Friday, May 15, 2015

Transaksi


 

"Bang, kelapanya satu, murni ya...dibungkus"

.........

"Jangan dikasih es, bang...khan saya minta murni tadi"
"Jadi nggak pake gula?"
"Ya nggak lah, bang"

.........

"Eh, emak...mau kelapa juga nggak?"
"Khan emak lagi puasa"
"Ya buat ntar buka, mak..."
"Ya bolehlah"
"Satu lagi ya, bang...eh pake gula nggak, mak?"
"Pake deh"
"Yang satu pake gula ya bang"
"Pakein es nggak, bu?"
"Jangan, bang...mak, pakein es nggak?"
"Kalo nggak pake es ntar nggak dingin donk?"
"Yaelah...masukin di kulkas lah, mak"
"Ya udah deh"
"Tuh bang...yang pake es satu aja"
"Jadinya pake es, bu?"
"Iyaa...yang pertama tadi. Panas-panas begini enaknya minum dingin-dingin"

.........

"Dagingnya keras ya, bang?"
"Nggak bu...lunak koq"
"Berapaan sih bang...harganya?"
"7000, bu"
"Kalau nggak pake daging?"
"Sama aja, bu. Orang jarang beli tanpa dagingnya"
"Ya udah...yang nggak pake es aja yang dikasih daging"
"Yang punya ibu nggak pake dagingnya?"
"Biarin nggak usah dikerok, bang. Ntar batoknya aja dibungkus biar saya bawa....bisa khan?"
"Dibungkus?"
"Dikantongin. Ada kantongnya nggak?"
"Ada, bu"

.........

"Mmm...keliatannya dagingnya lunak ya, bang?"
"Ya ibu liat nih...lunak khan?"
"Ya udah kalo gitu yang punya saya juga dipakein dagingnya deh. Males banget bawa kelapa berat-berat"
"Dipakein gula juga nggak?"
"Mmm...ya udah dipakein juga deh"

.........

"Nih, bang...nggak usah pake kembalian"
"Iya, bu...makasih"


Maka berlalulah wanita yang telah membelikan ibundannya air kelapa muda untuk berbuka puasa dan tip seribu perak untuk si penjual es kelapa muda.
Sementara aku hanya bersyukur dan berucap dalam hati, "Untung aku bukan suaminya..." :p


Thursday, May 7, 2015

Menjauhi Jenuh

Sudah beberapa hari terakhir ini aku merasakan kejenuhan yang menggila. Tak hanya situasi finansial yang masih saja belum membaik dan jumlah kerjaan yang tidak memenuhi ekspektasiku, aktifitas keseharianku juga terasa terusik dengan surrounding yang tidak mendukung. Di samping itu aku juga belakangan diganggu oleh sakit kepala yang sering datang tiba-tiba tanpa aku tau sebabnya. Dugaanku, mungkin karena stress yang tanpa kusadari menghinggapiku. Keinginan untuk pergi berlibur meninggalkan rutinitasku belum bisa dieksekusikan mengingat keterbatasan dana yang ada.

Lalu kemarin pagi ketika aku terbangun dan sedang mencoba mengatur jadwal aktifitasku seharian, aku mendapat sebuah pesan singkat dari kakakku yang tinggal di serpong, tangerang, yang isinya mengajakku menemui seorang rekanan senior di perusahaan kami guna sekedar sowan sambil bertukar pikiran tentang perusahaan kami yang hingga kini masih belum jelas masa depannya. Partner senior kami ini, yang tinggal di wilayah serpong juga, adalah seorang pakar di bidang usaha yang kami geluti, sehingga aku pikir hal ini bisa menjadi sesuatu yang tidak hanya bermanfaat bagi aku yang tengah mencari jalan keluar dari kejenuhanku, namun juga bagi kami untuk mendapatkan ilmu secara gratis. Maka aku langsung mengkonfirmasikan kesediaanku dan menyiapkan diri untuk memulai hariku.

Kunjungan ini akan menjadi yang kedua setelah sebelumnya pernah kulakukan beberapa bulan silam. Saat itu aku memang memilih kereta api yang berangkat dan kembali bukan pada jam-jam sibuk agar aku bisa duduk cantik menikmati perjalanan. Namun karena aku sudah tidak sabar lagi untuk segera memulai perjalanan jauh itu, aku putuskan berangkat pagi. Suatu keputusan yang membuat kaget kakakku mengingat ia paham sekali jadwal kereta api yang aku pilih tidak akan memberikan kenyamanan buatku. Dan begitulah yang terjadi ketika aku harus terkompres diantara penumpang lainnya yang sedang dalam perjalanan menuju tempat kerjanya bagaikan ikan sardine yang masih dalam kalengnya. Tidak nyaman sekali memang, namun setidaknya aku bisa mengalami hal yang sudah sering dialami kakakku dulu setiap ia harus berangkat ke kantor.

Sesampainya di stasiun sana, tanpa kuduga, kakakku menjemputku dengan sebuah motor. Wah...suatu hal yang sangat tidak biasa namun efisien mengingat penggunaan motor itu juga begitu praktis karena mudah terhindar dari kemacetan dan mudah mendapatkan tempat parkir. Itu sebabnya dengan kedatanganku yang jauh lebih awal dari kakakku duga, waktu luangku begitu banyak sehingga kami sempat sarapan dahulu di sebuah warung mie ayam sambil saling meng-update situasi genting yang tengah kami hadapi masing-masing sebelum kami mengunjungi partner senior kami untuk membahas hal yang resmi. Kunjungan silaturahim itu sendiri bersifat cukup intens dan berlangsung selama dua jam hingga beliau mengingatkan kami bahwa ia harus segera berangkat untuk mengajar di universitas Trisakti.

Tidak seperti pada kunjunganku sebelumnya yang banyak dihabiskan di rumah kakakku, ia kemudian mengajakku melihat kedua unit apartemen kosong yang dimilikinya sebagai investasi. Disitu kami mengobrol berdua saja meneruskan pembicaraan kami yang tadi sempat terputus di warung mie ayam. Obrolan kami ini sangat santai dan tidak seperti ketika kami mengobrol di rumahnya yang sering terinterupsi oleh banyak urusan rumah yang harus ia lakukan. Sekali lagi kami membahas banyak hal termasuk hubungan kami dengan anggota keluarga besar kami. Bukan topik favoritku tapi setidaknya aku dapat cukup informasi tentang apa yang terjadi di dalam keluarga besar yang telah lama aku jauhi.

Dari situ aku diajak kakakku ke toko besar yang sudah sejak lama ia anjurkan kepadaku untuk dikunjungi. Sebuah toko furniture dan perlengkapan rumah tangga yang amat lengkap yang mungkin terlalu besar untuk dikunjungi di saat waktuku yang tidak tersisa banyak. Sayangnya, tempat ini sangat ideal bagi mereka yang punya uang banyak untuk dibelanjakan, bukan orang-orang seperti kami di saat yang kritis seperti sekarang. Jadi, kami hanya cuci mata di satu dari dua lantai showroom yang ada. Itupun kami lakukan dengan tergesa-gesa karena aku mendapat kabar bahwa seorang teman dekatku baru saja mengalami kecelakaan motor dan sedang dirawat dirumah sakit sehingga ada kemungkinan aku bisa menjenguknya nanti. Maka kami memilih duduk bersantai di coffeeshop-nya sambil menikmati kopi sore kami sebagai penutup kunjunganku.

Akhirnya akupun belum bisa menjenguk temanku di rumah sakit, meskipun aku sekali lagi harus memburu waktu dan berhimpit-himpit di dalam kereta bersama mereka yang pulang kerja. Namun perjalananku kemarin benar-benar telah membawa angin segar buatku di tengah kejenuhanku. Aku tidak kapok dan tidak keberatan untuk melaluinya lagi kelak nanti jika waktu mengijinkan. Toch di balik itu semua aku dapat pelajaran banyak yang bermanfaat. Dan aku tersenyum ketika membaca pesan pendek dari kakakku setibanya aku di rumah;
"Quite a journey, huh?" :)


Tuesday, April 7, 2015

Musuh Kedua

Aku bukan seorang ahli agama, sosial apalagi politik. Tentunya aku juga punya pendapat tentang segala topik yang tengah meradang di negeri ini namun, sesuai sifatku yang terbentuk sejak muda, aku lebih memilih diam sambil terus menyimak dan mengamati, atau maksimal membahasnya dalam skala yang kecil dengan segelintir teman, yang meskipun aku tau sering punya sudut pandang yang berbeda, namun punya pikiran terbuka sehingga pembahasannya tidak berbuntut debat kusir. Jadi tulisanku ini hanya sekedar berdasarkan suara dari hati tanpa dirasa perlu disertai nara sumber manapun.

Yang saat ini tengah melambung namanya seantero negeri adalah ISIS. Ada yang setuju dengannya karena percaya pada paham dalam memperjuangkan negara yang Islami (khilafah) yang dipimpin oleh seorang khalifah. Ada yang tidak suka dengan cara berjihadnya yang menyertakan faktor kesadisan. Ada juga yang menentangnya karena dianggap sebagai organisasi terselubung yang dibentuk orang Israel untuk memecah belah dunia Islam. Aku percaya ISIS itu "sesuatu yang cetar membahana" hingga mampu membuat hati pembahasnya panas dan kadang memilah teman atau sanak saudara hanya karena perbedaan pendapatnya. Yang diulas disini bukan pendapatku tentang ISIS tapi tentang efeknya terhadap ketentraman hidup kaum muslim, khususnya di negeri tercinta ini.

Jelas sudah sebagian dari kita telah kena dampak dari adanya ISIS ketika kita mulai berjarak dengan mereka yang sebelumnya seolah begitu dekat dengan kita karena kita punya pendapat yang bertentangan. Negeri ini khan memang sedang mengalami gejolak dimana-mana sejak kita hendak memulai pesta demokrasi menyambut Pilpres yang lalu. Kemudian hal demi hal yang berkenaan dengan kebijakan dari pemerintahan selalu disambut dengan pro dan kontra oleh masyarakat yang sudah terlanjur terbeleah dalam dua kubu. Dan jika sekarang ISIS menjadi suatu hal baru yang mewarnai perpecahan dan permusuhan diantara dua kubu ini, harusnya kita tak perlu panik.

Begini....
Ingat perang Diponegoro dan perang Padri melawan musuh yang sama yang berakhir dengan kekalahan bagi pangeran Diponegoro dan tuanku Imam Bonjol? Padahal harusnya pihak musuh (VOC) bisa dengan mudah ditaklukan ketika mereka harus membagi kekuatannya ke Jawa Tengan dan Padang.  Sialnya, Pangeran Diponegoro dan tuanku Imam Bonjol tidak saling mengenal meskipun daerah-daerah yang mereka pertahankan dari usaha perampas itu sama-sama bagian dari negeri ini. Kondisi ini dimanfaatkan pihak musuh untuk menunda perang dengan pasukan tuanku Imam Bonjol, agar mereka bisa konsentrasi dalam perang melawan pasukan pangeran Diponegoro. Setelah urusan di tanah Jawa tuntas, barulah mereka beralih ke ranah Minang untuk melanjutkan perang Padri yang tertunda sebelumnya.

Memang pangeran Diponegoro bukanlah musuh tuanku Imam Bonjol, namun seandainya begitupun, mungkin saja VOC hadir sebagai musuh kedua bagi keduanya. Dan musuh kedua yang formatnya lebih besar dan lebih kuat tentunya akan menyita perhatian dari kedua pahlawan nasional yang kekuatan pasukannya terbilang jauh lebih kecil. Hal itu yang kemudian memungkinkan bagi mereka untuk bersatu melawan ancaman yang lebih besar.
Nah, jika masyarakat kita ini sedang menghadapi (sebut saja) perang dingin domestik karena suhu politik tengah memanas, mungkinkah kita bersatu menghadapi lawan yang lebih mengancam? Harusnya bisa, hanya jika kita semua percaya bahwa kita memang sedang diancam oleh hadirnya musuh kedua.

Pertanyaan berikutnya, siapa yang akan menjadi musuh kedua kita?

Apapun ISIS itu, tentunya kita akan tau nanti jika bukti-bukti yang lebih otentik sudah jelas terlihat. Jika memang apa yang ada di balik ISIS adalah suatu ancaman besar, harusnya kita bisa lalu bersatu untuk menghadapinya. Apalagi kalau benar Israel berdiri di belakangnya, ummat Muslim harusnya bersatu mengesampingkan perbedaan pahamnya.

Dalam Islam disebutkan bahwa pada akhirnya Imam Mahdi akan hadir dan memimpin ummat Muslim dalam perang akbar melawan musuh terbesarnya. Tak pernah disebutkan seperti apakah rupa beliau atau kapan waktu kehadirannya. Yang jelas, sejauh ini belum ada satu pihakpun yang layak dianggap sebagai musuh besarnya, sehingga (bisa dikatakan) tidak ada ancaman yang berarti bagi ummat Islam. Boleh saja orang mengatakan bahwa Islam saat ini sedang diacak-acak, entah secara sengaja oleh pihak yang sirik terhadapnya atau bahkan oleh ummatnya yang secara tidak sengaja memusuhi sesamanya dengan pembelaannya masing-masing. Namun aku percaya bahwa kehadiran musuh besarnya kelak akan menyatukan mereka kembali.

Apapun dan siapapun yang nantinya hadir sebagai musuh kedua bagi ummat Islam pasti akan menyatukan semua perbedaan diantara ummat Islam dalam perang akbar. Begitu pula dengan musuh kedua bagi rakyat negeri ini yang kelak bisa menyatukan suara rakyat dalam menghadapinya. Jadi, tak perlulah berspekulasi tentang kehancuran negeri ini. Morat-maritnya stabilitas nasional di segala bidang saat ini hanyalah sebuah proses (panjang) perkembangan zaman yang akan sampai pada fase kemakmuran ini lewat persatuan bangsa yang mungkin disebabkan oleh hadirnya musuh kedua.



Monday, March 30, 2015

Siagalah!

Tak ada yang bisa memungkiri bahwa saat ini masyarakat kita tengah berada di suatu posisi yang teramat sulit. Belum selesai orang mempertanyakan tentang hasil kepemimpinan presiden Jokowi yang dianggap tidak mencapai target janjinya (bagi mereka), muncul lagi topik baru yang singgahnya pada sosok yang erat hubungannya dengan presiden ke 7 ini.

Ahok, yang menjabat sebagai pengganti Jokowi di tahta kepimpinan kota Jakarta, sedang menjadi primadona pemberitaan dimana-mana, terutama di media internet yang memberi kebebasan bersuara pada setiap orang. Gaya bicaranya yang terkenal tegas, ceplas ceplos, berani dan kadang cenderung kasar memberikan berbagai alasan kepada orang untuk menanggapinya. Beberapa waktu yang lalu ia sempat melontarkan kata-kata yang dinilai tidak etis diucapkan seorang pejabat. Tidak berhenti disitu, ia bahkan melakukan pembelaan disana sini tanpa pilih kasih pada siapapun yang menudingnya. Suatu keberaniannya yang telah ditunjukkannya sejak ketika ia masih menjadi wakil gubernur. Hanya saja dulu, sebagai orang kedua pemegang tampuk kepemimpinan, tindak tanduknya itu tidak terlalu digubris karena (mungkin) gaya kekaleman Jokowi dianggap bisa mengimbanginya.

Nah, ketika pada saat yang sama kepemimpinan negara dan kepemimpinan ibukota sedang dipertanyakan, lagi-lagi terjadi perang debat antara pro dan kontra-nya. Meski ini bukan kali pertama rakyat menyatakan ketidakpuasannya terhadap kinerja (atau ahlak) orang-orang nomor satu di negeri ini, namun sepertinya baru kali ini ada suara sumbang yang mengisyaratkan penyesalan telah menjatuhkan pilihannya di ajang Pilpres maupun Pilkada yang lalu. Dan dengan terdengungnya suara-suara itulah lalu muncul mereka-mereka yang mencuatkan kekhawatiran akan ambruknya kondisi kesejahteraan rakyat sambil mengajakan untuk ikut berjuang memperbaiki nasib bangsa.

Ironisnya, ajakan ini diiringi dengan ketakutan yang (bagiku) terlalu dramatis. Dengan menghadirkan lagi quote-quote yang bernafaskan perjuangan atau sosial dari orang-orang terkenal terdahulu seperti Chairil Anwar atau Tan Malaka atau Soekarno, bahkan yang bersifat religius dari sosok yang mendunia seperti Ummar bin Khatab, ajakan itu jadi lebih terasa bersifat menakut-nakuti. Takut kalau negeri ini morat-marit lah. Takut kalau peristiwa 1988 terulang lagi lah. Takut kalau keamanan negeri terancam seperti tahun 1965 lah, dan lain-lain. Padahal, mereka yang melakukan aksi pendramatisan ini rata-rata masih terbilang muda untuk dianggap terkena dampak bahkan dari peristiwa tahun 1988. Lalu mereka tau apa? Apakah kegentingan yang mereka gambarkan itu terbentuk berbasis apa yang mereka baca dari internet? Yang bisa ditulis oleh siapapun tanpa kenal batasan dan tak perlu lolos sensor pihak berwenang? Otentikkah?

Kita harusnya ingat apa saja yang kemudian terjadi setelah peristiwa-peristiwa nasional itu. Ada hari baru dengan harapan baru setelah malam yang buruk berlalu. Ada perjuangan yang mengawali perubahan yang kemudian (bisa) membawa negeri ini ke fase yang lebih baik, meskipun hanya sesaat bila kemenangan yang (diduga) telah kita raih itu ternyata hanya semu atau sebuah langkah yang salah. Dulu banyak yang menganggap pemaksaan Soeharto untuk lengser ternyata tidak pada tempatnya. Sekarang terjadi lagi tentang pemilihan para pemimpin. Harusnya ketimbang meratapi kesalahan itu, kita bisa bersikap legowo dengan apapun yang akan terjadi tanpa perlu berspekulasi ini itu. Kalau saja nantinya negeri kita tercinta ini harus menghadapi masa-masa kritis, biarlah itu dilalui dengan penuh kebijaksanaan diri tanpa melakukan aksi-aksi anarkis yang (ternyata) bisa saja jadi salah langkah (lagi). Karena suatu kesuksesan dari hasil perjuangan kesabaran yang hebat akan punya aroma yang lebih harum daripada yang didapat dengan mudah.

Bagai semut yang bekerja keras mengumpulkan stok pangan menghadapi musim dingin, harusnya kita juga mempersiapkan diri menghadapi masa paceklik yang mungkin terjadi kelak.
Berhentilah bicara yang tak penting dan mulailah membekali diri....!!



R.E.S.P.E.C.T

Most people say that money isn't everything, but I'm pretty sure there are some other believe otherwise. Take my friend for instance. He once said to me (and I'm sure to others too), that people who say money can't buy everything are those who don't know where to shop. He believes that people, religion and even God can be bought. He proved it when he was actually treated as if he was so powerful to some of his followers. At that time, he was like a God to them that whatever he said would be marked as something they had to believe. As for love and happiness, they are like affordable materials.

I never agree with his believe about money since I know whatever bought with money would only worth as much as the amount of the money and last that long (or short). We would lose it soon as we lose the money, as simple as that. And that goes the same for respect. Happiness in your society can be created when you get respect from people. And you would only get respect when you give it as well. That's how you earn it, not by buying them.
And while my friend keeps spending money to keep himself happy, I would rather save my money and go the hard way, trying to show respect to those who may make my life miserable. It may take a lot to swallow my pride but I'm going for the true happiness that would come along the way.

I don't care if you only respect me when you can get some money out of me because if that's what it takes, respect from you may not be one of the keys to my happiness. You may think it would make people assume you have power to control my life that they would respect you for it, but you would never get it from me for you may be among those who don't determine my happiness as I to yours. I believe I have a path to go through in life. And when I believe the path isn't going to take me to where to go or I may be taking the wrong ride, I would let the bus stop and take another or even take a walk if that would be my option. I'm not planning to do some spending for something that is actually free or worthless and meaningless to my happiness.


Monday, March 23, 2015

Salah Alamat

Kemarin pagi aku sibuk berkomen ria di beberapa grup Whatsapp yang aku ikuti. Mungkin karena memang di hari libur seperti itu banyak orang yang sedang santai sehingga punya banyak waktu untuk berinteraksi aktif seperti aku. Salah satu grup-nya hanya beranggota kakak dan adik kandungku saja, dan kali ini topik pembicaraan kami bersifat khusus untuk lelaki dewasa dengan pengikutsertaan beberapa foto-foto yang vulgar. Tentu saja ini adalah hal yang fun bagi kami yang memang punya hubungan persaudaraan yang kental sejak kami kecil.

Sialnya, ketika salah satu foto itu hendak aku kirim ke seorang temanku, juga lewat Whatsapp, aku justru mengirimkannya ke grup Whatsapp lainnya yang terdiri dari sekian banyak peserta yang setengahnya adalah wanita. Pasalnya, kamu Hawa disitu kebanyakan lebih cenderung akan menilainya sebagai tindakan yang tidak etis. Belum lagi kalau kemudian diikuti dengan penghakiman atau bahkan penuduhan yang bukan-bukan.

Aku sempat kelimpungan mencari cara untuk "nge-les" sebagai antisipasi dari protes yang bisa kapan saja segera dilemparkan. Untungnya, foto yang salah alamat itu bukan bersifat vulgar meskipun bisa membentuk sebuah penganggapan di benak siapapun yang melihatnya bahwa akulah pembuat foto tersebut yang mengartikan bahwa aku termasuk lelaki yang "nakal". Sempat aku berniat untuk meminta moderator grup untuk mencabut foto itu mengingat hanya ia yang punya wewenang atas hal itu. Namun aku urungkan niatku karena moderatornya pun seorang wanita. Kemungkinan besar ia akan dengan senang hati melakukannya jika memang ia menganggap foto itu tak layak bertengger disitu, hanya saja aku belum mampu untuk menanggung malu dalam memintanya.

Yang lebih menguntungkan adalah bahwa ada beberapa teman lelaki yang mengendus kesalahanku itu dan segera saling bersautan secara marathon sambil perlahan memanuverkan topik pembahasan. Alhasil, interaksi kami, sesama peserta lelaki, berakhir di pembahasan pembentukan bisnis baru di dunia kulineri, yang memang belakangan tengah diminati sejumlah teman wanita di grup ini yang kemudian juga "turun gunung" untuk ikut membahasnya.
Sementara setelah lebih kurang satu jam sejak kesalahan yang aku lakukan, foto itu dicabut oleh moderator.

Phew...sebuah polemik yang mungkin bisa selalu terjadi jika kita tidak berhati-hati ketika tengah aktif berinteraksi aktif dengan banyak pihak secara bersamaan. Yang penting diingat adalah bahwa kita harus siap dengan respon yang cerdik saat kita sedang terpojok.



Sunday, February 22, 2015

Menghayati Kehidupan

Pagi ini dapat email dari Soundcloud yang menyatakan kalau sebentar lagi jumlah download postingan lagu ini mencapai batas maksimum yang ditentukan sehingga jika saya tidak meng-upgrade akun saya, tombol download-nya akan dinonaktifkan begitu mencapai limit.

Saya lalu ingat kekecewaan saya waktu dengar kalau alm. Chrisye memutuskan untuk berhenti memainkan bass-nya (yang mungkin demi mengikuti demand dari pelaku bisnis musik terkait), sementara (ini yg banyak orang tidak tau) ia adalah seorang bassist hebat yang permainannya punya ciri khas tersendiri seperti yang bisa terdengar dalam lagu ini.

Intinya bukan di jumlah downloadnya, tapi di bagaimana orang bisa (dan mau) menghargai karya seni musisi terdahulu saat industri musik kita belum dijadikan ajang sapi perah  dan dihantui pembajak yang mengebirikan kreativitas musisi.

oh well...begitulah kehidupan


https://soundcloud.com/docsx/kehidupanku-fariz-rm-junaidi