Friday, June 6, 2014

Mekkah Atau Israel?

Masjid Cut Meutia yang dibangun di zaman kumpeni awalnya berfungsi sebagai tempat perkumpulan para insinyur saat itu, sehingga orientasi aksis-nya tidak selaras dengan arah kiblat. Maka shaf yang ada di dalam masjid memang dibuat miring ke kanan sekitar 45 derajat dari arah dinding terdepan. Selayaknya shaf di halaman masjid-pun dibuat serupa, namun para pekerja yang bertugas menggelar karpet-karpet panjang sebagai alas sajadah rupanya tidak melakukannya dengan cermat sehingga acapkali kemiringan itu tidaklah sempurna. Belum lagi ada saja jemaat yang percaya bahwa arah kiblat yang ditentukan pemerintah masih salah yang membuat mereka selalu menempatkan sajadahnya dengan orientasi yang dipercayanya lebih menghadap ke kiblat.

Itulah sebabnya kami selalu menggunakan sajadah berkompas jika kebetulan harus melakukan sholat di tempat-tempat yang arah kiblatnya tidak diketahui atau meragukan. Di suatu Jum'at, ketika kami hanya bisa mendapat tempat di halaman masjid ini. Dari observasi kami, kami merasa karpet yang digelar tidak mengarah dengan baik, sehingga kami lalu memposisikan sejadah kami sesuai petunjuk dari kompas yang ada. Agak janggal memang ketika posisi sajadah kami terlihat tidak singkron dengan yang lain, namun setelah kami menjelaskan pada mereka yang mempertanyakannya, ada sebagian orang yang lalu mensejajarkan sejadahnya dengan sejadah kami.

Perbedaan arah ini tidak terlalu dipermasalahkan oleh yang lain hingga tiba saatnya sholat akan dimulai. Dalam posisi berdiri, perbedaan arah kemana kami menghadap dengan mereka yang mengikutibentangan karpet lebih jelas terlihat. Dan hal itulah yang kemudian mendorong seorang satpam masjid untuk meminta kami mensejajarkan sajadah kami sesuai dengan mayoritas shaf yang ada. Tapi kami berkutat pada arah yang telah kami tentukan. Satpam tersebut bahkan meminta kami memiringkan sejadah kami 45 derajat dari poros masjid. Hal ini membuat kami makin mempertahankan posisi kami dengan menunjukkan padanya bahwa shaf yang ada malah lebih mendekat ke arah poros masjid yang artinya melenceng dari 45 derajat.

Akhirnya, dengan wajah pasrah ia hanya bisa berkata bahwa alangkah baiknya bila shaf-nya terlihat seragam dan sejajar. Aku hanya berniat untuk tetap pada posisiku tanpa merespon himbauan ini mengingat bagiku semuanya kembali kepadaNya. Namun tidak demikian dengan adikku yang punya sifat harus selalu menegaskan apa yang dianggapnya benar. Dengan tegas ia lalu berkata,
"Saya ini posisinya sudah menghadap kiblat, sesuai dengan anjuran pihak masjid. Nggak tau ya ke arah mana orang yang beda posisinya. Insha Allah bukan Israel."

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan adikku ini. Tanpa kusadari sebelumnya bahwa hal itu memang sangat mungkin terjadi mengingat meskipun Israel berjarak sekitar 1250 km dari Mekkah, namu sedikit melenceng saja posisi sholat kita disini efeknya bisa sejauh ke Israel arahnya...

Tentukan arah kiblat anda dengan benar



Thursday, June 5, 2014

Rahasia


Akhirnya temanku ini angkat bicara juga tentang nilai-nilai negatif tentang lawan dari kandidat pemilihan presiden yang dijagokannya. Selama yang aku tau hanyalah betapa ia benar-beanr mengagumi sosok jagoannya itu dengan menuturkan segala faktor kepositifannya. Dan apa yang menjadi alasannya mengidolakan jagoannya itu dapat aku mengerti sepenuhnya karena aku juga setuju padanya. Mengapa tidak? Sudah jelas apa yang dipercayanya itu memang telah terbuktikan kebenarannya. Aku tidak pernah menentangnya, namu aku hanya sesekali menginigatkannya bahwa mungkin saja masih ada hal lain yang sifatnya negatif dari jagoannya yang selama ini belum terlihat, itu saja.

Namun aku tidak pernah menduga ia akan dengan gamblang membeberkan segala hal negatif yang iya percaya atas lawan jagoannya itu secara umum. Sejauh ini aku menganggap temanku itu sebagai orang yang sungguh berhati-hati dalam membicarakan tentang keburukan orang lain. Kalaupun perlu berbicara soal Pilpres yang akan datang ini, ia hanya akan membahasnya dengan orang-orang yang dekat dengannya. Tidak seperti kebanyakan masyarakat di negeri kita ini yang tiba-tiba seolah menjadi pintar berpolitik, lalu ikut berkampanye secara freelance lewat situs-situs jejaring sosial demi membela jagoannya masing-masing. Banyak pula dari mereka yang tak segan-segannya ikut menghujat lawan jagoannya atau bahkan saling menyerang kubu yang notabene kemungkinan besar malah tidak mengenal mereka sama sekali.

Suhu politik menjelang Pilpres kali ini memang mungkin pantas dibilang yang paling memanas. Bayangkan saja, kondisinya begitu panas hingga mampu membuat seseorang yang sekalem dan sebijaksana temanku ini angkat bicara di media publik sambil menuturkan aspek-aspek negatif orang yang dikenalnya hanya lewat  tulisan dan berita yang bisa jadi merupakan bagian dari Black Campaign yang tengah jadi trendy saat ini. Kebebasan bersuara yang dipercaya bisa menjadi sarana pengungkapan suara hati nurani rakyat justru dijadikan kendaraan bagi banyak pihak untuk memutarbalikkan fakta, sampai-sampai sejarah bangsa ini bisa terlihat begitu rancu dan membingungkan.

"Bagaimana dengan aku?", kalau seseorang bertanya.

Aku ini bukan seorang ahli apalagi praktisi politik. Aku hanya sebagian (sangat) kecil dari masyarakat negara yang sudah memiliki 6 presiden. Dan kebetulan aku cukup beruntung telah merasakan aroma khidupan di bawah kepemimpinan 5 presiden terakhir. Aku bukanlah seorang pejuang kemerdekaan sehingga tugasku sebagai warga negara hanyalah memelihara kemerdekaan yang sudah dimiliki. Jujur saja, aku juga punya pendapat tentang kedua kandidat presiden yang ada, yang kemudian akan menentukan siapa yang akan kupilih nantinya. Tapi sebagai warga biasa yang tak memiliki ilmu politik yang tinggi, aku tidak punya tempat yang layak untuk mengutarakan pendapatku di depan umum. Aku tidak ingin kebebasan bersuara yang aku miliki ini membuatku berniat membeberkan apa yang buatku lebih pantas disimpan dalam hati dan benakku. Kerabat dan teman dekatku boleh saja tau siapa yang kujagokan, tapi jika memang ada hal yang tidak kusuka dari lawannya biarlah aku saja yang tau.

Seorang teman lain yang dulu berjuang mati-matian menggalang suara untuk sebuah partai pada Pemilu terdahulu, akhirnya harus menerima kenyataan bahwa di daerah pemilihannya sendiri partainya kalah telak. Tidak hanya itu, ia harus super kesal mengetahui kalau banyak kerabat dan kenalannyalah yang ikut memenangkan partai lain. Namun ia lalu berhasil menjadi seorang PNS dari sebuah kantor kecamatan di kota tempat tinggalnya. Dan di setiap kesempatan yang ada, ia tidak segan-segannya membalas dendam atas kekecewaannya itu. Misalnya pada saat dilakukan acara pembagian sembako, ia akan memprioritaskan warga yang ia tau dulu memihak partainya. Kalau perlu bahkan ia tidak menyisakan apapun untuk mereka yang dianggapnya telah membuat partainya kalah. Perilakunya itu tidak menghambat karir kerjanya di instansi pemerintah sehingga ia kini menjadi seorang pejabat tinggi di sebuah kantor walikota.

Apa yang terjadi pada temanku ini bisa juga terjadi pada banyak orang yang saat ini tengah mencurahkan segala upayanya demi kemenangan calon presiden yang dijagokan seperti halnya temanku yang tadi. Aku khawatir bahwa banyak pihak yang ikut berkampanye tanpa menyiapkan diri menghadapi kekalahan maupun kemenangan. Dahsyatnya mereka bersuara saat ini membuatku khawatir nantinya akan sedahsyat itu pula mereka menyuarakan kekecewaan atau kegembiraan mereka hingga memicu terjadinya gap yang sangat besar diantara kedua belah pihak. Mungkin bisa terbayangkan kericuhan yang biasanya terjadi antar suporter dua kesebelasan sepak bola seusai pertandingan akbar akan terjadi di berbagai tempat di seluruh pelosok negeri ini. Mengerikan sekali...

Aku sering mengingatkan para musisi muda yang tengah memperjuangkan nasibnya di industri musik yang terbilang susah ditebak. Yang sering mereka pertanyakan adalah bagaimana jika semua usaha yang telah dilakukan akhirnya tidak behasil. Aku dengan mudah menjawab bahwa pertanyaan itu punya jawaban yang tidak mungkin diragukan lagi, bahwa mereka akan tetap miskin dan harusnya mereka siap menghadapinya karena kondisi seperti itulah yang mereka jalani selama ini. Lalu aku balik bertanya, bagaimana jika usaha mereka berhasil. Teorinya mudah, tapi prakteknya bisa melenceng jauh dari teori dan angan-angan mereka. Tidak sedikit musisi sukses yang kemudian terjerat pada pelbagai masalah; obat-obatan, pacar, keluarga, senjata, hutang, dlsb. Apresiasi mereka terhadap harta, kehidupan bahkan agama menjadi tipis sehingga nasib mereka bisa berakhir semiris kematian yang tidak wajar.

Akan seperti itukah kita setelah presiden baru terpilih? Akan siapkah kita menerima kekalahan atau kemenangan? Akan siapkah kita merangkul dan dirangkul kembali oleh mereka yang sekarang menjadikan kita dan kita jadikan musuh bebuyutan? Akan siapkah jagoan kita melakukan itu juga? Sadarkah kita bahwa apa yang akan dihadapi presiden baru nanti begitu beratnya sehingga bisa merubah dirinya 180 derajat? Semua itu misteri Illahi. Dan aku mencoba mengantisipasi kesuraman masa depanku itu dengan cara merahasiakan konsep pemikiran yang menjadi dasar alasanku untuk memilih siapa nanti.
Aku tetap menjunjung tinggi pedoman Pemilu yang dahulu kala sempat digaungkan di negeri tercinta ini, Umum, Bebas dan Rahasia.

Selamat menjelang Pilpres 2014 dengan bijaksana.



Tuesday, June 3, 2014

Play Safe


Aku tengah duduk asyik mengobrol dengan babeh, tukang parkir tua yang tiap pagi bertugas menjaga motor-motor yang terparkir di pinggir jalan depan puskesmas besar itu, ketika sebuah mobil minivan Honda Freed memasuki lapangan parkir puskesmas. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat seorang wanita setengah baya turun dari mobil yang kemudian berhenti tepat di depan pintu utama itu. Dari penampilannya, aku sempat mengira ia seorang pejabat atau minimal istri pejabat pemda yang punya urusan khusus disitu. Maklum saja, setelah berkali-kali mengunjungi puskesmas ini, yang biasanya keluar masuk bangunan ini hanya pegawai puskesmas atau mereka yang ingin berobat. Wanita dengan penampilan seperti itu lebih sering terlihat keluar masuk kantor kecamatan yang terletak persis di sebelahnya.

Dandanannya necis dengan busana casual lengkap dengan tas bermerk yang ditentengnya. Dengan gaya sopannya, ia sempat berbicara pendek dengan penjaga pintu yang kemudian memberikannya kartu bernomor antrian. Saat itulah aku menyadari bahwa ia pun juga datang untuk berobat. Aku tidak tau lagi apa yang kemudian terjadi padanya setelah ia menaiki tangga yang menuju tempat pendaftaran pasien.
Ketika aku beberapa lama kemudian berjalan menuju ke koridor tempat menunggu para pasien klinik gigi, aku melihatnya lagi sedang duduk tepat di depan pintu klinik. Ah...rupanya ia juga sedang bermasalah dengan giginya seperti halnya aku dan orang-orang lainnya disitu yang tengah menunggu panggilan. Masih ada sekitar sepuluh menit lagi hingga dimulainya jam praktek dan aku cukup senang dengan fakta bahwa aku mendapat nomor urutan yang pertama. Dan sementara menunggu, perhatian wanita itu terkonsentrasi pada smartphone di tangannya.

Puskesmas ini memang besar dan lengkap sehingga membuatnya populer di kalangan masyarakat ibukota apalagi buat para peserta program jaminan kesehatan yang mengharapkan pengobatan murah bahkan mungkin gratis. Tak heran bila dokter gigi yang praktek disitu mencapai tiga orang sekaligus untuk mengantisipasi banyaknya pasien yang datang. Dan ketika aku sudah mulai diperiksa salah seorang dokter gigi yang bertugas, wanita tadi yang ternyata memegang nomor urut tiga itu memasuki ruangan klinik setelah mendapat giliran dipanggil. Sedangkan dokter gigi yang telah siap melayaninya adalah seorang dokter wanita yang sudah berumur dan terkenal berwatak tegas. Ya, aku kenal sekali sikapnya karena seperti itulah sikapnya ketika pernah menanganiku dulu. Mungkin terlalu mengada-ada jika aku menyebutnya galak, yang jelas ia bicara apa adanya tanpa padang bulu melihat seperti bagaimana pasiennya, wanita atau pria, masih muda atau sudah berumur, siapapun dapat perlakuan yang sama darinya.

Mulutku tengah terbuka lebar dan gigiku tengah dibenahi, namun perhatianku tertuju pada percakapan antara wanita tadi dengan dokter yang terkesan enggan untuk memulai tugasnya. Dokter itu rupanya mempertanyakan alasan wanita itu berobat di puskesmas yang ia nggap bukan tempat yang pantas untuk wanita itu. Ketika wanita itu menjelaskan bahwa sebagai penduduk ibukota yang sah, ia pun punya hak untuk berobat disitu. Lalu dokter itu berkata lagi bahwa seharusnya si wanita tidak ikut merasakan kemurahan biaya pengobatan disitu jika ia sanggup membeli tas bermerk yang dibawanya. Maka yang terjadi kemudian adalah sebuah perdebatan tentang layak tidaknya wanita itu mendapatkan pelayanan bertaraf murah yang berakhir dengan kemutungannya hingga pergi meninggalkan ruangan tanpa belum sempat mendapatkan pelayanan. Mungkin saja dokter itu akan mendapat tegoran dari pihak puskesmas atau dinas kesehatan bahkan dituntut seperti halnya yang diancamkan oleh wanita tadi.

Phew...sebenar-benarnya prinsip yang dianut wanita itu, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila ia bersikukuh untuk tetap dilayani oleh seorang dokter yang terang-terang enggan untuk menanganinya. Bisa jadi bukan terselesaikan tapi justru bertambah masalah pada giginya.

Pepatah, "Don't judge a book by its cover" memang sering terdengar bila seseorang diremehkan hanya karena penampilannya yang sama sekali tidak terlihat baik. Namun nasehat itu bisa dilemparkan pula pada mereka yang menilai siapapun berdasarkan rupanya, baik itu buruk maupun baik. Buatku, dalam kasus di atas, dokter itu tidak pantas untuk menilai bahkan hingga melontarkan penilaiannya pada wanita itu. Jika sebuah rumah sakit yang menolak menerima seseorang hanya karena ia terlihat seperti gelandangan dianggap salah, maka penolakan memberi layanan murah kepada seseorang hanya karena ia terlihat kayapun juga perlu dianggap salah. Sehebat apapun seseorang terlihat dari penampilannya, kita tidak pernah tau semampu apa ia sebenarnya. Bisa saja dibalik dandanan yang begitu necis, wanita tadi punya masalah finansial. Tas bermerk itu bisa jadi adalah sebuah hadiah yang didapatnya, dan mobil yang mengantarnya mungkin bukanlah miliknya.

Dan dokter itu, harusnya bisa memperlihatkan keprofesionalannya. Sebagai seorang dokter senior, harusnya ia lebih bisa bersikap bijaksana dan memberi contoh yang baik pada dokter-dokter muda yang berpraktek dalam satu ruangan. Lagipula, sudah menjadi tugas seorang dokter untuk melayani dengan ikhlas mereka yang membutuhkan keahliannya. Bukankah puskesmas itu tempat berobatnya masyarakat yang meliput segala lapisan tanpa memandang kasta? Kalau dokter tadi menganggap wanita itu tidak layak untuk datang dan berobat di sebuah puskesmas hanya karena terlihat mampu berobat di tempat yang mahal, sepertinya ia juga bisa dianggap tidak layak untuk berpraktek di puskesmas manapun. Cukup adil khan?

Untuk amannya...don't judge at all!!




Wednesday, May 28, 2014

Waktuku Untuk Anak-anakku


Setelah menempuh perjalanan jauh menuju tempat diselenggarakannya acara wisata angkatan anakku pertama yang baru saja menyelesaikan rangkaian ujian sekolah dasarnya, sambutan para murid berupa nyanyian yang ditujukan bagi para guru itu terasa menyejukkan sekali. Bagaimana tidak? Tugasku hari itu tidak hanya mendampingi para pengajar yang mendapat undangan khusus setelah enam tahun penuh memberi pelajaran dan bimbingan bagi anakku dan teman-temannya. Aku sebenarnya agak kecewa melihat jumlah guru yang akhirnya dapat ikut dalam perjalanan ini yang hanya sekitar setengah dari total yang diharapkan. Namun aku juga mengerti bahwa tidak semua guru menganggap acara ini seistimewa anggapan para murid dan orangtuanya.

Dengan segala regulasi baru dari pihak pemerintah setempat yang dianggap membatasi aktifitas sekolah, nyaris saja para murid ini hanya dapat kenangan akan beratnya mengarungi pendidikan selama enam tahun. Beruntung sekali para orangtua lalu sepakat untuk merogoh koceknya lebih banyak dari yang harusnya terjadi. Pasalnya, kebijakan pemerintah setempat untuk mengantisipasi adanya korupsi baik dari pihak sekolah maupun pihak komitee sekolah justru seolah menciptakan tembok yang begitu tinggi bagi para murid untuk bisa mendapatkan sesuatu yang bisa meringankan beban pikiran dan moral mereka selama menghadapi ujian akhir yang dianggap menakutkan itu.

Acara ini ternyata juga menjadi wadah yang tepat bagi orangtua murid terutama para ayah untuk mendekatkan diri baik dengan sesama maupun dengan. Buktinya, acara jrang jreng jrang jreng yang dilakukan para ayah di taman depan villa yang kami tempati malam itu sempat di keluhakan oleh para ibu karena tidak berhenti hingga pukul dua pagi. Itupun juga akhirnya berakhir hanya karena stok kayu bakar yang tersedia telah habis sehingga kami memutuskan untuk berisitirahat. Itupun tidak langsung kami lakukan setelah kami pindah ke dalam villa karena kami sempat melanjutkan aktifitas kami dengan bermain kartu dan mengobrol hingga pukul tiga.

Tidak hanya itu, semua permainan yang dilakukan para murid juga selalu melibatkan peranan para ayah, termasuk pertandingan sepak bola antara tim ayah dan tim anak. Sepuluh anak yang bermain secara serempak dalam tim-nya jelas tak sebanding dengan jumlah ayah yang hanya tujuh orang. Belum lagi tim anak dapat dengan mudah berganti-ganti pemain sehingga jika ditotalkan, ada limabelas anak yang sempat turun bertanding sedangkan tim ayah tidak memiliki pemain cadangan mengingat sebagian ayah yang ada tidak merasa layak bermain dengan kondisi kesehatannya. Tidaklah mengherankan ketika tim ayah dibantai dengan kemenangan telak tim anak yang sebagian besar terdiri dari mereka termasuk dalam tim sekolah yang sempat mejuarai lomba futsal se kecamatan.

Pembantaian itu tidak dilakukan hanya pada angka akhir pertandingan tapi juga pada fisik para ayahnya yang hingga hari ini tinggal masih harus merasakan salah urat dan pegal-pegal pada seluruh bagian tubuhnya khususnya pada kaki. Memang bukanlah hal yang mudah bagi kami, para ayah, untuk kembali menjalani aktifitas kerja kami dengan segala kepenatan dan kepegalan yang menjadi efek dari apa yang kami lakukan selama acara wisata ini, namun semuanya itu menjadi sangat berharga buat kami ketika kami tau betapa kesukaan para anak atas kehadiran kami terus menerus menjadi trend topik percakapan mereka. Segala sorakan bahkan ledekan yang mereka tujukan pada kami saat itu, hingga pujian yang tak kunjung berhenti dalam status maupun pembahasan di facebook dan whatsapp jelas menghadirkan kesejukan dalam hati kami.

Mungkin banyak sekali ayah yang merasa bahwa segala barang ataupun uang yang diberkan merupakan kunci dari kepuasan anak-anaknya. Namun aku melihat bagaimana para ayah yang terlibat dalam acara ini, seperti halnya aku sendiri, menempatkan unsur waktu dan kebersamaan dengan anak sebagai prioritas nomor satu dalam menunjukkan betapa besar kasih sayang dan perhatian yang kami miliki buat mereka. Aku sadar sekali bahwa waktu yang bisa aku lewatkan bersama mereka mungkin tidak banyak mengingat mereka akan secepatnya menjadi manusia dewasa yang mungkin akan tenggelam dalam kesibukkannya sendiri sedangkan umur kami tidak akan pernah lagi memuda sehingga kemampuan kamipun makin terbatas. Usaha untuk mensejahterakan masa depan mereka yang sering kami jadikan alasan untuk bekerja mati-matian dalam mencari nafkah tidaklah berarti apapun tatkala di kemudian hari mereka tidak punya cerita indah tentang kebersamaan mereka dengan kami.

Kesadaran itulah yang memotivasi aku untuk semampuku mengisi hari-hariku bersama mereka ketimbang larut dalam pekerjaanku. Bagaimanapun, cerita tentang kekayaanku dan kesejahteraan hidupku akan terdengar sumbang jika kelak yang terucap dari mulut anak-anakku hanyalah suatu pengandaian atas indahnya kebersamaan dengan ayahnya yang jarang bahkan tidak pernah dialami di masa kecilnya.
Semoga Tuhan memberiku kemampuan yang panjang untuk selalu menjadi bagian dari hidup anak-anakku. Amiin.

"Tolong ingatkan papa untuk selalu meluangkan waktu untukmu ya, nak..."




Saturday, May 3, 2014

Di Balik Pertikaian

Wajahnya kusam meski aku yakin putri tunggalnya telah mendandaninya sebaik mungkin agar terlihat tetap tampil anggun buat siapapun yang datang menjenguknya. Tatapannya kosong seolah menembus apapun yang ada di depan. Rupanya sangat mirip dengan mendiang ibuku di hari-hari terakhirnya ketika beliau hanya dapat terbaring tanpa daya. Tanteku ini memang kakak kandung mendiang ibuku yang beberapa hari lalu mengalami stroke yang cukup berat sehingga harus dirawat di rumah sakit. Tidak seperti sebelumnya saat masih sehat, ia kini terlihat setua umurnya yang sudah delapan puluhan. Dengan infus dan selang oksigen yang terkait di tubuhnya, kondisinya yang tak mampu melakukan gerakan apapun pada anggota tubuhnya bahkan mulutnya sekedar hanya untuk berbicara membuatnya tampak sangat mengenaskan.

Namun aku tau pasti bahwa ia tetap mengetahui kehadiranku dan saudara-saudaraku karena air matanya berlinang segera setelah kami menyapanya perlahan lewat bisikan lembut di kupingnya. Kehadiran kami yang datang jauh dari Jakarta memang tidak diketahui oleh baik suaminya, putrinya dan cucu tunggalnya. Putrinya juga tak henti-hentinya menangis sejak menyambut kemunculan kami. Ia sempat mengutarakan bagaimana sepinya ia, ayahnya dan anaknya harus menghadapi ini semua. Dan hal itulah yang justru membuat kami berharap kedatangan kami bisa membantu memulihkan kesehatan tanteku.

Saat kondisi kesehatan mendiang ibuku kian memburuk, beliau sering menceritakan banyak hal yang selama puluhan tahun sebelumnya tak pernah diceritakannya padaku maupun kakak-kakak dan adik-adikku. Salah satunya adalah bagaimana beliau menjalani masa lajangnya sebagai seorang bungsu di antara 6 bersaudara perempuannya. Tiga kakak tertuanya acapkali membully beliau dan kedua kakak lainnya. Hal ini dilakukan sejak masa kecil hingga remajanya sampai akhirnya terbentuklah persekongkolan dua kubu yang awet hingga bahkan setelah mereka berkeluarga. Tak jarang para anggota kubu lawan meminta bantuan dana dari mendiang ibuku untuk mensupport keluarganya. Kadang mereka tega melemparkan tuduhan "pelit" di saat beliau tidak dapat memberikan apa yang mereka butuhkan.

Cerita-cerita seperti inilah yang kemudian seolah menjadi amanahnya buat kami, khususnya aku, untuk menjaga hubungan baik dengan tanteku ini yang dahulu termasuk dalam kubu mendiang ibuku. Hal ini pulalah yang kemudian menciptakan jarak antara aku dan anak-anak dari mereka yang berada di kubu seberangnya. Kedua kakak mendiang ibuku masing-masing hanya memiliki anak tunggal yang keduanya punya jalinan persaudaraan yang kental dengan kami. Dan bersama putra tunggal dari salah satu kakak beliau itulah aku datang menjenguk tanteku ini.

Keharuan dana sukacita yang aku saksikan saat jengukan ini sekali lagi membukakan mata dan akal pikiranku lebar-lebar. Ini suatu pembelajaran penting yang seharusnya bisa kami serap dalam menciptakan masa depan anak-anak kami semua. Pembentukan dua kubu yang ada di dalam persaudaraan kami harusnya tidak perlu terjadi dan harus segera diakhiri. Terlebih jika semua itu didasari oleh harta yang sifatnya duniawi. Aku juga sempat membayangkan bagaimana ego kami bisa membuat masa depan anak-anak kami menjadi sepi bila kami tidak segera memperbaiki kondisi yang berlaku saat ini. Sungguh suatu ketidakadilan bagi mereka.

Lalu sampai kapankah perang dingin antara pihak kami dengan pihak yang berseberangan berlanjut? Sulit untuk menentukan prediksi waktunya. Mungkin saja hal itu terjadi setelah apa yang masing-masing kubu perjuangkan tiba-tiba lenyap begitu saja tak berbekas. Namun aku lebih khawatir jika terjadinya justru setelah ada dari kami yang kemudian pergi selamanya sebelum pernah mencicipi kemenangan ataupun kekalahannya. Semoga saja tidak sampai begitu....



Monday, April 28, 2014

Menyiasati Ujian


Setelah dihadapi dengan berbagai masalah, akhirnya Sabtu kemarin tereksekusikan juga rencana yang aku buat bersama adik bungsuku sejak hampir setengah tahun yang lalu. Bisnis penjualan t-shirt sekolah almamater yang memang dirancang untuk dimulai lewat event tahunan Alumni Day kemarin akhirnya dilaksanakan juga dengan taruhan investasi moril dan materil.

Ide bisnis ini tercetus berdasarkan desain-desain kaos yang dipasarkan oleh pihak perhimpunan alumni tahun lalu yang menurut kami sangat standar. Kami yang punya latarbelakang pendidikan arsitektur yang berbasis seni menganggap penjualan kaos akan lebih baik dengan desain yang lebih baik pula, sehingga kami lalu memutuskan untuk merancang model dan grafis sendiri dan mencoba ikut memasarkannya di ajang tahun ini.

Rencana ini rupanya tidak bisa begitu saja direalisasikan karena dari awal kami sudah terbentur dengan masalah finansial. Baik aku maupun adikku, harus mencari sumber pendanaan lain ketika ada kemacetan dalam pencairan dana dari sumber dana yang awalnya kami andalkan. Kami harus mencari dan bahkan mengalihkan sebagian dana yang kami miliki untuk keperluan bisnis ini. Itupun akhirnya kami hanya berhasil menghimpun setengah dari budget awal yang kami butuhkan. Hal ini sempat menguatkan kekhawatiran adikku yang didasari oleh pengalamannya dalam gagal di berbagai usaha yang pernah digelutinya. Namun aku juga terus menerus meyakinkannya bahwa hal itu tidak akan selamanya terjadi.

Sebelumnya, aku sendiri sudah menemui masalah dalam membuka kontak dengan ketua perhimpunan alumni ini yang tampak cenderung menghindariku. Aku sempat menduga bahwa ia punya rencana tersendiri atas penjualan kaos oleh pihak perhimpunan yang dikhawatirkan terganggu oleh rencana kami. Bahkan hingga hari ini, setelah semua terlaksana, tidak sekalipun ia berhasil aku hubungi atau mencoba kembali meresponku. Hanya sebuah keputusannya yang akhirnya kami dapatkan namun tidak langsung darinya adalah bahwa tidak satu pihakpun dizinkan menjual kaos almamater kecuali pihak perhimpunan.

Rupanya dua permasalahan di atas tadi justru melahirkan suatu kepastian buat kami bahwa dana yang kami miliki sudah cukup untuk membiayai produksi kaos yang jumlahnya sesuai dengan kondisi konsinyasi dengan pihak perhimpunan. Itupun kami jadikan hal yang positif mengingat pihak perhimpunan akan menyediakan sarana mesin kartu kredit seperti yang terjadi tahun lalu, yang membuka kemungkinan lebih besar atas penjualan lebih banyak ketimbang jika kami sendiri yang melakukannya tanpa sarana tersebut. Hal lain yang sempat membuat kami lega adalah bahwa sistem konsinyasi ini otomatis membebas tugaskan pihak kami dalam turun tangan langsung dalam penjualan yang selayaknya dilakukan oleh para personel yang telah ditunjuk pihak perhimpunan untuk melakukan penjualan. Kami hanya perlu membandingkan jumlah produk yang kami serahkan dan kami terima kembali di penghujung acara dalam mendapatkan hitungan dana yang masuk dan yang harus dibagi kepada pihak perhimpunan.

Keputusan demi keputusan yang diterbitkan secara sangat lambat baik oleh pihak perhimpunan maupun pihak panitia ini membuat pergerakan produksi kami terhambat. Dan ketika waktu sudah kian sempit, kami harus menerima fakta bahwa ada kesalahan disana sini dalam produksi pemesanan kami yang tidak mungkin lagi mengalami revisi dari pihak produser. Apa yang kemudian kami lakukan di hari-hari terakhir menjelang hari H adalah menyiasati segala ketimpangan yang disebabkan oleh kesalahan produksi tersebut, termasuk memotong label ukuran yang salah dan menggantikannya dengan stiker yang bertuliskan ukuran yang benar, yang kami kerjakan hingga tengah malam sebelum event berlangsung. Pengiriman setengah dari jumlah kaos yang diproduksi di pabrik kami di Jawa Tengah juga hanya terpaksa mengalami keterlambatan hingga lebih kurang satu jam setelah acara dibuka.

Tidak seperti tahun sebelumnya, penjualan kaos oleh perhimpunan ini dilakukan di dua titik. Awalnya aku sempat mengira penambahan titik penjualan ini didasari oleh jumlah kaos yang disediakan pihak perhimpunan mengalami peningkatan dua kali lipat seperti yang pernah diutarakan ketua perhimpunan. Desain yang adapun diperbanyak mengingat ia begitu yakin penjualan kali ini bisa menggandakan jumlah tahun lalu yang mencapai hampir seribu kaos. Lucunya, pada saat kami hendak mengurus legalitas kerjasama dengan pihak perhimpunan, mereka dengan mudahnya mempersilahkan kami melakukan sendiri penjualan kaos kami dengan catatan bahwa konsinyasi dibatalkan. Alasannya klasik saja....mereka sudah terlalu sibuk mengurus hal lain sehingga tidak ingin dipusingkan dengan hal ini. Lho?

Maka sejauh itu, kami hanya ingin lebih melihat momen ini sebagai blessing in disguise dimana berapapun profit yang akan kami dapatkan tidak akan lagi terpotong royalti buat pihak perhimpunan. Namun dibalik ini semua justru ada hal lain yang terselubung. Ruangan yang disediakan untuk kami justru terpisah jauh dari tempat dimana kaos perhimpunan dijual. Kami mendapat ruangan yang letaknya di bagian belakang sekolah yang disekitarnya tidak ada kegiatan apapun. Tempat ini adalah satu-satunya tempat penjualan kaos alumni oleh pihak perhimpunan yang berseberangan dengan aula tempat diadakannya bursa tenaga kerja di tahun sebelumnya. Tahun ini, mereka menempatkannya di bagian depan di satu sisi lapangan sepak bola dimana beberapa pertandingan diadakan.

Ruangan tempat kami berjualan hanya di tempati oleh satu pihak lainnya yang juga menjual kaos almamater. Tempat yang diset seperti tahun lalu, dimana belasan desain kaos bisa dipaparkan di atas belasan jajaran meja hanya terisi oleh dua pihak penjual dengan total lima desain kaos. Ironisnya, beberapa personel panitia justru kaget melihat keberadaan kami disitu dan sepinya gelombang pengunjung yang datang, seolah mereka tidak tau menau tentang penggunaan ruangan tersebut. Mereka juga lalu menganjurkan kami untuk pindah bergabung dengan penjualan kaos yang dilakukan pihak perhimpunan di ruangan depan. Suatu anjuran yang bagus hanya jika hal itu dapat terlaksana. Nyatanya, di ruang depan itu settingan meja yang disediakan tidak mencapai setengah dari ukuran ruangan, sehingga tidak mungkin buat kami untuk seenaknya hijrah tanpa harus memaksa pihak lain bergeser mengurangi jatah lapak yang menjadi haknya.

Kepindahan kami akhirnya memang terlaksana setelah beberapa pihak yang ada di ruangan depan sudah mulai bersiap-siap menutup penjualannya di penghujung acara yang akhirnya usai jauh lebih awal dari tahun sebelumnya. Meski terbilang sepi pengunjung, kepindahan kami ini sempat mendatangkan pembeli dua buah kaos kami. Lagi-lagi sebuah berkah yang pantas disyukuri sehingga penjualan kami mencapai tiga puluh dua buah dari empat ratus kaos yang kami siapkan. Kami juga sempat siap memberi diskon besar di penghujung acara namun hal itu rupanya tidak lagi menarik sisa pengunjung yang tinggal sedikit karena pementasan grup sehebat Colors band yang dijadikan puncak acara tidak menghentikan penonton yang beranjak meninggalkan acara sebelum penampilannya dimulai.

Overall, istilah flop memang pantas diberikan kepada penjualan kami hari itu. Namun untuk sebuah event besar yang terbilang sepi pengunjung dan harus tuntas jauh lebih awal dari tahun sebelumnya, apalagi dengan segala jegalan yang pantas dinamai hingga sebagai faktor X, Y & Z ini, aku bersyukur bisa menempa banyak ilmu dan hikmah dari usaha ini. Paling tidak, ada banyak pembelajaran penting yang bisa aku dapatkan untuk melanjutkan usaha ini di masa depan. Ilmu tentang bagaimana harus menghadapi berbagai pihak yang terkait, tentang bagaimana menyikapi birokrasi yang berbelit, mengelola segala kekurangan hingga mendapatkan solusi dan memandang semuanya dari sisi yang positif. Bagaimanpun juga, ini adalah bagian dari ujian kehidupan. Ujian yang menuntut perjuangan yang hebat dan keikhlasan yang tulus untuk meraih sebuah kesuksesan. Menyiastinya dengan bersabar dan bersyukur sudah sangat cukup untuk mengahdirkan senyum kelegaan di wajahku. Alhamdulillah.





Tuesday, March 11, 2014

Failed Designs




I am an architect. Even though I no longer work in the field, I am still an architect since I studied it and got my degree from a school of architecture. During about 15 years of practice as an architect, I dealt with many clients who insisted to involve whether in the designing process or in the execution of it. I despite that action and had to turn down many projects because of it. It's not like I didn't need the money...I did. But designing buildings means creating arts, and I need freedom to explore my ideas alone.

Now that I don't work as an architect anymore, some may consider me as an unsuccessful one. They can say whatever they want to say about me, but I'm happy that I didn't let clients make me do what they wanted me to do. That, to me, is what I consider an achievement.
And as I continue admiring designs created by great architects without involvement of their clients, I can always smile, looking at the products that may be the results of their designers' lack of commitment to art.