Wednesday, May 28, 2014

Waktuku Untuk Anak-anakku


Setelah menempuh perjalanan jauh menuju tempat diselenggarakannya acara wisata angkatan anakku pertama yang baru saja menyelesaikan rangkaian ujian sekolah dasarnya, sambutan para murid berupa nyanyian yang ditujukan bagi para guru itu terasa menyejukkan sekali. Bagaimana tidak? Tugasku hari itu tidak hanya mendampingi para pengajar yang mendapat undangan khusus setelah enam tahun penuh memberi pelajaran dan bimbingan bagi anakku dan teman-temannya. Aku sebenarnya agak kecewa melihat jumlah guru yang akhirnya dapat ikut dalam perjalanan ini yang hanya sekitar setengah dari total yang diharapkan. Namun aku juga mengerti bahwa tidak semua guru menganggap acara ini seistimewa anggapan para murid dan orangtuanya.

Dengan segala regulasi baru dari pihak pemerintah setempat yang dianggap membatasi aktifitas sekolah, nyaris saja para murid ini hanya dapat kenangan akan beratnya mengarungi pendidikan selama enam tahun. Beruntung sekali para orangtua lalu sepakat untuk merogoh koceknya lebih banyak dari yang harusnya terjadi. Pasalnya, kebijakan pemerintah setempat untuk mengantisipasi adanya korupsi baik dari pihak sekolah maupun pihak komitee sekolah justru seolah menciptakan tembok yang begitu tinggi bagi para murid untuk bisa mendapatkan sesuatu yang bisa meringankan beban pikiran dan moral mereka selama menghadapi ujian akhir yang dianggap menakutkan itu.

Acara ini ternyata juga menjadi wadah yang tepat bagi orangtua murid terutama para ayah untuk mendekatkan diri baik dengan sesama maupun dengan. Buktinya, acara jrang jreng jrang jreng yang dilakukan para ayah di taman depan villa yang kami tempati malam itu sempat di keluhakan oleh para ibu karena tidak berhenti hingga pukul dua pagi. Itupun juga akhirnya berakhir hanya karena stok kayu bakar yang tersedia telah habis sehingga kami memutuskan untuk berisitirahat. Itupun tidak langsung kami lakukan setelah kami pindah ke dalam villa karena kami sempat melanjutkan aktifitas kami dengan bermain kartu dan mengobrol hingga pukul tiga.

Tidak hanya itu, semua permainan yang dilakukan para murid juga selalu melibatkan peranan para ayah, termasuk pertandingan sepak bola antara tim ayah dan tim anak. Sepuluh anak yang bermain secara serempak dalam tim-nya jelas tak sebanding dengan jumlah ayah yang hanya tujuh orang. Belum lagi tim anak dapat dengan mudah berganti-ganti pemain sehingga jika ditotalkan, ada limabelas anak yang sempat turun bertanding sedangkan tim ayah tidak memiliki pemain cadangan mengingat sebagian ayah yang ada tidak merasa layak bermain dengan kondisi kesehatannya. Tidaklah mengherankan ketika tim ayah dibantai dengan kemenangan telak tim anak yang sebagian besar terdiri dari mereka termasuk dalam tim sekolah yang sempat mejuarai lomba futsal se kecamatan.

Pembantaian itu tidak dilakukan hanya pada angka akhir pertandingan tapi juga pada fisik para ayahnya yang hingga hari ini tinggal masih harus merasakan salah urat dan pegal-pegal pada seluruh bagian tubuhnya khususnya pada kaki. Memang bukanlah hal yang mudah bagi kami, para ayah, untuk kembali menjalani aktifitas kerja kami dengan segala kepenatan dan kepegalan yang menjadi efek dari apa yang kami lakukan selama acara wisata ini, namun semuanya itu menjadi sangat berharga buat kami ketika kami tau betapa kesukaan para anak atas kehadiran kami terus menerus menjadi trend topik percakapan mereka. Segala sorakan bahkan ledekan yang mereka tujukan pada kami saat itu, hingga pujian yang tak kunjung berhenti dalam status maupun pembahasan di facebook dan whatsapp jelas menghadirkan kesejukan dalam hati kami.

Mungkin banyak sekali ayah yang merasa bahwa segala barang ataupun uang yang diberkan merupakan kunci dari kepuasan anak-anaknya. Namun aku melihat bagaimana para ayah yang terlibat dalam acara ini, seperti halnya aku sendiri, menempatkan unsur waktu dan kebersamaan dengan anak sebagai prioritas nomor satu dalam menunjukkan betapa besar kasih sayang dan perhatian yang kami miliki buat mereka. Aku sadar sekali bahwa waktu yang bisa aku lewatkan bersama mereka mungkin tidak banyak mengingat mereka akan secepatnya menjadi manusia dewasa yang mungkin akan tenggelam dalam kesibukkannya sendiri sedangkan umur kami tidak akan pernah lagi memuda sehingga kemampuan kamipun makin terbatas. Usaha untuk mensejahterakan masa depan mereka yang sering kami jadikan alasan untuk bekerja mati-matian dalam mencari nafkah tidaklah berarti apapun tatkala di kemudian hari mereka tidak punya cerita indah tentang kebersamaan mereka dengan kami.

Kesadaran itulah yang memotivasi aku untuk semampuku mengisi hari-hariku bersama mereka ketimbang larut dalam pekerjaanku. Bagaimanapun, cerita tentang kekayaanku dan kesejahteraan hidupku akan terdengar sumbang jika kelak yang terucap dari mulut anak-anakku hanyalah suatu pengandaian atas indahnya kebersamaan dengan ayahnya yang jarang bahkan tidak pernah dialami di masa kecilnya.
Semoga Tuhan memberiku kemampuan yang panjang untuk selalu menjadi bagian dari hidup anak-anakku. Amiin.

"Tolong ingatkan papa untuk selalu meluangkan waktu untukmu ya, nak..."




Saturday, May 3, 2014

Di Balik Pertikaian

Wajahnya kusam meski aku yakin putri tunggalnya telah mendandaninya sebaik mungkin agar terlihat tetap tampil anggun buat siapapun yang datang menjenguknya. Tatapannya kosong seolah menembus apapun yang ada di depan. Rupanya sangat mirip dengan mendiang ibuku di hari-hari terakhirnya ketika beliau hanya dapat terbaring tanpa daya. Tanteku ini memang kakak kandung mendiang ibuku yang beberapa hari lalu mengalami stroke yang cukup berat sehingga harus dirawat di rumah sakit. Tidak seperti sebelumnya saat masih sehat, ia kini terlihat setua umurnya yang sudah delapan puluhan. Dengan infus dan selang oksigen yang terkait di tubuhnya, kondisinya yang tak mampu melakukan gerakan apapun pada anggota tubuhnya bahkan mulutnya sekedar hanya untuk berbicara membuatnya tampak sangat mengenaskan.

Namun aku tau pasti bahwa ia tetap mengetahui kehadiranku dan saudara-saudaraku karena air matanya berlinang segera setelah kami menyapanya perlahan lewat bisikan lembut di kupingnya. Kehadiran kami yang datang jauh dari Jakarta memang tidak diketahui oleh baik suaminya, putrinya dan cucu tunggalnya. Putrinya juga tak henti-hentinya menangis sejak menyambut kemunculan kami. Ia sempat mengutarakan bagaimana sepinya ia, ayahnya dan anaknya harus menghadapi ini semua. Dan hal itulah yang justru membuat kami berharap kedatangan kami bisa membantu memulihkan kesehatan tanteku.

Saat kondisi kesehatan mendiang ibuku kian memburuk, beliau sering menceritakan banyak hal yang selama puluhan tahun sebelumnya tak pernah diceritakannya padaku maupun kakak-kakak dan adik-adikku. Salah satunya adalah bagaimana beliau menjalani masa lajangnya sebagai seorang bungsu di antara 6 bersaudara perempuannya. Tiga kakak tertuanya acapkali membully beliau dan kedua kakak lainnya. Hal ini dilakukan sejak masa kecil hingga remajanya sampai akhirnya terbentuklah persekongkolan dua kubu yang awet hingga bahkan setelah mereka berkeluarga. Tak jarang para anggota kubu lawan meminta bantuan dana dari mendiang ibuku untuk mensupport keluarganya. Kadang mereka tega melemparkan tuduhan "pelit" di saat beliau tidak dapat memberikan apa yang mereka butuhkan.

Cerita-cerita seperti inilah yang kemudian seolah menjadi amanahnya buat kami, khususnya aku, untuk menjaga hubungan baik dengan tanteku ini yang dahulu termasuk dalam kubu mendiang ibuku. Hal ini pulalah yang kemudian menciptakan jarak antara aku dan anak-anak dari mereka yang berada di kubu seberangnya. Kedua kakak mendiang ibuku masing-masing hanya memiliki anak tunggal yang keduanya punya jalinan persaudaraan yang kental dengan kami. Dan bersama putra tunggal dari salah satu kakak beliau itulah aku datang menjenguk tanteku ini.

Keharuan dana sukacita yang aku saksikan saat jengukan ini sekali lagi membukakan mata dan akal pikiranku lebar-lebar. Ini suatu pembelajaran penting yang seharusnya bisa kami serap dalam menciptakan masa depan anak-anak kami semua. Pembentukan dua kubu yang ada di dalam persaudaraan kami harusnya tidak perlu terjadi dan harus segera diakhiri. Terlebih jika semua itu didasari oleh harta yang sifatnya duniawi. Aku juga sempat membayangkan bagaimana ego kami bisa membuat masa depan anak-anak kami menjadi sepi bila kami tidak segera memperbaiki kondisi yang berlaku saat ini. Sungguh suatu ketidakadilan bagi mereka.

Lalu sampai kapankah perang dingin antara pihak kami dengan pihak yang berseberangan berlanjut? Sulit untuk menentukan prediksi waktunya. Mungkin saja hal itu terjadi setelah apa yang masing-masing kubu perjuangkan tiba-tiba lenyap begitu saja tak berbekas. Namun aku lebih khawatir jika terjadinya justru setelah ada dari kami yang kemudian pergi selamanya sebelum pernah mencicipi kemenangan ataupun kekalahannya. Semoga saja tidak sampai begitu....



Monday, April 28, 2014

Menyiasati Ujian


Setelah dihadapi dengan berbagai masalah, akhirnya Sabtu kemarin tereksekusikan juga rencana yang aku buat bersama adik bungsuku sejak hampir setengah tahun yang lalu. Bisnis penjualan t-shirt sekolah almamater yang memang dirancang untuk dimulai lewat event tahunan Alumni Day kemarin akhirnya dilaksanakan juga dengan taruhan investasi moril dan materil.

Ide bisnis ini tercetus berdasarkan desain-desain kaos yang dipasarkan oleh pihak perhimpunan alumni tahun lalu yang menurut kami sangat standar. Kami yang punya latarbelakang pendidikan arsitektur yang berbasis seni menganggap penjualan kaos akan lebih baik dengan desain yang lebih baik pula, sehingga kami lalu memutuskan untuk merancang model dan grafis sendiri dan mencoba ikut memasarkannya di ajang tahun ini.

Rencana ini rupanya tidak bisa begitu saja direalisasikan karena dari awal kami sudah terbentur dengan masalah finansial. Baik aku maupun adikku, harus mencari sumber pendanaan lain ketika ada kemacetan dalam pencairan dana dari sumber dana yang awalnya kami andalkan. Kami harus mencari dan bahkan mengalihkan sebagian dana yang kami miliki untuk keperluan bisnis ini. Itupun akhirnya kami hanya berhasil menghimpun setengah dari budget awal yang kami butuhkan. Hal ini sempat menguatkan kekhawatiran adikku yang didasari oleh pengalamannya dalam gagal di berbagai usaha yang pernah digelutinya. Namun aku juga terus menerus meyakinkannya bahwa hal itu tidak akan selamanya terjadi.

Sebelumnya, aku sendiri sudah menemui masalah dalam membuka kontak dengan ketua perhimpunan alumni ini yang tampak cenderung menghindariku. Aku sempat menduga bahwa ia punya rencana tersendiri atas penjualan kaos oleh pihak perhimpunan yang dikhawatirkan terganggu oleh rencana kami. Bahkan hingga hari ini, setelah semua terlaksana, tidak sekalipun ia berhasil aku hubungi atau mencoba kembali meresponku. Hanya sebuah keputusannya yang akhirnya kami dapatkan namun tidak langsung darinya adalah bahwa tidak satu pihakpun dizinkan menjual kaos almamater kecuali pihak perhimpunan.

Rupanya dua permasalahan di atas tadi justru melahirkan suatu kepastian buat kami bahwa dana yang kami miliki sudah cukup untuk membiayai produksi kaos yang jumlahnya sesuai dengan kondisi konsinyasi dengan pihak perhimpunan. Itupun kami jadikan hal yang positif mengingat pihak perhimpunan akan menyediakan sarana mesin kartu kredit seperti yang terjadi tahun lalu, yang membuka kemungkinan lebih besar atas penjualan lebih banyak ketimbang jika kami sendiri yang melakukannya tanpa sarana tersebut. Hal lain yang sempat membuat kami lega adalah bahwa sistem konsinyasi ini otomatis membebas tugaskan pihak kami dalam turun tangan langsung dalam penjualan yang selayaknya dilakukan oleh para personel yang telah ditunjuk pihak perhimpunan untuk melakukan penjualan. Kami hanya perlu membandingkan jumlah produk yang kami serahkan dan kami terima kembali di penghujung acara dalam mendapatkan hitungan dana yang masuk dan yang harus dibagi kepada pihak perhimpunan.

Keputusan demi keputusan yang diterbitkan secara sangat lambat baik oleh pihak perhimpunan maupun pihak panitia ini membuat pergerakan produksi kami terhambat. Dan ketika waktu sudah kian sempit, kami harus menerima fakta bahwa ada kesalahan disana sini dalam produksi pemesanan kami yang tidak mungkin lagi mengalami revisi dari pihak produser. Apa yang kemudian kami lakukan di hari-hari terakhir menjelang hari H adalah menyiasati segala ketimpangan yang disebabkan oleh kesalahan produksi tersebut, termasuk memotong label ukuran yang salah dan menggantikannya dengan stiker yang bertuliskan ukuran yang benar, yang kami kerjakan hingga tengah malam sebelum event berlangsung. Pengiriman setengah dari jumlah kaos yang diproduksi di pabrik kami di Jawa Tengah juga hanya terpaksa mengalami keterlambatan hingga lebih kurang satu jam setelah acara dibuka.

Tidak seperti tahun sebelumnya, penjualan kaos oleh perhimpunan ini dilakukan di dua titik. Awalnya aku sempat mengira penambahan titik penjualan ini didasari oleh jumlah kaos yang disediakan pihak perhimpunan mengalami peningkatan dua kali lipat seperti yang pernah diutarakan ketua perhimpunan. Desain yang adapun diperbanyak mengingat ia begitu yakin penjualan kali ini bisa menggandakan jumlah tahun lalu yang mencapai hampir seribu kaos. Lucunya, pada saat kami hendak mengurus legalitas kerjasama dengan pihak perhimpunan, mereka dengan mudahnya mempersilahkan kami melakukan sendiri penjualan kaos kami dengan catatan bahwa konsinyasi dibatalkan. Alasannya klasik saja....mereka sudah terlalu sibuk mengurus hal lain sehingga tidak ingin dipusingkan dengan hal ini. Lho?

Maka sejauh itu, kami hanya ingin lebih melihat momen ini sebagai blessing in disguise dimana berapapun profit yang akan kami dapatkan tidak akan lagi terpotong royalti buat pihak perhimpunan. Namun dibalik ini semua justru ada hal lain yang terselubung. Ruangan yang disediakan untuk kami justru terpisah jauh dari tempat dimana kaos perhimpunan dijual. Kami mendapat ruangan yang letaknya di bagian belakang sekolah yang disekitarnya tidak ada kegiatan apapun. Tempat ini adalah satu-satunya tempat penjualan kaos alumni oleh pihak perhimpunan yang berseberangan dengan aula tempat diadakannya bursa tenaga kerja di tahun sebelumnya. Tahun ini, mereka menempatkannya di bagian depan di satu sisi lapangan sepak bola dimana beberapa pertandingan diadakan.

Ruangan tempat kami berjualan hanya di tempati oleh satu pihak lainnya yang juga menjual kaos almamater. Tempat yang diset seperti tahun lalu, dimana belasan desain kaos bisa dipaparkan di atas belasan jajaran meja hanya terisi oleh dua pihak penjual dengan total lima desain kaos. Ironisnya, beberapa personel panitia justru kaget melihat keberadaan kami disitu dan sepinya gelombang pengunjung yang datang, seolah mereka tidak tau menau tentang penggunaan ruangan tersebut. Mereka juga lalu menganjurkan kami untuk pindah bergabung dengan penjualan kaos yang dilakukan pihak perhimpunan di ruangan depan. Suatu anjuran yang bagus hanya jika hal itu dapat terlaksana. Nyatanya, di ruang depan itu settingan meja yang disediakan tidak mencapai setengah dari ukuran ruangan, sehingga tidak mungkin buat kami untuk seenaknya hijrah tanpa harus memaksa pihak lain bergeser mengurangi jatah lapak yang menjadi haknya.

Kepindahan kami akhirnya memang terlaksana setelah beberapa pihak yang ada di ruangan depan sudah mulai bersiap-siap menutup penjualannya di penghujung acara yang akhirnya usai jauh lebih awal dari tahun sebelumnya. Meski terbilang sepi pengunjung, kepindahan kami ini sempat mendatangkan pembeli dua buah kaos kami. Lagi-lagi sebuah berkah yang pantas disyukuri sehingga penjualan kami mencapai tiga puluh dua buah dari empat ratus kaos yang kami siapkan. Kami juga sempat siap memberi diskon besar di penghujung acara namun hal itu rupanya tidak lagi menarik sisa pengunjung yang tinggal sedikit karena pementasan grup sehebat Colors band yang dijadikan puncak acara tidak menghentikan penonton yang beranjak meninggalkan acara sebelum penampilannya dimulai.

Overall, istilah flop memang pantas diberikan kepada penjualan kami hari itu. Namun untuk sebuah event besar yang terbilang sepi pengunjung dan harus tuntas jauh lebih awal dari tahun sebelumnya, apalagi dengan segala jegalan yang pantas dinamai hingga sebagai faktor X, Y & Z ini, aku bersyukur bisa menempa banyak ilmu dan hikmah dari usaha ini. Paling tidak, ada banyak pembelajaran penting yang bisa aku dapatkan untuk melanjutkan usaha ini di masa depan. Ilmu tentang bagaimana harus menghadapi berbagai pihak yang terkait, tentang bagaimana menyikapi birokrasi yang berbelit, mengelola segala kekurangan hingga mendapatkan solusi dan memandang semuanya dari sisi yang positif. Bagaimanpun juga, ini adalah bagian dari ujian kehidupan. Ujian yang menuntut perjuangan yang hebat dan keikhlasan yang tulus untuk meraih sebuah kesuksesan. Menyiastinya dengan bersabar dan bersyukur sudah sangat cukup untuk mengahdirkan senyum kelegaan di wajahku. Alhamdulillah.





Tuesday, March 11, 2014

Failed Designs




I am an architect. Even though I no longer work in the field, I am still an architect since I studied it and got my degree from a school of architecture. During about 15 years of practice as an architect, I dealt with many clients who insisted to involve whether in the designing process or in the execution of it. I despite that action and had to turn down many projects because of it. It's not like I didn't need the money...I did. But designing buildings means creating arts, and I need freedom to explore my ideas alone.

Now that I don't work as an architect anymore, some may consider me as an unsuccessful one. They can say whatever they want to say about me, but I'm happy that I didn't let clients make me do what they wanted me to do. That, to me, is what I consider an achievement.
And as I continue admiring designs created by great architects without involvement of their clients, I can always smile, looking at the products that may be the results of their designers' lack of commitment to art.
















Tuesday, January 7, 2014

The Unknown B.W

Ada beberapa kenalan dari stus-situs media sosial yang ternyata punya bakat seni yang tidak dijalani secara profesional. Dalam keluangan waktunya, mereka kadang mempublikasikan karya-karyanya tanpa mengharapkan komen apapun apalagi peluang untuk menjadi orang terkenal. Ada yang trampil dalam membuat sketsa dan lukisan, ada yang puitis, dan adapula yang cakap dalam bidang musik. Hasrat ingin berbagi sajalah yang melatarbelakangi postingan mereka itu.

Salah satunya, sebut saja namanya Hitam Putih (karena akupun tidak tau apakah nama yang ia gunakan di situs seberang sana itu nama aslinya atau bukan), sempat menampilkan beberapa corat coretannya yang diakuinya dilakukan sebagai pembunuh waktu nganggurnya. Biasanya, ia memulai karya dari sekedar menggunakan bolpen atau pinsil di atas kertas biasa. Namun karena ia juga sering menggunakan komputer, setelah karyanya itu discan, ia terus menyelesaikannya dengan komputer atau gadget lainnya. Umumnya penyelesaian dengan penggunaan teknologi ini dilakukan dalam pewarnaan.

Hanya dua yang aku tampilkan di sini karena aku juga tidak ingin terlalu mengekspos semua karyanya mengingat ia menganggap bahwa apa yang dibuatnya belum layak dilihat banyak orang. Mungkin suatu hari nanti, aku bisa membuat suatu pameran sketsa dan lukisan yang dibuatnya, dan/atau kenalanku yang lainnya.

So, Hitam Putih, wherever you are, you know I'm talking about you and thank you for letting me use these pictures to make my site more cheerful.






Saturday, January 4, 2014

Pembelajaran

Suatu sore, sekitar 3 tahun yang lalu, aku menerima sebuah pesan singkat yang terkirim dari nomor telpon yang tidak kukenal. Isi pesannya sangat mirip sekali dengan tipikal spam yang biasanya diramu seolah berasal dari kenalan yang minta diisikan pulsa. Pesan seperti ini mungkin bisa sekali tiap dua minggu aku terima dari nomor-nomor asing, sehingga aku hampir saja mengabaikan dan langsung menghapus pesan yang aku terima sore itu. Namun ketika aku menyadari namaku disebut di dalamnya, aku mulai mempertanyakan identitas si pengirim dengan membalas pesan itu. Ternyata ia adalah kenalan dekat yang pernah berbisnis denganku beberapa tahun sebelumnya. Ia juga orang yang berjasa mengenalkan dan mengajari aku tentang penggunaan photoshop yang kemudian menjadi salah satu program andalan dalam menjalankan bisnisku.

Nilai pulsa yang dimintanya memang cukup besar hingga seratus ribu, nominal yang tidak pernah aku beli kecuali untuk pembelian paket internetan, apalagi ketika nilai sebesar itu harus aku belikan untuk orang lain. Tidak ada yang istimewa dari permintaannya kecuali permohonan yang bernada memelas tanpa memberi alasan jelas untuk apa ia membutuhkan pulsa sebanyak itu. Berhubung dana yang kumiliki juga tidak seberapa, aku tawarkan setengah dari jumlah yang dimintanya, yang langsung disetujuinya. Serta merta aku belikan pulsa untuknya dengan menggunakan internet banking karena saat itu aku harus segera pergi meninggalkan tempat kerjaku sehingga aku tidak akan mungkin lagi melakukan transaksi keuangan untuk beberapa saat. Pesan singkat mengenai pengiriman pulsa itupun aku kirimkan padanya sebelum aku pergi.

Di tengah perjalanan, ia mencoba menghubungi aku lagi untuk beberapa kali karena kondisiku tidak memungkinkanku menjawab panggilan telponnya. Lagipula aku merasa tidaklah perlu menjawab panggilan telpon itu jika ia hanya ingin mengucapkan terima kasih.
Sesampainya aku di tempat tujuan, aku langsung menjawab telpon darinya yang masih juga menghubungiku. Kali ini, ia justru memintaku untuk kembali membelikannya pulsa sebesar lima ratus ribu rupiah. Hah?! Bukankah tadi sudah jelas aku informasikan bahwa seratus ribupun aku tak mampu, mengapa sekarang jumlahnya lebih besar lagi? Lima kali lipat pula jumlahnya. Pertanyaan itu diresponnya dengan nada yang sedikit keras dengan dalih bahwa ia sedang menghadapi masalah yang sulit. Entah apa yang dilakukannya sehingga ia, seperti yang diakuinya, tengah berurusan dengan pihak berwajib di kantor polisi.

Ketika aku mencoba menjelaskan lagi kondisiku, ia malah mulai berbicara dengan nada tinggi. Semakin aku mencoba membuatnya mengerti, semakin kasar pula bahasa yang digunakannya dan semakin aku kehilangan simpatiku padanya. Permohonannya berubah menjadi makian dengan kata-kata yang kasar hingga kotor. Belum lagi tuduhan bahwa aku tidak punya belas kasihan dan keinginan untuk menolongnya...salah satu tabiat yang aku benci dari orang yang pernah aku bantu. Ia juga sempat mengancam akan menterorku kelak nanti bila kesempatan itu datang. Di posisi seperti inilah aku menyadari kalau orang yang tengah aku hadapi bagaikan bukan dirinya yang kukenal. Seribu pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dihadapinya memenuhi benakku, namun aku tidak merasa perlu mendapatkan jawabannya saat kekalapannya telah menguasainya seluruh dirinya.

Dua tahun sebelumnya, ketika aku baru saja dipaksa melepas hak kepemilikanku atas usaha jasa percetakan oleh mitra kerjaku, aku mencoba mencari jalan untuk memutar dana yang aku dapatkan sebagai kompensasi atas pelepasan sahamku itu kepada beberapa teman termasuk seseorang yang saat itu masih secara rutin bekerja sama dengan bekas perusahaan percetakaanku. Ia adalah wiraswastawan kecil yang dulunya sering menawarkan usaha kerjasama di luar urusan perusahaan dengan konsep aku yang memodali calon proyek-proyek kecil di bidang pengkomplitan barang cetakan yang dilakukannya untuk perusahaan lain. Hal seperti ini sudah beberapa kali kami lakukan dengan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Karena saat itu ia sedang tidak ada proyek, maka ia berjanji akan menghubungiku jika ada peluang lagi.

Sekitar tiga bulan kemudian, ia mengontakku dan menagih janjiku atas dana yang pernah aku tawarkan. Jumlah terbilang sedang, namun ada dua faktor yang memberatkanku. Pertama, dana yang dulu kumiliki kini telah terpakai untuk usaha lain yang telah kumulai, dan kedua adalah bahwa ternyata dana yang dibutuhkannya itu bukan untuk suatu proyek tapi untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Dengan kata lain, yang ia ajukan adalah proposal peminjaman dana untuk keperluan pribadinya. Aku sempat iba dengan kondisi keuangannya yang seret sementara tuntutan pendidikan anaknya begitu menjepitnya. Namun aku jadi kaget mendengar apa yang dikatakannya padaku setelah aku menyampaikan kesediaanku untuk memberinya sepertiga dari jumlah yang diharapkannya.

Alasan bahwa dana yang kumiliki memang sudah tidak tersedia sebanyak itu tidak menahannya untuk mencaci makiku. Ia menuduhku sebagai orang yang riya', menyombongkan kekayaan yang kumiliki sekaligus memberikan harapan kosong padanya dengan memberikan janji palsu. Lhoh...janji palsu gimana? Riya' gimana? Bukankah dana yang pernah jadi pembahasan itu aku siapkan untuk suatu kolaborasi bisnis yang sifatnya win/win? Apakah gagasan untuk menjalankan usaha bersama karena aku sedang punya dana membuatku riya'? Lagipula kami toch tidak pernah membuat perjanjian kalau dana pasti selalu tersedia untuknya? Kalaupun dana yang ia minta memang untuk suatu usaha, bagaimana kalau ia datangnya satu tahun kemudian? Apakah aku akan tetap dianggap tidak menepati janji?

Intinya, ia tengah berada di ujung tanduk. Di satu pihak ada keperluan sekolah anak-anaknya yang sangat mendesak yang harus dipenuhinya, di lain pihak bisnis yang digelutinya sedang lesu sehingga income-nya sedikit. Tapi apa iya situasi seperti ini lalu memberinya hak untuk melemparkan tuduhan-tuduhan seperti itu kepadaku? Aku mengenalnya sebagai orang yang taat beragama, dan hal itu pulalah yang mendasari minatku untuk berbisnis dengannya. Namun jika ketaatannya itu lalu melahirkan penilaian riya' padaku, aku jadi enggan sekali untuk berurusan dengannya. Ia juga sempat melontarkan mencap aku sebagai orang yang tidak punya belas kasihan sehingga tidak mau membantunya. Maka setelah gagal memberinya pemahaman tentang maksud awalku, aku sudahi saja pembicaraanku dengannya saat itu.

Hingga saat ini, aku tidak pernah lagi berhubungan dengan kedua orang ini, meskipun ia telah beberapa kali mereka mencoba menelponku atau sekedar menyapa lewat nomor-nomor telpon yang aku kenali. Aku tidak tau apa yang akan diucapkannya...kekesalan, kemarahan atau justru penyesalan. Namun aku sudah terlanjur kesal dengan yang mereka lakukan dulu, apapun alasan yang melatarbelakanginya. Buatku, lebih baik menghindari konflik yang masih mungkin terulang daripada gambling merespon mereka untuk mencari tau mengapa mereka mencoba menghubungiku lagi setelah apa yang mereka lakukan.
Dan ketika aku ceritakan hal ini pada orang lain, ada yang menganjurkan agar aku merespon mereka dengan niat yang baik, untuk menjaga hubungan silaturahim dengan mengasumsikan bahwa niat mereka pun baik. Tapi aku cenderung bertahan pada keputusanku sekedar untuk mengusung prinsip yang kumiliki....baik itu dianggap orang lain benar atau salah.

Yaaah...anggap saja aku mencoba belajar dari pengalaman...