Friday, March 22, 2013

Telaga Sagawarna

Acap kali kita bisa terkesima melihat kecantikan paras seseorang, mengaguminya, jatuh hati padanya, bahkan hingga iri padanya. Padahal orang yang berparas lebih indah dari kita belum tentu punya kehidupan yang lebih indah dari kehidupan yang kita miliki.




Finally

After had got delayed since December 1st last year, the original date they said multiply.com would be shut down, the plan has finally been executed today.
 
It was not a shocking news to accept since I had not visited it as often as before. To me, adding more content in it would have been like putting more decoration in a house which likely be torn down. It would have been useless efforts. So I guess I was well-prepared to lose what had been a home.
 
I don't like this decision at all, but still, I'm grateful that I had been given the chances to become part of it and exchange knowledge with its other users.

Life goes on!
 
 
 

Wednesday, March 13, 2013

GIF

Saat ini sudah ada berbagai situs jejaring sosial yang mengizinkan pelanggan untuk menggunakan file gif sebagai photo profilenya, sehingga file gif yang sifatnya custom-made mungkin lebih bermakna daripada yang sifatnya comotan. Ada beberapa gif generator yang tersedia di internet. Umumnya mereka sifatnya gratis namun jumlah frame-nya terbatas sehingga hasil yang didapatkan juga tidak semaksimal yang diinginkan pengguna.

Aku sendiri lebih suka mengulik dan membuatnya sendiri dengan menggunakan photoshop. Lebih rumit memang, apalagi jika gambar-gambar yang digunakan adalah snapshot dari video, sehingga harus melalui proses yang lumayan panjang dan tidak mudah. Tapi proses itulah yang membuatku tertantang dan puas, terlebih bila hasilnya sesuai dengan harapan.







Tutorial cara membuat file gif dapat ditemukan di youtube.



Monday, March 4, 2013

Menjalankan AmanahNya

Belakangan ini aku makin sering mendengar kasus anak hilang. Umumnya, saat mendengar atau menonton berita tentang hal seperti itu kita hanya bisa terperangah dan iba. Lalu ketika ada berita tentang anak hlang yang ditemukan dalam keadaan cedera atau bahkan meninggal dunia, kita mengutuk perbuatan keji dari sang penculik. Tapi apa yang kemudian kita lakukan untuk mengantisipasi hal itu sehingga tidak terjadi pada anak kita sendiri? Mungkin tidak terpikirkan.

Aku sering merasa kasian melihat anak-anak yang berjalan kaki sendiri, atau bersepeda, entah pergi ke sekolah atau pulang dari sekolah. atau berkeliaran sendiri, bermain-main di jalanan tanpa pengawasan orang dewasa. Aku iba melihat mereka berada di bawah teriknya matahari atau derasnya hujan tanpa payung. Bersusah payah mencoba menyebrang jalan yang lalu lintasnya begitu ramai sementara tak seorangpun yang meihatnya peduli. aku sering bertanya dalam hati, "Kemana orang tua mereka?"

Di lain waktu aku beberapa kali membahasa dengan teman tentang hal ini. jawabannya variasi. sibuk lah, membiarkan mereka menjadi berani lah, bahkan ada yang mengaku tidak menyadari kalau anak mereka keluar rumah tanpa izin. apapun jawabannya, aku lalu bertanya, apa yang akan mereka lakukan jika anak mereka tidak kembali ke rumah pada saat mereka seharusnya sudah di rumah? Apa yang akan mereka rasakan jika anak mereka tidak pernah kembali hingga larut malam dimana keberadaan anak mereka tidak diketaui? Apa yang akan mereka lakukan jika kemudian yang mereka dapatkan adalah berita bahwa anak mereka telah diculik atau ditemukan dalam keadaan yang tidak mereka kehendaki? Terlebih lagi bahwa saat ini, penculikan tidak harus mengarah pada penebusan dengan sejumlah uang namun bisa dilatar belakangi oleh pemerkosaan, dendam, bahkan penjualan organ tubuh yang artinya korban bisa kehilangan nyawanya.

Melatih anak agar tangguh memang perlu, selama tidak mempertaruhkan kesehatan apalagi nyawa mereka. menempa mereka agar berani juga layak dilakukan pada tempat dan waktu yang tepat. Aku selalu berpikir bahwa ketangguhan dan keberanian anak tidak harus ditanamkan dengan cara yang keras namun lebih efektif dilakukan dengan cara yang masuk akal. Apalagi di usia yang sangat muda, anak belum tentu pandai dalam menggunakan logika mereka. Keinginan mereka dalam banyak hal lebih didasari oleh ego dan tanpa pikir panjang. Tentunya sbagai orang tua, justru kita lah yang perlu menggunakan akal sehat sebagai pondasi dari kebijakan yang kita terapkan untuk mereka.

Orang tua bisa saja ingin membanggakan anaknya yang berani dan tangguh. Yang dari awal sudah terbiasa mandiri di pelbagai hal. Namun kehidupan keras di luar sana bukanlah tantangan yang pantas mereka hadapi tanpa pengawalan dan bantuan langsung dari orang tua. Aku yakin, sebesar apapun kebanggaan orang tua terhadap anaknya, tidaklah sebanding dengan tangisan darah yang dikucurkan mata orang tua saat kenasaan tragis telah terlanjur menimpa anak.

Temanilah anak kita sesering mungkin dalam banyak hal selagi kita bisa. Kita perlu meluangkan waktu untuk mendampingi anak agar kita tidak kehilangan momen-momen yang mungkin sangat berarti bagi anak kita. Mungkin kita tidak selalu harus membukakan jalan mereka namun kita layak berada disampingnya saat mereka mengambil keputusan yang salah agar kita dapat langsung mengkoreksinya. Kita patut berdiri di dekatnya saat mereka akan terjatuh dan mencoba meraih tangan kita. Sebelum semuanya terlambat.



  

Pantang Menyerah


Pebulutangkis legenda Rudy Hartono mungkin bisa disebut sebagai salah satu olahragawan terhebat di tingkat dunia. Umumnya orang mengenalnya sebagai juara turnamen bulutangkis dunia tahunan, All England Open, 8 kali dimana 7 diantaranya ia sandang secara berturut-turut (1968 s/d 1974). Tapi tidak semua orang tau tentang peristiwa yang telah menjadikannya sebagai ikon pantang menyerah. Jika anda pernah mengikuti seminar-seminar tentang kiat sukses dalam menjalani bisnis, mungkin anda akan mendengar namanya disebut-sebut sebagai sosok yang pantas dicontoh.

Ketika itu, di pertandingan final All England tahun 1972, ia harus menghadapi musuh bebuyutannya asal Denmark, Svend Pri, yang pernah ia taklukan dalam final turnamen yang sama 2 tahun sebelumnya. Partai ini memang telah ditunggu-tunggu orang karena Svend Pri sempat menyatakan cukup mengenal strategi permainan Rudy Hartono dan siap membalas kekalahannya terdahulu. Pernyataan itu langsung dibuktikan dengan menaklukan Rudy Hartono di set pertama 11-15. Begitu pula di set kedua hingga kedudukan angka 1-14 untuk keunggulan Svend Pri.
Bisa terbanyangkan apa yang dirasakan supporter dan pemirsa Indonesia saat itu? Sven Pri telah mencapai match point dimana ia hanya butuh 1 poin lagi untuk merebut gelar jawara All England.
Tapi kemudian keadaan berbalik arah. Laju pengumpulan angka Svend Pri dipaksa tertahan saat Rudy Hartono secara perlahan meraih angka demi angka hingga kedudukan menjadi deuce 14-14 yang lalu berakhir dengan kemenangan untuk Rudy Hartono, 17-15. Kemenangan Rudy Hartono di set ketiga mengukuhkan dirinya kembali sebagai juara All England untuk yang kelima kalinya berturut-turut.

13 angka yang diraihnya saat ia hanya berjarak 1 angka dari kekalahan merupakan prestasi yang fenomenal. Mungkin kita pernah mendengar hal serupa terjadi dalam cabang olahraga lainnya, namun kebanyakan kesuksesan itu didapat karena team work, bukan individu. Kekalahannya atas set pertama dan 13 angka di set kedua, telah dijadikan cambuk baginya untuk memenangkan partai finai itu. Ia bagaikan seorang yang sempat lumpuh, kemudian bangkit, berjalan dan berlari hingga meninggalkan yang lain. Prestasi inilah yang seringkali digaungkan untuk memotivasi orang dalam memulai atau menjalani suatu usaha. Saat itu, Rudy Hartono tidak merasa down dan putus asa. Ia mengatakan tidak ingin menyerah. Ia ingin memaksimalkan usahanya. Sehingga kalau memang ternyata harus kalah, ia akan tetap puas karena telah memberikan kemampuannya yang terbaik dan bukan karena menyerah.

Hidup ini penuh tantangan yang harus kita hadapi. Mungkin saja, tidak semua perjuangan berakhir dengan suatu kemenangan. Kekalahan yang pahit adalah hasil yang kita dapatkan tanpa perjuangan yang gigih. Jika kita telah berusaha semampu kita, paling tidak kita bisa yakin bahwa kemenangan yang tidak kita dapatkan memang belum menjadi milik kita.

Jadikanlah kekalahan cambuk bagi anda sendiri untuk meraih kemenangan di kemudian hari. Jangan putus asa!



Tuesday, February 26, 2013

Speak To Yourself

First, you speak politely as if you were a saint.
Then, you command boldly as if you were a leader.
And when someone tries to question your words,
you would raise your voice in anger as if you were a tyrant.

Why not look in a mirror and tell us what you see.
Do you see a mean powerful holy man in there?
Or just a child? Perhaps you see the devil in you?
Or simply a neanderthal who is incapable to learn?

Do not try to tell us what to do.
You cannot make us do what we do not believe in.
Should there be anyone to make good of your thoughts,
the reflection in the mirror may be the only one. 



Monday, February 25, 2013

Membaca, Menulis dan Berdiam

Aku bukan tipe orang yang suka membaca. Ada beberapa faktor yang harus terpenuhi hingga aku mau membaca sesuatu terlebih bacaan yang panjang. Misalnya saja bacaan yang aku anggap sangat menarik, genre bacaannya, quantitas materinya dan mood ku sendiri. Seringkali aku berminat membaca karena memang aku sedang mencari sesuatu yang aku harapkan bisa didapat dari bacaan itu.

Berkenaan dengan hal menimba ilmupun begitu. Aku lebih suka mendengarkan pengajaran lisan dari seseorang, atau yang kini lebih mudah didapatkan adalah dengan menonton video tutorial di dunia maya. Aku merasa lebih mudah dan cepat mengerti materi yang aku dengarkan daripada yang aku baca. Mungkin karena itulah dahulu aku lebih suka mendengarkan guru atau doseku mengajar ketimbang membaca buku pelajaran yang digunakan sebagai text book. Hingga saat inipun aku lebih suka menonton berita di televisi atau mendengarkannya di radio dari pada membacanya di surat kabar.

Sudah sekitar 5 tahun belakangan ini aku cukup terlibat dalam beberapa media sosial di internet dan aku merasa sedikit lebih terangkat minat bacaku karena banyak tulisan yang aku temui terbilang ringan dan lebih mudah dipahami mengingat penulisnya bukanlah kaum jurnalis yang umumnya menggunakan kata-kata rumit yang kemudian terangkum dalam kalimat bahkan paragraf yang "njelimet". Seperti halnya aku sendiri, para penulis di media sosial ini cenderung menggunakan bahasa keseharian yang ringan (mungkin) dengan harapan agar makna tulisannya mudah ditangkap pembaca.

Namun setelah lebih kurang dua tahun belakangan ini, aku menyadari bahwa ada satu faktor lagi yang dapat mengurangi minat bacaku. Tak hanya itu, faktor itu justru dapat membuatku mengurungkan niatku dalam menyelesaikan bacaan yang sudah aku mulai. Di saat penulis bermaksud menguatkan materi penulisannya dengan mengikut sertakan unsur-unsur religi di dalamnya, aku justru menganggap bacaan itu tiba-tiba menjadi berat. Terlebih bila unsur religi itu lalu ditekankan sebagai sesuatu yang harus dipatuhi.

Aku memang tidak hobby membaca. Mungkin menulispun aku lakukan karena aku ingin menuangkan apa yang ada dalam benakku ke dalam tulisan. Di beberapa media sosial pembaca memang diperkenankan (baca: diharapkan) untuk memberikan komentar. Dan ada saatnya aku sangat terdorong untuk memberi komentar, baik itu pujian atau sekedar penguatan dari apa yang aku baca. Yang jelas, aku menghindari komentar yang bersifat penentangan atas tulisan yang bersangkutan atau apapun yang cenderung mengarah ke perdebatan. Aku tidak akan mengkomentari bacaan yang menurutku bertentangan dengan pendapatku...sesederhana itulah. Tentunya, jika memang ada komentator lain yang keberatan dengan komentarku, lalu memberikan berkomentar atasnya, tidak akan aku tanggapi karena itu hak mereka untuk berpendapat.

Nah, jika aku sampai memberikan komentar tentunya aku juga berminat membaca komentar dari pembaca lainnya. Kalau hanya sekedar perbedaan pendapat antar pembaca yang dituangkan dalam komentar, aku masih terus memantau perkembangannya, meskipun mungkin aku tidak lagi terlibat di dalmnya. Namun, hal itu, sekali lagi, bisa pupus jika kemudian ada komentar yang dibumbui unsur-unsur religi. Otomatis aku akan berhenti membaca komentar-komentar yang menyusulnya.

Banyak sudah pembelajaran yang aku dapatkan dalam usahaku bersosialisasi di dunia maya. Aku sudah melihat sendiri bagaimana orang mencoba "unjuk gigi" dengan ilmu agamanya atau ilmu lainnya yang diposisikan di tempat atau/dan waktu yang kurang tepat. Yang sering terjadi adalah perdebatan atau lebih cocok dikatakan sebagai adu ilmu. Perdebatan atau pembahasan suatu bacaan atau komentar cenderung menjadi panjang, yang akhirnya (biasanya) tidak berakhir dengan konklusi yang bijaksana. Dan yang kemudian aku temui adalah begitu banyaknya orang yang lebih bersikap munafik tanpa mereka sadari.
Yang berilmu menjadi arogan. Yang setengah berilmu menjadi sok tau. Sementara yang tidak berilmu menjadi galak. Di ujung-ujungnya semuanya menjadi jahat dan terlihat bodoh.

Entah mengapa begitu sulitnya bagi mereka untuk menjadi bijaksana. Entah apa yang menghalangi mereka untuk menyimak sambil berdiam diri. Bisa jadi itu merupakan panggilan nurani untuk memperlihatkan pada yang lain bahwa mereka atau komentarnya layak dihargai. Atau mereka butuh sejumlah orang untuk mendukung prinsipnya agar dirinya bisa merasa (lebih) hebat? Mungkin saja. Yang jelas, selama konsep ini masih mereka terapkan, selama itu pulalah tidak akan ada pembelajaran. Dan selama istilah diam itu emas belum bisa sukses diterapkan, negeri ini akan terus begini.

Oh...whatever!