Akhir bulan Ramadhan sudah di ambang pintu yang artinya kewajiban menahan diri dari segala nafsu hampir selesai. Bagaimana harusnya kita bersikap terhadap hal ini?
Aku rasa semua kembali kepada interpretasi kita masing-masing akan Ramadhan itu sendiri. Kebanyakan orang menganggapnya sebagai bulan ujian penuh berkah. Bisa jadi mereka yang tergolong gembira dan bersuka cita karena proses ujian itu telah berakhir. Jangan salah....aku tak sedang membicarakan kegembiraan akan Lebaran, yang mungkin bisa didasari karena bisa menikmati makanan yang istimewa, dapat THR atau mungkin angpao atau berkumpul bersama keluarga dan kerabat yang kesehariannya susah dilakukukan. Yang aku bicarakan masih tentang arti dan berakhirnya Ramadhan.
Sebagian lainnya seperti aku justru menganggap Ramadhan sebagai bulan pelatihan dimana apa yang kita lakukan selama itu sifatnya menempa iman dalam menyiapkan diri menghadapi ujian selama 11 bulan berikutnya hingga sampai ke Ramadhan lagi. Entah bagaimana kelompok ini menyambut berakhirnya Ramadhan. Mungkin ada yang menangis karena pelatihan itu telah berakhir sementara mereka belum siap atau gembira bagi yang merasa siap, yang jelas aku khawatir. Khawatir tidak mampu menghadapi ujian yang begitu lama dan pasti lebih berat dari pelatihannya sendiri. Bagaimana tidak? Apa yang aku lakukan selama ujian itu harus dilakukan dalam iklim dan lingkungan yang sifatnya lebih ke "ujian telah usai". Menahan segala nafsu dan mengendalikan emosi disaat orang disekelilingku menghalalkan hal-hal yang sebaliknya.
Terlepas dari dua pengartian itu, setiap umat Muslim harusnya otomatis menjadi manusia baru di ujung Ramadhan karena tujuan dari segala "pelatihan" atau "ujian" itu adalah untuk mengubah setiap individu menjadi lebih baik. Dengan menjalani segala kewajiban Ramdhan, kita harusnya bertambah ilmu. Bahkan orang yang disebut hanya dapat lapar dan hausnya selama puasapun pasti bisa dapat makna dibalik lapar dan hausnya itu....sekecil apapun maknanya. Soal bagaimana kita menindaklanjutinya setelah Ramadhan berlalu kembali kepada tiap individunya. Selama sebulan kita membentuk diri menjadi sosok yang baru, yang lebih baik, dan sewajarnya yang lebih bijaksana. Yang penting memang sosok baru itu punya karakter dan sifat yang baik menurut kita sendiri, bukan menurut orang lain. Karena kalau ternyata kita hanya memperbaiki diri berdasarkan kemauan orang lain dan bukan kemauan sendiri, niscaya kebaikan itu akan hilang, mungkin bahkan tidak akan bertahan sampai ke Ramadhan berikutnya.