Monday, June 1, 2020

Nyampah

Aku capek.
Tak mungkinlah aku membohongi aku sendiri. Bisa jadi di luaran sana aku terlihat mapan tanpa kesulitan apapun. Senyumku bisa mengisyaratkan seolah aku tak menanggung beban yang begitu berat di pundakku. Tapi apa yang sedang aku hadapi sejak sekitar setengah tahun terakhir ini benar-benar menguras energi mentalku. Dan aku merasakan sekali bagaimana otakku sudah sering tidak mudah diajak kompromi. Ujian-ujian yang ada itu datangnya beruntun tanpa kenal jeda waktu. Namun lucunya...setiap aku siap menyerah, ada saja hal yang bisa menyadarkanku dan membuatku tidak keluar jalur.

Seolah aku ini memang sedang diperlakukan bak layangan yang harus sering ditarik ulur agar bisa mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Proses yang terjadi pada layangan itu sangat mungkin berarti melibatkan layangan lain yang harus dihindari agar tidak saling bersangkutan gelasannya. Belum lagi layangan-layangan yang memang sengaja dimaksudkan untuk mengintimidasi. Makin tinggi posisinya pun berarti makin kencang angin yang ditemui. Kencangnya angin ini bisa mendorong layangan lebih pesat ke atas, atau malah ke bawah. Kuncinya ya seberapa pintar (dan bijaksana) layang itu dikendalikan.

Begitulah aku sering disadarkan. Tentunya di balik semua kesulitan yang aku hadapi ada hikmah yang (harusnya) bisa aku dapatkan. Karena mendesaknya waktu, aku sering lupa bahwa solusinya tidak selalu bersifat instan. Secara alamiah, aku inginnya dapat jalan keluar yang cepat sehingga kesulitanku segera teratasi. Kalau itu memang tidak terjadi, masalahku mudah jadi bertambah dan aku terperosok ke lubang yang lebih dalam. Otomatis hati yang memanas ini dengan mudah memprovokasi logikaku untuk malas berfungsi dengan baik.

Bagaimana tidak ingin kesal jika setelah aku mencoba wira wiri kesana kemari berusaha mencari jalan keluar, aku tetap ditempatkan di ujung jalan yang buntu? Cukup masuk akalkah bila aku lalu kembali mempertanyakan keampuhan segala doa yang telah aku panjatkan tapi nyatanya belum memberi feedback yang berarti?



Ungkapkan

Sesungguhnya tidaklah sulit bagimu untuk melepasnya. Apa lagi yang kau inginkan darinya jika kau tak lagi melihat dirinya sebagai sosok yang kau lihat seperti sebelumnya? Kalau memang minatmu pada apa yang ditawarkannya kian terkikis sedikit demi sedikit hanya karena kau terlalu sibuk dengan yang lainnya, apa pula yang kau harapkan dari kehadirannya dalam hidupmu yang semakin kau padatkan dengan urusan duniawimu?

Bila engkau tak mampu lagi menyejukkan hatinya atau sebaliknya, biarkan dia mengetahuinya agar hatinya juga tak lagi gundah menanyakan kepedulianmu. Dinginnya sapaanmu dan tajamnya kata-katamu bisa saja telah mengoyak-ngoyak batinnya yang seharusnya mendapatkan ketenangan darimu. Namun jika engkau memang masih ingin dia menjadi bagian penting dari hari-harimu, naungilah dia dengan payung cintamu dan biarkanlah dia mewarnai hidupmu dengan cintanya.

Cinta yang kau dapat darinya dan kau berikan kepadanya itu toh bukan karena paksaan, jadi kau pun tak perlu memaksakan diri untuk mempertahankannya. Cinta itu bersemi karena kau dan dia saling menikmatinya, sehingga kenikmatan yang telah berubah menjadi kesemuan harusnya sudah cukup menjadi alasan buatmu untuk melepasnya. Janganlah kau berkutat dengan alasan lain hanya untuk melindungi perasaannya karena waktu yang kau sita darinya hanya akan menjadi virus yang kelak mematikannya dan mematikanmu..



Logo Baru

Masih seputar pembicaraan tentang kenangan tempo doeloe yang selalu enak buat dibahas antar mereka yang beruntung pernah mengalaminya.

Ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, orangtuaku sering mengajak aku dan semua kakak dan adikku berkeliling kota pada malam hari, khususnya malam minggu. Tidak ada acara istimewa yang kami lakukan di waktu-waktu seperti itu karena aktifitas tersebut dijalankan hanya untuk menikmati kebersamaan yang buat orangtuaku sebuah prioritas sambil mencuci mata. Tongkat persneling yang terletak di belakang stir memungkinkan jok panjang ditempatkan juga di bagian muka sehingga mobil dapat dengan mudah dimuati oleh kedua orangtua dan 6 anaknya yang umunya terbilang masih kecil. Rute utama ritual "puter-puter" ini difokuskan ke wilayah seputar jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk yang kala itu merupakan "pusat kota". Sepanjang jalan-jalan ini dipenuhi toko, restoran, klub malam bahkan casino yang tidak tanggung-tanggung memakai sign board ukuran besar terbentuk dari lampu-lampu neon berwarna-warni dan bisa menyala bersamaan atau bergantian dan berkelap kelip. Situasinya hampir menyerupai strip utama di kota Las Vegas dan Atlantic City di Amerika, Monte Carlo di Perancis atau kota-kota perjudian lainnya.

Mungkin cara seperti itu dibutuhkan untuk lebih menegaskan logo dan icon usaha yang awalnya memang cukup padat bahkan terkesan njelimet. Sebagai contoh saja, sign board rokok djarum bisa menunjukkan figur kartun orang yang tengah merokok, lalu berganti menjadi tanda tanya, dan berganti lagi menjadi logo simbol padi dan kapas yang banyak digunakan juga di lambang-lambang instansi pemerintahan. Lampu ikon padi bisa menyala satu demi satu mulai dari daun pertama hingga semua daun menyala seperti halnya icon kapas.
 
Aku ingat dipertengahan tahun 80-an, aku dan seorang temanku dimintai tolong oleh teman kami lainnya untuk merancang logo toko yang baru dibukanya. Toko ini akhirnya memang menjual aneka ragam pernak pernik memorabilia dari mainan anak hingga perhiasan mahal, namun awalnya hanya melulu menyediakan keranjang parsel yang dibuat sesuai permintaan pelanggan dan event.

Seminggu kemudian aku sudah membuat dua atau tiga buah pilihan desain yang didasari konsep keranjang parsel dan/atau inisial nama tokonya. Baik aku maupun si pemilik toko sempat bingung melihat desain yang dibuat temanku itu karena kami tidak dapat menarik benang merahnya dengan usaha ataupun nama tokonya. Aku memang kurang bisa menerima alasan yang mendasari logonya, tapi aku hanya terdiam karena aku selalu beranggapan bahwa semua orang punya taste masing-masing. Pendek kata, si pemilik toko menilai desainnya kurang merepresentasikan usahanya mengingat ia harus mendapat penjelasan terlebih dahulu untuk dapat mengerti arti desain tersebut, sehingga akhirnya desainku yang meski artistik namun jelas terlihat sebagai sebuah keranjang.

Satu hal yang aku ingat adalah pernyataan temanku itu tentang gaya pendesainan baru yang mulai diterapkan di beberapa hal yang ia prediksi akan menjadi sebuah trend dalam waktu dekat. Ia memberi contoh maskapai Garuda Indonesia yang telah menggunakannya di logo yang belum lama menggantikan logo lamanya. Aku tidak menentang pernyataan tersebut karena aku juga melihat indikasi bahwa gaya seperti itu mulai banyak digunakan. Penggantian logo-logo perusahaan yang dipelopori oleh banyak pendesain dari luar negeri seperti halnya yang dialami logo maskapai Garuda Indonesia, yang dirancang oleh orang yang sama dengan yang merancang logo baru untuk maskapai Singapore Airlines, Thai Airlines dan beberapa maskapai lain ini jadi lebih artistik. Warna yang digunakannyapun mengandung makna baru yang mungkin sebelumnya tidak digunakan.

Namun sejalan dengan itu, aku juga merasakan hilangnya makna yang sebelumnya lebih jelas tersampaikan terutama pada logo perusahaan milik pemerintah. Logo Garuda Indonesia itu sendiri contohnya, yang kemudian sama sekali tidak mengandung warna yang identik dengan Indonesia karena perisai berbendera merah putih yang tadinya terletak di tengah-tengah logo kini lenyap. Lalu logo Pertamina yang kini sekilas terlihat seperti tiga helai kain berwana merah, hijau dan biru sebagai pengganti logo lama yang mengandung dua kuda laut sebagai simbol kelautan sebagai tempat utama pendulangan minyak bumi, yang mengapit sebuah bintang yang menggambarkan kekuatan guna mencapai tujuan nasional, ditambah ornamen ornamen pita kuning khas logo klasik yang bertuliskan Pertamina. 3 elemen yang mirip 3 helai kain pada logo baru yang ternyata sebenarnya membentuk huruf "P" dan merepresentasikan bentuk panah yang artinya bergerak maju dan progresif. Sedangkan warna-warna itu masing-masing mengartikan, keuletan perusahaan (merah), lingkungan sumber daya energi (hijau) dan tanggung jawab (biru). Lucunya, kita tidak mungkin langsung menangkap itu semua tanpa mendapat penjelasan mendetil.

Yang pasti, banyak sekali logo baru yang menghilangkan elemen-elemen yang dahulu identik dengan simbol-simbol dalam Pancasila seperti bintang, padi dan kapas. Logo-logo baru ini memang terlihat lebih artistik tapi juga lebih simple. Pengindikasian makna perusahaan kini diwakili dalam bentuk yang cenderung artistik dan tidak mudah dikenali. Aku hanya khawatir jika untuk menyesuaikan diri dengan negara-negara yang lebih maju ikon-ikon yang identik dengan perusahaan yang selama puluhan tahun telah dipakai harus dihilangkan, generasi penerus kita juga akan buta terhadap maknanya yang sebelumnya dengan mudah membantu mengingatkan kita pada sejarah perkembangan negeri ini seperti halnya lambang Burung Garuda Pancasila yang sarat makna tentang Indonesia.

Entahlah. Semakin hari semakin banyak logo baru yang buatku tidak mudah ditarik maknanya jika memang ada makna dibaliknya. Bukannya aku anti logo yang artistik, tapi aku lebih memilih yang mudah dibaca orang banyak, baik itu tergolong simple atau njelimet. Artistik boleh, tapi tidak yang lebih mengedepankan seni nya ketimbang kemudahan dalam mengartikannya. Toch tak semua orang punya jiwa seni yang sama dengan seniman yang menciptakannya.



Memahami Musibah

Ada kejadian bunuh diri Jum'at kemarin yang sempat menghebohkan karena dilakukan secara live di facebook. Tentu saja rekaman itu lalu jadi viral sebelum akhirnya diblokir dibanyak situs demi etika. Paling yang tersisa hanya potongan bagian awalnya saja yang memperlihatkan korban memberi kata pengantar sebelum melakukan eksekusinya.

Banyak yang kaget dan menyesali insiden ini lalu memberi komen dukacitanya, tapi tak sedikit pula yang menghujatnya. Masya Allah...orang sudah meninggal koq masih dihujat?

Bisa jadi si pelaku ini memang sudah tak tahan menghadapi masalah dengan sang istri seperti yang diutarakan dalam video rekaman live-nya, namun di dalam Islam (agamnya), tindakan bunuh diri tidak dibenarkan...itu mutlak. Harusnya sebagai seorang Muslim, ia lebih bisa sabar dan bijaksana dalam menangani masalah hidupnya. Tapi menurutku, mau sesalah apapun ia, dan bagaimana nantinya ia mempertanggungjawabkan tindakannya itu, sebaiknya kita sebagai manusia beriman tidak melakukan hal yang negatif atasnya.

Aku membaca sebuah tulisan seseorang berkenaan dengan peristiwa ini yang diulasnya dengan baik. Penulis juga memberi beberapa contoh tentang kiat menghindari jebakan stres yang pernah ia terapkan pada kerabatnya. Ia bukan seorang Muslimah tapi tulisannya sejalan dengan ajaran-ajaran Islam. Sementara dari mereka yang menghujat dalam komen kebanyakan jelas-jelasan Muslim. Dalam Islam, bunuh diri memang dilarang. Namun bila itu terjadi pada orang lain, entah agamanya apa, sebagai Muslim harusnya tidak menghinakannya. Afterall, semua khan sudah diatur olehNya.

https://seword.com/umum/kasus-bunuh-diri-pahinggar-indrawan-menjadi-tamparan-keras-bagi-masyarakat/


Catatan: Draft 18 Maret 2017

Berpikir Terlalu Luas

Ketika baru masuk sekolah menengah kejuruan 3 tahun yang lalu, putra sulungku acapkali menyatakan atau melakukan hal-hal yang tidak rasional hingga aku harus sering mengingatkannya untuk memikirkannya dahulu sebelum diwujudkan dalam ucapan atau tindakannya. Kadang aku harus sampai mengomel saking kesal karenanya. Masalahnya, hal itu terlakukannya hanya karena ia enggan mikir panjang. Tak hanya ia memang seorang anak yang simpel, artinya cenderung sebagai doer ketimbang sebagai thinker, ia juga berada di zona usia yang sedang getol-getolnya terpaku perhatiannya pada gadget, sehingga fokus pada sekelilingnya menjadi sangat minim.

Bukannya aku ingin membandingkan dengan adiknya yang berbeda satu setengah tahun umurnya, tapi aku lebih sering menyerahkan tanggung jawab ke adiknya bila mendesak dan terpaksa. Bisa disimpulkan bahwa putra sulungku ini kurang mahir sebagai handyman, simply karena malas mikir saja. Apalagi kalau yang tengah ada di benaknya adalah hal lain yang baginya lebih penting seperti game di computer atau proyek pribadinya yang berhubungan dengan photoshop yang mulai gemar digelutinya sejak setengah tahun yang lalu.

Kemarin, aku berpapasan dengannya di rumah ketika aku hendak mengakali rantai pengikat pelampung dalam tangki kloset kamar mandi ruang tamu yang putus. Bukan kerusakan yang serius tapi terus menerus terjadi hingga aku sudah menyerah dan menerima saja fakta bahwa mungkin beberapa bulan lagi aku harus kembali membetulkannya. Memang...dengan mudah aku bisa saja mengganti suku cadangnya, tapi kondisi finansialku mengeliminasi opsi tersebut. Jadi aku perlu mengakalinya dengan barang apapun yang sudah ada di rumah sebagai alternatif-nya.

Masalahnya...air di rumahku itu tergolong air yang tidak sehat. Kiranya ada unsur logam yang tinggi terkandung di dalamnya sehingga apapun yang terendam di dalamnya tak berumur panjang kecuali jika terbuat dari bahan tertentu yang jelas-jelasan water-proof. Dan apapun yang tahan air yang aku perlukan berarti harus dibeli dulu dan pasti tidak murah.
Aku sudah mencoba menggunakan beberapa jenis material namun umurnya relatif pendek. Paling lama ya tiga hingga empat bulan sampai akhirnya berkarat atau keropos, mengingat hampir selama dua puluh empat jam terendam dalam air setiap harinya.

Dengan menggenggam seutas kawat dan sebuah tang sambil memasang wajah pasrah, aku menjelaskan kepada anakku ketika ia bertanya padaku apa yang sedang aku lakukan. Aku juga menjelaskan bahwa reparasi ini sifatnya sementara mengingat materialnya yang sudah beberapa kali aku gunakan sehingga aku hafal berapa lama bertahannya. Dan tanpa mengharapkan asupan ide yang bermanfaat darinya, aku berlalu menjauhinya yang masih berdiri di tengah ruang keluarga.
Tapi kemudian dari kejauhan ia bertanya, "Kenapa nggak pake isolasi tape yang buat kraan aja, Pa?"

Aku terhenti di depan pintu kamar mandi dan memutar badanku sambil berpikir, "Oh iya...bisa juga ya?".
"Yang warnanya putih itu lho, Pa...", katanya lagi setelah melihat aku memberi perhatian pada usulannya.
"Wow", pikirku. Aku takjub dengan pemikirannya sekaligus menyadari betapa bloonnya aku selama ini. Aku rasa memang selama ini aku mencoba mencari solusi dengan berpikir terlalu luas. 


Asian


Di era 80an, menjalani hidup di negeri Paman Sam bukanlah hal yang ideal bagi seorang mahasiswa. Buktinya, banyak teman seangkatanku yang tidak lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) atau kala itu sebutannya Sipenmaru, lebih memilih kuliah di perguruan tinggi swasta meskipun orangtua mereka lebih dari mampu untuk menutup biaya kuliah di luar negeri. Saat itu kehidupan di Indonesia terasa begitu nyaman untuk ditinggal studi selama lebih kurang lima tahun.
Banyak aturan yang mau tidak mau harus ditaati seperti misalnya dalam berkendara. Tak hanya aturan lalu lintas yang terbilang ketat, dokumen berkendara yang harus dimiliki juga lebih dari yang diharuskan di Indonesia. Selain SIM & STNK, semua pengemudi juga perlu memiliki bukti asuransi kendaraan. Sebenarnya saat itu, kepemilikan asuransi kendaraan bukan suatu keharusan kecuali pada situasi tertentu terutama ketika mengalami musibah karena hanya kepemilikan asuransi kendaraan lah yang dapat mengurangi bahkan menghilangkan beban biaya perbaikan/ penggantian yang harus ditanggung, bagi pihak manapun yang terlibat. Misalnya ketika terjadi kecelakaan antar 2 mobil atau lebih, bagi siapapun yang memiliki asuransi kendaraan, kerusakan kendaraannya akan ditutup sebagian atau seluruhnya oleh perusahaan asuransi penanggung yang menabrak atau yang ditabrak, tergantung dari kasusnya. Tentunya jika tidak terlindungi asuransi, maka apapun biaya kerugian harus ditanggung  koceknya sendiri. Begitu pula halnya dengan jika musibah yang tidak melibatkan pengemudi lain seperti pengrusakan mobil (vandalisme) atau pencurian.
Buat orang Indonesia (anak mudanya) yang mindsetnya terpaku pada pengiritan pengeluaran, kepemilikan asuransi ini sering dianggap sebagai beban. Ketimbang memikirkan akibatnya jika terjadi kecelakaan tapi terlindungi asuransi, kebanyakan lebih memikirkan betapa percumanya membayar premi asuransi tahunan jika ternyata selama setahun itu mereka tidak mengalami kecelakaan. Sehingga "awalnya" mereka lebih memilih tidak memiliki asuransi dengan harapan tidak akan tertimpa musibah.

Mengapa aku mengutip kata awalnya? Karena ada masa dimana peraturan bahwa kepemilikan asuransi itu bukanlah suatu kewajiban direvisi pemerintah setempat menjadi kewajiban yang kondisional. Kondisionalnya adalah bahwa setiap kali pengemudi dihentikan polisi, selain SIM & STNK, mereka juga wajib menunjukkan bukti kepemilikan asuransi. Jika tidak punya, maka tilang dikenakan. Jadi contohnya, jika kita dihentikan karena ngebut, dan kita tidak punya asuransi, maka kita akan kena tilang dua kali; berkendara di luar batas kecepatan dan tidak memiliki asuransi.
Lalu apa yang dilakukan anak-anak muda Indonesia? Ya mereka terpaksa harus keluar biaya lagi untuk memiliki asuransi kendaraan. Aku sebut terpaksa karena dasarnya memang tidak ikhlas. Ketidak ikhlasan inilah yang membuat mereka mencari cara supaya tidak merugi di penghujung tahun kepemilikan asuransi. Ada yang sengaja menabrakkan mobil hingga ringsek, ada pula yang mendorongnya ke jurang sehingga penggantian kerugiannya bukan berupa perbaikan di bengkel namun berupa tunai.
Ya begitulah opsi yang  ditawarkan pihak perusahaan asuransi dalam penggantian kerugian. Jika memang tidak mungkin lagi dimasukkan bengkel karena kerusakannya fatal, maka penggantiannya berupa dana sebesar harga pasaran mobilnya yang sudah ditentukan saat membeli asuransi. Jadi ketika melihat teman yang tiba-tiba ganti mobil, aku menebak mobilnya sudah dihancurkan sendiri dan diganti dana yang kemudian dipakai untuk beli mobil baru.

Suatu ketika, Wibi, roommate-ku kala itu, mobilnya raib dari parkiran kampusnya saat ia sedang kuliah. Apesnya, mobil itu tidak terasuransikan dan hal ini membuatnya sangat gundah. Ia bingung harus bagaimana mengabarkan hal ini pada orangtua nya. Ia harus mempertanggung jawabkan kepada orangtuanya atas dana yang pernah dikirimkan kepadanya untuk membeli asuransi yang kemudian justru dihabiskan untuk hal-hal lain yang tidak diperlukan. Kepadaku dan beberapa teman, ia meminta saran apa yang harus ia katakan pada orangtuanya. Roommate-ku lainnya, Sani, kebetulan punya koneksi dengan sebuah cabang perusahaan asuransi besar yang sudah dikenal di kalangan mahasiswa Indonesia sering membantu dalam kasus serupa. Caranya dengan membuatkan perjanjian pembelian asuransi dengan tanggal yang dimundurkan beberapa hari. Hal ini dilakukan agar terkesan bahwa saat musibah terjadi, korban sudah memiliki asuransi yang baru dibeli sebelumnya. Kenapa hanya beberapa hari? Saat itu belum ada yang namanya sistem online. Jadi segala proses transaksi apapun di semua sektor termasuk perbankan, dilakukan secara manual sehingga makan waktu beberapa hari. Jika, katakanlah musibah terjadi tanggal 10, lalu dibuatkan perjanjian seolah pembelian asuransi terjadi tanggal 7 atau 6 di sebuah kantor cabang, maka sangat lumrah jika laporan transaksi pembelian itu belum sampai di kantor pusat. Selama memang ada bukti transaksi resmi dari kantor cabang, maka transaksi itu dianggap sah dan asuransi dinyatakan aktif saat musibah terjadi. Nah, kepada cabang inilah Wibi diarahkan untuk mendapatkan solusi. Tapi seperti yang aku pertanyakan saat usulan itu dilemparkan, agak aneh juga jika ada cabang yang mau melakukan kecurangan seperti itu. Maklumlah, aku bicara tentang Amerika, negeri yang padat dengan penduduk yang jujur (atau takut melanggar hukum). Selidik punya selidik, ternyata cabang itu dimiliki oleh warga keturunan yang kalau dinilai dari aksen bicaranya, masih kental adat istiadatnya. Ya, satu cabang itu karyawannya satu ras, bahkan ada yang satu keluarga dengan pemiliknya, keturunan Filipina atau disana sebutannya Pinoy. Mungkin karena sama-sama perantau dari Asia Tenggara, bisa diajak "main".

Maka dengan hati gembira penuh harap, Wibi pergi ke cabang tersebut diantar Sani. Sepulangnya dari sana, antara senang dan kecewa, Wibi menyatakan bahwa ternyata nilai transaksi pembelian itu cukup mahal hingga tiga kali lipat dari nilai standardnya. Namanya saja lewat jalan pintas, pasti ada konsekuensinya yang tidak ringan. Tapi ia tetap gembira karena transaksi itu akan terjadi keesokan harinya setelah dokumen siap, yang artinya begitu perjanjian dan pelunasan dilakukan ia tak perlu khawatir lagi atas musibah itu. Malam itu, ia menelpon orangtua nya untuk mengabarkan tentang kehilangan mobilnya dan prosedur penggantian dengan mobil serupa yang baru atau sejumlah dana oleh pihak perusahaan asuransi bila mobilnya tidak ditemukan dalam tempo 30 hari ke depan. Tentu saja orangtuanya memaklumi keadaannya sekaligus bersyukur karena semua teratasi dengan baik tanpa perlu tau bagaimana sebenarnya cara penanganannya. Dan Wibi pun sibuk menggalang pinjaman dana dari beberapa teman guna pembelian asuransi yang tidak murah itu. Rencananya, keesokan siangnya sepulang dari kuliah ia akan pergi sendiri untuk melakukan transaksi pembelian asuransi tersebut.

Paginya, ia berangkat kuliah dengan semangat yang tinggi karena upaya pengumpulan dana sejak semalam akan terlengkapi oleh teman sekuliahnya di kampus. Sementara hari itu, aku sendiri tidak ada jadwal kuliah sehingga aku lah yang menerima telpon di tengah hari untuk Wibi dari kantor polisi. Rupanya kurang dari 24 jam polisi berhasil menemukan mobilnya, terparkir di sebuah sudut daerah yang terbilang kumuh, dengan empat ban serep yang terpasang sebagai pengganti ban utamanya. Sebagai catatan, ban serep mobil disana umumnya lebih kecil ukurannya dari ban utamanya. Dibuat lebih kecil karena sifatnya yang hanya terpasang sementara sampai ban utama yang digantikannya diperbaiki dan bisa dipasang kembali. Polisi menyatakan kepadaku bahwa jika Wibi masih menyimpan kunci serep mobilnya, ia dapat mengambilnya di garasi penampungan kendaraan yang diderek pihak berwajib karena setelah diperiksa tidak ditemukan indikasi penjarahan pada mesin mobil. Mungkin berita itu sewajarnya merupakan hal yang positif untuk orang yang kehilangan mobilnya. Apalagi ditemukannya dengan kondisi "hanya" tanpa ban utama karena banyak kasus mobil hilang yang ditemukan dalam kondisi tanpa roda dan hanya terganjal di atas tumpukan batubata. Aku sempat heran dengan ketelatenan si maling dalam menyiapkan bahkan memasang ke empat ban serep itu. Tapi untuk Wibi tentunya beda jika ia keburu melakukan transaksi yang nilainya jauh sekali di atas nilai 4 velg dan roda standard Honda yang hilang. Maka selesai menerima laporan polisi, aku segera berusaha mencari tau keberadaan Wibi dengan harapan bisa menghentikannya mengeksekusi transaksi pembelian asuransi itu. Namun dengan minimnya sarana untuk mencari Wibi yang seharusnya berada di kampus (jaman itu belum ada telpon genggam), usahaku buntu. Ada sejam dua jam aku hanya duduk di ruang tamu memandangi jalan menunggu datangnya Wibi. Ia datang diantar teman kuliahnya dengan wajah berseri². Dugaanku bahwa ia pasti sudah membereskan urusan asuransi mundurnya memang tepat. Dan kegembiraannya hilang saat aku menyampaikan kabar baik tapi buruknya.

Hingga sore hari, ia hanya merenung sambil sebentar² menanyakan solusi pada semua teman yang kian sore kian bertambah banyak di tempat kami tinggal. Tempat tinggal di ujung jalan di atas bukit ini memang terbilang nyaman buat dijadikan tempat hang out. Banyak teman yang suka nongkrong disini sampai larut bahkan kadang ada yang menginap. Itu sebabnya jika ada teman yang punya masalah, cenderung datang ke rumah ini dengan harapan dapat pencerahan dari yang kebetulan hadir. Sekitar maghrib, seorang teman datang selesai kuliah seharian. Bima memang bukan termasuk dari enam penghuni rumah ini tapi sudah seperti penghuni karena meski tempat mondoknya jauh lebih dekat ke kampusnya, ia lebih suka menginap disini karena merasa sulit beradaptasi dengan lifestyle keluarga bule pemilik tempat mondoknya yang dinilainya kaku. Ia akan pulang ke tempat mondoknya seperlunya dan biasanya di akhir minggu. Itupun hanya untuk rehat beberapa jam lalu pergi lagi dengan membawa pakaian bersih. Bima ini orang yang rajin kuliah dan tidak mudah ikutan begitu saja dalam kegiatan kami. Tergantung mood nya saja. Kami menyebutnya sebagai pertapa karena kalaupun sesekali ikut ke diskotik atau pesta, ia lebih suka duduk menyendiri di pojokan ruangan yang tidak ramai. Introvert sejati lah. Aku sendiri menduga disaat kesendiriannya itu ia banyak memikirkan tentang berbagai masalah dan mencari solusinya. Tak hanya masalahnya tapi juga milik orang lain yang diserapnya saat ada yang sedang curhat ke kami. Dan ketika kami memberinya update tentang situasi yang dihadapi Wibi, tanpa berpikir panjang ia langsung mengusulkan agar Wibi ikut dengannya ke bengkel langganannya tanpa memberikan alasan yang mendetil. Karena kami sudah paham dengan cara kerja Bima, kami tidak mempertanyakan lebih jauh tentang usulannya dan hanya ikut memberi support pada Wibi untuk menurutinya sesegera mungkin.

Di hari berikutnya, aku berangkat kuliah pagi bersamaan dengan keberangkatan Wibi dan Bima untuk mengambil mobil dari garasi penampungan. Aku di kampus hingga menjelang sore dan sampai di rumah sekitar pukul empat, mendapati Wibi, Bima dan dua teman lainnya sedang tertawa-tawa di samping mobil Wibi yang masih beroda ban serep. Serta merta aku langsung melihat kondisi mobil tersebut dan kaget saat mendapati bagian interior nya yang semrawut kondisinya. Hanya jok belakang yang masih terpasang, tanpa jok depan, tanpa radio/cassette player, tanpa speaker baik di belakang maupun di pintu depan, bahkan tanpa setir.
"Lhoh...katanya cuma roda aja yang diembat?", tanyaku. Mereka tertawa lalu Wibi menjelaskan dengan rinci seperti ini:
Untuk meminimalkan kerugian dari pembayaran premi asuransi yang besarnya bisa mencapai lima kali lipat dari kerugian aslinya, Bima membawa Wibi ke bengkel modifikasi langganannya. Rupanya pihak bengkel bersedia membuatkan bon pembelian ban dan velg yang harganya mahal, sehingga terkesan nilai kerugiannya lebih tinggi dari sebenarnya. Kemudian bon itu diserahkan ke cabang asuransi sebagai bukti bahwa kerugian Wibi tidak sekedar harga ban dan velg standar bawaan pabrik Honda. Pembelian itu dinyatakan terjadi di antara tanggal pembelian asuransi dan tanggal hilangnya mobil. Dengan begitu, pihak perusahaan asuransi tak punya celah untuk menolak penyerahan bukti tersebut.
"Lalu trus ini pada diembat juga ternyata?", tanyaku masih belum paham.
"Bukan diembat tapi kita yang nglepas tadi sebelum ke asuransi biar bisa sekalian di claim", jawab Wibi.
"Wah..segitunya? Sampai potong kabel segala?", tanyaku lagi setelah melihat banyak kabel buntung bergantung di lubang tempat radio/cassette player harusnya berada.
"Jadi gini...waktu tadi kita tarik dari garasi, sebenarnya speaker dan radio itu dalam keadaan tergantung. Kayaknya mau diembat juga tapi gak jadi, mungkin karena mereka gak mau motong kabel. Bima lalu punya ide supaya gak cuma minta bon untuk ban dan velg aja."
Memang biasanya aksesoris asli bawaan pabrik itu kabelnya tidak pakai sambungan. Jadi mungkin inilah yang membuat si maling mobil enggan untuk mengambilnya karena sulit untuk melego barang elektronik yang kabelnya buntungan, kecuali kalau menjualnya di Black Market (pasar gelap).

Aku tanya lagi, "Trus memangnya aksesoris nya apa aja yang loe claim?"
"Ya atas usulan orang bengkelnya Bima, gue dibikinin bon buat stir Momo, jok Recarro, radio/cassette/CD player Nakamichi, speakernya Bose semua depan belakang. Top of the line semua deh pokoknya.", kata Wibi bangga.
"Oh my! Trus, ban nya minta merk apa? Pirelli?", aku merespon bercanda.
"Iya lah. Sama velg nya BBS".
Aku berdecak kagum sambil menaruh curiga pada pemilik bengkel langganannya Bima, "Pinoy lagi ya? Atau malah Chicano (ras Meksiko)? Soalnya rada gak mungkin kalo bule".
Sambil nyengir Bima menjawab, "Bukan...Korean".
Dan kamipun tertawa bersama.

Dan ketika dua hari kemudian pihak asuransi telah memberikan penggantian berupa uang tunai sesuai dengan permintaan Wibi yang total nilainya jauh di atas nilai premi yang sudah dibayarkan, semua aksesoris asli bawaan pabrik Honda itupun dipasang kembali. Sedangkan dananya untuk mengganti yang dipakai membeli asuransi.

Orang Asia memang luar biasa.



Catatan: Beberapa nama dan kondisi harus diubah dalam menghormati privacy tokoh yang bersangkutan

Wednesday, June 12, 2019

Common Sense vs Keparat

Sekilas tampaknya tidak fair sekali jika aku menganggap Lebaran tahun ini merupakan yang tersuram dari yang lebih lalu. Simply hanya karena aku sudah berkali² melewati Lebaran dalam kondisi finansial yang miris. Namun yang tahun ini terasa lebih miris karena memang ada satu dua faktor minor yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Misalnya saking gundahnya istri karena keterbatasan ruang gerak yang sebetulnya bukan hal baru baginya, attitude-nya yang cenderung bitchy di kala dalam kekalutan (akhirnya) berdampak pula ke prosesi Sungkeman yang selayaknya menjadi moment yang mengharukan. Tak seperti di tahun² sebelumnya dimana ia pasti menangis saat meminta maaf padaku sambil sungkeman di kedua lututku, kemarin jangankan menitik, sedikitpun airmata tak menggenang di matanya. Ia bahkan tak berucap sepatah katapun saat sungkeman, hingga aku harus bertanya padanya apa ada yang hendak ia ucapkan. Dan dengan cepat dan ringkas ia menjawab, "Maafin segala kesalahan ya"...itu saja. Huft...!!

Sebenarnya aku menduga ada satu hal yang membuat Lebaran ini terasa paling suram. Sudah baca blog ku yang ini: Hikmah Dibalik Secuil Pizza ? Nah...ini kebalikannya. Apa yang terjadi di Lebaran tahun lalu sangat mempengaruhi Lebaran tahun ini. Betapa tidak? Saat itu aku baru mulai bekerja di perusahaan yang baru saja diambil alih oleh sekelompok teman yang punya kecenderungan untuk jor-joran dalam memulai usahanya, sehingga aku termasuk diantara 7 pegawai yang langsung disewakan mobil. Meski tidak dapat THR karena memang baru setengah bulan bekerja, aku sudah super mapan menghadapi Lebaran dengan bayaran gaji yang sudah aku terima seminggu sebelum Lebaran. Jadi dari mulai menjalani hari-hari terakhir Ramadhan seperti melaksanakan shalat Tarawih yang bisa di lokasi yang jauh sekalipun, bukber di sana sini, belanja perangkat shalat untuk disedekahkan, hingga shalat Ied di dekat TPU tempat orangtuaku dimakamkan dan kemudian "muter" bersilaturahim dengan para sesepuh dan senior sambil bagi-bagi THR kepada banyak keponakan, semua berjalan lancar..car..car.

Jika Pizza itu terasa luar biasa nikmatnya, begitu pula Lebaran tahun ini terasa sekali suramnya. Tak lain penyebabnya adalah kelancaran (baca: kenikmatan) yang seolah tak berbatas di Lebaran tahun lalu. Nikmat yang mungkin terlalu dimasukkan ke dalam hati tanpa disadari sifatnya hanya sekedar duniawi, sehingga di saat tak didapatkan lagi, kecewa pun hadir.
Sama halnya dengan peristiwa Pizza yang harusnya membuat kita bersyukur namun tetap sabar karena sifatnya duniawi, peristiwa Lebaran inipun perlu disabari namun tetap disyukuri masih bisa dirasakan. Aku memang "ngrasani" (lagi) kondisi finansial ku Lebaran tahun ini, namu aku harus tetap waras dalam mengambil sikap...apalagi Minta Maaf dan Memaafkan itu merupakan hal-hal yang sangat sakral di moment seperti ini. Belum lagi kita berhadapan dengan banyak sanak keluarga yang dituakan sehingga respect itu sangat dijunjung tinggi.

Tak jarang memang aku ingin sekali melampiaskan kekesalanku atas nasibku ini...tapi aku juga tau tak ada seorangpun yang bertanggung jawab atasnya. Lalu kepada siapa lagi? Allah swt.? Bisa saja. Kita bisa kapan pun mengeluh bahkan memaki dan menghujatNya karena menganggap Ia tak memberiku cukup rezeki seperti yang kita harapkan. Atau bahkan karena kita menganggap diberi kenaasan bertubi-tubi. Namun kita harus berandai-andai juga...bagaimana jika setelah kita menghujatNya, Ia lalu mutung dan mengabaikan kita? Bagaimana jika Ia, Yang sebelumnya hanya sekedar menguji keimanan kita, sekarang malah jadi kesal? Siapkah kita untuk kemudian menghadapi ujian yang lebih hebat lagi? Kalau aku...secara teori pasti akan merasa kewalahan. Prakteknya, wallahualam....
Yang penting jangan sampai kehilangan akal sehat saja.....