Sulit memang kalau semuanya kukembalikan kepadaNya yang akhirnya menjadi tabir misteri lagi. Entah sampai kapan aku harus menunggu, sementara dalam penantianku itu aku tidak seharusnya kehilangan kesabaran agar semua poin yang telah aku kumpulkan selama ini tidak hangus begitu saja. Sebagai manusia aku juga diberkahi rasa kesal, amarah dan mutung, yang semuanya harus terus kubendung. Tapi kesabaranku juga terbatas sehingga kadang aku masih saja membiarkan emosiku berbicara karena ketidak puasanku atas apa yang telah kudapat. Apapun yang seharusnya aku syukuri justru tak terlihat olehku hanya karena ujudnya bukan seperti yang kumau atau dengan mudahnya aku anggap tidak cukup.
Bayangkan saja...setelah begitu susahnya menempa diri dengan mengamalkan mandatNya dan menjauhi laranganNya, aku tidak juga dapat apa yang kuharapkan. Lalu disaat aku sedang mencoba untuk mensyukuri sekecil apapun imbalan atau berkah yang kudapatkan, cobaan berat lainnya "dihadiahkan" lagi buatku, bahkan bisa lebih berat dari sebelumnya. Apa tidak mengesalkan?
Untungnya aku (sejauh ini) masih dianugrahi akal sehat, sehingga aku tidak menjadi gila atau menyumpah serapahiNya. Tapi akal sehatku itu juga sering membuatku menggunakan logika untuk memutarbalikkan fakta dalam mengupayakan muslihat demi menyiasati ketidak puasanku sebagai (kemungkinan) jalan keluarnya. Aku pernah dengar bahwa do'a yang terijabah adalah yang dipanjatkan oleh mereka yang terdzalimi. Mungkinkah kalau aku bersiasat agar aku terdzalimi, do'aku akan terkabulkan? Atau ketika berkah yang begitu besar itu akhirnya turun setelah seseorang terlanjur hilang keimanannya dan memaki-maki Sang Pencipta atas cobaan yang dianggapnya terlalu berat dan tak mungkin diterimanya dengan legowo seperti yang pernah dialami temanku. Mungkinkah aku lalu layak mencoba bersikap egois dan menolak dengan keras apa yang harusnya kuterima dengan ikhlas? Belum lagi kalau yang terlintas dalam benakku untuk dilakukan adalah hal-hal yang mewakili keputusasaanku. Dengan dalih "mutung", aku ikuti saja ajakan iblis untuk melanggar laranganNya. Toch kalau akhirnya aku memang tidak berhak mendapat hadiahnya, paling tidak aku sudah mencicipi nikmat lainnya meskipun hanya sesaat.
Pergolakan prinsip seperti itulah yang terus menerus menggerayangi pikiranku semakin lama aku menunggu datangnya berkah dalam bentuk dan ukuran yang aku kehendaki. Makin banyak do'a yang kepanjatkan, makin besar berkah yang aku harapkan tapi tak kudapatkan, yang secara teori, harusnya ditindaklanjuti dengan lebih banyak lagi pemanjatan do'a-nya. Tapi aku juga tidak pernah tau sampai kapan dan di tingkat mana aku bisa bertahan mempraktekkan teori itu. Kemungkinannya selalu 50-50; siklus seperti itu akan terus berlangsung, atau justru menyimpang dan mengarah pada pengeksekusian siasat-siasat tadi?
Entahlah. Lagi-lagi semua itu adalah rahasaiNya. Semoga saja aku bisa selalu merasa beruntung...aamiin