Belakangan ini nama Mardigu WP ramai dibicarakan orang karena pernyataan²nya jadi viral. Bagaimana tidak? Kemunculannya ini diikuti pembicaraan tentang dirinya yang jadi viral. Dari yang selama ini nyaris tidak dikenal, tiba² memang sosoknya muncul di banyak media termasuk di beberapa media selebriti dengan segala teori, motivasi dan kritik yang kontroversial. Tak heran keviralannya berlandaskan tak hanya simpati tapi juga antipati dari publik. Topik pembicaraannya pun meliput banyak hal; filosofi, ekonomi, bisnis hingga politik. Konten nya dinilai pantas diperhitungkan, dan penyampaiannya dengan cara menggebu² sehingga terkesan menohok. Terkesan sebagai sosok yang serba tau di banyak bidang, ia secara instan jadi pusat perhatian. Tak salah kalau ada yang komen dengan mengingatkan agar tidak me-nabi-kan dirinya.
Sebenarnya ia sudah wira wiri kesana kesini sejak era 90an. Hanya saja hingga awal tahun ini, ia memang lebih suka bekerja di balik layar. Banyak sukses yang diraih dari usaha dan misi-nya, namun ia selalu menampilkan anak didiknya sebagai pemeran utama dalam keberhasilannya. Wajar jika orang banyak yang mempertanyakan jatidirinya ketika data keberhasilannya di berbagai bidang usaha selama lebih dari 2 dekade terakhir ini dibeberkan, sementara selama itu juga sosoknya tidak pernah ditampilkan. Lalu kenapa akhirnya ia memutuskan untuk ikut tampil di atas panggung jika selama ini merasa nyaman hanya menjadi dalang? Tentunya (akhirnya) ada hal yang memicu dirinya untuk muncul ke permukaan. Ia sudah mengutarakan alasannya, namun biarkan ia sendiri yang mempublikasikannya di saat yang menurutnya tepat.
Nah...sosok seperti itu bukanlah satu²nya yang kukenal.Kakak sulungku juga seperti itu namun bedanya, hingga kini ia tidak pernah memunculkan dirinya. Sepintas, ia dengan mudah mungkin dinilai sebagai orang yang sederhana, humble dan gaptek dengan kemampuan yang terbatas. Belum lagi ditambah fakta bahwa ia tidak menunjukkan kesuksesan hidupnya dalam bentuk materi. Hingga saat inipun ia dan istrinya hanya tinggal menumpang di rumah anak sulungnya. Kalau ditanya, kesuksesan apa paling besar yang ia pernah dapatkan, jawabannya modest: mendidik anak²nya sehingga menjadi sukses. Tak bisa dipungkiri bahwa kesuksesan yang diraih anak²nya didapat setelah ia terlebih dahulu Babat Alas, atau memuluskan jalan di depan mereka. Cara yang dipilihpun bukan cara yang jelaster²an terlihat dengan kasat mata tapi lebih ke cara gerilya.
Seorang tanteku, sepupu langsung ayahku, yang sempat bertindak sebagai mediator untuk kakakku yang ketika itu menjalankan perusahaan ayahku dengan seorang pengusaha yang sangat terkemuka, pernah bercerita tentang pengalamannya menghadiri presentasi kakakku di depan pengusaha ini. Presentasinya berjalan mulus diikuti dengan tanya jawab yang memakan waktu sekitar 1 jam ketika pengusaha itu berpamitan pergi sambil berjanji akan mempertimbangkan penawaran bisnis yang diajukan kakakku. Di dalam elevator, dengan nada keheranan ia bertanya pada tanteku,
"Haduh...siapa sih dia itu, bu? Itu benar keponakan ibu? Saya kemarin² searching namanya di internet cuma nemu satu situs tentang dia dan itu hanya situs silsilah keluarga. Ya karena nggak nemu apa², sebenarnya tadinya saya sudah males datang kesini. Lha ternyata hebat sekali orangnya. Wah...puinter tenan dia. Saya nggak nyangka ada orang seperti dia lho, bu"
"Mosok sih, pak?", sambut tanteku.
"Lho iya lho. Pemikirannya itu luas sekali. Itu orang jenius. Nggak pernah terpikirkan sama saya tuh. Strateginya banyak yang simpel tapi masuk akal...dan gampang diterapkan...dan nggak pernah terpikirkan sama saya. Wuiiih...bener² hebat lho dia. Ya khan?", tanyanya pada tiga orang yang mendampinginya dan dibalas dengan anggukan.
"Yang saya heran itu, koq orang sepinter itu nggak ada datanya di internet? Asli bingung saya. Medsos nggak ada, berita tentang dia juga nggak ada. Lha trus selama ini usahanya apa? Mosok sehebat itu koq nggak ada track recordnya sama sekali. Blasss...nihil, kayak hantu. Sumpah Nggak ngerti saya". Apa jangan² dibisa menyembunyikan situs² yang nyebut namanya...saking pinternya gitu lho?
Dan itu bukan sekali²nya orang dibuat kagum olehnya. Padahal penampilan kakakku itu sangat tidak mencerminkan kesuksesan. Pakaiannya bukan yang branded. Kurus dan terkesan lebih tua dari umurnya karena jalannya cenderung membungkuk. Kesana kemarinya pun sering dengan taksi. Bahkan acapkali dengan bus atau angkot sambil mengaku sedang kempes kantongnya. Sementara anak²nya yang usahanya sukses, berkendaraan yang tergolong mewah. Anak sulungnya sempat punya 3 mobil mewah dan punya kedudukan bagus di sebuah kementerian. Tak sering mereka menawarkan barang atau pakaian ber-merk kepada kakakku tapi ditolaknya dengan alasan ia kurang suka menggunakan barang mewah yang tidak dibelinya sendiri. Sedangan jika membeli sendiri, ia lebih suka yang murahan. Tak hanya itu, sesekali ia kemana² mengenakan kacamata dengan gagang terlilit selotip tebal penutup bagian yang patah.
Ia memang bukan sosok yang aku jadikan panutan di banyak hal, namun khusus untuk kesederhanaannya dalam menampilkan dirinya ini aku jadikan contoh yang layak aku tiru. Meskipun ia tidak anti bersosialita, namun cara nya ini pas untuk seorang aku yang Introvert. Cocok untuk aku yang sejak dulu selalu menghidar dari sorotan kamera tiap kebetulan sedang bersama tokoh² yang menjadi incaran wartawan. Memang aku lebih suka tidak dikenali luas oleh publik sehingga aku lebih leluasa bergerak kemanapun aku ingin. Dan kelak jika apapun usaha yang aku tekuni membuahkan hasil yang begitu besarnya sehingga menjadi berita yang meluas di masyarakat, aku akan lebih nyaman menikmatinya dari balik layar. Karena sehebat apapun tokoh wayang di tampilkan & sedahsyat apapun cerita yang bergulir, penentunya adalah dalangnya. Disitulah nikmatnya.
Doc's Whatever...
Monday, June 8, 2020
Thursday, June 4, 2020
Shock Therapy
Aku bisa disebut tergolong Introvert...orang yang cenderung lebih fokus pada pikiran dan perasaan dari diri sendiri ketimbang dari luar. Mungkin karena itulah lebih suka menyendiri karena merasa lebih nikmat dibandingkan dengan keramaian. Disaat menyendiri, aku cenderung melakukan apapun yang bisa aku lakukan. Artinya....kl memang saat itu aku hanya bisa melamun ya aku akan melamun. Melamunnya bisa berisi apa saja yang terlintas dibenakku. Kalau opsinya tidur ya aku akan coba tidur. Jadi mungkin kaum introvert seperti aku memang tidak mengharuskan ada pihak lain untuk bisa merasa nyaman. Bukan berarti tidak butuh orang lain lho. Kalau ada orang lain bisa jadi hal yang plus.
Sudah dua bulan lebih rakyat kita, khususnya warga kota ini terpaksa terisolir di rumah karena adanya pandemi Corid-19. Meski peraturan resminya baru diterbitkan dan dilaksanakan menjelang datangnya Ramadhan, namun aku termasuk yang jauh sebelumnya sudah membatasi diri untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Kebetulan pula anak²ku memang sudah libur sebelum peraturan resmi itu berlaku sehingga tidak ada alasan untuk aku mengizinkan mereka keluar rumah. Sekolah pun diharuskan dilakukan di rumah secara virtual.
Nah kata virtual inilah keyword nya. Ini berarti sambungan internet di rumah ku harus kencang demi kelancaran mereka bersekolah di rumah, apalagi di penghujung tahun ajaran seperti ini ada ujian nya. Terbayang khan ironisnya jika mereka harus menjalani ujian dengan koneksi internet yang lambat? Kegagalan mereka otomatis jadi kesalahan kita sebagai orangtua yang bertanggung jawab mengamankan koneksi internet buat mereka. Koneksi internet jadi faktor penting yang menentukan masa depan studi mereka.
Alhamdulillah aku bisa mengamankan koneksi internet di rumah sehingga semua kegiatan sekolah di rumah mereka itu berjalan lancar.
Kelancaran dan ketidakterbatasnya koneksi itu rupanya berbuah juga di luar urusan sekolah. Mereka jadi lebih sering menghabiskan waktunya bergumul dengan gadgetnya. Apalagi sejak penggunaan aplikasi video call atau conference diterapkan dalam pelaksanaan Sekolah Di Rumah, mereka jadi doyan berinteraksi dengan teman²nya lewat aplikasi tersebut. Belum lagi nonton YouTube, film layar lebar, video di medsos, dowload lagu, gambar, ini dan itu...pokoknya banyaklah yang tentunya butuh kecepatan koneksi tinggi kalau perlu tanpa batasan.
Efek buruknya, aku sering dibuat kesal karena mereka jadi lamban merespon saat diajak berinteraksi. Begitu pula saat dengan tugas yang aku berikan tidak serta merta langsung dikerjakan hanya karena mereka sedang terkunci pada sesuatu di gadget mereka; nonton lah, chatting lah, dan paling parah sedang terlibat dalam game bersama teman sehingga tidak bisa ditinggalkana begitu saja karena sifatnya yang online. Alasannya, tidak bisa di pause, atau harus tunggu selesai dulu. Ini yang sering membuat saya geram. Bagaimana tidak? Pengeksekusian tugas yang penting sering tertunda hanya karena hal yang sepele. Tak jarang pula tugas itu terlupakan saking lamanya tertunda.
Sejak awal minggu lalu, tiba² koneksi internet menjadi melambat. Tidak mati tapi lambat. Begitu hal itu terjadi, aku langsung tau alasannya...belum bayar tagihan nya. Namun ketika dipertanyakan anak²ku, aku merespon dengan alasan mungkin karena traffic nya sedang padat mengingat dalam suasana Lebaran dimana masih banyak orang yang mengirimkan ucapan selamat. Beberapa hari kemudian, alasanku berganti menjadi sedang adanya maintenance jaringan...seolah info itu aku dapatkan dari pihak perusahaan internetnya. Hingga hari ini, aku tetap belum membayar tagihan tersebut sementara koneksi yang ada kian hari kian melambat. Dan semalam anak sulungku terlihat sangat kesal karena usahanya untuk melakukan video call jadi terkendala. Padahal sudah beberapa hari terakhir ini ia tidak tidur semalaman karena melakukan video call dengan (asumsi ku) seorang teman wanita nya. Mungkin sedang asyik²an nya PDKT.
Kenapa aku juga belum membayarnya?
Bukannya tidak mampu...tapi karena belum ingin. Aku sedang memberi mereka shock theraphy untuk membatasi mereka menggunakan internet. Sederhananya...aku ingin mereka lebih peka terhadap apa yang terjadi di sekeliling mereka. Lebih tangkas dalam menerima tugas, dan lebih gesit dalam menindaklanjuti penugasan yang diterimanya. Aku tak ingin mereka terus menerus mengikatkan diri pada apapun yang bisa didapat lewat internet. Dan hasilnya, mereka sudah mulai lebih men-dunia nyata dan tak banyak terpaku pada yang maya. Mereka lebih sering duduk bersamaku di depan pesawat televisi dibanding sebelumnya. Dan urusan rumah seperti mencuci piring, menjemur pakaian dan membersihkan rumahpun jadi sering dilakukan oleh mereka dalam mengisi waktu luangnya.
Aku bukannya berupaya membatasi ruang gerak mereka. Juga bukan untuk mendikte apa yang harus mereka kerjakan. Tapi mencoba mengajarkan kepada mereka untuk tidak bergantung pada satu atau dua hal saja. Mereka bukan introvert seperti aku, tapi aku harap mereka bisa punya banyak opsi untuk mendapatkan kenyamanan. Kalau memang masih harus terisolasi di rumah, mereka masih bisa melakukan banyak hal secara offline seperti bermain alat musik, membaca buku atau novel atau surat kabar, menulis, menggambar atau hanya sekedar ngobrol antar mereka dan dengan orangtua nya. Mungkin tidak mudah di jaman sekarang yang semuanya serba online, tapi bukanlah tidak mungkin. Jadi kalau suatu hari tiba² jaringan internet terputus seantero negri seperti yang pernah sekali terjadi awal tahun ini, minimal mereka tidak kaget.
Hmmm....seandainya mereka juga Introvert.
Sudah dua bulan lebih rakyat kita, khususnya warga kota ini terpaksa terisolir di rumah karena adanya pandemi Corid-19. Meski peraturan resminya baru diterbitkan dan dilaksanakan menjelang datangnya Ramadhan, namun aku termasuk yang jauh sebelumnya sudah membatasi diri untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Kebetulan pula anak²ku memang sudah libur sebelum peraturan resmi itu berlaku sehingga tidak ada alasan untuk aku mengizinkan mereka keluar rumah. Sekolah pun diharuskan dilakukan di rumah secara virtual.
Nah kata virtual inilah keyword nya. Ini berarti sambungan internet di rumah ku harus kencang demi kelancaran mereka bersekolah di rumah, apalagi di penghujung tahun ajaran seperti ini ada ujian nya. Terbayang khan ironisnya jika mereka harus menjalani ujian dengan koneksi internet yang lambat? Kegagalan mereka otomatis jadi kesalahan kita sebagai orangtua yang bertanggung jawab mengamankan koneksi internet buat mereka. Koneksi internet jadi faktor penting yang menentukan masa depan studi mereka.
Alhamdulillah aku bisa mengamankan koneksi internet di rumah sehingga semua kegiatan sekolah di rumah mereka itu berjalan lancar.
Kelancaran dan ketidakterbatasnya koneksi itu rupanya berbuah juga di luar urusan sekolah. Mereka jadi lebih sering menghabiskan waktunya bergumul dengan gadgetnya. Apalagi sejak penggunaan aplikasi video call atau conference diterapkan dalam pelaksanaan Sekolah Di Rumah, mereka jadi doyan berinteraksi dengan teman²nya lewat aplikasi tersebut. Belum lagi nonton YouTube, film layar lebar, video di medsos, dowload lagu, gambar, ini dan itu...pokoknya banyaklah yang tentunya butuh kecepatan koneksi tinggi kalau perlu tanpa batasan.
Efek buruknya, aku sering dibuat kesal karena mereka jadi lamban merespon saat diajak berinteraksi. Begitu pula saat dengan tugas yang aku berikan tidak serta merta langsung dikerjakan hanya karena mereka sedang terkunci pada sesuatu di gadget mereka; nonton lah, chatting lah, dan paling parah sedang terlibat dalam game bersama teman sehingga tidak bisa ditinggalkana begitu saja karena sifatnya yang online. Alasannya, tidak bisa di pause, atau harus tunggu selesai dulu. Ini yang sering membuat saya geram. Bagaimana tidak? Pengeksekusian tugas yang penting sering tertunda hanya karena hal yang sepele. Tak jarang pula tugas itu terlupakan saking lamanya tertunda.
Sejak awal minggu lalu, tiba² koneksi internet menjadi melambat. Tidak mati tapi lambat. Begitu hal itu terjadi, aku langsung tau alasannya...belum bayar tagihan nya. Namun ketika dipertanyakan anak²ku, aku merespon dengan alasan mungkin karena traffic nya sedang padat mengingat dalam suasana Lebaran dimana masih banyak orang yang mengirimkan ucapan selamat. Beberapa hari kemudian, alasanku berganti menjadi sedang adanya maintenance jaringan...seolah info itu aku dapatkan dari pihak perusahaan internetnya. Hingga hari ini, aku tetap belum membayar tagihan tersebut sementara koneksi yang ada kian hari kian melambat. Dan semalam anak sulungku terlihat sangat kesal karena usahanya untuk melakukan video call jadi terkendala. Padahal sudah beberapa hari terakhir ini ia tidak tidur semalaman karena melakukan video call dengan (asumsi ku) seorang teman wanita nya. Mungkin sedang asyik²an nya PDKT.
Kenapa aku juga belum membayarnya?
Bukannya tidak mampu...tapi karena belum ingin. Aku sedang memberi mereka shock theraphy untuk membatasi mereka menggunakan internet. Sederhananya...aku ingin mereka lebih peka terhadap apa yang terjadi di sekeliling mereka. Lebih tangkas dalam menerima tugas, dan lebih gesit dalam menindaklanjuti penugasan yang diterimanya. Aku tak ingin mereka terus menerus mengikatkan diri pada apapun yang bisa didapat lewat internet. Dan hasilnya, mereka sudah mulai lebih men-dunia nyata dan tak banyak terpaku pada yang maya. Mereka lebih sering duduk bersamaku di depan pesawat televisi dibanding sebelumnya. Dan urusan rumah seperti mencuci piring, menjemur pakaian dan membersihkan rumahpun jadi sering dilakukan oleh mereka dalam mengisi waktu luangnya.
Aku bukannya berupaya membatasi ruang gerak mereka. Juga bukan untuk mendikte apa yang harus mereka kerjakan. Tapi mencoba mengajarkan kepada mereka untuk tidak bergantung pada satu atau dua hal saja. Mereka bukan introvert seperti aku, tapi aku harap mereka bisa punya banyak opsi untuk mendapatkan kenyamanan. Kalau memang masih harus terisolasi di rumah, mereka masih bisa melakukan banyak hal secara offline seperti bermain alat musik, membaca buku atau novel atau surat kabar, menulis, menggambar atau hanya sekedar ngobrol antar mereka dan dengan orangtua nya. Mungkin tidak mudah di jaman sekarang yang semuanya serba online, tapi bukanlah tidak mungkin. Jadi kalau suatu hari tiba² jaringan internet terputus seantero negri seperti yang pernah sekali terjadi awal tahun ini, minimal mereka tidak kaget.
Hmmm....seandainya mereka juga Introvert.
Tuesday, June 2, 2020
Kedaluwarsa
Keterlibatanku dalam manajemen sebuah grup musik yang pernah menduduki peringkat teratas dalam musik Indonesia di era 80an itu membuat sebagian orang menganggapku seorang pakar musik. Padahal saat aku terlibat disitu pertengahan era 90an, popularitas grup tersebut sudah mengalami penurunan yang terbilang lumayan jauh mengingat banyaknya grup musik baru yang lebih disukai. Mungkin memang dengan kondisi seperti inilah upayaku jadi sangat besar dalam usaha mempertahankan eksistensinya dalam persaingan di ranah musik tanah air.
Di awal abad 19 pun, masih ada sejumlah pemusik baru yang masih datang untuk berkonsultasi tentang strategi memasarkan dirinya dan/atau karyanya. Aku tidak pernah menutup pintu untuk mereka, namun tentunya aku terlebih dahulu perlu menampik anggapan bahwa aku seorang pakar. Hal ini aku lakukan agar nantinya aku tidak disalahkan jika ada kegagalan buat siapapun yang menjadikan ceritaku sebagai pedoman untuk sukses. Ya, semua ucapanku hanyalah cerita, dan hal-hal yang bukan jaminan untuk mendapatkan kesuksesan. Cerita tentang pengalamanku dan apapun yang aku jadikan prinsip dalam bekerja di area itu.
Keterlibatanku di grup musik tadi berakhir di awal tahun 2001 ketika salah satu personilnya dipecat karena perbedaan visi. Lalu bersamanya, aku membangun sebuah perusahaan rekaman yang hanya bertahan lebih kurang 2 tahun ketika beberapa artisnya berseteru dengannya hingga ada yang dijualnya ke perusahaan rekaman terbesar dengan harga yang sangat murah. Jadi terhentinya usaha ini pantas disebut penuh dengan kekecewaan dari banyak pihak termasuk aku sendiri.
Sebenarnya seberapa besar peranku selama itu sehingga hingga saat inipun, setelah hampir 2 dekade, saat mengenalkanku pada orang lain, masih ada saja orang yang membesar-besarkan namaku sebagai orang yang fasih tentang permusikan?
Yang benar adalah bahwa ilmu ku dangkal karena aku hanya berkiprah untuk periode yang sangat singkat di ranah musik Indonesia. Aku seorang pemusik tapi amatiran. Menciptakan lagu pun tak pernah. Manggung hanya sesekali dan untuk kepuasan jiwa saja. Pernah memegang tampuk tertinggi dalam manajemen artis tapi tak pernah resmi menjabat sebagai manajernya. Itupun hanya untuk beberapa bulan karena jabatan itu mendadak kosong ditinggal oleh manajer sebelumnya yang berganti profesi menjadi dosen.
Kalau menurutku, faktor utama yang membuat peranku terlihat besar adalah grup musik itu sendiri.
Grup musik yang pernah merajai peta permusikan cenderung punya ego yang kelebihan. Beda sekali dengan ego yang dimiliki saat masih jadi penguasa. Berlebihan karena masih merasa hebat. Masih merasa harus dianggap hebat dan disegani. Masih merasa punya hak ini dan itu. Masih merasa harus dituruti. Semua rasa itu seolah masih dimiliki disaat dan posisi yang tidak tepat. Post Power Syndrome lah istilahnya.
Nah disinilah peranku terlihat jadi besar. Bagaimana tidak? Aku harus menjaga popularitas mereka di saat mereka tidak lagi dianggap sebesar dulu. Beda sekali dengan mencoba mempopulerkan artis baru. Artinya, aku harus kerja ekstra keras membuat orang percaya bahwa mereka masih pantas diperhitungkan.
Pada saat yang sama pula, ego mereka memberi kesan angkuh. Padahal keangkuhan itu justru bisa jadi faktor penyebab denial atau penolakan. Contohnya, atas fakta bahwa mereka pernah beken, fee yang mereka tentukan bahkan bisa lebih tinggi dari fee artis baru tapi lebih disegani oleh pennggemar-penggemar muda. Sementara itu, fee mereka yang tidak murah ini tidak diimbangi dengan upaya dan waktu untuk berinteraksi dengan penggemar mereka. Mereka menganggap dirinya terlalu eksklusif untuk bisa ditemui fans begitu saja sehingga harus diterapkan pensterilan ketat terhadap siapapun yang ingin menemui mereka. Bahkan ketika di tempat umum disapa oleh orang yang kebetulan mengenal mereka, tak jarang diterapkan konsep Salah Orang. Ironisnya, kelebihan ego ini juga berimbas buruk pada hubungan baik antar mereka sendiri yang sudah terjalin selama lebih dari 1 dekade.
Peranku? Menjadi jembatan penghubung bagi antar personil grup dan bagi mereka dengan pihak luar yang berurusan dengan mereka. Banyak pihak yang mengaku sangat sulit bernegosiasi dengan mereka yang dicap jual mahal. Aku harus bisa menempatkan diriku sebagai negotiator dengan cara merendahkan diri dihadapan kedua belah pihak. Aku harus menjaga martabat kedua belah pihak dengan cara yang humble tapi tetap dengan motivasi yang tinggi untuk meng-gol-kan misi. Dengan mengingatkan kedua belah pihak bahwa semua bisa saling memberi dan menerima benefit atas kerjasama yang terjalin. Tentunya masing-masing pihak harus meluweskan diri. Nah...hal seperti inilah yang saat itu sulit terjadi bila mereka saling bertemu dan mencoba bernegosisi sendiri. Ujung-ujungnya tiap pihak pasti bersikeras mempertahankan prinsipnya hingga mungkin kesepakatan itu tidak terjadi. Intinya, keluwesan itu bisa dilakukan asalkan tidak di depan lawannya. Kalau dilakukan di depan lawan, kesannya jadi murahan. Maka biarlah titel murahan itu terhenti di aku.
Dengan konsep seperti ini, aku bisa mendapatkan banyak job untuk mereka. Ada yang prosesnya lancar, ada juga yang sempat terkendala atas ego yang tau-tau muncul lagi. Aku bisa akrab dengan begitu banyak MD (Music Director) stasiun radio di berbagai kota, sehingga aku bisa dapat deal bagus untuk pemutaran lagu-lagu grup ini. Padahal ada beberapa yang belum sekalipun bertemu muka denganku. Aku bisa kenal dengan pihak-pihak sponsor besar yang kemudian membocorkan cara mengkadali panitia penyelenggara acara. Dengan pihak Event Organizer dan stasiun TV yang memberi tip jitu agar dibanjiri job dari mereka. Dan aku juga berkesempatan berkenalan dengan pakar-pakar musik yang sesungguhnya. Berbagi dengan manajer artis lainnya, cerita dan pengalaman yang bisa jadikan pelajaran dalam menjalankan peranku.
Banyak ilmu berharga yang telah aku dapatkan selama ikut menjalankan manajemen grup ini yang bisa dipraktekkan orang lain. Tapi...itu dulu...sekitar hampir 2 dekade yang lalu. Kalau sekarang ada yang datang padaku untuk menimba ilmu itu, sepertinya sudah tidak pas lagi. Birokrasi perusahaan sponsor sudah berubah seiring dengan perkembangan musik. Album dan karya musisi sudah cenderung dijual secara online, bahkan ada yang gratisan. Internet begitu kencang sehingga ada opsi lain untuk menonton konser musik. Stasiun-stasiun TV sudah digabung-gabungkan di bawah payung korporasi raksasa sehingga prosedurnya pun tidak sesimpel dulu. Artis bisa memasarkan dirinya sendiri sekaligus berinteraksi dengan penggemarnya lewat media sosial yang membanjiri dunia maya. Para MD radio yang pernah kukenal dekat, sekarang sudah punya jabatan atau profesi lain. Dan keliatannya sekarang banyak orang berbicara tentang musik seolah mereka pakarnya. Belum lagi urusan musik yang diatur demi kepentingan politik.
Jaman sudah berubah. Semua sudah beda. Banyak ilmuku yang sudah kedaluwarsa.
Tapi satu yang aku anggap masih berlaku: BE HUMBLE
Di awal abad 19 pun, masih ada sejumlah pemusik baru yang masih datang untuk berkonsultasi tentang strategi memasarkan dirinya dan/atau karyanya. Aku tidak pernah menutup pintu untuk mereka, namun tentunya aku terlebih dahulu perlu menampik anggapan bahwa aku seorang pakar. Hal ini aku lakukan agar nantinya aku tidak disalahkan jika ada kegagalan buat siapapun yang menjadikan ceritaku sebagai pedoman untuk sukses. Ya, semua ucapanku hanyalah cerita, dan hal-hal yang bukan jaminan untuk mendapatkan kesuksesan. Cerita tentang pengalamanku dan apapun yang aku jadikan prinsip dalam bekerja di area itu.
Keterlibatanku di grup musik tadi berakhir di awal tahun 2001 ketika salah satu personilnya dipecat karena perbedaan visi. Lalu bersamanya, aku membangun sebuah perusahaan rekaman yang hanya bertahan lebih kurang 2 tahun ketika beberapa artisnya berseteru dengannya hingga ada yang dijualnya ke perusahaan rekaman terbesar dengan harga yang sangat murah. Jadi terhentinya usaha ini pantas disebut penuh dengan kekecewaan dari banyak pihak termasuk aku sendiri.
Sebenarnya seberapa besar peranku selama itu sehingga hingga saat inipun, setelah hampir 2 dekade, saat mengenalkanku pada orang lain, masih ada saja orang yang membesar-besarkan namaku sebagai orang yang fasih tentang permusikan?
Yang benar adalah bahwa ilmu ku dangkal karena aku hanya berkiprah untuk periode yang sangat singkat di ranah musik Indonesia. Aku seorang pemusik tapi amatiran. Menciptakan lagu pun tak pernah. Manggung hanya sesekali dan untuk kepuasan jiwa saja. Pernah memegang tampuk tertinggi dalam manajemen artis tapi tak pernah resmi menjabat sebagai manajernya. Itupun hanya untuk beberapa bulan karena jabatan itu mendadak kosong ditinggal oleh manajer sebelumnya yang berganti profesi menjadi dosen.
Kalau menurutku, faktor utama yang membuat peranku terlihat besar adalah grup musik itu sendiri.
Grup musik yang pernah merajai peta permusikan cenderung punya ego yang kelebihan. Beda sekali dengan ego yang dimiliki saat masih jadi penguasa. Berlebihan karena masih merasa hebat. Masih merasa harus dianggap hebat dan disegani. Masih merasa punya hak ini dan itu. Masih merasa harus dituruti. Semua rasa itu seolah masih dimiliki disaat dan posisi yang tidak tepat. Post Power Syndrome lah istilahnya.
Nah disinilah peranku terlihat jadi besar. Bagaimana tidak? Aku harus menjaga popularitas mereka di saat mereka tidak lagi dianggap sebesar dulu. Beda sekali dengan mencoba mempopulerkan artis baru. Artinya, aku harus kerja ekstra keras membuat orang percaya bahwa mereka masih pantas diperhitungkan.
Pada saat yang sama pula, ego mereka memberi kesan angkuh. Padahal keangkuhan itu justru bisa jadi faktor penyebab denial atau penolakan. Contohnya, atas fakta bahwa mereka pernah beken, fee yang mereka tentukan bahkan bisa lebih tinggi dari fee artis baru tapi lebih disegani oleh pennggemar-penggemar muda. Sementara itu, fee mereka yang tidak murah ini tidak diimbangi dengan upaya dan waktu untuk berinteraksi dengan penggemar mereka. Mereka menganggap dirinya terlalu eksklusif untuk bisa ditemui fans begitu saja sehingga harus diterapkan pensterilan ketat terhadap siapapun yang ingin menemui mereka. Bahkan ketika di tempat umum disapa oleh orang yang kebetulan mengenal mereka, tak jarang diterapkan konsep Salah Orang. Ironisnya, kelebihan ego ini juga berimbas buruk pada hubungan baik antar mereka sendiri yang sudah terjalin selama lebih dari 1 dekade.
Peranku? Menjadi jembatan penghubung bagi antar personil grup dan bagi mereka dengan pihak luar yang berurusan dengan mereka. Banyak pihak yang mengaku sangat sulit bernegosiasi dengan mereka yang dicap jual mahal. Aku harus bisa menempatkan diriku sebagai negotiator dengan cara merendahkan diri dihadapan kedua belah pihak. Aku harus menjaga martabat kedua belah pihak dengan cara yang humble tapi tetap dengan motivasi yang tinggi untuk meng-gol-kan misi. Dengan mengingatkan kedua belah pihak bahwa semua bisa saling memberi dan menerima benefit atas kerjasama yang terjalin. Tentunya masing-masing pihak harus meluweskan diri. Nah...hal seperti inilah yang saat itu sulit terjadi bila mereka saling bertemu dan mencoba bernegosisi sendiri. Ujung-ujungnya tiap pihak pasti bersikeras mempertahankan prinsipnya hingga mungkin kesepakatan itu tidak terjadi. Intinya, keluwesan itu bisa dilakukan asalkan tidak di depan lawannya. Kalau dilakukan di depan lawan, kesannya jadi murahan. Maka biarlah titel murahan itu terhenti di aku.
Dengan konsep seperti ini, aku bisa mendapatkan banyak job untuk mereka. Ada yang prosesnya lancar, ada juga yang sempat terkendala atas ego yang tau-tau muncul lagi. Aku bisa akrab dengan begitu banyak MD (Music Director) stasiun radio di berbagai kota, sehingga aku bisa dapat deal bagus untuk pemutaran lagu-lagu grup ini. Padahal ada beberapa yang belum sekalipun bertemu muka denganku. Aku bisa kenal dengan pihak-pihak sponsor besar yang kemudian membocorkan cara mengkadali panitia penyelenggara acara. Dengan pihak Event Organizer dan stasiun TV yang memberi tip jitu agar dibanjiri job dari mereka. Dan aku juga berkesempatan berkenalan dengan pakar-pakar musik yang sesungguhnya. Berbagi dengan manajer artis lainnya, cerita dan pengalaman yang bisa jadikan pelajaran dalam menjalankan peranku.
Banyak ilmu berharga yang telah aku dapatkan selama ikut menjalankan manajemen grup ini yang bisa dipraktekkan orang lain. Tapi...itu dulu...sekitar hampir 2 dekade yang lalu. Kalau sekarang ada yang datang padaku untuk menimba ilmu itu, sepertinya sudah tidak pas lagi. Birokrasi perusahaan sponsor sudah berubah seiring dengan perkembangan musik. Album dan karya musisi sudah cenderung dijual secara online, bahkan ada yang gratisan. Internet begitu kencang sehingga ada opsi lain untuk menonton konser musik. Stasiun-stasiun TV sudah digabung-gabungkan di bawah payung korporasi raksasa sehingga prosedurnya pun tidak sesimpel dulu. Artis bisa memasarkan dirinya sendiri sekaligus berinteraksi dengan penggemarnya lewat media sosial yang membanjiri dunia maya. Para MD radio yang pernah kukenal dekat, sekarang sudah punya jabatan atau profesi lain. Dan keliatannya sekarang banyak orang berbicara tentang musik seolah mereka pakarnya. Belum lagi urusan musik yang diatur demi kepentingan politik.
Jaman sudah berubah. Semua sudah beda. Banyak ilmuku yang sudah kedaluwarsa.
Tapi satu yang aku anggap masih berlaku: BE HUMBLE
Monday, June 1, 2020
Stay Strong
Setelah tarik ulur berulang kali, akhirnya aku dan tiga orang temanku sepakat untuk mengadakan meeting di kantor seorang dari mereka, Bams, pada hari Minggu sore kemarin guna menindaklanjuti ide proyek musik yang tercetus sekitar dua bulan lalu.
Sulit memang untuk mensinkronisasikan waktu kami berempat mengingat kami punya aktifitas masing-masing yang memadati jadwal keseharian kami. Oleh karenanya, meeting ini akhirnya direncanakan digelar pada hari libur di lokasi yang cukup netral buat kami berempat.
Sayangnya...di minggu pagi itu, Ben menyatakan akan berhalangan hadir karena dapat tugas dadakan mengangkut hewan qurban yang sekiranya akan disembelih Senin esoknya. Tak lama kemudian, menyusul Yanto yang minta rescheduling karena ada kesibukan juga di daerah tempat tinggalnya dalam mempersiapkan acara pemotongan hewan.
Bams yang sifatnya memang luwes, serta merta merespon positif dengan menyatakan tak keberatan untuk menjadwal ulang meeting...meskipun sebelumnya ia sempat menyatakan telah menyiapkan cukup panganan untuk mengakomodasi lancarnya meeting. Sementara aku, tak bergeming dari tekad bulatku untuk berkomit penuh, menyatakan akan tetap hadir.
Proyek ini memang gagasan Bams yang ditawarkan kepadaku, dan langsung aku sambut baik karena buatku ini proyek yang menantang dan pantas dialankan. Ben dan Yanto masuk belakangan atas kesepakatan bersama aku dan Bams, dengan harapan bisa memuluskan proses perealisasiannya. Jadi sebenarnya jika mereka berhalangan untuk datangpun tidak membuatku enggan datang mengingat otak dari proyek ini adalah Bams. Terlebih bahwa Bams sudah memberikan effort besar dalam menyediakan tempat kerjanya berikut panganannya. Aku harus menerima dengan legowo berhalangannya Ben dan Yanto yang mungkin belum sepenuhnya bisa memberi komitmen lebih besar sehingga belum bisa menempatkan proyek ini sebagai sesuatu yang diprioritaskan.
Maka meetingpun terjadi hanya dengan kehadiran kami berdua. Dan seperti yang aku harapkan sebelumnya, meeting yang lebih berupa brain storming ini membuahkan satu lagi ide brilliant yang patut dijajal. Hal seperti inilah yang tak akan terjadi bila aku merespon dengan cara yang sama seperti cara Bams merespon pembatalan kehadiran kedua temanku yang lain di meeting ini. Disinilah justru terlihat bagaimana kekuatan tekad membuahkan hasil yang baik. Suatu bukti lagi yang memotivasi aku untuk tidak menyerah dalam berusaha meski sudah acapkali aku terpojok dalam kondisi dan situasi yang memberi gambaran seolah tak ada solusi buat segala masalah yang kuhadapi.
Allah memang tak pernah melepaskan gandengan tanganNya Yang Maha Kuat itu dalam menuntunku selama tekadku bulat. Alhamdulillah...
Sulit memang untuk mensinkronisasikan waktu kami berempat mengingat kami punya aktifitas masing-masing yang memadati jadwal keseharian kami. Oleh karenanya, meeting ini akhirnya direncanakan digelar pada hari libur di lokasi yang cukup netral buat kami berempat.
Sayangnya...di minggu pagi itu, Ben menyatakan akan berhalangan hadir karena dapat tugas dadakan mengangkut hewan qurban yang sekiranya akan disembelih Senin esoknya. Tak lama kemudian, menyusul Yanto yang minta rescheduling karena ada kesibukan juga di daerah tempat tinggalnya dalam mempersiapkan acara pemotongan hewan.
Bams yang sifatnya memang luwes, serta merta merespon positif dengan menyatakan tak keberatan untuk menjadwal ulang meeting...meskipun sebelumnya ia sempat menyatakan telah menyiapkan cukup panganan untuk mengakomodasi lancarnya meeting. Sementara aku, tak bergeming dari tekad bulatku untuk berkomit penuh, menyatakan akan tetap hadir.
Proyek ini memang gagasan Bams yang ditawarkan kepadaku, dan langsung aku sambut baik karena buatku ini proyek yang menantang dan pantas dialankan. Ben dan Yanto masuk belakangan atas kesepakatan bersama aku dan Bams, dengan harapan bisa memuluskan proses perealisasiannya. Jadi sebenarnya jika mereka berhalangan untuk datangpun tidak membuatku enggan datang mengingat otak dari proyek ini adalah Bams. Terlebih bahwa Bams sudah memberikan effort besar dalam menyediakan tempat kerjanya berikut panganannya. Aku harus menerima dengan legowo berhalangannya Ben dan Yanto yang mungkin belum sepenuhnya bisa memberi komitmen lebih besar sehingga belum bisa menempatkan proyek ini sebagai sesuatu yang diprioritaskan.
Maka meetingpun terjadi hanya dengan kehadiran kami berdua. Dan seperti yang aku harapkan sebelumnya, meeting yang lebih berupa brain storming ini membuahkan satu lagi ide brilliant yang patut dijajal. Hal seperti inilah yang tak akan terjadi bila aku merespon dengan cara yang sama seperti cara Bams merespon pembatalan kehadiran kedua temanku yang lain di meeting ini. Disinilah justru terlihat bagaimana kekuatan tekad membuahkan hasil yang baik. Suatu bukti lagi yang memotivasi aku untuk tidak menyerah dalam berusaha meski sudah acapkali aku terpojok dalam kondisi dan situasi yang memberi gambaran seolah tak ada solusi buat segala masalah yang kuhadapi.
Allah memang tak pernah melepaskan gandengan tanganNya Yang Maha Kuat itu dalam menuntunku selama tekadku bulat. Alhamdulillah...
Lembaran Baru
Mungkin aku termasuk kelompok orang Indonesia pertama yang aktif menggunakan internet di negeri ini. Bahkan sebelum ada yang namanya jejaring sosial, aku sudah memanfaatkan internet. Dari sekedar searching data, menggunakan e-mail, hingga berhasil memasarkan jasa percetakan ke manca negara pun sudah aku jalani. Itu terjadi sekitar 4-5 tahun sebelum kemudian friendster mulai menjadi tren di kalangan kaum muda. Setelah facebook menjadi jejaring sosial terkemuka hingga saat ini, aku sudah memiliki akun di hampir semua jejaring sosial yang ada, meskipun tidak di semuanya aku ikuti dengan aktif. Bahkan aku bisa memiliki lebih dari satu akun di beberapa situs itu, tentunya dengan tujuan tertentu seperti bemain game online.
Awalnya memang menarik sekali saat aku bisa menemukan kembali teman dan kerabat yang sempat hilang kontak denganku. Lalu dengan adanya kemungkinan bertambah kenalan yang mungkin juga diajak kerjasama dalam bisnis makin membuat situs-situs jejaring sosial ini terlihat bermanfaat. Namun sejalan dengan maraknya perdebatan tentang berbagai isu politik, sosial atau agama karena semakin mudahnya menyebarkan isu yang terkesan bohong dan bersifat menghasut, aku semakin malas untuk aktif berinteraksi. Apalagi sekarang sudah ada ajang baru seperti aplikasi bbm dan whatsapp yang lebih mudah digunakan dan dapat membatasi kontaknya.
Sudah dua bulan belakangan ini aku tidak lagi aktif membuat postingan di situs jejaring sosial. Padahal sebelumnya, minimal aku membuat 1 postingan di beberapa situs ini. Aku bukan tipe yang mudah bosan, namun aku tidak lagi menemui banyak masukan yang bermanfaat ketika kebanyakan kontakku cenderung lebih suka protes atau mengeluh tentang situasi politik atau agama di tanah air.
Jadi kalaupun mengudara, aku lebih suka mencari berita dari situs-situs yang cukup reliable, atau hanya sekedar membuat postingan di situs-situs blog yang aku ikuti seperti misalnya situs ini karena semuanya lebih kuanggap sebagai catatan harian yang selalu dapat kubaca dan nikmati kembali kelak di kemudian hari. Salah satunya bahkan melulu berisi ribuan gambar yang aku kumpulkan dari berbagai situs lain, yang aku yakin bisa menjadi koleksi yang apik untuk dinikmati olehku kapan saja...dan mungkin juga oleh orang lain.
Mungkin setelah akrab dengan internet selama lebih dari 15 tahun, aku harus memulai lembaran baru dalam kehidupanku yang bersosialisasi lewat jejaring sosial tidak lagi menjadi bagiannya...
https://docswhatever.wordpress.com/
Awalnya memang menarik sekali saat aku bisa menemukan kembali teman dan kerabat yang sempat hilang kontak denganku. Lalu dengan adanya kemungkinan bertambah kenalan yang mungkin juga diajak kerjasama dalam bisnis makin membuat situs-situs jejaring sosial ini terlihat bermanfaat. Namun sejalan dengan maraknya perdebatan tentang berbagai isu politik, sosial atau agama karena semakin mudahnya menyebarkan isu yang terkesan bohong dan bersifat menghasut, aku semakin malas untuk aktif berinteraksi. Apalagi sekarang sudah ada ajang baru seperti aplikasi bbm dan whatsapp yang lebih mudah digunakan dan dapat membatasi kontaknya.
Sudah dua bulan belakangan ini aku tidak lagi aktif membuat postingan di situs jejaring sosial. Padahal sebelumnya, minimal aku membuat 1 postingan di beberapa situs ini. Aku bukan tipe yang mudah bosan, namun aku tidak lagi menemui banyak masukan yang bermanfaat ketika kebanyakan kontakku cenderung lebih suka protes atau mengeluh tentang situasi politik atau agama di tanah air.
Jadi kalaupun mengudara, aku lebih suka mencari berita dari situs-situs yang cukup reliable, atau hanya sekedar membuat postingan di situs-situs blog yang aku ikuti seperti misalnya situs ini karena semuanya lebih kuanggap sebagai catatan harian yang selalu dapat kubaca dan nikmati kembali kelak di kemudian hari. Salah satunya bahkan melulu berisi ribuan gambar yang aku kumpulkan dari berbagai situs lain, yang aku yakin bisa menjadi koleksi yang apik untuk dinikmati olehku kapan saja...dan mungkin juga oleh orang lain.
Mungkin setelah akrab dengan internet selama lebih dari 15 tahun, aku harus memulai lembaran baru dalam kehidupanku yang bersosialisasi lewat jejaring sosial tidak lagi menjadi bagiannya...
https://docswhatever.wordpress.com/
Nyampah
Aku capek.
Tak mungkinlah aku membohongi aku sendiri. Bisa jadi di luaran sana aku terlihat mapan tanpa kesulitan apapun. Senyumku bisa mengisyaratkan seolah aku tak menanggung beban yang begitu berat di pundakku. Tapi apa yang sedang aku hadapi sejak sekitar setengah tahun terakhir ini benar-benar menguras energi mentalku. Dan aku merasakan sekali bagaimana otakku sudah sering tidak mudah diajak kompromi. Ujian-ujian yang ada itu datangnya beruntun tanpa kenal jeda waktu. Namun lucunya...setiap aku siap menyerah, ada saja hal yang bisa menyadarkanku dan membuatku tidak keluar jalur.
Seolah aku ini memang sedang diperlakukan bak layangan yang harus sering ditarik ulur agar bisa mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Proses yang terjadi pada layangan itu sangat mungkin berarti melibatkan layangan lain yang harus dihindari agar tidak saling bersangkutan gelasannya. Belum lagi layangan-layangan yang memang sengaja dimaksudkan untuk mengintimidasi. Makin tinggi posisinya pun berarti makin kencang angin yang ditemui. Kencangnya angin ini bisa mendorong layangan lebih pesat ke atas, atau malah ke bawah. Kuncinya ya seberapa pintar (dan bijaksana) layang itu dikendalikan.
Begitulah aku sering disadarkan. Tentunya di balik semua kesulitan yang aku hadapi ada hikmah yang (harusnya) bisa aku dapatkan. Karena mendesaknya waktu, aku sering lupa bahwa solusinya tidak selalu bersifat instan. Secara alamiah, aku inginnya dapat jalan keluar yang cepat sehingga kesulitanku segera teratasi. Kalau itu memang tidak terjadi, masalahku mudah jadi bertambah dan aku terperosok ke lubang yang lebih dalam. Otomatis hati yang memanas ini dengan mudah memprovokasi logikaku untuk malas berfungsi dengan baik.
Bagaimana tidak ingin kesal jika setelah aku mencoba wira wiri kesana kemari berusaha mencari jalan keluar, aku tetap ditempatkan di ujung jalan yang buntu? Cukup masuk akalkah bila aku lalu kembali mempertanyakan keampuhan segala doa yang telah aku panjatkan tapi nyatanya belum memberi feedback yang berarti?
Tak mungkinlah aku membohongi aku sendiri. Bisa jadi di luaran sana aku terlihat mapan tanpa kesulitan apapun. Senyumku bisa mengisyaratkan seolah aku tak menanggung beban yang begitu berat di pundakku. Tapi apa yang sedang aku hadapi sejak sekitar setengah tahun terakhir ini benar-benar menguras energi mentalku. Dan aku merasakan sekali bagaimana otakku sudah sering tidak mudah diajak kompromi. Ujian-ujian yang ada itu datangnya beruntun tanpa kenal jeda waktu. Namun lucunya...setiap aku siap menyerah, ada saja hal yang bisa menyadarkanku dan membuatku tidak keluar jalur.
Seolah aku ini memang sedang diperlakukan bak layangan yang harus sering ditarik ulur agar bisa mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Proses yang terjadi pada layangan itu sangat mungkin berarti melibatkan layangan lain yang harus dihindari agar tidak saling bersangkutan gelasannya. Belum lagi layangan-layangan yang memang sengaja dimaksudkan untuk mengintimidasi. Makin tinggi posisinya pun berarti makin kencang angin yang ditemui. Kencangnya angin ini bisa mendorong layangan lebih pesat ke atas, atau malah ke bawah. Kuncinya ya seberapa pintar (dan bijaksana) layang itu dikendalikan.
Begitulah aku sering disadarkan. Tentunya di balik semua kesulitan yang aku hadapi ada hikmah yang (harusnya) bisa aku dapatkan. Karena mendesaknya waktu, aku sering lupa bahwa solusinya tidak selalu bersifat instan. Secara alamiah, aku inginnya dapat jalan keluar yang cepat sehingga kesulitanku segera teratasi. Kalau itu memang tidak terjadi, masalahku mudah jadi bertambah dan aku terperosok ke lubang yang lebih dalam. Otomatis hati yang memanas ini dengan mudah memprovokasi logikaku untuk malas berfungsi dengan baik.
Bagaimana tidak ingin kesal jika setelah aku mencoba wira wiri kesana kemari berusaha mencari jalan keluar, aku tetap ditempatkan di ujung jalan yang buntu? Cukup masuk akalkah bila aku lalu kembali mempertanyakan keampuhan segala doa yang telah aku panjatkan tapi nyatanya belum memberi feedback yang berarti?
Ungkapkan
Sesungguhnya tidaklah sulit bagimu untuk melepasnya. Apa lagi yang kau inginkan darinya jika kau tak lagi melihat dirinya sebagai sosok yang kau lihat seperti sebelumnya? Kalau memang minatmu pada apa yang ditawarkannya kian terkikis sedikit demi sedikit hanya karena kau terlalu sibuk dengan yang lainnya, apa pula yang kau harapkan dari kehadirannya dalam hidupmu yang semakin kau padatkan dengan urusan duniawimu?
Bila engkau tak mampu lagi menyejukkan hatinya atau sebaliknya, biarkan dia mengetahuinya agar hatinya juga tak lagi gundah menanyakan kepedulianmu. Dinginnya sapaanmu dan tajamnya kata-katamu bisa saja telah mengoyak-ngoyak batinnya yang seharusnya mendapatkan ketenangan darimu. Namun jika engkau memang masih ingin dia menjadi bagian penting dari hari-harimu, naungilah dia dengan payung cintamu dan biarkanlah dia mewarnai hidupmu dengan cintanya.
Cinta yang kau dapat darinya dan kau berikan kepadanya itu toh bukan karena paksaan, jadi kau pun tak perlu memaksakan diri untuk mempertahankannya. Cinta itu bersemi karena kau dan dia saling menikmatinya, sehingga kenikmatan yang telah berubah menjadi kesemuan harusnya sudah cukup menjadi alasan buatmu untuk melepasnya. Janganlah kau berkutat dengan alasan lain hanya untuk melindungi perasaannya karena waktu yang kau sita darinya hanya akan menjadi virus yang kelak mematikannya dan mematikanmu..
Bila engkau tak mampu lagi menyejukkan hatinya atau sebaliknya, biarkan dia mengetahuinya agar hatinya juga tak lagi gundah menanyakan kepedulianmu. Dinginnya sapaanmu dan tajamnya kata-katamu bisa saja telah mengoyak-ngoyak batinnya yang seharusnya mendapatkan ketenangan darimu. Namun jika engkau memang masih ingin dia menjadi bagian penting dari hari-harimu, naungilah dia dengan payung cintamu dan biarkanlah dia mewarnai hidupmu dengan cintanya.
Cinta yang kau dapat darinya dan kau berikan kepadanya itu toh bukan karena paksaan, jadi kau pun tak perlu memaksakan diri untuk mempertahankannya. Cinta itu bersemi karena kau dan dia saling menikmatinya, sehingga kenikmatan yang telah berubah menjadi kesemuan harusnya sudah cukup menjadi alasan buatmu untuk melepasnya. Janganlah kau berkutat dengan alasan lain hanya untuk melindungi perasaannya karena waktu yang kau sita darinya hanya akan menjadi virus yang kelak mematikannya dan mematikanmu..
Subscribe to:
Posts (Atom)