Thursday, June 4, 2020

Shock Therapy

Aku bisa disebut tergolong Introvert...orang yang cenderung lebih fokus pada pikiran dan perasaan dari diri sendiri ketimbang dari luar. Mungkin karena itulah lebih suka menyendiri karena merasa lebih nikmat dibandingkan dengan keramaian. Disaat menyendiri, aku cenderung melakukan apapun yang bisa aku lakukan. Artinya....kl memang saat itu aku hanya bisa melamun ya aku akan melamun. Melamunnya bisa berisi apa saja yang terlintas dibenakku. Kalau opsinya tidur ya aku akan coba tidur. Jadi mungkin kaum introvert seperti aku memang tidak mengharuskan ada pihak lain untuk bisa merasa nyaman. Bukan berarti tidak butuh orang lain lho. Kalau ada orang lain bisa jadi hal yang plus.

Sudah dua bulan lebih rakyat kita, khususnya warga kota ini terpaksa terisolir di rumah karena adanya pandemi Corid-19. Meski peraturan resminya baru diterbitkan dan dilaksanakan menjelang datangnya Ramadhan, namun aku termasuk yang jauh sebelumnya sudah membatasi diri untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah. Kebetulan pula anak²ku memang sudah libur sebelum peraturan resmi itu berlaku sehingga tidak ada alasan untuk aku mengizinkan mereka keluar rumah. Sekolah pun diharuskan dilakukan di rumah secara virtual.

Nah kata virtual inilah keyword nya. Ini berarti sambungan internet di rumah ku harus kencang demi kelancaran mereka bersekolah di rumah, apalagi di penghujung tahun ajaran seperti ini ada ujian nya. Terbayang khan ironisnya jika mereka harus menjalani ujian dengan koneksi internet yang lambat? Kegagalan mereka otomatis jadi kesalahan kita sebagai orangtua yang bertanggung jawab mengamankan koneksi internet buat mereka. Koneksi internet jadi faktor penting yang menentukan masa depan studi mereka.
Alhamdulillah aku bisa mengamankan koneksi internet di rumah sehingga semua kegiatan sekolah di rumah mereka itu berjalan lancar.

Kelancaran dan ketidakterbatasnya koneksi itu rupanya berbuah juga di luar urusan sekolah. Mereka jadi lebih sering menghabiskan waktunya bergumul dengan gadgetnya. Apalagi sejak penggunaan aplikasi video call atau conference diterapkan dalam pelaksanaan Sekolah Di Rumah, mereka jadi doyan berinteraksi dengan teman²nya lewat aplikasi tersebut. Belum lagi nonton YouTube, film layar lebar, video di medsos, dowload lagu, gambar, ini dan itu...pokoknya banyaklah yang tentunya butuh kecepatan koneksi tinggi kalau perlu tanpa batasan.

Efek buruknya, aku sering dibuat kesal karena mereka jadi lamban merespon saat diajak berinteraksi. Begitu pula saat dengan tugas yang aku berikan tidak serta merta langsung dikerjakan hanya karena mereka sedang terkunci pada sesuatu di gadget mereka; nonton lah, chatting lah, dan paling parah sedang terlibat dalam game bersama teman sehingga tidak bisa ditinggalkana begitu saja karena sifatnya yang online. Alasannya, tidak bisa di pause, atau harus tunggu selesai dulu. Ini yang sering membuat saya geram. Bagaimana tidak? Pengeksekusian tugas yang penting sering tertunda hanya karena hal yang sepele. Tak jarang pula tugas itu terlupakan saking lamanya tertunda.

Sejak awal minggu lalu, tiba² koneksi internet menjadi melambat. Tidak mati tapi lambat. Begitu hal itu terjadi, aku langsung tau alasannya...belum bayar tagihan nya. Namun ketika dipertanyakan anak²ku, aku merespon dengan alasan mungkin karena traffic nya sedang padat mengingat dalam suasana Lebaran dimana masih banyak orang yang mengirimkan ucapan selamat. Beberapa hari kemudian, alasanku berganti menjadi sedang adanya maintenance jaringan...seolah info itu aku dapatkan dari pihak perusahaan internetnya. Hingga hari ini, aku tetap belum membayar tagihan tersebut sementara koneksi yang ada kian hari kian melambat. Dan semalam anak sulungku terlihat sangat kesal karena usahanya untuk melakukan video call jadi terkendala. Padahal sudah beberapa hari terakhir ini ia tidak tidur semalaman karena melakukan video call dengan (asumsi ku) seorang teman wanita nya. Mungkin sedang asyik²an nya PDKT.

Kenapa aku juga belum membayarnya?
Bukannya tidak mampu...tapi karena belum ingin. Aku sedang memberi mereka shock theraphy untuk membatasi mereka menggunakan internet. Sederhananya...aku ingin mereka lebih peka terhadap apa yang terjadi di sekeliling mereka. Lebih tangkas dalam menerima tugas, dan lebih gesit dalam menindaklanjuti penugasan yang diterimanya. Aku tak ingin mereka terus menerus mengikatkan diri pada apapun yang bisa didapat lewat internet. Dan hasilnya, mereka sudah mulai lebih men-dunia nyata dan tak banyak terpaku pada yang maya. Mereka lebih sering duduk bersamaku di depan pesawat televisi dibanding sebelumnya. Dan urusan rumah seperti mencuci piring, menjemur pakaian dan membersihkan rumahpun jadi sering dilakukan oleh mereka dalam mengisi waktu luangnya.

Aku bukannya berupaya membatasi ruang gerak mereka. Juga bukan untuk mendikte apa yang harus mereka kerjakan. Tapi mencoba mengajarkan kepada mereka untuk tidak bergantung pada satu atau dua hal saja. Mereka bukan introvert seperti aku, tapi aku harap mereka bisa punya banyak opsi untuk mendapatkan kenyamanan. Kalau memang masih harus terisolasi di rumah, mereka masih bisa melakukan banyak hal secara offline seperti bermain alat musik, membaca buku atau novel atau surat kabar, menulis, menggambar atau hanya sekedar ngobrol antar mereka dan dengan orangtua nya. Mungkin tidak mudah di jaman sekarang yang semuanya serba online, tapi bukanlah tidak mungkin. Jadi kalau suatu hari tiba² jaringan internet terputus seantero negri seperti yang pernah sekali terjadi awal tahun ini, minimal mereka tidak kaget.

Hmmm....seandainya mereka juga Introvert.