Jum'at kemarin, karena aku punya banyak waktu luang, aku menjadwalkan untuk menjemput putraku dari sekolah. Agar ia tak terlalu lama menungguku seusai shalat Jum'atan nya di sekolah, aku berencana melakukan shalat Jum'at di sekitar sekolahnya.
Dari beberapa yang ada, aku memilih sebuah masjid yang lumayan besar namun tidak terlalu menyolok keberadaannya karena posisinya yang terletak di sebuah jalan kecil di tengah-tengah pemukiman warga yang padat yang lumayan jauh dari jalan raya.
Sudah lama memang, aku berniat sekali menyambangi masjid ini karena meski tak terlihat dari jalan raya namun menara tunggalnya cukup tinggi dan memiliki desain yang menarik perhatian, menyeruak di balik padatnya rumah-rumah hunian yang mengelilinginya rapat. Putraku, yang pernah mengunjunginya, mengatakan bahwa masjid itu cukup populer di lingkungannya karena ketika ia melakukan saat shalat Dhuhur berjamaah di hari biasapun jemaatnya cukup banyak.
Ketika aku tiba disana sekitar 10 menit sebelum adzan berkumandang, hampir 70 persen ruangan masjid yang cukup luas ini sudah terisi, sementara jemaat terus berdatangan hingga akhirnya melimpah sampai ke teras dan halaman masjid.
Tak seperti di beberapa masjid lain, adzan dikumandangkan hanya sekali setelah sang khatib naik ke atas mimbar dan memberi salam. Dan setelah itu khatib langsung berkhutbah. Saat itu aku bertanya-tanya pada diri sendiri topik apakah yang akan menjadi materi khutbahnya, mengingat yang sedang menjadi trending topik adalah masalah penistaan agama Islam.
Sayangnya, aku tak pernah tau jawabannya...
Aku sempat heran dengan pembukaan khutbah berisikan hamdalah dan pujian kepada Allah SWT serta shalawat kepada Rasulullah SAW, yang selalu dalam bahasa Arab, yang bagaikan tak kunjung selesai. Namun yang membuat aku kaget adalah bahwa ketika aku masih menunggu bagian khutbah berbahasa Indonesia, sang khatib mengambil posisi duduk beristirahat sebelum memulai khutbah bagian kedua. Rupanya, khutbah bagian pertama telah lengkap dan selesai disampaikannya melulu dalam bahasa Arab. Begitu pula dengan bagian kedua yang tak diisi sedikitpun dengan bahasa Indonesia. Maklumlah...sebagai seorang yang ilmunya cetek, aku tak dapat membedakan mana bahasa Arab yang do'a, mana yang kutipan ayat Al-Qur'an dan mana yang digunakan sebagai alat komunikasi sehari-harinya.
Ada hal lain juga yang aku temui (sejauh ini) hanya di masjid tersebut. Tak lama setelah shalat Jum'at usai, sebagian kecil jemaat (nampaknya) melakukan shalat sunnah berjamaah. Aku yang hanya bisa menebak-nebak shalat apa yang mereka lakukan, memutuskan untuk meninggalkan masjid saja bersama sebagian besar jemaat yang langsung membubarkan diri ketimbang melakukan shalat sunnah sendirian yang bisa-bisa dianggap salah. Hasilnya, total waktu yang digunakan untuk khutbah dan shalat Jum'at
menjadi relatif lebih pendek dari yang biasanya aku temui di
tempat-tempat lain. Karena itulah dalam perjalanan menuju sekolah putraku, aku melewati
beberapa masjid yang prosesi shalat Jum'at nya masih berlangsung, bahkan
di masjid sekolah putraku, sang khatib masih tengah berkhutbah.
Entah apa yang menjadi patokan bagi para pengurus dan pihak manajemen masjid tersebut, namun buatku perbedaan seperti ini hanya merupakan suatu keanekaragaman yang ada dalam agama Islam di negeri ini.
Dan alhamdulillah hingga kini, tak pernah ada masalah bagi semua jemaat yang beribadah disana.
Suatu pengalaman baru lagi yang unik buatku. Memang jadinya aku tak mengerti apa yang disuarakan oleh sang khatib...tp itung-itung, pengalaman ini cukup mengingatkan aku pada kunjunganku ke tanah suci. :)
Disadari atau tidak, rezeki itu selalu datang pada kita. Logikanya, tidak disadarinya karena jauh lebih kecil atau sedikit dibanding yang kita harapkan. Apalagi jika efeknya tidak signifikan dengan kondisi yang sedang kita alami. Misalnya kita lagi betul-betul butuh biaya besar untuk memenuhi hal-hal yang positif seperti untuk pengobatan, atau membayar tagihan bulanan yang sudah menunggak segian lama sehingga jika tidak dibayar tepat waktu bisa berdampak tragis, namun rezeki yang kita dapatkan (hanya) cukup untuk membeli sedikit lauk nan sangat sederhana untuk sekali makan. Bisa jadi sambil makan dengan lauk tersebut kita terus mempertanyakan mengapa rezeki tak kunjung datang. Padahal...kesempatan untuk terbangun di awal hari dan bernafas seharian saja merupakan suatu rezeki yang tidak semua orang mendapatkannya.
Sudah sejak tigaperempat tahun aku berusaha menjalani keseharianku dengan mengandalkan sebuah motor yang telah kumiliki selama lebih dari enam tahun, dan sebuah lagi motor pinjaman dari kakakku. Pinjaman ini aku dapatkan setelah motorku yang sebuah lagi ditarik oleh pihak leasing company karena tunggakan cicilan yang akhirnya tak mungkin aku bayar pada waktunya. Apesnya, sekitar tiga bulan yang lalu motorku akhirnya menampakkan gejala-gejala permasalahan yang tak mungkin diabaikan, sehingga harus aku biarkan terparkir setiap hari di dalam garasi hanya karena aku tak ingin dapat masalah yang lebih serius di tengah jalan ketika aku nekat mengendarainya. Karena itulah sebulan yang lalu, aku harus rela menjualnya dengan harga yang murah ke seorang teman yang siap menguras koceknya untuk memperbaikinya.
Jadi sejak itu, hanya motor kakakku lah yang dapat aku andalkan untuk menopang segala aktifitasku sekeluarga.
Hari Kamis kemarin, kakakku tiba-tiba memintaku mengembalikan motornya mengingat saat inipun ia jadi membutuhkannya setelah kondisi finansialnya juga tak kunjung membaik.
Awalnya terasa berat sekali buatku untuk memenuhi permintaannya meskipun itu sepenuhnya adalah haknya. Betapa tidak? Otomatis tak akan ada lagi alat transportasi yang dapat kuandalkan untuk melakukan aktifitas. Namun biar bagaimanapun pentingnya arti motor kakakku bagi keseharianku, aku tak berhak menahannya jika memang telah diminta kembali. Dan keikhlasanku melepaskannya membuat perjalanan panjangku kemarin ke rumah kakakku terasa ringan saja. Yang aku rasakan selama perjalanan hanyalah kelegaan atas keberhasilanku merawat motor itu dengan sebaik mungkin sehingga dapat kukembalikan dalam keadaan yang baik tanpa kekurangan apapun.
Kakakku juga telah menegaskan tentang seringnya ada kesalahan persepsi pada manusia yang mengharapkan "bayaran" dalam hidupnya di dunia atas segala amal ibadahnya, sementara harusnya semua perbuatan baiknya itu dilakukan demi imbalannya di akhirat nanti. Tapi, memang benar seperti kata seorang teman baikku lewat whatsapp semalam sesampainya aku kembali di rumah, bahwa sebagai manusia kita tidak mudah mengesampingkan faktor-faktor keduniawian. Keamanan dan kenyamanan hidupnya di dunia menjadi prioritas sehingga kita selalu merasa kurang. Kurang untuk memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri lah, keluarga lah atau bahkan niat baik untuk masyarakat banyak. Manusiawi sekali, bukan? Tpi disitulah keimanan dan kesabaran kita diuji.
Mungkin saja hari-hari di depanku akan terasa lebih berat dengan tidak
adanya kendaraan yang dapat aku gunakan, namun aku yakin Allah sudah
mengatur semuanya sehingga apapun yang terjadi bisa aku hadapi dengan
kemudahan.In shaa Allah...
Sebenarnya ini bukan kali pertama aku dihadapkan pada sebuah rezeki yang tampaknya begitu dekat tapi belum bisa tersentuh. Sudah berkali-kali malah. Dan pada akhirnya rezeki itu memang bukan milik karena ternyata apa yang terlihat dekat memang ibaratnya terpisahkan oleh kaca bening yang sangat amat tipis tapi tak tertembus bahkan oleh peluru kendali. Banyak faktor manusiawi dan buatan manusia yang menjadi penggagalnya.
Bedanya...yang ini tertunda karena faktor alam. Semua aspek lain sudah tertangani satu persatu lewat proses yang amat sangat njelimet dan bisa dikategorikan tidak masuk akal sehat. Misalnya saja hal-hal yang cenderung dianggap mistik oleh orang kota tapi dijunjung tinggi oleh orang kampung sebagai bagian dari tradisi yang tidak boleh dikesampingkan. Aku sebagai orang kota dan beragama ya manut saja selama aku tidak ikut-ikutan berperanserta supaya jatuhnya tidak musyrik.
Dan apapun alasannya, hubungannya ke pengunduran waktu. Aku hanya bisa menunggu sambil selayaknya membantu melancarkan segala proses sesuai kemampuanku. Hanya keikhlasanku yang bisa membuatku tahan menunggu waktu yang tepat dengan menjauhkan diri dari keramaian kota, rutinitas keseharianku, keluarga dan teman-teman. Makan minum seadanya, berhujan-hujanan dan tidur di dalam pendopo berlantai papan kayu beralaskan tikar anyamanpun kujalani berminggu-minggu.
Aku dan kedua temanku juga silih berganti mengalami gangguan kesehatan sebagai bagian dari proses adaptasi kami dengan kondisi di sekitar kami. Tapi tak mengapa. Kami bertiga toch sudah siaga dari awal sejak kami memutuskan untuk menggarap proyek ini. Hanya saja kami tak pernah menduga bahwa akhirnya laju perjalanan perjuangan kami harus terhambat oleh hujan yang sudah seminggu terakhir ini turun tiap hari. Pasalnya, untuk melanjutkan penggarapan proyek yang hampir mencapai akhir ini dibutuhkan cuaca yang cerah ceria cetar membahana...barang dua hari saja.
Konon menurut para dukun BMKG, ada empat hari yang diramalkan akan tak berhujan di minggu mendatang. Lepas dari kemungkinan adanya Human Error, sekali lagi kami harus bersabar menunggu kembalinya matahari bersinar sepanjang hari yang in shaa Allah identik dengan kembali bersinarnya masa depan kami bertiga. Bismillah...
Sekali lagi ini tentang pemaksaan dalam agama.
Sudah bertahun-tahun lamanya sejak kedua putraku beranjak akil baligh, kami selalu melakukan ibadah shalat Ied di hari Lebaran Haji bersama. Karena setelah acara ritual itu biasanya kami tak punya acara rutin yang mandatori, shalat Ied ini bisa kami lakukan dimana saja sesuai keinginan kami. Sesekali bahkan dilakukan di pelataran masjid yang jauh dari tempat tinggal kami dengan pemikiran sambil jalan-jalan menjajal tempat baru.
Kemarin ternyata mereka dipaksa pihak sekolah melakukan shalat Ied di sekolah. Bagi yang tidak hadir, meski dengan alasan yang diterima, tetap saja mereka tidak akan dapat nilai bonus yang mungkin kelak bermanfaat bagi para murid untuk mendongkrak nilai agama mereka. Ini berarti aku tak akan shalat bersama mereka, sementara kesempatan untuk salat bersama mereka itu jarang didapat. Untung saja tidak ada jadwal istimewa di keluargaku yang mengikutinya seperti halnya shalat Ied hari Lebaran Idul Fitri yang selalu langsung diikuti dengan acara ziarah ke makam kedua orangtuaku, sehingga aku masih bisa mentolerir urusan ini.
Yang membuatku kesal adalah bahwa pihak sekolah seolah menjadikan pelaksanaan shalat ini sebagai suatu kewajiban siswa-siswi-nya. Padahal (setauku) Islam tak pernah mewajibkan ummatnya untuk melakukan shalat Ied di tempat-tempat tertentu kecuali di pelataran masjid manapun.
Ini sama saja dengan peristiwa pemotongan hewan qurbanku beberapa tahun silam yang aku titipkan di sebuah masjid pilihanku yang berada di wilayah RT tetangga. Ketika itu ketua RT ku datang ke tempat tinggalku dan mempertanyakan mengapa tidak kutitipkan ke masjid di wilayah RT ku saja. Alasannya...agar yang menerima daging qurbanku adalah warga wilayah RT ku saja.
Aku heran saja...kenapa orang sering (seolah) memanfaatkan urusan agama buat kepentingan yang non-agama? Aku memang saat itu menitipkan urusan pemotongan itu di wilayah RT tetangga karena jumlah hewan qurbannya yang terbilang minim, bertolak belakang dengan yang ada di wilayah RT ku. Buatku, niat untuk menambah stok daging di wilayah RT tetangga itu cukup untuk membuatku senang. Masalah nantinya ternyata masih kurang mencukupi ya biarlah ditangani langsung oleh Allah. Intinya, aku tetap menjalankan kewajibanku tanpa melanggar ketentuan baku yang ada dalam Islam.
Maka...jadilah kemarin aku melaksanakan shalat Ied dan duduk mendengarkan khutbah Ied tanpa diapit kedua putraku seperti yang sudah-sudah. Ah....tidak asyik sama sekali... :(
Satu hal yang pasti selalu membuatku kesal adalah ketika ada orang yang merampas hak orang lain atas makanan atau minuman. Tak harus merampas secara harafiah...bahkan sekedar merusaknya saja tidak bisa aku tolerir...siapapun itu pelakunya. Pendek kata, di kamusku, tak ada satu insanpun di dunia ini yang pantas merampas makanan atau minuman yang sudah menjadi hak orang lain.
Contohnya...yang terjadi di sebuah acara pesta Thanksgiving yang diadakan di rumah seorang teman ketika aku masih tinggal di negeri seberang. Ketika itu aku hatiku sedang berbunga-bunga karena aku berhasil menguliti ayam kalkun yang jadi hidangan utama. Kesenanganku itu berdasar karena kulit ayam merupakan musuh bebuyutan bagi kebanyakan orang disana karena kadar lemak kolesterolnya yang tinggi. Oleh karena itu, aku puas mendapatkannya disaat orang lain justru menghindarinya. Cukup fair, bukan?
Tapi di suatu saat ketika aku sedang tidak memperhatikan piring yang tengah aku pegang, seorang teman mencomot kulit yang ada di piringku dan melahapnya. Tentu saja hal ini membuat yang hadir dan melihatnya tertawa. Sontak saja suasana keceriaan itu berubah jadi tegang setelah pulukan keras bogemku ke perutnya membuatnya harus memuntahkan kulit ayam yang sedang dikunyahnya. Yang kemudian terjadi adalah debat sengit antara aku dengan ia dan istrinya yang menganggapku membesar-besarkan hal yang sepele. Dan akupun memutuskan untuk meninggalkan acara itu setelah memohon maaf pada pemilik rumah...bukan kepada perampas makananku.
Contoh lainnya...aku pernah mengomeli putra sulungku ketika dengar cerita bahwa ia bersama seorang teman lainnya diam-diam memasukkan banyak cuka ke dalam mangkuk berisi mie baso milik seorang temannya. Meski hal itu sudah terjadi beberapa jam sebelumnya, dan sang korbanpun sudah memaafkannya setelah dapat penggantian dengan porsi barunya, aku tetap memberi hukuman pada putraku dengan melarangnya makan mie selama sebulan. Suatu hukuman yang aku anggap cukup berat untuk seorang anak yang memang doyan makan mie. Buatku, kejadian itu sama saja dengan merampas hak temannya atas makanannya.
Nah...aku mengalami sebuah perampasan makanan pagi ini di rumah mertuaku. Sebungkus nasi uduk yang sudah siap aku santap terpaksa harus kutinggal dalam keadaan bungkusan terbuka setelah aku mendadak diminta untuk pergi sebentar membeli obat untuk mertuaku yang sedang tidak enak badan. Hanya kutinggal lima menit saja, aku kembali dengan mendapati nasi udukku tengah disantap oleh keponakanku. Pasalnya apa nih? Bukannya sudah jelas-jelas bunugkusannya terbuka...yang bisa diartikan milik seseorang? Bukankah yang masih terbungkus rapih lebih mengidentikan belum ada yang memilikinya?
Yang bikin aku makin geram adalah alasannya. Ketika diperingatkan oleh kedua putraku bahwa itu milikku, ia berdalih akan menyantapnya justru untuk menyelamatkannya; "Dari pada dimakan setan", katanya. Haah!!?? Aturan apalagi itu?? Sontak aku mengomel padanya. Tanpa merasa bersalah sedikitpun, ia bahkan menyatakan kepadaku bahwa masih ada yang terbungkus untuk kumakan. Padahal yang satu itu disediakan untuk eyang-nya (mertuaku) yang sedang sakit itu.
Ugh...ingin sekali aku memperpanjang urusan ini. Namun aku urungkan niatku karena ternyata tindakannya itu didukung oleh mertuaku sendiri dengan alasan ia memang sedang tidak punya selera untuk makan nasi uduk. Mertuaku jugalah yang menyarankannya untuk menyantap yang telah terbuka dengan pertimbangan bahwa aku bisa mendapatkan gantinya yang masih baru dan hangat. Maka aku hanya diam saja dan menyantap nasi uduk pengganti yang lauknya tak selengkap apa yang harusnya aku dapatkan.
Aku sadar bahwa aku dikelilingi oleh banyak orang yang mungkin tak menganggap pentingnya arti sebuah makanan yang sudah menjadi hak orang lain. Mereka bisa menganggap setiap makanan yang mereka rampas sangat mudah tergantikan. Namun itu tak mengubah anggapanku bahwa merampas adalah mengambil tanpa izin pemiliknya. Meski obyeknya makanan, dan mau dibuat se elegant mungkin, tetap saja yang namanya merampas makanan berarti termasuk tindakan yang tercela.
Dan atas alasan konyol (buatku) yang dipakai keponakanku, aku hanya berkata dalam hati, "Biar nggak dimakan setan....akhirnya setan juga yang makan...preeeett!!!"
This is so freakin' seriously true..!!
Semalam selepas reuni dengan beberapa teman lama di sebuah cafe, aku memutuskan untuk pindah ke tempat lain yang masih buka bersama salah seorang dari mereka ketika yang lainnya beranjak pulang. Memang aku lah yang mengajak temanku ini untuk memperpanjang pertemuan sambil mengopi karena dulu ia termasuk teman dekatku. Di samping itu, aku ingin lebih banyak tau tentang kesuksesannya dalam berbagai usaha yang dijalankannya. Hitung-hitung aku mengharap bisa belajar banyak darinya untuk bisa sukses. Mungkin dapat link baru yang bisa bermanfaat buat apapun usaha yang pas buatku.
Aku tidak mengagumi mobil Pajero model terkini yang ia kendarai semalam, atau tempat tinggalnya di Pantai Indah Kapuk yang terkenal elit itu, tapi aku kagum dengan keberhasilannya membalikkan nasibnya 180 derajat. Aku ingat dulu ketika masih di negeri seberang ia sering nongkrong di apartment-ku karena ia tak punya punya makanan di tempat tinggalnya. Saking seringnya hingga ia berkali-kali menginap karena malas melakukan perjalanan yang cukup jauh dengan kereta komuter di malam hari. Ia juga tergolong pemalas dalam menjalankan tugasnya sebagai loper koran di pagi hari, padahal kiriman dana dari orangtuanya pas-pasan hanya cukup untuk biaya kuliah paruh waktunya. Itu juga faktor yang membuatnya lebih suka menginap di tempatku tanpa merasa punya tanggung jawab terhadap pekerjaannya yang juga paruh waktu.
Untungnya buat aku punya teman seperti dia? Tak banyak. Tapi aku tak pernah keberatan berteman dengannya karena ia cukup menghargai pertemanan kami. Meskipun kakakku yang tinggal bersamaku sering menganggapnya sebagai parasit, namun aku suka dengan niatnya untuk membantu apa adanya dengan apa yang mungkin aku butuhkan. Dan walaupun tak pernah diminta, ia sering ikut membereskan apartmentku yang sering ditinggal berantakan oleh sejumlah teman yang lain setelah dipakai buat tempat nongkrong khususnya di akhir pekan.
Ia akhirnya harus pulang kembali ke tanah air setelah orangtuanya benar-benar tak sanggup lagi mengirimkan uang untuknya sebelum ia menyelesaikan kuliahnya. Sejak itu aku tak pernah bertemu dengannya hingga 9 tahun lalu di suatu konser musik dimana aku bertindak sebagai manager band yang tampil dan ia sebagai piak penyelenggara acara. Pertemuan kami itu hanya berlangsung singkat karena padatnya kesibukan kami masing-masing untuk mensuksesan acara tersebut sehingga kami tak sempat saling catch up perjalanan hidup kami masing-masing. Ironisnya kami lost contact karena satu dan lain hal dan kami tak pernah behubungan lagi hingga tiga bulan yang lalu ketika aku mengetahui keberadaannya lewat seorang teman lain yang dulu juga kuliah di kota yang sama.
Setelah tarik ulur soal jadwal pertemuan dengan teman-teman lainnya, akhirnya terealisasi juga semalam. Itu sebabnya aku mengajaknya melanjutkan pertemuan berdua saja.
Di suatu teras hotel bintang empat yang ia usulkan kami duduk mengobrol santai menyeruput kopi diiringi gemerisik suara gerimis hujan sambil bernostalgia dan bertukar cerita perjalanan hidup kami sejak kami berpisah. Awalnya aku memang terkagum-kagum mendapati bagaimana ia pandai memanfaatkan koneksi yang banyak ia dapati dari istrinya yang memang datang dari kalangan berada. Yang aku salut darinya, ia sama sekali tidak memanfaatkan kekayaan dari keluarga istrinya...itu satu hal lagi yang dulu membuatku respect terhadapnya...tidak morotin duit orang meski ia sering butuh dana untuk banyak hal.
Aku bisa merasakan keibaannya mendengar kondisi finansialku yang memang sedang terpuruk-puruknya. Meski ia terlihat ingin membantu, namun kami sama-sama tidak menemukan benang merah dengan cara apa bantuan itu bisa diberikan. Aku menolak untuk diberi pinjaman dana karena hanya akan menambah jumlah hutangku sementara aku belum juga dapat bayangan kapan aku bisa mengembalikannya. Sayangnya...di sekian usaha yang dijalankannya, ia menyatakan tidak menemukan posisi yang layak untuk ditawarkan kepadaku. Padahal (sambil bercanda) aku menyatakan siap bekerja bahkan sebagai seorang office boy. Dan akupun sempat berpikir bahwa tak ada solusi untuk masalah finansialku yang bisa didapat dari reuni ini. Sampai akhirnya ada sebuah penawaran darinya yang lalu menggiringku ke fase kaget.
"Whaaat!? Are you serious?? Shut up!! Get the f*ck outa here!! You're bullsh*ting me!! Are you kidding?? C'mon...you're crazy, man!!", dan berbagai ungkapan lain yang mewakili kekagetanku keluar dari mulutku silih berganti sementara ia berusaha meyakinkanku tentang keabsahan ceritanya.
Ia bercerita bahwa sejujurnya bukanlah bisnis-bisnis bersihnya yang membuatnya hidup makmur. Ia juga menjalankan suatu bisnis kotor yang rupanya selama ini memberinya masukan dana yang sangat besar. Dengan suksesnya ia mengembangkan koneksi jetset yang didapat dari istrinya, ia lalu mendapatkan sejumlah kenalan yang menggunakan narkoba...biasanya untuk dugem atau private party. Demand yang cukup tinggi inilah yang kemudian menceburkannya ke dalam bisnis penyediaan narkoba. Nah...dari cerita inilah kemudian sebuah tawaran beracun dilayangkan kepadaku.
Ramainya traffic penyaluran narkoba yang ia handle ini tak diimbangi dengan armada kurir yang tersedia, sehingga ia sampai menawarkanku untuk ambil bagian di dalamnya. "Damn!!", kataku padanya, "Gila aja loe nawarin gue yang gitu-gitu". Aku memang kaget mengetaui bahwa ia menjalankan bisnis haram itu. Tapi tak pernah terduga sedetikpun bahwa buntutnya adalah sebuah tawaran buatku. Semakin sering kutolak, tawaran dengan imbalan yang menggiurkan inipun semakin sering dilemparkan olehnya. Plus, ia membumbui tawaran itu dengan segala hal yang sifatnya menyesatkan. Dari sekedar dapat pengembangan jaringan usaha yang artinya dapat tambahan orderan, jamuan gratis minuman beralkohol (beberapa konsumennya adalah owner cafe yang bertindak sebagai pemasok bagi tamu-tamunya), sampai berkenalan dengan para wanita pemakai yang katanya bispak.
Jujur saja...imbalan uangnya sangat menggiurkan, dari enam ratus ribu hingga satu setengah juta Rupiah per hari bisa aku dapatkan, tergantung dari berapa kali dan kuantitas delivery yang aku mampu lakukan. Dan di akhir pekan, pendapatan itu bisa dobel karena demand yang berlipat juga jumlahnya. Bayangkan...dua puluh hari kerja saja dalam sebulan, dengan pendapatan paling minim, dua belas juta Rupiah sudah terkantongi. Itu hanya apa yang bisa didapat sebagai kurir...bagaimana dengan ia sendiri yang jadi boss? Tak heran kalau ia kaya raya dan hidup bagaikan seorang konglomerat terkenal.
Sejak topik ini mulai diangkat, aku acapkali menggelengkan kepala sambil tersenyum dan bergumam mengisyaratkan ketidakpercayaanku atas temanku ini. Aku memang sedang kesusahan dalam hal finansial, dan sangat membutuhkan dana yang cukup banyak, tak hanya untuk membayar tagihan-tagihan tapi juga untuk mencicil hutang-hutang pribadi yang ada. Tapi seburuk-buruknya kondisi keuanganku ini tak membuat hilang kewarasanku sehingga mau melakukan hal yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsipku sendiri. Yang lebih sering terbayangkan olehku justru betapa malu dan apesnya aku jika aku sampai tertangkap. Mau ditaruh dimana mukaku ini? Itu baru duniawi-nya saja...belum hukuman yang aku harus tanggung kelak di Pengadilan Akhir karena aku ikut merusak hidup banyak orang..!
Temanku ini memang bisa dibilang sudah sangat tersesat dan terperosok jauh ke dalam jurang. Apa yang ia jalani adalah pilihannya sendiri, dan aku cukup jadi seorang teman dekat yang ia kasihani tapi tak perlu ia tolong. Aku berpisah dengannya dengan jabatan tangan dan pelukan brotherhood yang erat...tapi juga tanpa sebuah solusi buat keuanganku. Pesan darinya untuk mengontaknya lagi bila aku berubah pikiran hanya sebatas numpang lewat dari kuping yg satu ke yang lainnya karena penolakanku tak perlu dipertimbangkan dua kali. Phew...begitu hebatnya nafsu ingin kaya yang dideritanya hingga ia melupakan konsekuensi yang akan diterimanya kelak.
Aku sendiri?
Mengendarai sepeda motor matic-ku di kegelapan larut malam yang berawan mendung cukup menjelaskan pada diriku sendiri bahwa masih seperti itulah aku mungkin harus menjalani hari-hari ku untuk sementara waktu ke depan. Entah sampai kapan akan berubah, tapi jika ada perbaikan, in shaa Allah akan kudapatkan di jalan yang diridhoiNya...aamiin.
Saat Jum'at-an kemarin aku terganggu dengan isi khutbah sang khatib. Ia menjelaskan bagaimana orang harus All-Out dalam mempraktekkan agamanya (dalam hal ini Islam), dan kalau tidak, apapun yang dilakukannya tak akan berarti apa-apa. Ia mengambil contoh bagaimana seseorang harus khusyu' total dalam bershalat atau bahkan berwudhu agar shalatnya diterima Allah swt. Ia menyatakan percuma seseorang bershalat kalau ia tak mampu membuat shalatnya layak untuk diterima.
Awalnya ia memulai khutbahnya dengan topik kepemimpinan yang baik sehubungan dengan reshuffle kabinet menteri yang belum lama ini dilakukan presiden negeri ini. Pesan moralnya adalah bahwa keputusan reshuffle ini harus berbuah baik karena jika tidak, segala tujuan baik dari sang pemimpin tak akan terhitung. Dari situ sang khatib kemudian memaparkan contoh tentang shalat tadi.
Lhoo...lagi-lagi aku dengar orang bicara seolah ia tau pasti apa yang akan terjadi kelak di peradilan akhirat. Entah apa dasar ilmunya, ia seolah tau apa saja yang nanti akan dan tak akan dihitung.
Yaah...sekali lagi, aku bukan seorang Muslim yang mendalami ilmu agamaku. Dengan kadar pengetahuan yang cetek, aku punya visi yang boleh saja dinilai terlalu sederhana. Dan jujur saja, aku tdak sependapat dengan anggapan sang khatib. Menurutku, setiap tindakan, bahkan yang bentuknya baru berniat, layaknya akan dihitung. Hanya saja sebagai manusia, kita tak akan pernah tau mana yang dinilai sebagai positif atau negatif, dan seberapa besar/kecil nilainya. Yang jelas, tentunya akan ada penimbangan antara yang baik dan yang buruk. Tinggal hasilnya saja yang lalu menentukan kita akan diganjar dengan apa.
Ambil lah contoh yang digunakan sang khatib tadi. Meskipun kita gagal khusyu' dalam menjalankan shalat, namun layaknya niat kita bershalat itu sendiri bisa jadi punya poin positif. Yang aku bayangkan adalah seperti ini...dari kita berwudhu saja artinya kita berniat akan shalat, meskipun ketika berwudhu pun pikiran kita mungkin kemana-mana...misalnya kesal pada orang di samping kita yang menyalakan kran nya begitu deras sehingga kita kena cipratan airnya, dlsb. Sementara sambil melakukan prosesi shalat kita sibuk memikirkan hal lain. Nah, apakah itu artinya shalat kita itu tak akan diterima? Seolah niat kita untuk shalat, lalu berwudhu, lalu mengucapkan bacaan-bacaan dalam shalat, semuanya mubazir? Hanya karena kita tak khusyu'?
Islam (buatku) bukan agama yang mengekang dan memberatkan. Allah swt itu Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Masa' iya Dia tak akan menganggap niat dan usaha baik kita? Siapa sih di dunia ini yang bisa sempurna dalam mempraktekkan Islam? Semua usaha yang positif ya tentunya akan dinilai baik, dan begitu pula sebaliknya. Kalaupun hal-hal yang negatif lebih berat timbangannya dari yang positif, setidaknya kita akan tetap dihadiahi sesuatu atas hal-hal yang positif. Mungkin kompensasinya juga tak sebesar dengan hukuman atas hal-hal negatif-nya...tapi tetap ada. Ibaratnya kita tetap dapat uang capeknya lah.
Apa yang dituturkan sang khatib itu bisa mungkin berimbas buruk pada pendengarnya yang percaya. Misalnya seseorang bisa lalu putus asa karena ia menganggap ia tak mungkin sepenuhnya khusyu'. Yang lebih parah adalah kalau ia lalu memutuskan untuk tak akan shalat lagi (karena sifatnya yang keburu mubazir) sampai waktunya ia sudah merasa mampu untuk khusyu'.
Dalam pola yang dibentuk seperti ini, kalau saja khutbahnya sampai dinilai negatif, bisa jadi pula segala niat baik sang khatib untuk berdakwah telah hangus karenanya. Bukankah begitu?
Buatku, semua perbuatan kita ada konsekwensinya. Tapi konsekwensi
masing-masing dari yang positif dan negatif itu tak saling menghapuskan.
Tidak membuatnya mubazir atau percuma. Hal yang negatif tak akan menghapuskan hal yang baik, dan juga sebaliknya.
Jadi di sisi lain, kalau kita berbuat baik, bukan berati hal buruk yang
pernah kita lakukan lalu dianggap tak pernah terjadi. Itu urusannya kelak di akhirat
dan hanya Allah swt yang menghakiminya.
Dari sejak lepas landas menuju sekolah aku sudah merasa ada yang tak biasa dengan lajunya sepeda motorku. Sempat juga aku berhenti sejenak agar aku dan putra-putraku bisa memastikan jika ada cukup angin di dalam ban roda belakang. Tampaknya memang tak ada yang salah ketika itu. Namun setelah melanjutkan perjalanan lebih jauh, kami mendapati ban itu sudah cukup kempes. Artinya, proses pengempesannya berlangsung cukup cepat. Maka aku segera menurunkan mereka dan kembali pulang untuk berganti motor karena meskipun di dekat situ ada tukang tambal ban, proses penambalannya tak mungkin berpihak pada waktu yang dimiliki putra-putraku. Untungnya, waktu masih banyak sehingga mereka akhirnya tiba di sekolah jauh sebelum bel berbunyi.
Sekembalinya aku dari sekolah, aku segera berganti motor lagi untuk aku bawa ke tukang tambal ban terdekat. Apesnya, ternyata penyebab kekempesan itu bukan karena ada lubang tetapi karena pentil yang lepas dari ban dalamnya. Otomatis aku harus menggantinya dengan yang baru dengan ongkos yang tentunya lebih mahal. Nah, disinilah aku jadi lebih apes karena dana yang ada padaku hanya cukup untuk ongkos tambal ban saja...bukan untuk beli ban dalam baru. ATM terdekat berjarak lebih jauh dari pada ke rumah sehingga aku memutuskan untuk berjalan kaki pulang untuk mengambil dana secukupnya dan kembali berjalan kaki lagi untuk mengambil motorku.
Setelah aku kembali dengan motor yang telah digantikan ban dalamnya, aku masih harus mendengar keluhan istri tentang bagaimana hal ini bisa terjadi ketika belum lama yang lalu aku baru saja menambal ban roda yang sama karena kempes juga, dan bagaimana aku bisa bepergian hanya dengan sedikit dana tanpa mempertimbangkan hal-hal yang mungkin mengharuskan aku untuk mengeluarkan dana yang lebih banyak. Bagaimanapun argumentasi kami berakhir, tak sedikitpun terduga olehku bahwa pagi ini akan diwarnai dengan sebuah argumentasi.
Banyak faktor yang memang bisa saja aku jadikan alasan untuk kesal pagi ini..tapi banyak juga hal-hal yang bisa mengimbanginya sehingga aku harus bersyukur.
Penyebab ban sering kempes itu harusnya bukan lagi hal yang dipertanyakan. Dengan rutinitas antar jemput dua orang anak SMP lima hari dalam seminggu, tentunya beban yang ditanggung ban roda belakang bisa dianggap melebihi kapasitasnya. Lalu bagaimana jadinya jika aku tak sering gonta ganti motor? Untungnya aku punya dua motor sehingga aku tak lebih sering kesripahan seperti pagi ini. Kalau mengantar dengan mobil, ban kempes dapat dengan mudah diganti dengan yang serep, namun durasi penggantiannya juga tak mungkin menyempatkan putra-putraku sampai di sekolah on time.
Adanya dua motor itu jugalah yang lalu memungkinkan aku untuk langsung pulang dan mengganti motor pagi ini. Untungnya juga...tempat putra-putraku menungguku mengganti motor bisa dibilang tak jauh-jauh sekali dari rumah sehingga proses penantian mereka cukup singkat dan mereka tak terlambat ke sekolah. Akan lebih apes lagi kami jika motor kedua mengalami masalah. Tapi itu akan jadi lain cerita dan untungnya itu tak terjadi. Yang terjadi hanyalah bahwa aku harus mengeluarkan dana lebih besar dari yang aku harapkan sehingga aku harus bolak balik berjalan kaki ke dan dari rumah untuk bisa mengatasinya. Kalau ternyata jarak tempuh ke rumahku jauh, opsi yang ada adalah bercapek-capek jalan kaki, atau keluar ongkos lagi untuk ojek. Untungnya jarak ke rumah tak membuat proses jalan kaki ku menjadi sesuatu yang melelahkan.
Kalau soal bepergian dengan dana yang tak cukup, namanya ya untung-untungan. Aku mana tau bahwa akan perlu uang melebihi yang ada di dompetku? Bisa saja untuk kasus lain aku harus mengeluarkan dana lebih meskipun aku sedang pegang uang ratusan ribu Rupiah atau bahkan jutaan. Yang penting itu adalah bagaimana aku bisa mendapatkan solusi dari permasalahannya. Dan faktor penunjang solusinya adalah fakta bahwa ada simpanan dana di rumah yang cukup untuk menutupi biaya yang harus aku tanggung. Untung bukan?
Berapa kali aku sebut kata "untung"? Nah, untung itu ada karena aku menilainya secara positif. Dari apes-apes yang aku alami pagi ini tercipta untung-untung yang mengimbanginya.
Ada negatif dan ada positif.
Ada sebab, ada akibat.
Ada masalah, ada solusi.
Kita tak akan melulu beruntung, tapi juga tak akan melulu merugi. Untung itu tak hadir sendirian, dan begitu pula sebaliknya dengan rugi. Tinggal bagaimana kita menilai seberapa besar suatu keuntungan dan suatu kerugian. Kalau kita pintar dan bijaksana, harusnya kita bisa membuatnya berimbang. Itu baru yang namanya ikhlas. #batalkesal
Tau-tau ada usulan penerapan program Full Day School dari Menteri Pendidikan yang baru hasil pilihan proyek re-shuffle kemarin. Waduh...apa lagi ini maunya? Apa masih kurang beban sekolah bagi para peserta didik di negeri tercinta ini? Apa masih kurang nge-joss prestasi belajar anak-anak ini? Belum selesai aku terheran-heran dengan fenomena Kurikulum 2013, sekarang ada yang (buatku) lebih menyesakkan dada.
Aku lalu ingat bagaimana aku sibuk ngedumel sendiri ketika melihat kenyataan bahwa melanjutkan studi di luar negeri, khususnya Amerika, itu tidak sesulit yang aku bayangkan sebelum aku akhirnya menjalaninya sendiri. Betapa tidak? Wong hampir segala jerih payah usahaku dalam meraih nilai yang tidak rendah itu seolah mubazir belaka. Termasuk proses penjurusan (ketika itu) IPA dan IPS di SMA yang akhirnya toch tak dilirik sama sekali oleh perguruan tinggi disana. Seandainya aku ketika itu lulus SMA sebagai siswa jurusan IPS, aku akan tetap bisa melanjutkan studiku di mata pelajaran yang (disini) masuk kategori IPA.
Terus...kenapa orang sana tak memilah-milah siswa setingkat SMA-nya seperti orang disini? Disana, siapa saja bebas mengambil jurusan apa saja. Mengapa? Karena lancar tidaknya proses pembelajaran tiap orang ditentukan oleh dirinya sendiri...bukan oleh orang lain seperti pihak pendidik atau institusi pendidikan. Intinya, at the end, bermanfaat atau tidaknya ilmu yang kita punya ya kita sendiri juga yang merasakannya. Sementara para pengajar akan terus melanjutkan tugas mengajarnya pada angkatan-angkatan berikutnya tanpa peduli kita sukses atau gagal setelah dididik.
Ada suatu moment yang begitu menyadarkan aku akan hal yang aku sebut diatas. Di hari-hari terakhir suatu semester, dimana semua mahasiswa sudah menyiapkan diri untuk menghadapi semua ujian dan presentasi akhir, seorang pengajar mata kuliah Struktur Bangunan bertanya pada kami, peserta didiknya, "Menurut anda, apakah anda mendapat cukup ilmu selama mengikuti kelas ini?". Dan sebelum kami sempat menjawab, ia bertanya lagi, "Apakah anda merasa saya perlu mengetes kemampuan anda dalam mata kuliah ini? Intinya, andalah yang selayaknya menilai kemampuan anda, bukan saya. Saya bisa saja mengetes ilmu anda dan membuat anda mengulangi proses belajar anda jika menurut saya anda belum menguasainya. Tapi praktisnya, anda bisa menentukan sendiri anda perlu belajar lagi atau tidak."
Tentunya, dengan kesepakatan bersama, ujian akhir untuk mata kuliah itu tak pernah dilaksanakan. Dan sebagai kompensasinya, kami semua diluluskan dengan nilai cukup yang sama agar adil.
Moral dari peristiwa itu, kami semua diberi tanggung jawab yang sama untuk masa depan kami masing-masing tanpa sang pendidik harus bersusah payah menguji kemampuan kami. Bahwa di kemudian hari mungkin ada diantara kami yang mandek karirnya karena kurangnya ilmu strukturalnya, itu konsekuensinya. Sementara siapapun yang ketika itu telah berhasil menyerap banyak ilmu tapi tak pernah dianugerahi nilai yang super hebat mungkin telah menjadi praktisi konstruksi bangunan yang sukses. Sang pendidik telah melaksanakan tugasnya dalam mendidik tanpa perlu memastikan anak didiknya berhasil menyerap materi didikannya.
Kembali lagi soal proses belajar disini. Ada kecenderungan setiap anak didik harus dan wajib menguasai ilmu yang diajarkan untuk bisa dianggap berhasil dalam proses belajarnya. Entah itu dengan cara penambahan materi belajar, atau jam belajarnya, atau apalah. Padahal keberhasilan mereka dalam belajar di sekolah tidak menjamin keberhasilan mereka dalam pekerjaan yang mereka lakukan kelak setelah selesai sekolah. Aku sangat setuju dengan anggapan bahwa pembelajaran itu bisa didapatkan dimana saja...tak melulu di sekolah. Ini termasuk pembentukan mental yang stabil. Nah sekarang apa iya anak didik disini bisa belajar dengan baik jika konsep dibalik pembelajaran itu sendiri adalah pemaksaan? Dipaksa dapat ilmu lebih dari kemampuan otaknya. Dipaksa belajar lebih lama. Dan seterusnya, dan seterusnya...
Aku prihatin melihat anak-anak sekolah sekarang yang harus memanggul tas yang lebih besar karena berisikan lebih banyak buku pelajaran. Sementara di zamanku dulu, banyak teman yang datang kesekolah dengan hanya menenteng sebuah buku tulis. Dan banyak juga dari mereka yang kini jadi orang sukses. Aling-aling mengurangi materi belajarnya, sekarang malah jam sekolahnya diperpanjang sampai seharian. Lalu hal apa saja yang tersisa buat mereka seusai sekolah setelah mereka penat dengan begitu banyak materi yang dijejalkan ke otak mereka seharian? Ya kalau bisa langsung santai dan beristirahat....kalau masih punya pekerjaan rumah? Kapan istirahatnya? Kapan santainya? Kapan punya waktu untuk bersosialisasi? Kenapa tidak mencontoh pendidikan di luar negeri seperti di Amerika yang memberikan cukup kesempatan pada pelajar untuk (juga) belajar di luar sekolah? Toch makin banyak peserta didik yang membidik negara-negara asing sebagai tempat melanjutkan studi atau bahkan bekerja.
Yang mengkhawatirkan adalah faktor stress yang sangat mungkin akan menyerang anak didik kita disini. Beratnya beban dan tekanan yang didapat dari sekolah bisa mengganggu kejiwaan mereka. Ngeri sekali membayangkan apa yang akan dijadikan pelariannya ketika gangguan kejiwaan itu dialami mereka di usia yang belia. Akhirnya yang ada nanti hanyalah proses belajar yang terhenti di tengah jalan. Sementara konon tujuan usulan sekolah seharian ini adalh untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak didik. Ironis bukan?
Menteri pendidikan yang satu ini harusnya tau dan paham cara mendidik yang tepat. Kalau memang tidak paham, artinya ia (masih juga) perlu belajar dari situasi dan kondisi yang ada. Cobalah menempatkan diri di posisi anak didik kita yang kelak harus sekolah seharian. Aku yakin dengan cara tersebut, menteri ini bisa memberlakukan metode lain yang efisien. Bagaimana aku bisa yakin akan hal itu? Karena dibayar sebesar apapun, aku sendiri tak akan pernah mau kembali ke bangku sekolah untuk belajar lagi..apalagi seharian penuh. Bisa terbayang rasanya bagai dipenjara.
Buatku, banyak tempat yang pantas untukku menimba ilmu yang bermanfaat. Dan sekolah bukan salah satunya....
Semalam, selagi aku duduk di bangku luar sebuah warteg, menunggu selesainya motorku yang hampir selesai diperbaiki di bengkel sebelah, aku mendengar percakapan dua orang wanita setengah baya yang duduk di dalam warteg. Suara mereka memang tidak keras, namun cukup jelas terdengar keluar lewat lubang jendela berkawat ayam dan tertutup gordyn. Maklumlah, warteg ini terbilang sempit sehingga jarak mereka tak jauh dari lubang jendela itu.
Salah seorangnya yang aku dengar dipanggil "Rin" oleh temannya sedang curhat tentang kisah asmaranya. Tadinya aku tak begitu menyimak obrolan mereka, namun kata "selingkuhan" yang sempat terucap oleh teman Rin (yang sampai akhirpun aku tak pernah tau siapa namanya) membuatku ingin menguping. Rupanya Rin ini adalah selingkuhan dari seorang lelaki kaya yang sudah berkeluarga. Perselingkuhan ini sudah berjalan dua tahun dan Rin mulai mempertanyakan masa depannya karena ia terlanjur jatuh hati pada sang lelaki.
Pasalnya, Rin khawatir akan nasibnya bila kelak sang lelaki memutuskan hubungan dengannya. Rin sendiri menyatakan bahwa ia tak mengincar harta sang lelaki, namun ia ingin sekali menggantikan posisi istri sang lelaki dan membangun rumah tangga bersamanya. Bagaimana tidak? Rin menuturkan bagaimana ia begitu diperlakukan dengan sangat baik oleh sang lelaki yang dinilainya romantis dan gentleman. Meskipun acap kali ia tolak, tapi sudah banyak hal yang ditawarkan oleh sang lelaki kepadanya, termasuk sebuah mobil. Dan penolakan itu murni karena bukan materi yang diharapan Rin dari sang lelaki. Rin begitu menikmati perjalanan cintanya dengan sang lelaki selama dua tahun hingga ia mulai merasa keberatan jika harus berpisah dengannya.
Teman Rin...sebut saja namanya si A, mencoba menyadarkan Rin bahwa Rin tak punya banyak opsi dalam kasus ini mengingat statusnya yang wanita simpanan. Apa yang diutarakan si A ini seolah menuju ke kegagalan karena Rin bersikukuh tak ingin menganggapnya sebagai perselingkuhan biasa karena menurutnya sang lelaki ini tak layak dilepas begitu saja. Lucunya, Rin mulai meragukan perasaan sang lelaki padanya. Apakah sang lelaki juga secinta itu padanya seperti halnya ia pada sang lelaki. Rin lalu mulai memaparkan segala kekurangannya yang ia khawatirkan kelak bakal menjadi alasan mengapa sang lelaki meninggalkannya. Mulai dari sifatnya yang tak sempurna, penampilannya yang biasa-biasa saja, hingga jenjang keberadaannya yang dianggapnya jauh di bawah keberadaan sang lelaki.
Tak ada respon lain dari si A kecuali anjuran kepada Rin agar ia menyiapkan diri untuk hal yang terburuk dimana suatu hari sang lelaki mungkin akan memutuskan hubungan percintaan dengannya ini. Si A juga justru menyarankan agar Rin yang terlebih dahulu memutuskan sang lelaki karena mungkinnya ia hanya dianggap sebagai hiburan semata yang sifatnya temporary, lalu mencari lelaki lain yang pantas dicintai. Menurut si A, hubungan perselingkuhan itu tak pernah didasari cinta dan kesetiaan yang tulus sehingga rentan kelestariannya. Kalaupun ada yang sampai kemudian benar-benar jatuh hati hingga ingin mempertahankan hubungannya, tak mungkin terjadi pada kedua pelakunya. Apalagi ketika Rin sendiri mulai mempertanyakan kadar kecintaan sang lelaki untuknya.
Pengupingan ini tak tuntas karena aku keburu dipanggil oleh montir setelah motorku siap untuk dibawa pergi sehingga aku harus meninggalkan Tempat Kejadian Pengupingan.
Dalam perjalanan pulang, aku tak bisa tak memikirkan perbincangan kedua wanita tadi. Buatku, si A memang benar tentang perlunya Rin bersiap diri menghadapi fakta bahwa kelak hubungan ini bisa berakhir terlebih bahwa sang lelaki sudah beristri dan berkeluarga. Kenapa tidak? Pernikahanpun juga bisa berakhir meskipun telah dikukuhkan di bawah naungan agama. Namun aku juga tidak menyalahkan Rin yang bersikukuh tak ingin hubungan ini berakhir. Wong namanya sudah pakai perasaan yang dalam dan keburu jatuh hati. Jadi dalam hal ini aku tak bisa membayangkan dimana proses curhat tadi berujung.
Satu hal yang sangat menarik buatku adalah keraguan Rin tentang kadar cinta sang lelaki untuknya. Tanpa perlu menilik pada kondisi dan status sang lelaki, (menurutku) yang perlu dikaji oleh Rin adalah kualitas perlakuan sang lelaki padanya justru dengan kondisi Rin seperti yang ia sendiri paparkan pada si A. Kalau memang Rin menganggap dirinya tak sepadan dengan sang lelaki, alasan apa yang membuat sang lelaki tetap bersamanya selama ini? Tentunya ada kualitas tersendiri dari Rin yang membuat sang lelaki betah menjalin hubungan ini dengannya. Rin boleh saja menganggap dirinya buruk rupa...tapi itu tak membuat sang lelaki mundur. Begitu pula dengan sifat dan sikap Rin yang tentunya tak dianggap sebagai beban oleh sang lelaki. Belum lagi soal finansial, terlebih sang lelaki tak tanggung-tanggung menawarkan support yang tak sedikit.
TerIepas dari kasus perselingkuhannya...jika ada keraguan dalam diri Rin atas kecintaan sang lelaki padanya, harusnya Rin perlu meninjau hal-hal yang mungkin jadi alasan kenapa cinta sang lelaki untuknya itu ada. Karena di saat Rin menganggap ia tak layak untuk dikagumi bahkan dicintai oleh sang lelaki, justru sang lelaki tersebut bisa memandangnya berbeda. Setiap orang punya visual yang berbeda satu sama lain. Visual Rin terhadap dirinya sendiri bisa bertolak belakang dengan visual sang lelaki terhadapnya. Dan ketika ada orang yang begitu mencintai sosok Rin (yang ia sendiri anggap tak cukup kualitas), masih pantaskah Rin mengabaikannya?
Jika Rin lalu mencari orang lain, seperti yang disarankan si A, mungkinkah ada yang akan mengaguminya seperti halnya sang lelaki mengaguminya? Bisa jadi orang yang ia harapkan untuk mengaguminya justru melihatnya sebagai sosok yang minim kualitas. Biar jelek lah, miskin lah, jutek lah, bodoh lah...kalau memang sang lelaki itu suka padanya dengan kondisinya yang seperti itu, harusnya disyukuri....bukan dipertanyakan. Sekarang tinggal bagaimana mensiasatinya sehingga kesukaan sang lelaki padanya tak luntur, dan mungkin kelak bisa menjadi sebuah cerita cinta yang indah di jalan yang benar buat Rin dan sang lelaki....(my two cents).
Sekali lagi aku ditempatkan di posisi yang sulit...
Di rekening bank ku memang tersimpan uang yang sedang aku kumpulkan untuk membayar tagihan-tagihan bulanan. Tapi dengan kondisi saldo yang belum mencukupi untuk itupun tiba-tiba motorku rusak di tengah jalan tadi. Memang biaya servisnya tak sampai jutaan, tapi cukup untuk menguras uang yang aku simpan itu. Menunda untuk membetulkannya tidak mungkin karena kendaraan ini aku andalkan untuk keseharianku termasuk mengantar jemput anak-anakku sekolah.
So....setelah menimbang-nimbang beberapa saat, aku tinggalkan motor itu di bengkel dekat TKP. Tentunya malam ini ketika aku menjemput motor itu, aku akan kembali ke posisi dimana aku harus mulai mengumpulkan uang lagi praktis dari nol. Mengesalkan? Pasti. Tapi aku tetap harus mensyukuri fakta-fakta bahwa motorku tidak mogok di lokasi yang jauh dari bengkel atau terjadi di malam hari saat bengkel yang ada lumrahnya sudah tutup. Juga bahwa paling tidak aku masih bisa menutup biaya perbaikan motorku meskipun artinya aku harus memakai uang yang sudah aku anggarkan untuk kepentingan yang lain. Dan setelah aku dapatkan motorku kembali dalam keadaan sembuh, besok harusnya aku tak akan punya masalah dalam pengantaran anak-anakku ke sekolah.
Susah memang.
Untuk bersabar saja tidak mudah...apalagi mensyukuri hal-hal yang (harusnya) selalu ada di balik keapesan kita. Terus....bagaimana aku harus bisa mendapatkan lagi uang yang perlu aku kumpulkan untuk mengganti uang simpanan yang terpakai? Proses pengumpulan yang pertama saja belum tuntas...sekarang malah harus memulai lagi dari awal. Yang jelas, kalau waktu ini aku gunakan melulu hanya untuk "ngrasani" nasibku, kemungkinan besar tak akan membuahkan hasil positif. Bisa jadi kesabaranku meleleh lalu aku malah stres dan mengalami depresi.
Entahlah...aku belum punya jawabannya. Aku masih berada dalam phase shocked berat meskipun aku tak ingin patah arang. Aku ingin percaya bahwa peristiwa ini akan memberi hikmah....somehow. Aku percaya pasti ada hal baik yang akan menyusul setelah ini. Allah itu Maha Adil. Kalau memang aku diberi kenaasan, tentunya Ia juga akan memberiku keuntungan. Aamiin..
Kemarin sepulangku di rumah, aku mendapati pesawat TV yang menyala tapi tak berpemirsa. Sontak aku langsung berniat memadamkannya, namun keinginan itu tertunda saat aku amati acara yang tengah ditayangkan. Sebuah acara talkshow, entah apa namanya karena aku tak biasa menyaksikan acara tayangan stasiun TV lokal, namun temanya masih seputar gosip di kalangan selebriti lokal. Bedanya dengan acara infotainment umumnya, penggosipan ini dibahas oleh dua hostesnya dan para tamu yang rata-rata juga selebriti.
Mengapa acara ini menyita perhatianku? Karena saat itu seorang tamu, yang rupanya diaku sebagai pakar pembaca bahasa tubuh dan mimik muka, sedang mengulas tentang apa yang tersirat dibalik tampilan sosok-sosok selebriti di video yang rupanya baru saja ditayangkan. Salah satunya adalah tentang seorang aktris wanita yang dikabarkan sedang menjalani proses perceraian. Segala gerak gerik tubuh dan roman mukanya ketika diwawancarai diulas oleh sang tamu ini. Dari kesan depresinya hingga kiat mencoba menutupi kenyataannya seolah terbaca semua oleh sang tamu.
Aku terkesima pada momen ini bukan karena aku kagum dengan sang tamu yang terlihat piawai sekali mengartikan bahasa tubuh dan mimik muka sang aktris, tapi justru karena tereran-heran. Koq bisa ya...ada orang yang mengaku-ngaku pakar dalam hal ini? Apa iya ia sehebat itu, sementara ia bukanlah seorang cenayang? Bicara di acara TV yang mungkin saja ditonton begitu banyak pemirsa, ia bicara dengan penuh keyakinan bahwa apa yang dipaparkannya memang itu adanya. Tidak khawatir salahkah ia dengan penilaiannya meskipun di akhir acara, para hostes acara menegaskan bahwa mereka tidak bermaksud sedikitpun men-judge atau menghakimi?
Oke...sebut saja mereka tidak menghakimi. Tapi dengan membahasnya seperti itu di acara yang ditonton masyarakat, yang notabene memang haus gosip, mereka tak lain bagaikan mencoba membentuk image yang sedemikian rupa pada sang aktris sehingga masyarakat lebih mudah menghakiminya. Bagaimana tidak? Toch yang memaparkan semua itu adalah tamu yang disitu diperkenalkan sebagai pakarnya. Lalu bagaimana jika ternyata pemaparan itu meleset dari kenyataan? Beuh...menyebalkan sekali!
Ini bukan yang kali pertama ada orang yang dianggap sebagai pakar pembaca bahasa tubuh. Beberapa tahun silam, mantan teman serumahku di negeri seberang juga pernah dikenal kalangan luas sebagai pakar di bidang yang sama setelah sebelumnya ia dianggap sebagai pakar anti terorisme. Kepadaku ia boleh saja yakin bahwa pendapatnya akurat karena didasari teori-teori yang dibuat sesuai survey. Namun hanya segelintir sosok yang ia amati yang (akhirnya) terkonfirmasi kebenaran paparannya. Sebagian kecil lainnya tak terbukti benar di akhir kasus-kasus yang dialami, dan sisanya tersimpan sebagai misteri karena ia tak pernah berkesempatan untuk mendapatkan pembenarannya langsung dari mereka yang perilakunya jadi bahan tebakannya.
Buatku, beragamnya cara orang berekspresi membuatku yakin kita tak seharusnya mudah menebak makna apa yang ada dibalik ekspresi mereka itu. Kita perlu sekali mengenal seseorang dengan baik sebelum kita bisa mengartikan bahasa tubuhnya. Belum lagi bila itu menyangkut sosok yang punya dan mampu memanfaatkan kepribadian gandanya. Buktinya, ada seorang kenalan dekatku yang sempat lolos Polygraph Test yang menggunakan mesin Lie Detector, yang dilakukan oleh FBI. Padahal tak sedikit ketidakbenaran dalam jawaban yang ia berikan atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya. Tanpa perlu aku jelaskan caranya, ia bisa mengakali mesin yang dianggap canggih dalam mendeteksi kebohongan lewat detak jantung...apalagi manusia yang mencoba mendeteksi lewat bahasa tubuh.
Pembelokan fakta dengan maksud buruk ataupun baik itu bisa terbongkarnya karena ada bukti-bukti otentik yang menyatakan sebaliknya. Dan selama hal itu belum terjadi, harusnya kita tidak menghakimi orang hanya berbasis pengamatan bahasa tubuh. Apalagi jika judgement seperti itu digembar gemborkan lewat media. Kesannya sok tau sekali!
Kalau boleh aku tambahkan pepatah dalam bahasa Inggrisnya, "Don't judge a book by its cover...especially when it only makes you look so stupid!"
Semalam adalah malam ke dua puluh tiga bulan Ramadhan yang mana sudah menjadi bagian dari malam-malam dimana aku berencana untuk melaksanakan shalat Tarawih seperti halnya di tahun-tahun sebelumnya dengan harapan dapat Lailatul Qadr-nya. Bersama kedua putraku aku pergi ke masjid dengan sukacita meskipun aku tau putra bungsuku tak terlalu excited karena sempat terlelap tidur untuk beberapa menit sebelum kemudian terpaksa harus bangun. Kehadiran dua teman dekatnya, yang sama-sama baru saja lulus dari sekolah dasarnya, tak juga merubah mood-nya yang masih cranky dan tak membuatnya bergabung dengan mereka yang duduk di shaf lebih depan.
Ia pun berdampingan denganku dan kakaknya melaksanakan shalat Isya dan duduk mendengarkan khatbah malam itu. Ketika shalat Tarawih akan dimulai, aku mendapatkan kekosongan tempat di shaf di depanku yang cukup untuk kami bertiga. Maka dengan sigap aku segera melangkah maju untuk mengisi tempat tersebut diikuti oleh putra sulungku. Sedangkan putra bungsuku yang cenderung ogah-ogahan tak mungkin berdampingan dengan kami karena tempat yang tersisa keburu diisi jemaat lain yang lebih sigap darinya. "Biarlah", aku pikir....toch aku tak ingin merusak suasana hatiku ataupun mengganggu suasana hatinya.
Namun apa yang terjadi kemudian dengannya membuat kenyamanan hatiku terusik. Dengan majunya aku dan putra sulungku, maka tercipta tempat kosong antara putra bungsuku dengan seorang pria berumur sekitar enampuluhan tahun yang sebelumnya berdiri di sebelahku. Dan karena lumrahnya di sepuluh malam terakhir tak banyak jemaat yang hadir untuk bertarawih, shaf keempat tempatnya berada menjadi shaf terakhir, sehingga tak ada jemaat di belakangnya untuk mengisi tempat kosong tersebut. Pria tadi lalu menarik lengan baju anak bungsuku supaya ia merapatkan diri ke sebelahnya.
Aku terkejut melihatnya...tapi sebelum aku bisa mengambil keputusan apa yang sepantasnya aku lakukan untuk merespon kejadian itu, pria tadi keburu mengucapkan takbir dan memulai shalatnya. Tak ayal lagi, akupun melaksankan shalatku sambil terus kepikiran tentang apa yang baru saja dialami putraku itu. Shalatku terlaksana tanpa kekhusyukan karena aku sibuk mengatur strategi bagaimana aku perlu meluruskan hal ini dengan pria itu. Aku berada dalam posisi untuk memilih antara memperpanjang urusan ini dengannya seusai shalat atau mengabaikannya mengingat ini bulan Ramadhan dan kami berada di dalam masjid untuk beribadah.
Kegalauanku terus berlanjut hingga tuntasnya shalat dua rakaat berikutnya sambil beberapa kali menoleh ke pria tersebut saat interval di antara shalat. Tanpa sepatah kata apapun aku meyakinkan dirinya bahwa aku menatapnya dengan ekspresi ketidaksukaan di wajahku, sekedar hanya supaya ia setidaknya bertanya-tanya pada diri sendiri apa penyebabnya jika memang ia tak merasa bersalah. Dan sesaat sebelum shalat berikutnya dimulai, aku teringat khatbah khatib yang baru selesai aku simak tentang sabar dan syukur. Ini yang kemudian membuatku sadar bahwa baiknya aku biarkan insiden ini berlalu tanpa aku tindaklanjuti. Ini yang kemudian membuatku kembali fokus dan khuysuk dalam rangkaian shalat-shalat yang tersisa.
Aku memang tidak pernah suka dengan orang-orang yang menganggap remeh anak-anak terutama dalam beribadah apalagi ketika di masjid. Seperti halnya kasus yang pernah dialami kedua putraku beberapa tahun silam di sebuah masjid ketika mereka dipaksa pindah ke shaf terbelakang hanya karena mereka masih anak-anak dan dianggap tak pantas berdiri di shaf terdepan. Huh...sehebat apa sih orang-orang ini sehingga mereka bisa beranggapan seperti itu? Tau apa mereka tentang putra-putraku...atau anak-anak lainnya yang bisa jadi lebih mulia di mata Allah swt? Siapa sih mereka sehingga bisa memperlakukan anak-anak dengan seenaknya? Kedua putraku (seperti halnya aku) memang bukan tipe orang yang harus berbaju koko atau bersarung atau berkopiah saat melaksanakan shalat di masjid, tapi apakah itu bisa jadi alasan untuk mendiskreditkan mereka?
Aku mencintai Islam sebagai agamaku dan Allah swt sebagai Tuhanku. Aku mencintai Rasulullah dan mencoba menerapkan pada kedua putraku segala ilmu yang diajarkannya. Dan dalam cara yang sederhana aku mencoba menanamkan pemahaman pada mereka bahwa Islam adalah agama yang ramah dan bersahabat. Namun tindakan dan perlakuan seperti ini oleh mereka yang mengaku berilmu tinggi dalam agama seolah menunjukkan sebaliknya . Hanya karena mereka berpenampilan bak ulama atau terlihat (lebih) tua lalu mereka merasa layak berlaku semena-mena? Sama sekali tidak mengisyaratkan kebijaksanaan dan kearifan mereka.
Putraku, yang semalam (ternyata) juga merasa dilecehkan, buatku lebih bijaksana dengan menerimanya secara ikhlas tanpa mengadu atau mengeluh kepadaku. Lucunya, ketika dalam perjalanan pulang aku mengutarakan kegundahanku dan memberi tau padanya mengapa aku sering menengok ke belakang untuk menatap pria itu, putraku berujar, "oooh...aku kira karena papa juga terganggu dengan bau badannya". Ucapan lugunya ini membuatku tersenyum dan merasa lega aku telah memutuskan untuk tidak memanjang lebarkan urusan dengan pria itu karena rupanya pria itu sudah punya masalah lain yang harus ditanganinya. Alhamdulillah...Allah memang Maha Adil.
Pertama kali aku mengenalnya ketika aku bergabung di Gugus Depan (Gudep) 005 yang bermarkas di sekolah menengah yang setahun kemudian menjadi sekolahku. Waktu itu aku masih kelas enam, sedangkan ia sudah duduk di bangku SMP kelas dua. Mas Nugroho, atau yang lebih dikenal dengan nama Manug ini seorang tokoh yang ramah, baik dan mengayomi. Ia juga sangat periang dan punya bakat seni yang sangat tinggi. Tak heran bila ia selalu ambil bagian dalam acara-acara seni di lingkungan sekolah dan kepramukaan. Aktifnya ia dalam kepramukaan itulah yang membuatnya dekat dengan kedua kakak tertuaku yang juga super aktif. Mereka sering mengikuti kegiatan kepramukaan yang berskala nasional seperti Jambore dan Raimuna. Jadi ia termasuk sosok yang cukup dikenal oleh keluargaku juga.
Aku tak pernah lagi bertemu dengannya sejak ia lulus SMA karena saat itu aku juga tak lagi aktif sebagai seorang pramuka. Belum lagi kemudian aku sempat melanjutkan kuliahku di negeri seberang untuk waktu yang lama. Baru November tahun yang lalu aku kembali bertemu dengannya saat kami sama-sama ambil bagian dalam acara musik yang diselenggarakan oleh ikatan musisi alumni SMP/SMA kami. Dan akhirnya, pada bulan April kemarin aku diajak bergabung oleh adikku yang berencana tampil dalam acara enam bulanan ini dalam grup band yang dibentuknya bersama mas Manug. Ajakan ini tak mungkin aku tolak karena kegiatan yang terakhir kali aku lakukan bersama mas Manug adalah ketika kami masih di Gudep 005 lebih dari 30 tahun yang silam.
Perjalanan yang aku lalui sejak mulai bergabung dengan grup band ini hingga pementasan kami terbilang pendek karena kami dan anggota lainnya sama-sama punya kesibukan masing-masing sehingga tidak mudah bagi kami untuk sering bertemu dan latihan. Namun diluar hasil yang cukup memuaskan, pementasan kami ini memberi kenangan yang tak terhingga buatku. Setidaknya aku bisa sempat berkolaborasi dengan tokoh yang ternyata sudah wara-wiri di dunia musik termasuk peran pentingnya membina kelompok paduan suara di Institut Teknologi Bandung selama 12 periode.
Dan kemarin dini hari ketika aku hendak sahur, adikku memberitakan bahwa mas Manug telah berpulang ke Sang Khalik. Tak pernah terbayangkan olehku bahwa ia akan pergi secepat ini karena tak terlihat sedikitpun ada gejala ke arah itu. Aku dan anggota grup band yang lainnya bahkan sebelumnya sempat berencana untuk tampil kembali di ajang berikutnya November mendatang.
SuratanNya berkata lain. Kepergiannya sangat dini bahkan sebelum rencana kami bisa dibahas lebih lanjut...namun kami ikhlas menerimanya. Apa yang telah kami, khususnya aku, alami bersamanya dalam waktu yang pendek hingga pementasan kami bulan lalu kini menjadi suatu kenangan yang luar biasa indahnya.
Selamat jalan, mas Manug. Adalah suatu kehormatan bagiku bisa tampil di pentas musik bersama mas di hari-hari terakhir mas. Terima kasih atas kenangan indah yang telah mas share bersamaku. You'll always be remembered...
Ramadhan ini kali aku terbilang cukup malas dalam menjalani ritual ibadahku. Padahal seharusnya aku justru melipat gandakannya demi pahala yang berlipat juga. Jangankan mengaji...mengkaji & mengasup ilmu agama yang biasanya rajin aku lakukan lewat membaca berbagai artikel di dunia maya pun sangat jarang aku lakukan. Entah kenapa begitu...mungkin urusan duniawi yang sudah berbulan-bulan menteror keseharianku itu telah membuatku lebih mengikuti ajakan iblis untuk bermalas-malasan, termasuk pergi ke masjid untuk tarawihan berjamaah.
Memang aku lebih suka melakukan tarawihan di masjid di sepuluh hari terakhir (sambil ngincer malam Lailatul Qadar 😁). Tapi bukan berarti aku jarang ke masjid di malam-malam sebelumnya. Aku suka mendengarkan khatbah tarawih sambil memilah-milah dengan harapan yang bagus bisa bermanfaat buatku. Aku juga sebelumnya sering bersafari menjajal berbeda-beda masjid hanya sekedar agar bevariasi dan tidak monoton saja tempatnya. Bisa dibilang dalam seminggu aku bisa tiga atau empat kali menyempatkan diri ke masjid. Kadang bahkan aku menyengajakan berbuka puasa di masjid agar bisa ikutan shalat Maghrib berjamaah disitu.
Seminggu sudah Ramadhan bergulir dan aku hanya sekali saja melakukan shalat Tarawih di masjid. Hujan yang acapkali turun ikut menjadi alasan buat aku ngeles tidak ke masjid...sementara di tahun kemarin, aku sering berjalan berpayungan meuju masjid di bawah guyuran hujan.
Nah...semalam aku (kebetulan) sedang waras dan berniat ke masjid. Niatan ini sudah timbul di pagi harinya sehingga aku sudah menyiapkan diri untuk pergi selepas buka puasa dan shalat Maghrib. Sementara itu kedua putraku punya pilihan yang berbeda satu sama lain. Yang bungsu semangat sekali untuk ikut aku, sedangkan yang sulung memilih tinggal di rumah bersama ibunda-nya yang sedang sakit kepala.
Aku sempat wondering mengapa si bungsu begitu semangat sementara kakak & ibunda-nya tidak ikutan. Biasanya ia lebih memilih ngekor ibunda-nya, meskipun, sama halnya ketika beribadah shalat Jum'at atau Ied, ia cenderung cepat bosan, mengantuk dan akhirnya jadi moody, sehingga ujung-ujungnya aku yang menjadi tempat penampungan keluhannya saat khatbah berlangsung. Tapi aku segera mendapat jawabannya begitu kami sampai di masjid ketika ia bertemu dengan beberapa temannya sekolahnya yang memang semua sedang menyandang status pengangguran hingga mereka memulai studinya lagi di bangku SMP bulan depan. Aku bisa melihat betapa ia dan juga teman-temannya nampak gembira mengobrol entah tentang apa saja hingga khatbah sang khatib pun tak dihiraukan. Tak terdeteksi sekalipun bahwa anakku merasa bosan atau moody.
Lalu aku berpikir...memang mereka mungkin tak menyimak isi khatbah malam itu, tapi setidaknya, kalau memang kemungkinan bertemu dengan teman-teman seperti itu adalah faktor penyebab kenapa mereka jadi antusias ke masjid, setidaknya datang ke masjid sudah membuahkan pahala buat mereka. Belum lagi ibadah shalat-shalatnya yang notabene dilakukan secara berjamaah...dengan kegembiraan hati pula. In shaa Allah mereka diganjar pahala & berkah yang berlimpah atas itu semua...aamiin.
Bagaimana dengan aku sendiri? Yaah...mungkin kelak suatu hari ada teaser yang juga bisa memacu aku seperti itu di saat aku lagi diserang virus malas. Saat ini...belum ada yang mampu 😜
Satu dari tiga grup WA yang aku ikuti adalah grup alumni SMP ku. Mungkin grup inilah yang paling seru untuk diikuti mengingat sekitar enampuluhan anggotanya yang seumur dan pria semua (SMP ku hingga sekarang adalah sekolah pria). Jadi kami begitu bebasnya berinteraksi tanpa harus membatasi topik pembahasan yang (bisa) menyinggung kaum hawa dan/atau anak-anak. Dari topik ringan dan guyonan yang sering nyelekit dimana kami saling meledek dengan sadis, sampai ke hal-hal yang sangat serius tentang politik, ekonomi dan sosial, bahkan subyek yang vulgar.
Meski sudah sering diingatkan untuk tidak menayangkan postingan yang berbau kampanye politik atau mengumbar nafsu syahwat, namun tak jarang ada saja yang melanggarnya. Konsekuensinya ya ditegur anggota lainnya yang akhirnya kembali ke kebijaksanaan para pelakunya sendiri dalam menanggapi teguran-tegurannya.
Yang aku hargai dari admin-nya adalah bahwa ia tak suka dengan para anggota yang tau-tau meninggalkan grup ini tanpa pemberitauan terlebih dahulu. Kesannya jadi seperti tidak tau etika kesopanan karena pergi tanpa pamit. Aku yang juga pernah ingin sekali left group karena sudah tak tahan membaca postingan kampanye politik yang sempat santer membombardir grup ini. Pasalnya, postingan-postingan itu sifatnya sudah black campaign dan sama sekali tidak bermanfaat untuk dibaca. Namun saat itu, sang admin memintaku untuk bersabar sementara ia mencoba untuk memberi peringatan pada pemosting lewat japri demi menghindari perdebatan dalam grup. Maka akupun left group selama seminggu dengan alasan sedang menservis hp ku...hanya untuk menenangkan diri sementara.
Sejak kembalinya aku ke dalam grup itu, aku lebih suka melulu menyimak tanpa berkomentar. Kalaupun berkomentar, itu karena ada hal yang perlu aku luruskan atau ada info penting yang aku rasa perlu dibagi. Aksi seperti ini juga dilakukan oleh beberapa teman yang punya penilaian sama terhadap grup ini tapi tetap bertahan dengan harapan bisa mendapatkan info atau ilmu yang bermanfaat. Sementara itu, hingga saat ini mungkin sudah ada sepuluh anggota yang hengkang dengan alasan tidak mampu lagi menikmati konten dari grup ini. "Isinya dan bahasanya sudah kayak stensilan aja. Malu lah gue kalo sampe kebaca anak, bini gue", ujar seorang teman yang telah left grup beberapa bulan yang silam.
Malam ini, selepas waktu maghrib hari pertama Ramadhan, ada sebuah postingan gambar seorang wanita yang tengah memotret, dengan mengenakan rok tanpa dalaman, dalam posisi yang sedemikian rupa sehingga kemaluannya terekspos. Gambar ini tak separah gambar-gambar vulgar yang pernah dipasang dan menuai kecaman dari sebagian kecil anggota grup, namun aku cukup kaget melihatnya. Memang jam postingannya sudah lewat waktu berbuka puasa, tapi aku atau teman-teman Muslim lainnya bisa saja baru melihatnya esok hari ketika kami tengah berpuasa. Meski sebelumnya sudah diingatkan agar tidak ada postingan semacam ini selama bulan puasa, bahwa pemostingan ini tetap terjadi membuatku merasa tidak dihargai.
Dan akhirnya...setelah bertahan selama dua bulan sejak left group yang seminggu itu, dalam sebuah kalimat pendek, aku berpamitan pada semua anggota untuk meliburkan diri dari keikutsertaanku dalam grup ini selama bulan Ramadhan. Aku hanya menyebutkan alasannya lewat japri ke sang admin dengan harapan ia bisa mengerti prinsipku. Entah aku akan diizinkan bergabung lagi atau tidak pasca Lebaran, semua aku serahkan pada kebijakan sang admin. Yang pasti, paling tidak aku ingin berusaha menghindari diri dari hal-hal yang bisa membuat ujian Ramadhan-ku jadi lebih berat lagi.
Entah sejak kapan, penggunaan kata Kamu itu jadi begitu luas. Dulu sekitar awal tahun 1983, sebelum aku hijrah ke negeri seberang, seingatku orang lebih sering mengucapkan Anda atau nama dari individu yang diajak bicara. Stasiun radio sudah banyak, tapi TVRI adalah stasiun TV satu-satunya yang menampilkannya secara visual. Mungkin karena sekarang kita bisa lebih mudah dan sering mendengar (dan
melihat) orang menggunakannya sebagai sebutan untuk pihak kedua. Apalagi yang namanya Talkshow sudah menjamur di begitu banyak stasiun visual termasuk yang di internet. Di acara seperti inilah para host sering menyebut Kamu pada tamu-tamunya.
Koq rasanya aneh mendengar siapa saja bisa menggunakannya pada perbincangan dengan sembarang orang. Hal ini mulai terasa sejak kepulanganku ke tanah air, dimana aku mulai kembali menjalani keseharianku dengan menggunakan bahasa nasional. Lalu tak lama kemudian ada seorang teman yang menganjurkan agar aku lebih baik menggunakan Anda atau nama. Alasannya simpel...Kamu lebih terasa pas untuk digunakan di masa lalu dan hanya pada pembantu. Jujur saja...memang sebelum kepergianku, aku hanya ingat kata itu dipakai dalam
kehidupan sehari-hari di sekolah (guru mengatakannya pada murid) dan di
rumah (orangtua ku mengatakannya pada pembantu mereka).
Secara teori, memang Kamu merupakan kata resmi untuk orang kedua. Itu sudah jelas digunakan dalam pelajaran Bahasa Indonesia; "Nama kamu siapa?" "Kamu hendak pergi kemana?" dan seterusnya. Namun dalam pemraktekkannya, (seingatku) digunakannya untuk orang yang (jauh) lebih muda (misalnya anak kecil) atau punya status kedudukan yang juga (jauh) lebih rendah. Penggunaan seperti itu, yang sudah diterapkan (sepertinya) sejak zaman kolonial, rupanya telah membentuk image begitu, sehingga (buatku) tidak lagi terdengar pantas bila digunakan di lain kondisi. Itu sebabnya hingga kini lebih suka menyebut nama asli atau panggilan, atau kata-kata seperti Saudara, Dirimu, Anda, Dikau, Kau, bahkan Lu (khusus ke teman, atau di Jakarta), dlsb.
Kemarin di sebuah acara makan siang yang diadakan oleh seorang teman, aku dikenalkan pada seorang wanita pengusaha setengah baya, yang notabene lebih tua dariku hanya di tampilan wajahnya. Kami berdua lalu terlibat dalam perbincangan tentang bisnis yang dijalaninya sambil ia terus menerus menggunakan kata Kamu padaku. Selama itu pula aku juga terus menerus merasa terganggu, namun mencoba menahan diri untuk tidak protes. Mindset ku hanya terpaku pada fakta bahwa kata itu adalah kata yang sah dipakai dalam bahasa Indonesia tanpa memandang umur, jabatan, profesi atau (kalau boleh aku sebut) kasta. Sampai pada poin tertentu dimana aku tak tahan lagi menerimanya, aku yang dari awal menyebutnya dengan namanya, mulai menggunakannya juga padanya.
Nah...ketika itulah ia terlihat kaget dan seolah mulai terganggu. Mimik muka dan bahasa tubuhnya jelas menampakkan kegelisahnya. Lalu senyuman demi senyuman sinis kerap terlihat di wajahnya setiap aku mengunakannya. Perbincangan kami sontak menjadi terbata-bata, hingga akhirnya ia meminta permisi untuk menemui tamu-tamu yang lain. Pendek cerita, seusai acara, teman yang mengenalkanku padanya memberi tau bahwa wanita itu sempat mengeluh padanya atas tindakanku mengalamatkan kata Kamu padanya. Lhoh...aneh ya? Bukankah sebelumnya ia juga melakukan hal yang sama padaku? Temanku menduga bahwa wanita itu merasa tak layak disebut Kamu oleh orang seperti aku. Seperti aku? Ya...seperti orang yang tak sesukses dia.
Wah...kalau begitu prinsipnya boleh dibilang sama seperti aku donk? Tapi layakkah bila ia merasa lebih sukses dari aku sehingga hanya ia yang pantas menggunakan Kamu dalam perbincangan kami itu? Sukses itu khan subyektif. Memang kalau dalam bisnis yang digelutinya, tentu saja ia lebih sukses dari aku yang sama sekali tidak paham apalagi menjalaninya. Tapi aku yakin aku unggul di suatu bidang tertentu darinya. Yang pasti aku lebih sukses dalam hal penggunaan kata panggilan yang lebih baik demi menghormati dan menghargai perasaan orang yang aku ajak bicara. Buktinya, sampai pada poin tertentu tadi, aku lebih sukses menjaga perasaannya di saat dari awal ia sudah gagal menjaga perasaanku...
Ceritanya, anak sulungku kemarin bersama enam teman sekelasnya membuka stand martabak manis dan pudding di acara pensi sekolah dalam rangka perpisahan dengan kakak-kakak kelas mereka yang sedianya siap meninggalkan bangku sekolah menengah pertama. Acara yang dihadiri oleh semua siswa termasuk para orangtua siswa kelas sembilan ini diisi dengan pagelaran seni dan bazaar yang diikuti oleh siswa kelas tujuh dan delapan. Stand yang ada pun ada belasan dan kebanyakan menjual panganan. Jadi boleh dikatakan bahwa keahlian siswa dalam berkreasi memilih jenis panganan dan strategi penjualannya pun benar-benar diuji.
Sebagai orangtua yang tidak terundang bahkan tidak diperbolehkan hadir, aku menghargai usaha anakku dengan cara tidak ikut campur di dalamnya mulai dari persiapannya hingga pengeksekusiannya. Dukungan yang bisa aku berikan hanyalah memberinya modal urunan dan transportasi selama proses dijalankannya usaha itu. Aku setuju dengan ide bahwa mereka bebas memilih cara menjalaninya tanpa campur tangan orangtua. Mereka bahkan cenderung belajar membuat martabak dan puddingnya dari video-video tutorial di YouTube ketimbang mendapatkannya dari orangtua atau keluarga.
Maka bergulirlah acara tersebut dengan semestinya, dan kelompok anakku berhasil menjual habis 32 porsi pudding serta menyisakan sedikit potong martabak dari sekian banyak yang disediakan. Aku terkagum-kagum dengan hasil akhir yang mereka capai. Sangatlah mungkin bahwa hasil sebaik itu tak tercapai jika aku yang berjualan mengingat aku payah sekali dalam hal marketing. Dalam penasaranku, aku tanya anakku bagaimana bisa menjual begitu banyak stok disaat ada banyak pilihan panganan. Jawabannya unik sekaligus lucu...
Jadi mereka rupanya sempat bingung karena progres penjualannya dianggap sangat lambat. Martabak yang ditawarkan dengan harga Rp. 4000,- per potong dan pudding seharga Rp. 2000,- per porsi mungkin masih dianggap mahal. Penolakan halusnya adalah, "Nanti saja. Mau lihat-lihat dulu yang lain". Alasan klasik yang biasanya berarti bahwa yang ditawari tidak akan kembali lagi begitu ia meninggalkan stand mereka. Lalu mereka memutuskan untuk menjemput bola dengan berkeliling menawarkan dagangannya. Namun karena hal itu belum juga efektif, mereka menerapkan sistem Combo, alias memaketkan sepotong martabak dengan seporsi pudding dengan harga jual Rp. 5000,-.
Hasilnya sangat baik karena mereka berhasil menjual setengah stok yang ada. Namun mereka bertarget menghabiskan stok karena tak ingin repot membawa sisa dagangan pulang. Dan setelah bersama-sama berpikir keras mencari solusi, mereka menemukan sebuah cara yang inovatif. Diajaklah Reza, seorang teman yang cukup populer di sekolah karena ketampanannya untuk mendampingi mereka dalam menawarkan dagangannya ke para siswa putri. Dengan paket Combo yang harganya telah dikembalikan ke harga normal, Rp. 6000,-, mereka memberi tawaran yang ternyata sulit diabaikan kebanyakn siswa putri; "Dapat kesempatan selfie bareng Reza".
Dan penawaran itulah yang nyaris meludeskan dagangan mereka bahkan jauh sebelum acara berakhir.
Lalu kompensasi apa yang diminta oleh Reza? Sama sekali bukan materi, karena baginya, jadi rebutan siswa putri untuk foto bareng memberinya kepuasan tersendiri dan itu dianggapnya sudah imbang dengan bantuan yang ia berikan buat teman-temannya.
Ck ck ck...anak-anak zaman sekarang... :p