Masih seputar pembicaraan tentang kenangan tempo doeloe yang selalu enak buat dibahas antar mereka yang beruntung pernah mengalaminya.
Ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, orangtuaku sering mengajak aku dan semua kakak dan adikku berkeliling kota pada malam hari, khususnya malam minggu. Tidak ada acara istimewa yang kami lakukan di waktu-waktu seperti itu karena aktifitas tersebut dijalankan hanya untuk menikmati kebersamaan yang buat orangtuaku sebuah prioritas sambil mencuci mata. Tongkat persneling yang terletak di belakang stir memungkinkan jok panjang ditempatkan juga di bagian muka sehingga mobil dapat dengan mudah dimuati oleh kedua orangtua dan 6 anaknya yang umunya terbilang masih kecil. Rute utama ritual "puter-puter" ini difokuskan ke wilayah seputar jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk yang kala itu merupakan "pusat kota". Sepanjang jalan-jalan ini dipenuhi toko, restoran, klub malam bahkan casino yang tidak tanggung-tanggung memakai sign board ukuran besar terbentuk dari lampu-lampu neon berwarna-warni dan bisa menyala bersamaan atau bergantian dan berkelap kelip. Situasinya hampir menyerupai strip utama di kota Las Vegas dan Atlantic City di Amerika, Monte Carlo di Perancis atau kota-kota perjudian lainnya.
Mungkin cara seperti itu dibutuhkan untuk lebih menegaskan logo dan icon usaha yang awalnya memang cukup padat bahkan terkesan njelimet. Sebagai contoh saja, sign board rokok djarum bisa menunjukkan figur kartun orang yang tengah merokok, lalu berganti menjadi tanda tanya, dan berganti lagi menjadi logo simbol padi dan kapas yang banyak digunakan juga di lambang-lambang instansi pemerintahan. Lampu ikon padi bisa menyala satu demi satu mulai dari daun pertama hingga semua daun menyala seperti halnya icon kapas.
Aku ingat dipertengahan tahun 80-an, aku dan seorang temanku dimintai tolong oleh teman kami lainnya untuk merancang logo toko yang baru dibukanya. Toko ini akhirnya memang menjual aneka ragam pernak pernik memorabilia dari mainan anak hingga perhiasan mahal, namun awalnya hanya melulu menyediakan keranjang parsel yang dibuat sesuai permintaan pelanggan dan event.
Seminggu kemudian aku sudah membuat dua atau tiga buah pilihan desain yang didasari konsep keranjang parsel dan/atau inisial nama tokonya. Baik aku maupun si pemilik toko sempat bingung melihat desain yang dibuat temanku itu karena kami tidak dapat menarik benang merahnya dengan usaha ataupun nama tokonya. Aku memang kurang bisa menerima alasan yang mendasari logonya, tapi aku hanya terdiam karena aku selalu beranggapan bahwa semua orang punya taste masing-masing. Pendek kata, si pemilik toko menilai desainnya kurang merepresentasikan usahanya mengingat ia harus mendapat penjelasan terlebih dahulu untuk dapat mengerti arti desain tersebut, sehingga akhirnya desainku yang meski artistik namun jelas terlihat sebagai sebuah keranjang.
Satu hal yang aku ingat adalah pernyataan temanku itu tentang gaya pendesainan baru yang mulai diterapkan di beberapa hal yang ia prediksi akan menjadi sebuah trend dalam waktu dekat. Ia memberi contoh maskapai Garuda Indonesia yang telah menggunakannya di logo yang belum lama menggantikan logo lamanya. Aku tidak menentang pernyataan tersebut karena aku juga melihat indikasi bahwa gaya seperti itu mulai banyak digunakan. Penggantian logo-logo perusahaan yang dipelopori oleh banyak pendesain dari luar negeri seperti halnya yang dialami logo maskapai Garuda Indonesia, yang dirancang oleh orang yang sama dengan yang merancang logo baru untuk maskapai Singapore Airlines, Thai Airlines dan beberapa maskapai lain ini jadi lebih artistik. Warna yang digunakannyapun mengandung makna baru yang mungkin sebelumnya tidak digunakan.
Namun sejalan dengan itu, aku juga merasakan hilangnya makna yang sebelumnya lebih jelas tersampaikan terutama pada logo perusahaan milik pemerintah. Logo Garuda Indonesia itu sendiri contohnya, yang kemudian sama sekali tidak mengandung warna yang identik dengan Indonesia karena perisai berbendera merah putih yang tadinya terletak di tengah-tengah logo kini lenyap. Lalu logo Pertamina yang kini sekilas terlihat seperti tiga helai kain berwana merah, hijau dan biru sebagai pengganti logo lama yang mengandung dua kuda laut sebagai simbol kelautan sebagai tempat utama pendulangan minyak bumi, yang mengapit sebuah bintang yang menggambarkan kekuatan guna mencapai tujuan nasional, ditambah ornamen ornamen pita kuning khas logo klasik yang bertuliskan Pertamina. 3 elemen yang mirip 3 helai kain pada logo baru yang ternyata sebenarnya membentuk huruf "P" dan merepresentasikan bentuk panah yang artinya bergerak maju dan progresif. Sedangkan warna-warna itu masing-masing mengartikan, keuletan perusahaan (merah), lingkungan sumber daya energi (hijau) dan tanggung jawab (biru). Lucunya, kita tidak mungkin langsung menangkap itu semua tanpa mendapat penjelasan mendetil.
Yang pasti, banyak sekali logo baru yang menghilangkan elemen-elemen yang dahulu identik dengan simbol-simbol dalam Pancasila seperti bintang, padi dan kapas. Logo-logo baru ini memang terlihat lebih artistik tapi juga lebih simple. Pengindikasian makna perusahaan kini diwakili dalam bentuk yang cenderung artistik dan tidak mudah dikenali. Aku hanya khawatir jika untuk menyesuaikan diri dengan negara-negara yang lebih maju ikon-ikon yang identik dengan perusahaan yang selama puluhan tahun telah dipakai harus dihilangkan, generasi penerus kita juga akan buta terhadap maknanya yang sebelumnya dengan mudah membantu mengingatkan kita pada sejarah perkembangan negeri ini seperti halnya lambang Burung Garuda Pancasila yang sarat makna tentang Indonesia.
Entahlah. Semakin hari semakin banyak logo baru yang buatku tidak mudah ditarik maknanya jika memang ada makna dibaliknya. Bukannya aku anti logo yang artistik, tapi aku lebih memilih yang mudah dibaca orang banyak, baik itu tergolong simple atau njelimet. Artistik boleh, tapi tidak yang lebih mengedepankan seni nya ketimbang kemudahan dalam mengartikannya. Toch tak semua orang punya jiwa seni yang sama dengan seniman yang menciptakannya.