Pagi ini, selagi membaca postingan tentang situasi di Mesir dan Suriah, tiba-tiba aku teringat cerita ibuku dulu ketika aku duduk di bangku kelas 2 SD. Cerita seram tentang sebuah rumah yang aku tidak ingat lagi sama sekali dimana letaknya, namun sering dilewati oleh ayahku setiap beliau mengajak kami sekeluarga berkeliling kota dengan mobilnya. Rumah itu keliatan tidak berpenghuni memang, karena taman di depannya tampak tak terurus sampai dipenuhi rumput yang tumbuh tinggi tidak beraturan. Di malam hari lebih jelas terlihat keterbengkalaiannya karena meskipun kondisinya masih kokoh dengan jendela dan pintu yang masih lengkap dan utuh, rumah moderen berlantai satu dengan ukuran lebih kurang 200 meter persegi ini sangat gelap. Satu-satunya sumber cahaya yang sedikit meneranginya hanyalah lampu jalanan yang remang-remang.
Kata ibuku, rumah ini dihuni oleh setan yang dulunya sempat dipercaya bisa mengabulkan permintaan siapapun yang meminta kepadanya. Dan tidak sedikit orang yang mencoba menjajal mitos tentang rumah pesugihan ini tapi gagal, sampai akhirnya ada sebuah pembuktian dari seorang pendatang dari luar kota yang kesehariannya bekerja sebagai penjual roti keliling. Ia meninggalkan istri dan seorang anaknya di Jawa Tengah untuk mengadu nasib di Jakarta. Namun karena penghasilan yang didapatkan kurang mencukupi, ia lalu mencoba mendapatkan kekayaan dengan cara yang instan.
Pendeknya, setan berjanji akan memberikan apa yang dimintanya dengan syarat ia harus juga melakukan apa yang diminta setan. Kesepakatanpun dilakukan dan setan menyajikan sepiring ayam goreng yang harus dihabiskannya. Entah karena tergiur dengan janji setan ataukah ayam itu memang lezat, ia memakannya dengan lahap tanpa ditemani nasi atau lauk lainnya. Berawal dengan kedua paha dan paha atas yang juicy, lalu sayap dan badan. Sebenranya, ia merasa jijik sehingga tidak pernah suka makan kepala ayam, namun karena setan mengingatkan untuk menghabiskannya sesuai dengan kesepakatan, maka dengan sedikit risih perlahan ia gerogoti daging di leher dan kepala ayam tersebut.
Kekayaan yang diharapkannya belum kunjung hadir ketika beberapa hari kemudian ia mendapat kabar tentang anak semata wayangnya yang meninggal secara misterius. Ia begitu kaget ketika sesampainya di rumah, istrinya mengisahkan bagaimana tiba-tiba anak mereka menjerit-jerit merasakan sakit yang menggerogoti sekujur tubuhnya dengan urutan persis seperti ketika ia melahap ayam itu. Ketika hal itu terjadi, tidak seorangpun mengetahui apa penyebabnya selain praduga adanya pengaruh santet atau kesurupan.
Soal kekayaan instan itu sendiri, akhirnya memang ia dapatkan dalam bentuk sumbangan yang cukup besar dari warga di kampungnya, karyawan dan pihak perusahaan dimana ia bekerja karena rasa iba yang begitu besar atas kematian misterius yang dialami seorang anak kecil.
Ironis? Sangat!
Mitos? Mungkin saja.
Dan mengapa setelah puluhan tahun berlalu, hingga di era semoderen ini terbukti masih banyak manusia yang mengambil jalan pintas untuk mendapatkan apa yang diinginkannya meski itu berarti harus mengorbankan apa yang telah dimilikinya? Kita bisa punya teknologi yang jauh lebih canggih dari yang ada ketika ibuku bercerita. Dengan perkembangan ilmu selama ini. kita harusnya bisa jauh lebih pintar dari sosok sang penjual roti. Tapi itu bukan berarti setan ketinggalan zaman. Setan tidak pernah berhenti bekerja dalam menggoda manusia dan memang itulah tugasnya. Kalau kita percaya pada misteri yang dimiliki Allah swt., tentunya kita perlu percaya bahwa cara kerja setan juga sulit ditebak. Godaan setan disesuaikan dengan kondisi yang ada sehingga cara dan ujud penyampaiannya bisa selalu terlihat menggiurkan dan up-to-date. Artinya, aspek yang dijadikan kendaraan olehnya untuk mengusik ketenangan manusia bisa apa saja, termasuk hal yang harusnya menguatkan keimanan kita: agama.
Bijaksanalah dalam beragama.