Tuesday, June 2, 2020

Kedaluwarsa

Keterlibatanku dalam manajemen sebuah grup musik yang pernah menduduki peringkat teratas dalam musik Indonesia di era 80an itu membuat sebagian orang menganggapku seorang pakar musik. Padahal saat aku terlibat disitu pertengahan era 90an, popularitas grup tersebut sudah mengalami penurunan yang terbilang lumayan jauh mengingat banyaknya grup musik baru yang lebih disukai. Mungkin memang dengan kondisi seperti inilah upayaku jadi sangat besar dalam usaha mempertahankan eksistensinya dalam persaingan di ranah musik tanah air.

Di awal abad 19 pun, masih ada sejumlah pemusik baru yang masih datang untuk berkonsultasi tentang strategi memasarkan dirinya dan/atau karyanya. Aku tidak pernah menutup pintu untuk mereka, namun tentunya aku terlebih dahulu perlu menampik anggapan bahwa aku seorang pakar. Hal ini aku lakukan agar nantinya aku tidak disalahkan jika ada kegagalan buat siapapun yang menjadikan ceritaku sebagai pedoman untuk sukses. Ya, semua ucapanku hanyalah cerita, dan hal-hal yang bukan jaminan untuk mendapatkan kesuksesan. Cerita tentang pengalamanku dan apapun yang aku jadikan prinsip dalam bekerja di area itu.

Keterlibatanku di grup musik tadi berakhir di awal tahun 2001 ketika salah satu personilnya dipecat karena perbedaan visi. Lalu bersamanya, aku membangun sebuah perusahaan rekaman yang hanya bertahan lebih kurang 2 tahun ketika beberapa artisnya berseteru dengannya hingga ada yang dijualnya ke perusahaan rekaman terbesar dengan harga yang sangat murah. Jadi terhentinya usaha ini pantas disebut penuh dengan kekecewaan dari banyak pihak termasuk aku sendiri.

Sebenarnya seberapa besar peranku selama itu sehingga hingga saat inipun, setelah hampir 2 dekade, saat mengenalkanku pada orang lain, masih ada saja orang yang membesar-besarkan namaku sebagai orang yang fasih tentang permusikan?
Yang benar adalah bahwa ilmu ku dangkal karena aku hanya berkiprah untuk periode yang sangat singkat di ranah musik Indonesia. Aku seorang pemusik tapi amatiran. Menciptakan lagu pun tak pernah. Manggung hanya sesekali dan untuk kepuasan jiwa saja. Pernah memegang tampuk tertinggi dalam manajemen artis tapi tak pernah resmi menjabat sebagai manajernya. Itupun hanya untuk beberapa bulan karena jabatan itu mendadak kosong ditinggal oleh manajer sebelumnya yang berganti profesi menjadi dosen.

Kalau menurutku, faktor utama yang membuat peranku terlihat besar adalah grup musik itu sendiri.

Grup musik yang pernah merajai peta permusikan cenderung punya ego yang kelebihan. Beda sekali dengan ego yang dimiliki saat masih jadi penguasa. Berlebihan karena masih merasa hebat. Masih merasa harus dianggap hebat dan disegani. Masih merasa punya hak ini dan itu. Masih merasa harus dituruti. Semua rasa itu seolah masih dimiliki disaat dan posisi yang tidak tepat. Post Power Syndrome lah istilahnya.
Nah disinilah peranku terlihat jadi besar. Bagaimana tidak? Aku harus menjaga popularitas mereka di saat mereka tidak lagi dianggap sebesar dulu. Beda sekali dengan mencoba mempopulerkan artis baru. Artinya, aku harus kerja ekstra keras membuat orang percaya bahwa mereka masih pantas diperhitungkan.

Pada saat yang sama pula, ego mereka memberi kesan angkuh. Padahal keangkuhan itu justru bisa jadi faktor penyebab denial atau penolakan. Contohnya, atas fakta bahwa mereka pernah beken, fee yang mereka tentukan bahkan bisa lebih tinggi dari fee artis baru tapi lebih disegani oleh pennggemar-penggemar muda. Sementara itu, fee mereka yang tidak murah ini tidak diimbangi dengan upaya dan waktu untuk berinteraksi dengan penggemar mereka. Mereka menganggap dirinya terlalu eksklusif untuk bisa ditemui fans begitu saja sehingga harus diterapkan pensterilan ketat terhadap siapapun yang ingin menemui mereka. Bahkan ketika di tempat umum disapa oleh orang yang kebetulan mengenal mereka, tak jarang diterapkan konsep Salah Orang. Ironisnya, kelebihan ego ini juga berimbas buruk pada hubungan baik antar mereka sendiri yang sudah terjalin selama lebih dari 1 dekade.

Peranku? Menjadi jembatan penghubung bagi antar personil grup dan bagi mereka dengan pihak luar yang berurusan dengan mereka. Banyak pihak yang mengaku sangat sulit bernegosiasi dengan mereka yang dicap jual mahal. Aku harus bisa menempatkan diriku sebagai negotiator dengan cara merendahkan diri dihadapan kedua belah pihak. Aku harus menjaga martabat kedua belah pihak dengan cara yang humble tapi tetap dengan motivasi yang tinggi untuk meng-gol-kan misi. Dengan mengingatkan kedua belah pihak bahwa semua bisa saling memberi dan menerima benefit atas kerjasama yang terjalin. Tentunya masing-masing pihak harus meluweskan diri. Nah...hal seperti inilah yang saat itu sulit terjadi bila mereka saling bertemu dan mencoba bernegosisi sendiri. Ujung-ujungnya tiap pihak pasti bersikeras mempertahankan prinsipnya hingga mungkin kesepakatan itu tidak terjadi. Intinya, keluwesan itu bisa dilakukan asalkan tidak di depan lawannya. Kalau dilakukan di depan lawan, kesannya jadi murahan. Maka biarlah titel murahan itu terhenti di aku.

Dengan konsep seperti ini, aku bisa mendapatkan banyak job untuk mereka. Ada yang prosesnya lancar, ada juga yang sempat terkendala atas ego yang tau-tau muncul lagi. Aku bisa akrab dengan begitu banyak MD (Music Director) stasiun radio di berbagai kota, sehingga aku bisa dapat deal bagus untuk pemutaran lagu-lagu grup ini. Padahal ada beberapa yang belum sekalipun bertemu muka denganku. Aku bisa kenal dengan pihak-pihak sponsor besar yang kemudian membocorkan cara mengkadali panitia penyelenggara acara. Dengan pihak Event Organizer dan stasiun TV yang memberi tip jitu agar dibanjiri job dari mereka. Dan aku juga berkesempatan berkenalan dengan pakar-pakar musik yang sesungguhnya. Berbagi dengan manajer artis lainnya, cerita dan pengalaman yang bisa jadikan pelajaran dalam menjalankan peranku.

Banyak ilmu berharga yang telah aku dapatkan selama ikut menjalankan manajemen grup ini yang bisa dipraktekkan orang lain. Tapi...itu dulu...sekitar hampir 2 dekade yang lalu. Kalau sekarang ada yang datang padaku untuk menimba ilmu itu, sepertinya sudah tidak pas lagi. Birokrasi perusahaan sponsor sudah berubah seiring dengan perkembangan musik. Album dan karya musisi sudah cenderung dijual secara online, bahkan ada yang gratisan. Internet begitu kencang sehingga ada opsi lain untuk menonton konser musik. Stasiun-stasiun TV sudah digabung-gabungkan di bawah payung korporasi raksasa sehingga prosedurnya pun tidak sesimpel dulu. Artis bisa memasarkan dirinya sendiri sekaligus berinteraksi dengan penggemarnya lewat media sosial yang membanjiri dunia maya. Para MD radio yang pernah kukenal dekat, sekarang sudah punya jabatan atau profesi lain. Dan keliatannya sekarang banyak orang berbicara tentang musik seolah mereka pakarnya. Belum lagi urusan musik yang diatur demi kepentingan politik.
 

Jaman sudah berubah. Semua sudah beda. Banyak ilmuku yang sudah kedaluwarsa.
Tapi satu yang aku anggap masih berlaku: BE HUMBLE