengingat banyaknya aktifitas  di luar rumah yang dilakukan anggota keluargaku di hari Senin sedangkan keterbatasan kapasitas mesin cuciku tak mungkin mampu mengilingnya sekaligus dalam satu kloter saja. Belum lagi seragam putih-putih kedua putraku yang harus dikucek secara manual sebelum masuk ke dalam mesin cuci. Maklumlah...namanya juga anak laki, tak terlalu menghiraukan semudah apa seragam putihnya jadi kotor sehingga mereka bisa duduk dimana saja termasuk di lantai yang berdebu.

Aku memang tidak melakukan tugas masak memasak, tapi aku yang lebih sering mencuci perangkat memasak dan makan tiap harinya. Hal ini aku lakukan sejak aku berkantor di rumah sekitar dua tahun yang lalu. Buatku, sedikitnya hal-hal itulah yang bisa aku kontribusikan untuk rumah tanggaku selain kewajibanku menafkahi keluargaku. Seperti halnya istriku, aku juga tidak suka melihat adanya tumpukan cucian atau rumah yang berantakan. Dan aku tak ingin semua pekerjaan rumah melulu digarap istruku, apalagi ia juga punya kegiatan berbisnis yang sering menyita waktunya. Jadi semua pekerjaan ini aku lakukan dengan senang hati tanpa mengeluh.

Gerimis yang acap datang dan pergi sejak subuh sedikit menambah pekerjaanku pagi itu. Awan mendung yang tersebar tak merata di langit membuat aku harus bolak balik menggeser jemuran. Bagaimana tidak? Gerimis bisa turun bersamaan dengan sinar matahari yang kadang tak ditutupi awan. Dan pagi itu semua harus aku tangani sendiri karena memang hanya aku sendiri yang ada di rumah. Sebelum berangkat, istriku sudah menyiapkan lauk untuk makan siangku dan kedua putraku, dan juga meninggalkan tumpukan perangkat masaknya di wastafel dapur bersamaan dengan piring dan gelas yang dipakai kedua putraku untuk sarapan.

Dan ketika aku akhirnya bisa meletakkan mug berisi kopi yang barus saja aku seduh dan duduk di depan laptop ku, rasa sangat senang itu hadir dalam diriku. Aku senang karena semua tugas yang harus aku lakukan sudah tuntas. Dari mengucek seragam putra-putraku, dua kali menggiling tumpukan pakaian kotor lalu menjemurnya sambil berkali-kali menggeser jemurannya agar mendapat sengatan sinar matahari yang cukup atau mengamankannya dari gerimis, mencuci perangkat masak dan makan minum, sampai memasak nasi dan air panas untuk stok sepanjang hari termasuk kopi buatku sendiri.

Aku yakin rasa kesenangan ini tidak akan hadir jika semua itu aku kerjakan dengan terpaksa. Keihlasan yang megiringiku dalam beraktifitas pagi ini yang membuatku merasa tak terbebani. Aku senang melihat cucian bersih yang terjemur di halaman rumahku, perangkat masak dan makan yang menanti kering di rak cucian di dapur, termos air panas yang mengebul jika dibuka, dan rice cooker yang tengah dalam proses mematangkan beras yang telah aku cuci. Dan kesenangan ini pula yang sempat membuatku duduk terdiam sejenak memandangi dari jendela ruang kerjaku awan mendung yang masih berserakan di langit, sambil mensyukuri berkah dariNya sehingga aku masih bisa melakukan itu semua dan berkesempatan untuk menikmati kopi pagiku.


Tak sedikit memang kesulitan yang tengah aku hadapi belakangan ini, tapi bila aku bijaksana, aku bisa tetap merasakan kebahagian dalam hidupku dengan cara berikhlas dalam menjalani kehidupanku. Sekali lagi ini bukti bahwa bersabar dan bersyukur itu selayaknya dilakukan berbarengan karena selalu ada saja hal yang harus disabari dan ada yang harus disyukuri pada waktu yang bersamaan. Itulah yang mem-balance-kan hidup.


Monday, January 23, 2017

Sariawan

Seminggu yang lalu, putra sulungku mengeluhkan sariawannya. Rupanya sudah sangat mengganggu sehingga makanan kegemarannyapun tak lagi bisa dinikmatinya. Aku paham sekali bagaimana rasanya diganggu sariawan yang seakut itu mengingat aku termasuk orang yang acapkali dititipi sariawan. Apalagi ketika aku terkena cacar air, almarhumah ibuku sengaja memberiku minuman Wedang Asem yang konon dapat menstimulasi semua bakteri yang mungkin tersimpan di dalam tubuhku agar keluar sekaligus sehingga aku tak akan pernah terjangkit lagi kelak di suatu hari nanti. Ketika itulah bakteri yang dimunculkan tak hanya berupa cacar di kulit tapi juga dalam wujud sebelas buah sariawan di dalam mulutku termasuk di lidahku. Otomatis berat badanku susut drastis karena aku kehilangan nafsu makan.

Peristiwa ini yang kugunakan untuk menghibur putraku dengan harapan ia mampu bersabar menjalani hari-hari bersariawannya. Aku juga terus mengingatkannya bahwa sariawan merupakan suatu penyakit ringan yang tidak mematikan namun amat sangat mengesalkan. Terkadang dengan posisi yang sangat tidak menguntungkan, penderita jadi enggan membuka mulut. Jangankan untuk mengkonsumsi makanan, untuk berbicarapun menjadi sulit dan menyakitkan. Aku sendiri masih belum pernah dapat pengobatannya yang bisa dianggap mujarab meskipun sudah banyak metode aku terapkan. Bagiku, penanganan paling tepat adalah dengan bersabar alias nrimo alias pasrah...itu saja. Karena sariawan sekecil apapun bisa bertahan lama meskipun sudah dicoba disembuhkan dengan berbagai cara atau dilain sisi, tanpa kita duga, yang akutpun bisa suatu ketika hilang begitu saja dalam sekejap meski kita tak mencoba menyembuhkannya.

Penyikapan terhadap sariawan ini sebenarnya bisa diaplikasikan juga di masalah finansialku yang hingga kini masih belum menunjukkan gejala pemulihan. Sudah banyak hal yang aku coba usahakan demi perbaikannya namun tak satupun membuahkan hasil. Kalau sekedar mengurangi beban, alhamdulillah kerap ada saja rezeki yang datang tanpa terprediksi sebelumnya. Nah ketika itulah aku menyadari bahwa rezeki yang hadir ataupun pemulihan total yang belum menghampiriku tak selalu disebabkan oleh ada atau tidaknya upaya dariku selain berdoa tentunya. Doa inilah yang tak mungkin bisa disangkal kehebatannya karena hal itulah yang mengindikasikan kepasrahan kita pada Yang Maha Kuasa. Bukankah semua yang terjadi memang sudah dirancang olehNya? Kita boleh jungkir balik atau hanya duduk terdiam saja dalam menyikapi segala permasalahan yang kita hadapi, namun solusinya ada di tanganNya.

Jadi...meski aku ingin sekali memberi asupan metode yang bisa langsung menyembuhkan sariawan putraku, aku hanya bisa menyarankannya untuk berdoa meminta kesembuhan kepadaNya. Aku tak melarangnya untuk melakukan upaya pengobatan apapun namun aku mengingatkannya untuk tidak mengeluh jika kesembuhan itu memang belum jadi miliknya.
Sabar ya nak....


Friday, January 20, 2017

Selalu Ada Yang Bisa Disyukuri

Keberuntunganku dalam hal mengatasi masalah finansialku masih belum bisa dianggap membaik. Itu sebabnya aku masih acap menggunakan layanan GoJek untuk keperluan sehari-hari termasuk mengantar dan menjemput putra-putraku ke dan dari sekolah tiap hari. Dan kemarin aku harus beberapa kali mengorder layanan GoJek untuk kebutuhanku sendiri dalam mengurus beberapa transaksi perbankan di beberapa bank.

Salah satu bagian dari rute yang terjadwal, aku harus melakukan perjalanan dari Gedung Setiabudi di jalan Kuningan ke sebuah cabang BCA di kawasan Tebet yang akan aku lalui dalam perjalanan pulangku. Dalam  upaya menghidari kemacetan di jalan Kuningan ketika menuju gedung Setibudi, driver GoJek yang mengantarku melintasi jalan pintas di samping jalan Kuningan. Dan saat itulah aku menyadari bahwa ada sebuah kantor cabang BCA yang letaknya sekitar satu setengah kilometer dari gedung Setiabudi. Maka akupun langsung memutuskan untuk menyinggahinya seusainya urusanku di gedung Setiabudi.

Satu setengah kilometer bukanlah jarak yang pendek untuk dilalui dengan berjalan kaki di bawah teriknya matahari. Namun aku juga berpikir bahwa tidaklah ideal untuk tetap menggunakan layanan Gojek untuk   jarak sependek itu. Meskipun aku bisa mendapatkan potongan setengah harga tarif yang berlaku, dengan kondisi finansial yang (masih) seperti ini, hal itu jadi terlalu disayangkan untuk dilakukan sehingga akupun memutuskan untuk berjalan kaki saja.

Di bawah sengatan sinar matahari, sambil menyusuri jalan yang tak lagi dihiasi banyak pepohoann berimbun, aku terus memikirkan perjalanan roda kehidupanku dan bagaimana aku bisa terus bertahan menjalaninya. Sambil berulang kali menyeka peluh di muka ku dengan sebuah handuk kecil yang selalu aku siapkan dalam tas ku, aku berusaha untuk tidak mengasihani diri sendiri. Yang aku coba pikirkan hanyalah hal apa saja yang bisa membuatku bersyukur supaya perjalananku tidak terasa melelahkan.

Dan sesampainya aku di rumah, rasa bersyukurku makin besar karena gambling-ku atas jemuran cucian yang ketika aku pergi sengaja tidak aku amankan dari kemungkinan dibasahi hujan sudah kering total. Tak seperti hari-hari sebelumnya, kemarin matahari bersinar terik seharian penuh sehingga tak hanya jemuran cucian yang sudah kering di tengah hari, seluruh aktifitasku juga berjalan menyenangkan..termasuk mengendarai motor GoJek berulang-ulang dan berjalan kaki sejauh satu setengah kilometer. Alhamdulillah...


  
 

Tuesday, January 10, 2017

Kambing Hitam

Kalau boleh aku memberi penilaian pada diri sendiri, seingatku...hingga aku duduk di kelas dua SMA, aku punya tabiat buruk yakni selalu mencari kambing hitam ketika aku melakukan kesalahan. Bukan karena dendam atau niat hendak mencelakakan pihak tertentu, namun simply karena aku tak ingin disalahkan saja. Biasanya, aku secara instan langsung menunjuk pihak lain, yang bisa aku kaitkan dengan kasus yang tengah diperkarakan, sebagai penyebab aku melakukan kesalahan yang dituduhkan kepadaku.

Aku ingat sekali moment penting yang membuatku sadar dan berniat untuk menghilangkan tabiat itu adalah ketika adikku yang saat itu sedang aku incar untuk dijadikan korban, tak seperti sebelumnya, ketimbang mempertanyakan alasan tuduhanku kepadanya, justru melontarkan sebuah kalimat yang benar-benar menohok ku.
"Kalau memang salah, nggak perlu dech nyalahin orang lain lagi. Sukurin loe sekarang..."
Kalimat itu membuatku sadar bahwa aku terpojok dan memang harus menanggung akibat dari kesalahan yang sudah aku buat.

Setelah kejadian itu, pahit memang rasanya menerima kenyataan bahwa setiap aku bersalah, aku harus menerima dampak dan resikonya. Namun akupun akhirnya terbiasa dengannya dan hal itu bisa aku terima dengan legowo sampai sekarang...alhamdulillah. Aku menganggap di titik balik itulah aku mengalami perubahab drastis sebagai salah satu bagian dari proses pendewasaan yang tengah aku lalui. Maka semakin hari, aku semakin mengerti pentingnya mengakui kesalahan tanpa sedikitpun mencoba berdalih sebagai upaya pembelaan.


Dengan pengertian itulah aku mencoba menjalani masa-masa (setengah) tua ku, termasuk dalam melakukan kerja apapun. Biarlah kebodohanku mempraktekkan tabiat buruk itu hanya mengisi masa mudaku dulu.
Lucunya...aku masih bertemu banyak orang yang punya sifat "nge-les" dengan cara mengkambing hitamkan pihak lain justru di usia mereka yang lebih kurang sebayaku. Yaah..mungkin karena belum pernah kesentil... :p