Di era 80an, menjalani hidup di negeri Paman Sam bukanlah hal
yang ideal bagi seorang mahasiswa. Buktinya, banyak teman seangkatanku yang
tidak lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) atau kala itu sebutannya Sipenmaru, lebih memilih kuliah di
perguruan tinggi swasta meskipun orangtua mereka lebih dari mampu untuk menutup
biaya kuliah di luar negeri. Saat itu kehidupan di Indonesia terasa begitu
nyaman untuk ditinggal studi selama lebih kurang lima tahun.
Banyak aturan yang mau tidak mau harus ditaati seperti
misalnya dalam berkendara. Tak hanya aturan lalu lintas yang terbilang ketat,
dokumen berkendara yang harus dimiliki juga lebih dari yang diharuskan di
Indonesia. Selain SIM & STNK, semua pengemudi juga perlu memiliki bukti
asuransi kendaraan. Sebenarnya saat itu, kepemilikan asuransi kendaraan bukan
suatu keharusan kecuali pada situasi tertentu terutama ketika mengalami musibah
karena hanya kepemilikan asuransi kendaraan lah yang dapat mengurangi bahkan
menghilangkan beban biaya perbaikan/ penggantian yang harus ditanggung, bagi
pihak manapun yang terlibat. Misalnya ketika terjadi kecelakaan antar 2 mobil
atau lebih, bagi siapapun yang memiliki asuransi kendaraan, kerusakan
kendaraannya akan ditutup sebagian atau seluruhnya oleh perusahaan asuransi
penanggung yang menabrak atau yang ditabrak, tergantung dari kasusnya. Tentunya
jika tidak terlindungi asuransi, maka apapun biaya kerugian harus
ditanggung koceknya sendiri. Begitu pula
halnya dengan jika musibah yang tidak melibatkan pengemudi lain seperti
pengrusakan mobil (vandalisme) atau pencurian.
Buat orang Indonesia (anak mudanya) yang mindsetnya terpaku
pada pengiritan pengeluaran, kepemilikan asuransi ini sering dianggap sebagai
beban. Ketimbang memikirkan akibatnya jika terjadi kecelakaan tapi terlindungi
asuransi, kebanyakan lebih memikirkan betapa percumanya membayar premi asuransi
tahunan jika ternyata selama setahun itu mereka tidak mengalami kecelakaan.
Sehingga "awalnya" mereka lebih memilih tidak memiliki asuransi
dengan harapan tidak akan tertimpa musibah.
Mengapa aku mengutip kata awalnya? Karena ada masa dimana
peraturan bahwa kepemilikan asuransi itu bukanlah suatu kewajiban direvisi
pemerintah setempat menjadi kewajiban yang kondisional. Kondisionalnya adalah
bahwa setiap kali pengemudi dihentikan polisi, selain SIM & STNK, mereka
juga wajib menunjukkan bukti kepemilikan asuransi. Jika tidak punya, maka
tilang dikenakan. Jadi contohnya, jika kita dihentikan karena ngebut, dan kita
tidak punya asuransi, maka kita akan kena tilang dua kali; berkendara di luar
batas kecepatan dan tidak memiliki asuransi.
Lalu apa yang dilakukan anak-anak muda Indonesia? Ya mereka
terpaksa harus keluar biaya lagi untuk memiliki asuransi kendaraan. Aku sebut terpaksa
karena dasarnya memang tidak ikhlas. Ketidak ikhlasan inilah yang membuat
mereka mencari cara supaya tidak merugi di penghujung tahun kepemilikan
asuransi. Ada yang sengaja menabrakkan mobil hingga ringsek, ada pula yang
mendorongnya ke jurang sehingga penggantian kerugiannya bukan berupa perbaikan
di bengkel namun berupa tunai.
Ya begitulah opsi yang
ditawarkan pihak perusahaan asuransi dalam penggantian kerugian. Jika
memang tidak mungkin lagi dimasukkan bengkel karena kerusakannya fatal, maka penggantiannya
berupa dana sebesar harga pasaran mobilnya yang sudah ditentukan saat membeli
asuransi. Jadi ketika melihat teman yang tiba-tiba ganti mobil, aku menebak
mobilnya sudah dihancurkan sendiri dan diganti dana yang kemudian dipakai untuk
beli mobil baru.
Suatu ketika, Wibi, roommate-ku kala itu, mobilnya raib dari
parkiran kampusnya saat ia sedang kuliah. Apesnya, mobil itu tidak
terasuransikan dan hal ini membuatnya sangat gundah. Ia bingung harus bagaimana
mengabarkan hal ini pada orangtua nya. Ia harus mempertanggung jawabkan kepada
orangtuanya atas dana yang pernah dikirimkan kepadanya untuk membeli asuransi
yang kemudian justru dihabiskan untuk hal-hal lain yang tidak diperlukan.
Kepadaku dan beberapa teman, ia meminta saran apa yang harus ia katakan pada
orangtuanya. Roommate-ku lainnya, Sani, kebetulan punya koneksi dengan sebuah
cabang perusahaan asuransi besar yang sudah dikenal di kalangan mahasiswa
Indonesia sering membantu dalam kasus serupa. Caranya dengan membuatkan
perjanjian pembelian asuransi dengan tanggal yang dimundurkan beberapa hari.
Hal ini dilakukan agar terkesan bahwa saat musibah terjadi, korban sudah
memiliki asuransi yang baru dibeli sebelumnya. Kenapa hanya beberapa hari? Saat
itu belum ada yang namanya sistem online. Jadi segala proses transaksi apapun
di semua sektor termasuk perbankan, dilakukan secara manual sehingga makan
waktu beberapa hari. Jika, katakanlah musibah terjadi tanggal 10, lalu
dibuatkan perjanjian seolah pembelian asuransi terjadi tanggal 7 atau 6 di
sebuah kantor cabang, maka sangat lumrah jika laporan transaksi pembelian itu
belum sampai di kantor pusat. Selama memang ada bukti transaksi resmi dari
kantor cabang, maka transaksi itu dianggap sah dan asuransi dinyatakan aktif
saat musibah terjadi. Nah, kepada cabang inilah Wibi diarahkan untuk
mendapatkan solusi. Tapi seperti yang aku pertanyakan saat usulan itu
dilemparkan, agak aneh juga jika ada cabang yang mau melakukan kecurangan
seperti itu. Maklumlah, aku bicara tentang Amerika, negeri yang padat dengan
penduduk yang jujur (atau takut melanggar hukum). Selidik punya selidik,
ternyata cabang itu dimiliki oleh warga keturunan yang kalau dinilai dari aksen
bicaranya, masih kental adat istiadatnya. Ya, satu cabang itu karyawannya satu
ras, bahkan ada yang satu keluarga dengan pemiliknya, keturunan Filipina atau
disana sebutannya Pinoy. Mungkin karena sama-sama perantau dari Asia Tenggara,
bisa diajak "main".
Maka dengan hati gembira penuh harap, Wibi pergi ke cabang
tersebut diantar Sani. Sepulangnya dari sana, antara senang dan kecewa, Wibi
menyatakan bahwa ternyata nilai transaksi pembelian itu cukup mahal hingga tiga
kali lipat dari nilai standardnya. Namanya saja lewat jalan pintas, pasti ada
konsekuensinya yang tidak ringan. Tapi ia tetap gembira karena transaksi itu
akan terjadi keesokan harinya setelah dokumen siap, yang artinya begitu
perjanjian dan pelunasan dilakukan ia tak perlu khawatir lagi atas musibah itu.
Malam itu, ia menelpon orangtua nya untuk mengabarkan tentang kehilangan mobilnya
dan prosedur penggantian dengan mobil serupa yang baru atau sejumlah dana oleh
pihak perusahaan asuransi bila mobilnya tidak ditemukan dalam tempo 30 hari ke
depan. Tentu saja orangtuanya memaklumi keadaannya sekaligus bersyukur karena
semua teratasi dengan baik tanpa perlu tau bagaimana sebenarnya cara
penanganannya. Dan Wibi pun sibuk menggalang pinjaman dana dari beberapa teman
guna pembelian asuransi yang tidak murah itu. Rencananya, keesokan siangnya
sepulang dari kuliah ia akan pergi sendiri untuk melakukan transaksi pembelian
asuransi tersebut.
Paginya, ia berangkat kuliah dengan semangat yang tinggi
karena upaya pengumpulan dana sejak semalam akan terlengkapi oleh teman
sekuliahnya di kampus. Sementara hari itu, aku sendiri tidak ada jadwal kuliah
sehingga aku lah yang menerima telpon di tengah hari untuk Wibi dari kantor
polisi. Rupanya kurang dari 24 jam polisi berhasil menemukan mobilnya,
terparkir di sebuah sudut daerah yang terbilang kumuh, dengan empat ban serep
yang terpasang sebagai pengganti ban utamanya. Sebagai catatan, ban serep mobil
disana umumnya lebih kecil ukurannya dari ban utamanya. Dibuat lebih kecil
karena sifatnya yang hanya terpasang sementara sampai ban utama yang
digantikannya diperbaiki dan bisa dipasang kembali. Polisi menyatakan kepadaku bahwa
jika Wibi masih menyimpan kunci serep mobilnya, ia dapat mengambilnya di garasi
penampungan kendaraan yang diderek pihak berwajib karena setelah diperiksa
tidak ditemukan indikasi penjarahan pada mesin mobil. Mungkin berita itu
sewajarnya merupakan hal yang positif untuk orang yang kehilangan mobilnya.
Apalagi ditemukannya dengan kondisi "hanya" tanpa ban utama karena
banyak kasus mobil hilang yang ditemukan dalam kondisi tanpa roda dan hanya
terganjal di atas tumpukan batubata. Aku sempat heran dengan ketelatenan si
maling dalam menyiapkan bahkan memasang ke empat ban serep itu. Tapi untuk Wibi
tentunya beda jika ia keburu melakukan transaksi yang nilainya jauh sekali di
atas nilai 4 velg dan roda standard Honda yang hilang. Maka selesai menerima
laporan polisi, aku segera berusaha mencari tau keberadaan Wibi dengan harapan
bisa menghentikannya mengeksekusi transaksi pembelian asuransi itu. Namun
dengan minimnya sarana untuk mencari Wibi yang seharusnya berada di kampus (jaman
itu belum ada telpon genggam), usahaku buntu. Ada sejam dua jam aku hanya duduk
di ruang tamu memandangi jalan menunggu datangnya Wibi. Ia datang diantar teman
kuliahnya dengan wajah berseri². Dugaanku bahwa ia pasti sudah membereskan
urusan asuransi mundurnya memang tepat. Dan kegembiraannya hilang saat aku
menyampaikan kabar baik tapi buruknya.
Hingga sore hari, ia hanya merenung sambil sebentar²
menanyakan solusi pada semua teman yang kian sore kian bertambah banyak di
tempat kami tinggal. Tempat tinggal di ujung jalan di atas bukit ini memang
terbilang nyaman buat dijadikan tempat hang out. Banyak teman yang suka
nongkrong disini sampai larut bahkan kadang ada yang menginap. Itu sebabnya
jika ada teman yang punya masalah, cenderung datang ke rumah ini dengan harapan
dapat pencerahan dari yang kebetulan hadir. Sekitar maghrib, seorang teman
datang selesai kuliah seharian. Bima memang bukan termasuk dari enam penghuni
rumah ini tapi sudah seperti penghuni karena meski tempat mondoknya jauh lebih
dekat ke kampusnya, ia lebih suka menginap disini karena merasa sulit
beradaptasi dengan lifestyle keluarga bule pemilik tempat mondoknya yang
dinilainya kaku. Ia akan pulang ke tempat mondoknya seperlunya dan biasanya di
akhir minggu. Itupun hanya untuk rehat beberapa jam lalu pergi lagi dengan
membawa pakaian bersih. Bima ini orang yang rajin kuliah dan tidak mudah ikutan
begitu saja dalam kegiatan kami. Tergantung mood nya saja. Kami menyebutnya
sebagai pertapa karena kalaupun sesekali ikut ke diskotik atau pesta, ia lebih
suka duduk menyendiri di pojokan ruangan yang tidak ramai. Introvert sejati
lah. Aku sendiri menduga disaat kesendiriannya itu ia banyak memikirkan tentang
berbagai masalah dan mencari solusinya. Tak hanya masalahnya tapi juga milik orang
lain yang diserapnya saat ada yang sedang curhat ke kami. Dan ketika kami
memberinya update tentang situasi yang dihadapi Wibi, tanpa berpikir panjang ia
langsung mengusulkan agar Wibi ikut dengannya ke bengkel langganannya tanpa
memberikan alasan yang mendetil. Karena kami sudah paham dengan cara kerja
Bima, kami tidak mempertanyakan lebih jauh tentang usulannya dan hanya ikut
memberi support pada Wibi untuk menurutinya sesegera mungkin.
Di hari berikutnya, aku berangkat kuliah pagi bersamaan
dengan keberangkatan Wibi dan Bima untuk mengambil mobil dari garasi
penampungan. Aku di kampus hingga menjelang sore dan sampai di rumah sekitar
pukul empat, mendapati Wibi, Bima dan dua teman lainnya sedang tertawa-tawa di
samping mobil Wibi yang masih beroda ban serep. Serta merta aku langsung
melihat kondisi mobil tersebut dan kaget saat mendapati bagian interior nya
yang semrawut kondisinya. Hanya jok belakang yang masih terpasang, tanpa jok
depan, tanpa radio/cassette player, tanpa speaker baik di belakang maupun di
pintu depan, bahkan tanpa setir.
"Lhoh...katanya cuma roda aja yang diembat?",
tanyaku. Mereka tertawa lalu Wibi menjelaskan dengan rinci seperti ini:
Untuk meminimalkan kerugian dari pembayaran premi asuransi
yang besarnya bisa mencapai lima kali lipat dari kerugian aslinya, Bima membawa
Wibi ke bengkel modifikasi langganannya. Rupanya pihak bengkel bersedia
membuatkan bon pembelian ban dan velg yang harganya mahal, sehingga terkesan
nilai kerugiannya lebih tinggi dari sebenarnya. Kemudian bon itu diserahkan ke
cabang asuransi sebagai bukti bahwa kerugian Wibi tidak sekedar harga ban dan
velg standar bawaan pabrik Honda. Pembelian itu dinyatakan terjadi di antara
tanggal pembelian asuransi dan tanggal hilangnya mobil. Dengan begitu, pihak perusahaan
asuransi tak punya celah untuk menolak penyerahan bukti tersebut.
"Lalu trus ini pada diembat juga ternyata?", tanyaku
masih belum paham.
"Bukan diembat tapi kita yang nglepas tadi sebelum ke
asuransi biar bisa sekalian di claim", jawab Wibi.
"Wah..segitunya? Sampai potong kabel segala?",
tanyaku lagi setelah melihat banyak kabel buntung bergantung di lubang tempat
radio/cassette player harusnya berada.
"Jadi gini...waktu tadi kita tarik dari garasi,
sebenarnya speaker dan radio itu dalam keadaan tergantung. Kayaknya mau diembat
juga tapi gak jadi, mungkin karena mereka gak mau motong kabel. Bima lalu punya
ide supaya gak cuma minta bon untuk ban dan velg aja."
Memang biasanya aksesoris asli bawaan pabrik itu kabelnya
tidak pakai sambungan. Jadi mungkin inilah yang membuat si maling mobil enggan
untuk mengambilnya karena sulit untuk melego barang elektronik yang kabelnya
buntungan, kecuali kalau menjualnya di Black Market (pasar gelap).
Aku tanya lagi, "Trus memangnya aksesoris nya apa aja
yang loe claim?"
"Ya atas usulan orang bengkelnya Bima, gue dibikinin
bon buat stir Momo, jok Recarro, radio/cassette/CD player Nakamichi, speakernya
Bose semua depan belakang. Top of the line semua deh pokoknya.", kata Wibi
bangga.
"Oh my! Trus, ban nya minta merk apa? Pirelli?", aku
merespon bercanda.
"Iya lah. Sama velg nya BBS".
Aku berdecak kagum sambil menaruh curiga pada pemilik
bengkel langganannya Bima, "Pinoy lagi ya? Atau malah Chicano (ras
Meksiko)? Soalnya rada gak mungkin kalo bule".
Sambil nyengir Bima menjawab, "Bukan...Korean".
Dan kamipun tertawa bersama.
Dan ketika dua hari kemudian pihak asuransi telah memberikan
penggantian berupa uang tunai sesuai dengan permintaan Wibi yang total nilainya
jauh di atas nilai premi yang sudah dibayarkan, semua aksesoris asli bawaan
pabrik Honda itupun dipasang kembali. Sedangkan dananya untuk mengganti yang
dipakai membeli asuransi.
Orang Asia memang luar biasa.
Catatan: Beberapa nama
dan kondisi harus diubah dalam menghormati privacy tokoh yang bersangkutan